Arius atau Arius dari Alexandria (250-336) adalah seorang tokoh Kristen yang hidup pada akhir abad ke-3 sampai awal abad ke-4, di Alexandria (Iskandariah), Mesir pada masa pemerintahan KaisarKonstantinus Agung.[1] Arius menolak ajaran mengenai keilahian Kristus dengan pandangan bahwa Kristus hanyalah ciptaan Allah dan bukan Allah. Pandangannya ini kemudian memengaruhi munculnya sebuah gerakan yang disebut Arianisme.[2] Pemikiran Arius mengenai keilahian Kristus kemudian ditolak dalam Konsili Nicea dan ia dikucilkan dari gereja.[3]
Latar Belakang
Arius lahir di Alexandria pada tahun 250, pada masa pemerintahan Kaisar Decius.[1] Ia menerima pendidikan teologi dari Lucian, seorang teolog dari Antiokhia.[1] Setelah Lucian meninggal pada tahun 306, Arius kembali ke Alexandria dan menetap di sana.[1] Di Alexandria, Arius diangkat sebagai diaken oleh UskupPetrus dari Aleksandria.[1] Uskup Petrus sendiri sedang bersitegang dengan Meletius dari Lycopolis, mengenai penolakan terhadap orang-orang Kristen yang murtad selama masa penyiksaan oleh kekaisaran Romawi.[1] Namun, Arius berada di pihak Meletius, sehingga ia dikucilkan dari gereja oleh Petrus.[1] Tahun 311, Petrus digantikan oleh Akhillas, yang kemudian memulihkan jabatan diaken Arius, bahkan mengangkatnya sebagai presbiter.[1] Akhillas meninggal pada tahun 312 dan digantikan oleh Alexander.[1]
Kontroversi mengenai Keilahian Kristus
Tahun 318 terjadi ketegangan antara Arius dan Alexander, ketika Arius mengembangkan teologinya yang khas tradisi Antiokhia.[2] Pemikiran Arius yang kemudian menimbulkan perdebatan dan perselisihan dengan Alexander adalah mengenai keilahian Kristus. Sejalan dengan pemikiran Origenes, ia percaya bahwa Allah Bapa lebih besar daripada Sang Anak atau Kristus dan juga kemudian lebih besar daripada Roh Kudus.[4] Namun, ia memasukkan konsep monoteisme dalam pemahaman mengenai Allah dengan berkesimpulan bahwa hanya Allah Bapa yang merupakan Allah, sedangkan Kristus atau Sang Anak hanya merupakan makhluk ciptaan Allah Bapa yang sulung dan tertinggi, tetapi bukan Allah.[2][4] Sebagai makhluk ciptaan, Kristus tidak kekal.[4] Pernah Ia tidak ada, dan kemudian diciptakan dari yang tidak ada.[4] Pokok-pokok pemahaman Arius ini terdapat dalam buku tulisannya yang berjudul Thallia.
Alexander tidak menyetujui pandangan Arius ini. Menurut Alexander, Sang Bapa adalah kekal, tetapi tidak pernah ada tanpa Sang Anak, maka Sang Anak juga kekal.[1] Sang Anak tidaklah diciptakan Allah dari ketiadaan, tetapi Ia sudah ada bersama Allah dan sehakikat (homoousios) dengan Allah.[1] Menurut Alexander Sang Anak haruslah benar-benar Allah agar dapat menyelamatkan manusia.[5] Tahun 318 Alexander mengadakan sinode di Alexandria yang memutuskan agar Arius dihukum. Alexander mengutuk ajaran Arius.[1] Arius juga dikutuk bersama lima orang presbiter dan enam orang diaken lain.[1][5] Namun, Arius juga memiliki banyak pendukung.[5] Ia kemudian meminta bantuan kepada Eusebius dari Nikomedia.[3] Eusebius memiliki posisi yang kuat untuk mendukung Arius, dan hal ini menyulut perpecahan besar.[3] Keributan ini membagi dua gereja di Alexandria menjadi kubu Arius dan kubu Alexander.[5]
Perdebatan dan perselisihan di Alexandria kemudian meresahkan Kaisar Konstantinus.[5] Ia merasa bahwa perpecahan dalam gereja dapat mengganggu keamanan dan stabilitas negara.[5] Namun, Konstantinus tidak segera mengambil keputusan untuk menghakimi secara sepihak.[3] Ia memilih untuk memanggil para uskup untuk menemukan jalan menyelesaikan pertikaian ini.[3] Kemudian pada tahun 325, Konstantinus memanggil uskup-uskup dari berbagai penjuru kekaisaranRomawi untuk berkumpul dalam konsili di Kota Nicea (sekarang Iznik di Turki).[6] Konsili ini dibuka dengan pembahasan mengenai permasalahan pandangan Arius.[1] Eusebius dari Nicomedia memimpin beberapa uskup yang mendukung Arius.[6] Namun ketika Arius membacakan pandangannya mengenai keilahian Kristus dan pandangan-pandangan lainnya, banyak uskup yang kemudian menarik dukungannya dari Arius karena memandang tulisannya sebagai penghujatan.[1]
Para peserta konsili kemudian tidak menerima pandangan Arius dan memutuskan untuk menolaknya.[4] Namun mereka juga harus merumuskan suatu pengakuan yang dapat melawan pandangan Arius.[5] Kemudian Uskup Eusebius dari Kaisarea mengusulkan menggunakan pengakuan yang digunakan di Kaisarea.[4] Pengakuan ini tidak menggunakan kata homoousios (satu hakikat) karena dianggap tidak alkitabiah.[1] Namun, Konstantinus dan para uskup lain memilih untuk menggunakannya dalam rumusan pengakuan tersebut untuk menentang Arius, karena Arius terang-terangan menolak konsep homoousios.[1] Hanya dua orang uskup yang mendukung pandangan Arius dan menolak konsep homoousios.[1] Kelompok pendukung Arius memilih mengemukakan pandagan bahwa Sang Anak memiliki hakikat yang serupa dengan Sang Bapa (homoiousios).[5] Namun pada akhirnya diputuskan bahwa Sang Anak tidak diciptakan, tetapi sehakikat (homoousios) dengan Sang Bapa yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Nicea.[4] Pandangan Arius kemudian ditolak dan Arius bersama beberapa orang yang mendukungnya dihukum dengan cara dikucilkan dari gereja.[4]
Pengucilan dan Kematian
Arius dan pandangannya dikutuk di Nicea.[4] Ia bersama beberapa uskup yang mendukungnya kemudian dikucilkan dari gereja dan dibuang serta jabatannya dicopot.[4] Bukunya, Thallia, dibakar dan pengikutnya dianggap sebagai musuh gereja.[1] Di dalam pembuangan, Arius sangat menderita sehingga adik perempuan Konstantinus, Konstantia, meminta Konstantinus untuk memulihkan kembali jabatan Arius.[1] Konstantinus menyetujuinya, meskipun Athanasius, uskup Alexandria yang baru, menolaknya.[1]
Pada tahun 336, upacara pemulihan jabatan Arius kemudian direncanakan untuk dilaksanakan di katedralKonstantinopel.[1] Athanasius (yang menentangnya) menuliskan (Epist. ad. Scrapion, Vol. I. p. 523) berdasarkan keterangan Macarius sang penatua, yang hadir saat itu dan memberi laporan bahwa Arius telah bersumpah menerima iman ortodoks (yang berlawanan dengan Arianisme, aliran yang diajarkannya), sehingga diperbolehkan untuk masuk kembali ke dalam gereja di Konstantinopel.[7] Akan tetapi, upacara tersebut tidak pernah dilaksanakan karena pada sore hari sebelum upacara dilaksanakan, tiba-tiba Arius meninggal.[1] Catatan Athanasius (Epist. ad. Scrapion, Vol. I. p. 523) juga menyebutkan bahwa uskup Konstantinopel, Alexander, mengunci diri untuk berdoa supaya Tuhan menggagalkan pemulihan itu, sementara malam itu Arius dan Eusebius dari Nicomedia mengancamnya, mencoba masuk ke dalam gedung gereja, dan Arius dengan percaya diri karena kehadiran teman-temannya menuju ke kamar kecil, dan ketika duduk di situ, tiba-tiba 'jatuh tertelungkup, terbelah di tengah badannya' dan langsung mati, sehingga kehilangan kesempatan komuni dan hidupnya sekaligus.[7]Epifanius juga mencoba membandingkan kematiannya ini dengan Yudas Iskariot, ketika mencatat (Contra Haeres. l. 2. Haeres. 68.) bahwa Arius malam-malam pergi ke kamar kecil, dan tiba-tiba mati di sana dengan perut terbelah, mirip dengan Yudas, di tempat yang kotor dan najis.[7] Ruffinus juga menulis (L. 1. c. 13.), bahwa ketika ia masuk ke gereja, pada saat terakhir tiba-tiba ia berniat ke kamar kecil, dan ketika duduk di sana, isi perutnya semua keluar, sehingga ia mati di sana.[7] Jadi ada kalangan yang melihat kematian Arius sebagai hukuman dari Tuhan, sedangkan kalangan lain melihat kematian Arius sebagai pembunuhan disebabkan karena ia diracun.[1]
Pengaruh Arius
Walaupun Arius telah dikutuk dan dan meninggal, ajaran dan pandangannya tetap berkembang dan disebarluaskan oleh para pengikutnya.[1] Para pengikut Arius ini kemudian berkembang menjadi gerakan atau aliran yang disebut Arianisme.[1] Mereka sangat aktif menyebarluaskan ajaran-ajaran Arius dan terus berkonfrontasi dengan kelompok yang menerima pengakuan Nicea.[4] Arianisme sangat ditentang oleh Athanasius, uskup Alexandria.[4] Hampir seluruh hidup Athanasius diabdikan untuk melawan Arianisme.[4] Akan tetapi, pengikut-pengikut Arius terus dengan giat menyebarkan ajaran-ajaran Arius sampai ke Eropa, terutama di kalangan bangsa Goth.[1] Seorang tokoh Arianisme yang terkenal adalah Ulfilas.[1]
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabF.D. Wellem. cet ke-8 2000. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 21-5.
^ abcH. Berkhof, I.H. Enklaar. cet. ke-22 2006. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 53-4.
^ abcde(Inggris) Diarmaid MacCulloch. 2009. A History of Christianity: The First Three Thousand Years. London: Penguin Books. hlm. 211-22.
^ abcdefghijklm(Indonesia)Tony Lane. cet. ke-8 2008. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 23-5.
^ abcdefgh(Indonesia) Kenneth Curtis, J. Stephen Lang, Randy Peterson. cet ke-6 2007. 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 20-2.
^ ab(Inggris) Mark Edwards. "The first Council of Nicea". dalam Margaret M. Mitchell dan Frances M. Young (eds.). 2006. The Cambridge History of Christianity, vol. 1: Origins to Constantine. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 553-67.