Allah-manusia (Kristen)

Allah-manusia (bahasa Yunani: θεάνθρωπος, teántropos; bahasa Latin: deus homo[1]) merujuk kepada inkarnasi dan kemanunggalan hipostatis Kristus, salah satu doktrin kristologis Kristen arus utama yang paling berterima luas dan dijunjung tinggi.

Asal mula

Penggunaan istilah "Allah-manusia" sebagai suatu konsep teologis pertama kali mengemuka di dalam karya tulis Origenes, Bapa Gereja dari abad ke-3.[2]

Oleh karena itu, dari sari pati jiwa yang mengantarai Allah dan jasad inilah – sebab mustahil kodrat Allah berbaur dengan jasad tanpa sarana perantara – terlahir Allah-manusia.[3]

Konsili Kalsedon tahun 451 menandaskan bahwa Kristus memiliki dua kodrat – insani dan ilahi – dalam kemanunggalan hipostatis.

Ihwal Allah-manusia juga dibahas panjang lebar oleh Anselmus dari Canterbury, filsuf dan teolog Abad Pertengahan, di dalam risalahnya mengenai penebusan, Cur Deus Homo (Mengapa Allah Menjadi Manusia):

Oleh karena itu, bila perlu, sebagaimana tampaknya demikian, kerajaan surga beranggotakan manusia-manusia, dan hal ini mustahil terwujud kecuali pampasan tersebut dibayar tuntas, yang Allah jualah mahaberdaya melaksanakannya dan manusia jualah yang wajib melaksanakannya.[4]
Oleh karena itu Allah-manusia, yang kita butuhkan terdiri atas kodrat insani maupun ilahi, tidak dapat maujud melalui perubahan kodrat yang satu menjadi kodrat yang lain, tidak pula maujud melalui pembauran tak sempurna dari kedua kodrat tersebut menjadi suatu kodrat ketiga. Sebab yang demikian mustahil terjadi, dan andaikata mungkin terjadi pun tidak akan memenuhi kebutuhan kita. Lagi pula, andaikata kedua kodrat paripurna itu manunggal dengan satu dan lain cara, sehingga yang satu menjadi ilahi dan yang lain menjadi insani, tetapi yang menjadi kodrat Allah tidak sama dengan yang menjadi kodrat manusia, mustahillah kedua kodrat itu melaksanakan karya yang harus diselesaikan. Sebab Allah tidak akan melaksanakannya, lantaran tidak memiliki utang yang harus dibayar; dan manusia tidak akan melaksanakannya, lantaran memang tidak berdaya. Oleh karena itu, supaya Allah-manusia dapat melaksanakannya, perlu wujud yang satu dan sama, yang sempurna Allah dan sempurna manusia, sehingga dapat melaksanakan penebusan ini. Karena Ia tidak dapat dan tidak wajib melakukannya kecuali Ia sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Oleh karena Allah-manusia harus melanggengkan kesempurnaan tiap-tiap kodrat, haruslah pula kedua kodrat itu manunggal seutuhnya di dalam satu pribadi, sebagaimana jasad dan jiwa berakal budi wujud bersama-sama di dalam diri setiap insan; karena jika tidak demikian maka mustahil wujud yang satu dan sama itu sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia.[5]

Istilah ini dipakai di dalam dokumen-dokumen Kristen Protestan, misalnya di dalam Katekismus Besar Westminster sebagai berikut:

Kristus diluhurkan dengan diangkat ke sisi kanan Allah, lantaran Ia sungguh berkenan kepada Allah[6]

Istilah ini juga terdapat di dalam puisi dan esai-esai keagamaan dari zaman Romantis. Salah satu contohnya adalah puisi karangan Goethe:

Allah-manusia menutup pintu duka gerbang neraka,
Dengan segenap kemuliaan-Nya Ia mengangkasa[7]

Baca juga

Rujukan

  1. ^ Origenes "De Principiis", dalam terjemahan ke dalam bahasa Latin yang dikerjakan Rufinus. Jilid II, Bab 7, bagian 3, hlm. 196
  2. ^ Baldwin, James, Dictionary Of Philosophy And Psychology, 1901
  3. ^ Origenes, De Principiis, Jilid II, Bab VI. Perihal Inkarnasi Kristus, antara tahun 220 sampai 230
  4. ^ Anselmus dari Canterbury, Cur Deus Homo, Jilid II, Bab VI
  5. ^ Anselmus dari Canterbury, Cur Deus Homo, Jilid II, Bab VII
  6. ^ Soal 54
  7. ^ Johann Wolfgang von Goethe, Thoughts on Jesus Christ's descent into Hell, 1765; terjemahan Edgar Alfred Bowring, 1853

Pranala luar