Perjanjian (Alkitab)
Alkitab Ibrani meriwayatkan beberapa perjanjian (bahasa Ibrani: בְּרִית, bĕrit) yang diikat Allah (Yahweh) dengan makhluk-Nya, misalnya Perjanjian Nuh yang diikat Allah dengan sekalian makhluk hidup, maupun perjanjian-perjanjian yang lebih khusus dengan Abraham, dengan bani Israel, dengan imam-imam bani Israel, dan dengan wangsa Daud. Dari segi susunan maupun peristilahannya, perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan akad-akad yang lumrah di dunia kuno. Di dalam Kitab Yeremia (Yeremia 31:30–33) disebutkan bahwa Yahweh akan mengikat perjanjian baru dengan Israel dan Yehuda. Sebagian besar umat Kristen meyakini bahwa perjanjian baru adalah "pengganti" atau "penggenapan paripurna" perjanjian lama yang termaktub di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, dan bahwasanya perjanjian baru tersebut berlaku atas segenap umat Allah. Ada pula yang percaya bahwa perjanjian yang lama maupun yang baru sama-sama berlaku. Akad-akad Timur Dekat KunoIstilah Ibrani untuk perjanjian, בְּרִית (bĕrit), berasal dari akar kata yang mengandung makna "potong", karena kesepakatan atau perjanjian diikat dengan cara berjalan melewati potongan-potongan daging hewan kurban.[1] Ada dua ragam utama perjanjian di dalam Alkitab Ibrani, yaitu ragam mewajibkan dan ragam menyanggupi.[2] Ragam mewajibkan tampak pada perjanjian-perjanjian bangsa Het, dan mengatur hubungan di antara dua belah pihak yang sederajat. Ragam menyanggupi tampak pada perjanjian-perjanjian yang diikat Allah dengan Abraham dan Daud, dan secara khusus mengatur hubungan antara pihak yang lebih mulia derajatnya dengan pihak yang lebih rendah derajatnya, kurang lebih sama dengan piagam "anugerah raja", yang memuat prakata kesejarahan, batasan, stipulasi, saksi, berkat, dan kutuk. Di dalam piagam-piagam anugerah, raja dapat saja memberi anugerah kepada abdinya sebagai pahala bakti. Allah menganugerahkan pahala kepada Abraham, Nuh, dan Daud di dalam perjanjian-perjanjian yang diikat-Nya dengan mereka.[3] Di dalam perjanjian dengan Abraham, Allah mewajibkan diri-Nya untuk menjadikan keturunan Abraham sebagai umat pilihan-Nya dan menjadikan diri-Nya sebagai sembahan mereka. Selaku pihak yang lebih mulia derajatnya, Allah menjalankan laku wajib yang menyertai tindakan bersumpah dengan melibatkan pemanfaatan api atau hewan dalam pengikraran sumpah kurban. Dengan bertindak demikian, Allah menjadi pihak yang akan menanggung kutuk apabila tidak menunaikan kewajiban. Sepanjang sejarah, pihak yang lebih rendah derajatnya sering pula menjadi pihak yang menjalankan berbagai macam laku tertentu, dan dengan demikian menjadi pihak penanggung kutuk.[4] Peristilahan perjanjianWeinfeld yakin bahwa kemiripan peristilahan dan kata-kata dapat menjadi mata rantai yang menghubungkan Perjanjian Abraham maupun Perjanjian Daud dengan piagam-piagam anugerah Timur Dekat Kuno, alih-alih sangat mirip Perjanjian Musa, yang menurut Weinfeld merupakan salah satu contoh kesepakatan suzerenitas. Bagi Weinfeld, frasa-frasa seperti bertindak dengan "segenap hati" atau "mengikuti-Ku dengan segenap hatinya" sangat paralel dengan ungkapan-ungkapan khas piagam anugerah Kemaharajaan Asyur Baru, misalnya "mengiringi raja". Ia mengemukakan pula bahwa di dalam Kitab Yeremia, Allah menggunakan metafora khas nubuat untuk mengatakan bahwa Daud akan diangkat menjadi anak. Menjelaskan hubungan hukum dan politik dengan menggunakan istilah-istilah kekeluargaan merupakan hal yang lumrah di dalam perabadan-perabadan Timur Dekat. Penggunaan istilah "ayah" dan "anak" menyangkut urusan pemberian anugerah di dalam akad-akad Babel sesungguhnya mengungkapkan hubungan antara seorang raja dengan abdinya.[5] Unsur lain yang melandasi gagasan bahwa perjanjian-perjanjian tersebut pada hakikatnya adalah pemberian anugerah adalah kesamaan gaya bahasanya. Di dalam piagam anugerah Asyurbanipal, seorang bumiputra Asyur, kepada abdinya yang bernama Bulta, Asyurbanipal menyifatkan kesetiaan Bulta dengan frasa "memelihara kewajibannya kepada kaum keluargaku". Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa Abraham juga memelihara kewajibannya kepada Allahː[6]
Gugurnya bentuk perjanjianMenurut Mendenhall, berbagai rongrongan dari luar mendorong suku-suku bani Israel untuk bersatu padu membentuk sebuah negara monarki demi mencapai stabilitas dan solidaritas. Ia mengemukakan pula bahwa pada masa konsolidasi, negara baru tersebut harus pula menyatupadukan tradisi-tradisi keagamaan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda demi mencegah timbulnya keberatan dari pihak-pihak yang percaya bahwa pembentukan negara akan menggeser pemerintahan Allah yang diselenggarakan secara langsung. Oleh karena itu, menurut Mendenhall, suku-suku bani Israel yang bersekutu secara longgar itu pun bersatu di bawah payung Perjanjian Musa untuk melegitimasi kebersatuan mereka. Mereka percaya bahwa taat kepada hukum berarti taat kepada Allah. Mereka juga percaya bahwa raja berdaulat karena diperkenankan Allah, dan keistimewaan tersebut merupakan penggenapan janji Allah kepada Daud untuk menjadikan keturunannya sebagai wangsa penguasa Israel. Mendenhall mengemukakan pula bahwa ada konflik yang menyeruak di antara pihak-pihak yang meyakini Perjanjian Daud dan pihak-pihak yang yakin tidak selamanya Allah akan mendukung semua tindakan negara. Akibatnya, kedua belah pihak menjadi relatif berseberangan, dan Perjanjian Daud maupun Perjanjian Musa nyaris sepenuhnya dilupakan.[7] Perjanjian-perjanjian di dalam AlkitabJumlah perjanjian di dalam AlkitabPara mengkaji Alkitab berbeda pendapat tentang berapa banyak perjanjian utama yang diikat (atau pernah diikat) Allah dengan umat manusia. Angka yang diusulkan berkisar antara satu sampai sekurang-kurangnya dua belas (untuk informasi lebih lanjut tentang pendapat-pendapat utama, baca artikel teologi perjanjian dan dispensasionalisme). Sebagian sarjana mengusulkan dua klasifikasi saja, yaitu perjanjian menyanggupi dan perjanjian hukum. Perjanjian menyanggupi melibatkan sumpah yang diikrarkan Allah, yakni sabda janji alih-alih sabda perintah, sementara perjanjian hukum dikenal di dalam Alkitab dengan sebutan "hukum".[8] Perjanjian NuhPerjanjian Nuh (Kejadian 9:1–17) berlaku atas segenap umat manusia maupun segala makhluk yang hidup.[9] Di dalam perjanjian yang diikat dengan sekalian makhluk hidup ini, Allah berjanji untuk tidak akan lagi melenyapkan kehidupan dari muka bumi dengan air bah (Kejadian 9:11) dan menciptakan pelangi sebagai tanda "perjanjian yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi." (Kejadian 9:12–17). Nuh dan anak-anaknya kemudian diperintahkan untuk beranak pinak, tidak menumpahkan darah manusia (membunuh), lantaran manusia diciptakan menurut citra Allah. Umat Yahudi dilarang menyantap daging yang masih ada darahnya (Kejadian 9:4), tetapi Bani Nuh Nuhidi dibenarkan menyantap darah satwa hidup (Musa bin Maimum, Hukum Raja dan Perang, Bab IX Pasal 10). Perjanjian AbrahamPerjanjian yang termaktub di dalam Kejadian 12-17 bab 12 sampai 17 Kitab Kejadian dikenal dengan sebutan "Brit bein Habetarim" (perjanjian di antara belahan-belahan) dan merupakan dasar brit milah (perjanjian sunat) di dalam agama Yahudi. Perjanjian ini diperuntukkan bagi Abraham beserta anak-cucunya,[10] baik anak-cucu kandung maupun anak-cucu angkat.[11] Janji berulang kepada Abraham perihal pemberian tanah kepada keturunannya yang tak terbilang jumlahnya (Kejadian 15:18–21, Kejadian 17ː1–9, Kejadian 17ː19, Kejadian 22:15–18, Kejadian 26:2–4, Kejadian 26:24, Kejadian 28, Kejadian 35:9–13, Galatia 3), pemberian peran kepemimpinan kepada keturunan Yusuf dan putranya, Efraim (Kejadian 48, Kejadian 50, Ulangan 33:17, 1 Tawarikh 5:1–2, Mazmur 80:2, Yesaya 11:13, Yeremia 31:6, Yeremia 31:9, Yehezkiel 37:15–19, Zakaria 10:6–12), serta sunat membuat bani Israel menjadi bangsa yang dikhususkan (Kejadian 17:10–13). Kitab Kejadian bab 12 sampai bab 17 memuat tiga perjanjian yang dapat dibedakan berdasarkan tiga sumber berbeda, yaitu sumber Yahwis, sumber Elohis, dan sumber sumber Imamat.[12] Diriwayatkan di dalam Kitab Kejadian bab 12 dan 15 bahwa Allah menganugerahkan tanah kepada Abraham dan keturunannya yang tidak terbilang banyaknya itu, tetapi tidak menetapkan satu pun stipulasi (artinya penganugerahan tanah tersebut dilakukan tanpa syarat) atas Abraham demi penggenapan perjanjian tersebut. Di lain pihak, Kitab Kejadian bab 17 justru memuat perjanjian sunat yang bersyaratː
Perjanjian-perjanjian pada zaman Alkitabiah acap kali disahkan dengan menyembelih seekor hewan, dengan implikasi bahwa pihak yang melanggar perjanjian tersebut akan menanggung nasib yang sama dengan hewan yang disembelih. Kata kerja Ibrani yang bermakna mengesahkan perjanjian secara harfiah berarti "memotong". Alim-ulama Yahudi mendalilkan bahwa tindakan mengerat kulup melambangkan pengesahan perjanjian semacam itu.[13] Menurut Weinfeld, perjanjian Abraham merupakan suatu perjanjian penganugerahan, yakni perjanjian yang mengikat pihak atasan. Perjanjian semacam ini mengatur kewajiban majikan kepada abdinya, dan melibatkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada orang-orang pribadi yang setia mengabdi kepada majikan mereka. Dalam perjanjian Allah dengan Abraham yang termuat di dalam bab 15 Kitab Kejadian, Allah adalah pihak atasan yang membulatkan tekad dan bersumpah untuk memegang janji. Di dalam perjanjian tersebut ada prosedur pengambilan sumpah, yang melibatkan tanur berasap dan obor yang bernyala-nyala. Ada banyak kemiripan di antara bab 15 Kitab Kejadian dengan wasiat Abba-El. Di dalam bab 15 Kitab Kejadian maupun wasiat Abba-El, pihak atasanlah yang bersumpah. Selain itu, sumpah di dalam bab 15 Kitab Kejadian maupun wasiat Abba-El melibatkan situasi di mana pihak bawahan yang menyiapkan hewan kurban dan pihak atasan yang bersumpah. Perjanjian Abraham adalah bagian dari suatu tradisi kurban pengesahan perjanjian yang dapat ditelusuri jejak sejarahnya sampai ke milenium ketiga Pramasehi. Hewan yang disembelih di dalam bab 15 Kitab Kejadian dianggap sebagai persembahan kurban. Perjanjian Abraham inilah yang melanggengkan unsur kurban berikut laku simbolis.[4] Perjanjian MusaPerjanjian Musa adalah perjanjian Allah dengan Musa dan bani Israel di Horeb-Sinai. Perjanjian ini termaktub di dalam Keluaran 19-24 bab 19 sampai bab 24 Kitab Keluaran maupun di dalam Kitab Ulangan, dan berisi asas-asas Taurat tulis. Di dalam perjanjian ini, Allah berjanji untuk membuat bani Israel menjadi milik pusaka-Nya di antara segala bangsa (Keluaran 19:5), serta menjadi "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Keluaran 19:6), jika mematuhi perintah-perintah-Nya. Sebagai bagian dari persyaratan perjanjian ini, Allah memberikan Dasatitah kepada Musa (Keluaran 24ː8). Dasatitah selanjutnya diperkaya atau dibabarkan di dalam isi Taurat selebihnya. Untuk mengesahkan perjanjian tersebut, darah kurban lembu jantan dipercikkan ke atas mezbah dan ke atas umat Israel. Terlepas dari tujuan keagamaannya, Perjanjian Musa juga bersifat politis. Perjanjian ini menjadikan Israel sebuah bangsa yang kudus, milik istimewa Allah (Keluaran 19ː5–6), lengkap dengan pelindung dan gembala khusus, yakni Yahweh atau El-Elyon.[14] Format perjanjian ini memperlihatkan ciri-ciri kesepakatan suzerenitas di Timur Dekat Kuno.[15] Sama seperti kesepakatan suzerenitas, Dasatitah diawali dengan identifikasi Yahweh dan jasa-Nya bagi Israel ("yang membawa engkau keluar dari Tanah Mesir"; Keluaran 20ː2) serta stipulasi-stipulasi yang menuntut kesetiaan mutlak ("jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku"). Berbeda dari kesepakatan suzerenitas, Dasatitah tidak melibatkan saksi maupun berkat dan laknat yang dinyatakan secara terbuka.[16] Perjanjian Musa diriwayatkan secara utuh di dalam Kitab Ulangan. Allah menganugerahkan Sabat kepada bani Israel sebagai tanda peringatan permanen dari perjanjian tersebut (Keluaran 31:12–17). Perjanjian ImamPerjanjian Imam[17] (bahasa Ibrani: ברית הכהונה, brit hakehuna) adalah perjanjian yang diikat Allah dengan Harun beserta keturunannya, yakni imam-imam bani Harun, sebagaimana didapati di dalam Alkitab Ibrani maupun Taurat Lisan. Alkitab Ibrani juga meriwayatkan perjanjian lain yang diikat dengan para imam, yakni dengan Pinehas beserta keturunannya.[18][19] Perjanjian DaudAllah mengikat perjanjian terkait daulat raja dengan Daud (2 Samuel 7). Allah berjanji untuk mengukuhkan takhta kerajaannya sampai selama-lamanya, sembari mengakui bahwa janji-janji perjanjian daulat raja sudah sejak semula diberikan kepada bapa leluhur segenap bangsa Israel, yakni Abraham. Perjanjian Daud menetapkan Daud beserta keturunannya sebagai raja atas negara Israel yang seutuhnya, (Yeremia 33:17–21) yang mencakup Kerajaan Israel maupun Kerajaan Yehuda. Perjanjian Daud adalah salah satu unsur penting di dalam mesianisme Yahudi dan teologi Kristen. Di dalam eskatologi Yahudi, mesias diyakini sebagai raja orang Yahudi dari wangsa Daud di masa depan, yang akan diurapi dengan minyak urapan kudus, yang akan menghimpun kembali orang-orang Yahudi di Tanah Israel, mendatangkan suatu zaman sentosa, membangun Bait Allah yang ke-3, menurunkan seorang ahli waris laki-laki, menghidupkan kembali lembaga Sanhedrin, dan memerintah atas bangsa Yahudi sepanjang Zaman Mesias. Loh-loh Dasatitah disimpan di dalam Tabut Perjanjian, dan menjadi lambang bangsa Israel maupun kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Itulah sebabnya ketika Raja Daud hendak menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota pemerintahannya, ia memindahkan Tabut Perjanjian ke kota itu (2 Samuel 6). "Gambaran perjanjian inilah yang mewarnai sebagian besar pemahaman kita tentang perjanjian di dalam Perjanjian Lama. Di dalam ungkapan 'Hukum dan Injil', perjanjian ini merepresentasikan perjanjian lama hukum [Musa] yang ditandingkan dengan perjanjian baru injil [Yesus Kristus]. Tetapi perjanjian yang lebih tua daripada perjanjian Musa adalah perjanjian daulat raja [yang diikat dengan Abrahan dan dilanjutkan melalui Daud], yang menjanjikan stabilitas bagi rajawangsa."[14] Pandangan KristenPandangan Kristen tentang perjanjian DaudTeolog Kristen, John F. Walvoord, berpendapat bahwa perjanjian Daud layak diberi kedudukan penting di dalam ikhtiar menyelidiki maksud-maksud Allah, dan bahwa eksegesisnya mengukuhkan doktrin pemerintahan Kristus di atas bumi kelak.[20] Meskipun para teolog Yahudi senantiasa beranggapan bahwa Yesus tidak memiliki keistimewaan-keistimewaan yang diharapkan dari seorang mesias Yahudi, hampir semua teolog Alkitabiah (harfiah secara ketatabahasaan yang bersejarah) Dispensasional sepakat bahwa Yesus akan sepenuhnya menggenapi perjanjian Daud, yang menurut Walvoord terdiri atas pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Perjanjian BaruPerjanjian Baru adalah tafsir Alkitabiah yang bersumberkan sepenggal frasa dari Kitab Yeremia di dalam kumpulan Kitab Suci Yahudi. Perjanjian Baru kerap dianggap sebagai suatu zaman Mesias yang bersifat eskatologis atau dunia yang akan datang, dan berkaitan dengan konsep Alkitabiah Kerajaan Allah. Umat Kristen pada umumnya percaya bahwa Perjanjian Baru ditetapkan pada pelaksanaan Perjamuan Terakhir sebagai bagian dari Ekaristi, yang menurut Injil Yohanes mencakup Perintah Baru.[21] Keterkaitan Darah Kristus dengan Perjanjian Baru tersebut tampak pada nas "cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu".[22] Umat Kristen mengimani Yesus sebagai perantara Perjanjian Baru ini, dan bahwasanya darahnya yang tumpah saat disalibkan adalah darah yang diperlukan untuk mengesahkan perjanjian tersebut. Sebagaimana semua perjanjian antara Allah dan manusia yang diriwayatkan di dalam Alkitab, Perjanjian Baru pun dianggap sebagai "suatu ikatan dengan darah yang dikerjakan Allah selaku pihak yang lebih tinggi derajatnya".[23] Diteorikan bahwa Perjanjian Baru adalah Hukum Kristus yang disampaikan Yesus dalam Khotbah di Atas Bukit.[24] Dalam konteks Kristen, Perjanjian Baru ini dihubung-hubungkan dengan kata wasiat, dalam arti 'surat tinggalan orang yang sudah wafat' berisi petunjuk-petunjuk pewarisan harta benda (bahasa Latin: testamentum).[25] Kata Yunani yang digunakan di dalam Alkitab adalah diateke (διαθήκη),[26] dan dalam konteks Yunani semata-mata berarti 'surat wasiat', nyaris tidak mengandung makna 'perjanjian' atau 'kesepakatan'.[27] Kenyataan ini menyiratkan adanya tafsir-ulang atas pandangan tentang perjanjian di dalam Alkitab Perjanjian Lama, sehingga terkesan memiliki ciri-ciri 'surat wasiat' di dalam teologi Kristen dan lumayan menggugah minat kaji para pakar Alkitab maupun teolog.[28] Alasannya dikaitkan dengan terjemahan kata Ibrani untuk perjanjian, brit (בְּרִית), di dalam Septuaginta. Pandangan IslamPerjanjian Musa lebih dari sekali disebutkan di dalam Quran[29][30][31][32] sebagai peringatan kepada orang-orang Yahudi, termasuk dua suku Yahudi di Madinah pada masa hidup Muhammad. Ayat-ayat tersebut juga menyebutkan perintah-perintah tertentu di dalam Dasatitah serta menegur umat Yahudi lantaran tidak menghormatinya dan bahkan menganiaya nabi-nabi - sebagian mereka dustakan, dan sebagian yang lain mereka bunuh - [Qur'an An-Nisa’:155][Qur'an Al-Ma’idah:70] sekalipun mereka sudah berjanji untuk memelihara perintah-perintah tersebut pada saat diturunkan kepada mereka. Quran juga mengatakan betapa Allah melaknat bani Israil dan membuat mereka sengsara lantaran melanggar perjanjian,[Qur'an An-Nisa’:155][Qur'an Al-Ma’idah:13] sembari mengungkit berbagai perjanjian lain yang diikat dengan umat Israel melalui nabi-nabi[Qur'an Ali Imran:81], Perjanjian Nuh dan Perjanjian Abraham[Qur'an Al-Ahzab:7], serta perjanjian yang diikat dengan para pengikut Yesus[Qur'an Al-Ma’idah:14][Qur'an Al-A'raf:169] (tampaknya sangat berbeda dari tafsir Kristen) yang juga gagal memelihara perjanjian lantaran menuruti hawa nafsu. Baca juga
Rujukan
Bahan bacaan lanjutan
Pranala luar
|