Martin Luther, dengan berpegang pada kaum Yahudi dan beberapa kalangan Kristen awal,[1] mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dari Perjanjian Lama pada hasil terjemahan Alkitab yang dibuatnya dan menempatkannya pada satu bagian terpisah yang diberi judul "Apokrifa" ("tersembunyi"), sehingga berbeda dengan kanon yang ditegaskan di Trente pada tahun yang sama dengan tahun meninggalnya Luther (1546).[2] Dengan mengikuti prinsip veritas Hebraica (kebenaran Ibrani) dari Hieronimus, Perjanjian Lama Protestan meliputi kitab-kitab yang sama dengan Alkitab Ibrani, tetapi urutan dan pembagiannya berbeda. Perjanjian Lama Protestan memuat 39 kitab, sedangkan Yudaisme memuat kitab-kitab yang sama dengan jumlah 24 kitab. Hal ini dikarenakan Yudaisme memandang Kitab Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, masing-masingnya adalah satu kitab, 12 nabi kecil tergabung dalam satu kitab, serta memandang Ezra dan Nehemia sebagai satu kitab.
Ada perbedaan yang lebih substansial antara Alkitab Ibrani dengan berbagai versi Perjanjian Lama lainnya seperti Taurat Samaria, Pesyita Suryani, Vulgata Latin, Septuaginta Yunani, Alkitab Ethiopia, dan kanon lainnya. Banyak dari Alkitab-Alkitab ini yang mencakup berbagai kitab dan bagian yang tidak ada pada yang lainnya.
Yudaisme Rabinik mengakui 24 kitab dari Teks Masoret, yang umumnya disebut Tanakh atau Alkitab Ibrani.[3] Tidak ada konsensus keilmuan mengenai kapan kanon Alkitab Ibrani ditetapkan; beberapa akademisi berpendapat bahwa kanon tersebut ditetapkan oleh dinasti Hashmonayim,[4] sementara lainnya berpendapat bahwa tidak ada penetapan hingga abad ke-2 M atau bahkan setelahnya.[5] Menurut Marc Zvi Brettler, kitab-kitab suci Yahudi selain Taurat dan para Nabi tidaklah tetap, karena masing-masing kelompok yang berbeda melihat kewibawaan dalam kitab-kitab yang berbeda.[6]
Michael Barber mengatakan bahwa kesaksian yang paling eksplisit dan paling awal akan suatu daftar kanonik Ibrani berasal dari Yosefus (37 M – ca 100 M), seorang sejarawan Yahudi.[7] Yosefus menuliskan mengenai suatu kanon yang digunakan kaum Yahudi pada abad ke-1 M. Dalam Melawan Apion (Buku 1, Paragraf 8), sebuah tulisan Yosefus pada tahun 95 M, ia membagi kitab-kitab suci menjadi tiga bagian, yakni 5 kitab Taurat, 13 kitab para nabi, dan 4 kitab himne:[8]
Sebab kita tidak memiliki sedemikian banyak kitab di antara kita, untuk tidak disetujui dan dipertentangkan antara satu dengan yang lainnya, tetapi hanya ada dua puluh dua kitab, yang berisi semua catatan dari keseluruhan masa lalu; yang diyakini dengan sungguh keilahiannya; dan lima di antaranya berasal dari Musa, yang mengandung hukum-hukumnya dan tradisi-tradisi dari asal mula manusia sampai kematiannya. Interval waktu ini sedikit pendek dibandingkan dengan tiga ribu tahun; tetapi semenjak kematian Musa sampai masa pemerintahan Artahsasta, raja Persia, yang memerintah setelah Ahasyweros, para nabi, setelah Musa, menuliskan apa yang telah dilakukan pada masa mereka di dalam tiga belas kitab. Empat kitab sisanya berisi himne-himne kepada Allah, dan ajaran-ajaran bagi penyelenggaraan kehidupan manusia. Memang benar bahwa sejarah kita telah dituliskan secara khusus sejak Artahsasta, tetapi belum dihargai dengan kewibawaan semestinya seperti yang sebelumnya oleh para bapa leluhur kita, karena belum ada kepastian suksesi para nabi sejak saat itu.
Yosefus menyebutkan Esdras dan Nehemia dalam Antikuitas Orang Yahudi (Buku XI, Bab 5) serta Ester (selama pemerintahan Artahsasta) dalam Bab 6.[9] Kanon tersebut ada sampai dengan pemerintahan Artahsasta sebagaimana disebutkan oleh Yosefus di atas dalam Melawan Apion Buku 1, Paragraf 8. Untuk waktu yang lama, sejak saat itu, kewibawaan atas Kitab Ester, Kidung Agung, dan Pengkhotbah sering kali dikritik tajam.[10] Menurut Gerald Larue, daftar Yosefus mencerminkan apa yang kemudian menjadi kanon Yahudi, meskipun para akademisi masih bergumul dengan masalah-masalah seputar kewibawaan atau otoritas tulisan tertentu pada waktu ia menuliskannya.[11] Barber mengatakan bahwa 22 kitab yang disebutkan Yosefus itu tidak diterima secara universal, sebab komunitas-komunitas Yahudi lainnya menggunakan lebih dari 22 kitab.[7]
Pada tahun 1871, Heinrich Graetz menyimpulkan bahwa telah berlangsung Konsili Yamnia (atau Yavne dalam bahasa Ibrani) yang telah menetapkan kanon Yahudi pada akhir abad ke-1 (ca 70–90). Teori ini menjadi konsensus keilmuan yang berlaku pada hampir sepanjang abad ke-20. Tetapi teori tentang adanya Konsili Yamnia ini sekarang didiskreditkan secara luas.[12][13][14][15]
Kanon Katolik Roma dan Gereja-gereja Timur mencakup kitab-kitab yang disebut deuterokanonika, yang mana kewibawaannya ditentang oleh Akiba ben Yusuf selama perkembangan kanon Ibrani pada abad pertama; meskipun Akiba sendiri tidak menentang penggunaan pribadi kitab-kitab tersebut sebagaimana ia sendiri sering menggunakan Kitab Sirakh.[16] Salah satu catatan awal tentang kitab-kitab deuterokanonika ditemukan dalam Septuaginta, suatu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani Koine. Terjemahan ini digunakan secara luas oleh Gereja perdana dan merupakan salah satu terjemahan yang paling sering dikutip (300 dari 350 kutipan termasuk banyak dari perkataan Yesus sendiri) dalam Perjanjian Baru ketika merujuk Perjanjian Lama. Yang lainnya, berupa versi-versi yang lebih tua dari teks-teks berbahasa Ibrani, Aramaik, dan Yunani, telah ditemukan di antara gulungan-gulungan Naskah Laut Mati dan Geniza Kairo.[17]
Secara tradisi, penjelasan atas perkembangan kanon Perjanjian Lama menggambarkan dua kumpulan kitab-kitab Perjanjian Lama, yakni kitab-kitab protokanonika dan deuterokanonika. Berdasarkan hal ini, sebagian Bapa Gereja menerima dimasukkannya kitab-kitab deuterokanonika dengan didasarkan atas dimasukkannya kitab-kitab tersebut dalam Septuaginta (terutama Agustinus), sementara yang lainnya memperdebatkan statusnya didasarkan atas dikeluarkannya kitab-kitab tersebut dari Alkitab Ibrani (terutama Hieronimus). Michael Barber berpendapat bahwa rekonstruksi menurut waktu seperti ini sangat tidak akurat dan "kasus terhadap apokrifa tersebut terlalu dibesar-besarkan".[18] Agustinus sekadar menginginkan sebuah versi baru dari Alkitab Latin berdasarkan teks Yunani karena pada saat itu Septuaginta digunakan secara luas di seluruh Gereja dan proses penerjemahan tidak dapat mengandalkan seseorang saja (Hieronimus) yang mana bisa saja keliru; pada kenyataannya, sebagaimana dinyatakannya dalam Kota Allah 18.44, ia memandang bahwa Alkitab Ibrani dan Septuaginta memiliki kewibawaan yang setara.[19] Bagi kebanyakan umat Kristen perdana, Alkitab Ibrani merupakan "Kitab Suci" tetapi harus dipahami dan ditafsirkan dalam terang keyakinan Kekristenan.[20]
Meskipun kitab-kitab deuterokanonika direferensikan oleh sebagian Bapa Gereja sebagai Kitab Suci, kalangan lainnya seperti Athanasius menyatakan bahwa kitab-kitab tersebut hanya untuk dibaca dan tidak untuk menetapkan doktrin.[21] Athanasius memasukkan Kitab Barukh dan Surat Nabi Yeremia ke dalam daftarnya, serta mengeluarkan Kitab Ester.[22] Menurut Catholic Encyclopedia, "status lebih rendah yang dikenakan pada kitab-kitab deuterokanonika oleh pihak otoritas seperti Origen, Athanasius, dan Hieronimus, adalah karena konsepsi kanonisitas yang terlalu kaku; suatu kitab, untuk dapat memperoleh martabat tertinggi ini, harus diterima oleh semua pihak, harus tidak ada kesangsian seturut sejarah kuno Yahudi, dan terlebih lagi harus dapat diadaptasikan tidak sekadar untuk pembangunan rohani, tetapi juga untuk 'penegasan doktrin gereja', jika meminjam ungkapan Hieronimus."[23]
Mengikuti jejak Martin Luther, kalangan Protestan memandang kitab-kitab deuterokanonika sebagai apokrifa (non-kanonik). Menurut J. N. D. Kelly, "Perlu diperhatikan bahwa Perjanjian Lama dengan demikian diakui otoritasnya dalam Gereja... selalu menyertakan, meskipun dengan berbagai tingkat pengakuan, apa yang disebut kitab-kitab deuterokanonika atau Apokrifa."[24]
Gereja Kristen Awal menggunakan teks-teks Yunani,[25] karena bahasa Yunani merupakan suatu lingua franca (bahasa sehari-hari) dalam Kekaisaran Romawi pada saat tersebut, dan bahasa dari Gereja Yunani-Romawi (Aramaik merupakan bahasa dari Kekristenan Siria, yang mana menggunakan Targumim).
Tampaknya Septuaginta menjadi satu sumber utama bagi para Rasul, walaupun bukan satu-satunya. St Hieronimus menyajikan Matius 2:15 dan 2:23, Yohanes 19:37, Yohanes 7:38, 1 Korintus 2:9[26] sebagai contoh-contoh ayat yang tidak ditemukan dalam Septuaginta, namun terdapat dalam teks-teks Ibrani. Matius 2:23 juga tidak terdapat dalam tradisi Masoretik saat ini, kendati St. Hieronimus menganggapnya terdapat dalam Yesaya 11:1. Para penulis Perjanjian Baru, ketika mengutip kitab-kitab suci Yahudi, atau ketika menyebut Yesus melakukannya, dengan bebas menggunakan terjemahan Yunani, sehingga mengisyaratkan bahwa Yesus, para Rasul-Nya, dan pengikut-pengikut mereka menganggapnya dapat diandalkan.[27][28]
Dalam Gereja perdana, anggapan bahwa Septuaginta (LXX) diterjemahkan oleh orang-orang Yahudi sebelum zaman Kristus, dan bahwa di beberapa tempat tertentu Septuaginta lebih memberikan suatu penafsiran kristologis daripada teks-teks Ibrani abad ke-2, digunakan sebagai bukti bahwa orang-orang Yahudi telah mengubah teks Ibrani dengan suatu cara tertentu sehingga membuatnya kurang kristologis. Sebagai contoh, tulisan St. Ireneus tentang Yesaya 7:14: Septuaginta dengan jelas menuliskan bahwa seorang perawan (bahasa Yunani: παρθένος) yang akan mengandung.[29] Sedangkan teks Ibraninya, menurut Ireneus, pada waktu itu ditafsirkan oleh Theodotion dan Akwila (keduanya adalah proselit dari agama Yahudi) sebagai seorang perempuan muda yang akan mengandung. Menurut Ireneus, kaum Ebionit menggunakan hal ini untuk mengklaim bahwa Yusuf adalah ayah biologis Yesus. Dari sudut pandangnya hal tersebut murni ajaran sesat, difasilitasi oleh perubahan-perubahan anti Kristen (di kemudian hari) terhadap kitab suci dalam bahasa Ibrani, sebagaimana terlihat pada bukti yang termuat dalam Septuaginta yang lebih dahulu ada, sebelum adanya Kekristenan.[30]
Ketika Hieronimus melakukan revisi terjemahan-terjemahan Latin Kuno (Vetus Latina) dari Septuaginta, ia membandingkan Septuaginta dengan teks-teks Ibrani yang tersedia belakangan. Ia tidak mengikuti tradisi gereja dan menerjemahkan sebagian besar Perjanjian Lama Vulgata dari teks Ibrani, bukannya Yunani. Pilihannya itu dikritik oleh Agustinus, yang hidup sezaman dengannya; banyak kritikan lain berasal dari mereka yang menganggap Hieronimus sebagai seorang pemalsu. Di satu sisi ia menganggap teks-teks Ibrani lebih unggul untuk mengoreksi Septuaginta baik dengan alasan teologis maupun filologis; di sisi lain, dalam konteks tuduhan bidah terhadapnya, Hieronimus mengakui teks Septuaginta juga.[31]
Gereja Ortodoks Timur masih lebih suka menggunakan LXX sebagai dasar penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa-bahasa lain. Selain itu, Ortodoks Timur juga menggunakan LXX tanpa diterjemahkan sama sekali pada Gereja di mana bahasa liturgisnya adalah Yunani, misalnya dalam Gereja Ortodoks Konstantinopel, Gereja Yunani, dan Gereja Siprus. Terjemahan-terjemahan kritis dari Perjanjian Lama, jika Teks Masoret digunakan sebagai dasar penerjemahan, tetap menggunakan Septuaginta — serta versi-versi lainnya — sebagai rujukan untuk merekonstruksi makna dari teks Ibrani yang tidak jelas, korup, atau membingungkan.[32] Sebagai contoh, Kata Pengantar Alkitab Yerusalem Baru menuliskan, "Hanya jika [Teks Masoret] ini menyajikan kesulitan-kesulitan tak teratasi tanpa memiliki perbaikan atau versi lainnya, seperti ..., LXX digunakan."[33] Kata Pengantar Penerjemah dari New International Version menuliskan: "Para penerjemah menelusuri versi-versi awal yang lebih penting (termasuk) Septuaginta ... Bacaan-bacaan dari versi-versi ini adakalanya diikuti jika MT tampak meragukan ..."[34]
"Yesus Nave" adalah nama lama dari Kitab Yosua. "2 kitab Esdras" dapat berarti 1 Esdras dan Ezra–Nehemia sebagaimana dalam Septuaginta, atau Ezra dan Nehemia sebagaimana dalam Vulgata. Menurut Albert Sundberg, angka 27 merupakan jumlah kitab yang tidak lazim dan tidak diketahui dalam daftar-daftar kitab Yahudi; dan R.T. Beckwith menegaskan bahwa daftar Bryennios "mencampur para Nabi dan Hagiografa secara bersama-sama tanpa pandang bulu, maka tentunya ini berasal dari penulis Kristen, bukan Yahudi, dan karena penggunaan Aramaik terus berlanjut selama berabad-abad dalam gereja Palestina, tidak ada alasan untuk membuat tarikh yang sedemikian awal (abad ke-1 atau ke-2 M)."[35]
Marsion
Marsion dari Sinope merupakan seorang pemimpin Kristen pertama dalam catatan sejarah (meski kemudian dipandang sesat) yang mengusulkan dan mengutarakan suatu kanon Kristen yang unik (ca 140 M).[37] Ia secara eksplisit menolak Perjanjian Lama dan mengajukan Perjanjian Baru versinya agar menjadi kanon Kristen.[11][38]Ireneus menuliskan tentang dirinya:
Marsion merusak Injil yang ditulis Lukas. ... Ia juga berusaha mempengaruhi murid-muridnya bahwa ia sendiri lebih berharga daripada para rasul yang telah mewariskan Injil kepada kita, ia tidak memberikan Injil kepada para pengikutnya tetapi hanya sebuah fragmennya saja. Dengan cara yang sama ia juga mengoyakkan Surat-surat Paulus. (Haer. 1.27.2)[38]
Dengan perspektif yang berbeda, Tertullian mengatakan:
Karena Marsion memisahkan Perjanjian Baru dari yang Lama, ia tentu bersama-sama dengan apa yang ia pisahkan, lantaran kekuasaan yang dimilikinyalah ia memisahkan apa yang sebelumnya menyatu. Karena telah dipersatukan sebelum dipisahkan, fakta adanya pemisahan selanjutnya membuktikan juga pemisahan orang tersebut yang memberlakukan pemisahan yang dilakukannya. (De praescriptione haereticorum 30)[38]
Everett Ferguson, dalam The Canon Debate bab 18, membuat catatan: "[Wolfram] Kinzim mengemukakan bahwa Marsion adalah orang yang biasa menyebut Alkitabnya testamentum [bahasa Latin untuk testament, perjanjian]".[38]:308 Dalam bab yang sama, Ferguson juga mengatakan bahwa Tertullian mengkritik Marsion mengenai penamaan kitab-kitab dalam daftarnya.[38] Menurut Catholic Encyclopedia, kaum Marsionit "kemungkinan adalah musuh paling berbahaya yang pernah dikenal Kekristenan".[39]
Daftar kitab-kitab Perjanjian Lama pertama yang dihimpun oleh suatu sumber Kekristenan dicatat oleh Eusebius, seorang sejarawan abad ke-4. Eusebius mendeskripsikan koleksi dari seorang uskup pada abad ke-2, Melito dari Sardis.[41] Daftarnya Melito, bertarikh ca 170, hasil dari perjalanan ke Tanah Suci (kemungkinan perpustakaan terkenal di Kaisarea Maritima) untuk menentukan baik urutan maupun penomoran kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani, tampaknya bukan untuk mengikuti urutan kitab-kitab yang disajikan dalam Septuaginta. Daftar Melito, sebagaimana dikuti oleh Eusebius, adalah:
Lima kitab Musa: Kejadian, Keluaran, Bilangan, Imamat, Ulangan; Yesus Nave, Hakim-hakim, Rut; empat kitab Raja-raja; dua kitab Tawarikh; Mazmur Daud, Amsal Salomo, juga Kebijaksanaan, Pengkhotbah, Kidung Agung, Ayub; kitab para Nabi: Yesaya, Yeremia; satu kitab kedua belas nabi; Daniel, Yehezkiel, Esdras.[41]
Yang kita sebut Kejadian, sejak awal mula orang Ibrani menyebutnya Bresith, yang berarti 'Pada mulanya'; Keluaran, Welesmoth, yaitu 'Inilah nama'; Imamat, Wikra, 'Dan Ia memanggil'; Bilangan, Ammesphekodeim; Ulangan, Eleaddebareim, 'Inilah perkataan-perkataan'; Yesus, putra Nave, Josoue ben Noun; Hakim-hakim dan Rut, dalam satu kitab, Saphateim; Raja-raja Pertama dan Kedua, satu kitab, Samouel, yaitu 'Dipanggil Tuhan'; Raja-raja Ketiga dan Keempat dalam satu kitab, Wammelch David, yaitu 'Kerajaan Daud'; Tawarikh Pertama dan Kedua dalam satu kitab, Dabreïamein, yaitu 'Catatan hari-hari'; Esdras Pertama dan Kedua dalam satu kitab, Ezra, yaitu 'Seorang asisten'; kitab Mazmur, Spharthelleim; Amsal Salomo, Meloth; Pengkhotbah, Koelth; Kidung Agung, Sir Hassirim; Yesaya, Jessia; Yeremia, dengan Ratapan dan suratnya dalam satu kitab, Jeremia; Daniel, Daniel; Yehezkiel, Jezekiel; Ayub, Job; Ester, Esther. Dan selain ini ada Makabe, yang diberi judul Sarbeth Sabanaiel.
Daftarnya Origen tidak termasuk Dua Belas Nabi Kecil, tampaknya bukan suatu kesengajaan; tetapi memasukkan Surat Nabi Yeremia (mungkin merujuk Barukh sebagai lampiran Yeremia) dan Makabe, yang mana terdapat perdebatan terkait apakah ia menganggap Makabe kanonik atau tidak.[44][45]
Pada tahun 331, Kaisar Konstantinus I menugaskan Eusebius untuk mengirimkan 50 Alkitab untuk Gereja Konstantinopel. Athanasius (Apol. Const. 4) mencatat para ahli kitab dari Aleksandria sedang mempersiapkan Alkitab-Alkitab untuk Kaisar Konstans pada sekitar tahun 340. Hanya sedikit hal lainnya yang diketahui, kendati ada banyak spekulasi seputar hal tersebut. Sebagai contoh, ada dugaan bahwa hal ini mungkin mendorong adanya pendaftaran kanon, dan bahwa Kodeks Vaticanus dan Kodeks Sinaiticus merupakan beberapa contoh dari Alkitab-Alkitab ini. Kodeks-kodeks tersebut nyaris merupakan versi lengkap dari Septuaginta; Vaticanus hanya kekurangan 1–3 Makabe dan Sinaiticus tidak mencakup 2–3 Makabe, 1 Esdras, Barukh, dan Surat Nabi Yeremia.[46]
Konsili Roma tahun 382 di bawah otoritas Paus Damasus I, di mana Decretum Gelasianum dianggap berkaitan dengan konsili ini, mengeluarkan sebuah kanon Alkitab yang identik dengan daftar yang dikeluarkan di Trente,[49][50] atau, jika tidak, daftar tersebut sekurang-kurangnya merupakan kompilasi dari abad ke-6[51] yang diklaim telah memperoleh imprimatur pada abad ke-4.[52] Ia mendorong sekretaris pribadinya, Hieronimus, untuk melakukan penerjemahan Alkitab yang kemudian dikenal sebagai Vulgata. Penugasan oleh Paus Damasus I untuk mengerjakan Alkitab edisi Vulgata berbahasa Latin memiliki peranan penting dalam penetapan kanon di Barat.[53] Daftar di bawah ini diduga disahkan oleh Paus Damasus I: (hanya ditampilkan bagian Perjanjian Lama)
Urut-urutan dari Perjanjian Lama diawali dengan: Kejadian, satu kitab; Keluaran, satu kitab; Imamat, satu kitab; Bilangan, satu kitab; Ulangan, satu kitab; Yosua Nave, satu kitab; Hakim-hakim, satu kitab; Rut, satu kitab; Raja-raja, empat kitab; Paralipomenon, dua kitab; Mazmur, satu kitab; Salomo, tiga kitab: Amsal, satu kitab; Pengkhotbah: satu kitab; Kidung Agung, satu kitab; juga Kebijaksanaan, satu kitab; Eklesiastikus, satu kitab. Demikian urutan kitab para nabi: ... [disebutkan 16 kitab para nabi]. Demikian urutan kitab sejarah: Ayub, satu kitab; Tobit, satu kitab; Esdras, dua kitab; Ester, satu kitab; Yudit, satu kitab; Makabe, dua kitab.[54][55]
Kedua kitab Esdras merujuk pada Kitab Ezra dan Kitab Nehemia sebagaimana adanya dalam satu kitab (‘Ezrā) di Alkitab Ibrani; Hieronimus, dalam Kata Pengantar Kitab Samuel dan Raja-raja, menjelaskan bahwa "untuk kelompok ketiga dalam Hagiografa, yang mana kitab pertama dimulai dengan Ayub, ... yang kedelapan, Ezra, yang mana juga dibagi menjadi dua kitab di kalangan Yunani dan Latin; yang kesembilan adalah Ester."[56]
Dalam prolog-prolog Vulgata, Hieronimus memberikan argumentasi tentang prinsip veritas Hebraica, yang berarti kebenaran dari teks Ibrani atas terjemahan Latin Kuno dan Septuaginta. Perjanjian Lama Vulgata mencakup kitab-kitab di luar Alkitab Ibrani, diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Aramaik, atau berasal dari Latin Kuno. Kata Pengantar Kitab Samuel dan Raja-raja memuat pernyataan berikut yang umumnya disebut Helmeted Preface (Kata Pengantar Berketopong):[56]
Kata pengantar untuk Kitab Suci ini dapat berfungsi sebagai suatu pendahuluan "berketopong" atas semua kitab yang kita alihkan dari bahasa Ibrani ke dalam Latin, sehingga kita dapat yakin bahwa apa yang tidak ditemukan dalam daftar kita harus ditempatkan di antara tulisan-tulisan Apokrifa. Karenanya, Kebijaksanaan, yang umumnya menyandang nama Salomo, dan kitab Yesus, Putra Sirakh, dan Yudit, dan Tobias, dan Gembala tidak termasuk dalam kanon. Kitab pertama Makabe yang saya temukan berbahasa Ibrani, yang kedua berbahasa Yunani, sebagaimana dapat dibuktikan dari gayanya yang demikian.
Atas permintaan dua orang uskup,[57] ia membuat penerjemahan Tobit dan Yudit dari teks-teks Ibrani,[58] yang mana ia jelaskan dalam prolognya apa yang ia anggap sebagai apokrifa. Tetapi dalam prolog kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, ia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai kitab suci oleh Konsili Nicea I.[59] Dalam jawabannya kepada Rufinus, Hieronimus menegaskan bahwa ia selaras dengan pilihan Gereja perihal versi mana dari bagian-bagian deuterokanonika Daniel yang digunakan, yang mana kaum Yahudi pada masa itu tidak menyertakannya:
Dosa apakah yang telah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun saat aku mengulangi apa yang dikatakan orang-orang Yahudi tentang Kisah Susana dan Lagu Pujian Ketika Pemuda, serta kisah Dewa Bel dan Naga Babel, yang mana tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani, siapa yang membuat ini menjadi suatu dakwaan terhadapku sesungguhnya membuktikan dirinya sendiri adalah seorang bodoh dan pemfitnah. Karena aku bukan menjelaskan apa yang kupikirkan, tetapi apa yang biasa mereka katakan untuk menentang kita. (Terhadap Rufinus, II:33, 402 Masehi)[60]
Michael Barber menegaskan bahwa, meskipun Hieronimus pernah curiga terhadap "apokifa" tersebut, ia kemudian memandangnya sebagai Kitab Suci. Barber berpendapat bahwa hal ini jelas terlihat dari berbagai surat yang ditulis Hieronimus. Sebagai contoh, ia mengutip surat Hieronimus kepada Eustochium, di mana Hieronimus mengutip Sirakh 13:2.[18] Di bagian lainnya Hieronimus juga merujuk Barukh, Kisah Susana, dan Kebijaksanaan sebagai kitab suci.[61][62][63]
Sinode Hippo (tahun 393), yang kemudian disusul dengan Konsili Kartago (tahun 397 dan 419), mungkin merupakan konsili pertama yang secara eksplisit menerima kanon yang mencakup kitab-kitab yang tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani;[64] konsili-konsili tersebut berada di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang menganggap seolah-olah kanon telah ditutup sejak saat itu.[65][66][67]
Kanon xxxvi dari Sinode Hippo tahun 393 mencatat kitab-kitab suci yang dianggap kanonik; kitab-kitab Perjanjian Lama yang termasuk di dalamnya yaitu:[68]
Kejadian; Keluaran; Imamat; Bilangan; Ulangan; Yosua Putra Nun; Hakim-hakim; Rut; Raja-raja, iv. kitab; Tawarikh, ii. kitab; Ayub; Mazmur; Lima Kitab Salomo; Dua Belas Kitab Para Nabi; Yesaya; Yeremia; Yehezkiel; Daniel; Tobit; Yudit; Ester; Ezra, ii. books; Makabe, ii. kitab.
Pada tanggal 28 Agustus 397, Konsili Kartago mengkonfirmasi kanon yang dikeluarkan di Hippo; pengulangan bagian Perjanjian Lama tersebut yaitu:[69]
Mengenai kedua kitab Ezra/Esdras, Agustinus dari Hippo menjelaskan hubungan antara kedua kitab tersebut dan pemisahannya dengan Kitab Tawarikh (beberapa bab termasuk dalam 1 Esdras di Septuaginta): "... dan kedua kitab Ezra, yang mana pada akhirnya terlihat lebih seperti suatu sekuel sejarah umum yang berkelanjutan, yang mengakhiri Kitab Raja-raja dan Tawarikh."[70] Kelima kitab Salomo mengacu pada Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, dan Sirakh (Eklesiastikus).[71]
Menurut Catholic Encyclopedia, kanon dari konsili-konsili tersebut sesuai dengan kanon Katolik Roma saat ini.[72]Philip Schaff mengatakan bahwa "Konsili Hippo pada tahun 393, dan Konsili Kartago yang ketiga (yang keenam menurut perhitungan lain) pada tahun 397, di bawah pengaruh Agustinus yang mana menghadiri keduanya, menetapkan kanon Kitab Suci Katolik, termasuk Apokrifa Perjanjian Lama, ... Bagaimanapun keputusan ini tunduk pada ratifikasi gereja seberang lautan (Roma); dan persetujuan dari Tahta Roma yang diterimanya pada masa Innosensius I dan Gelasius I (414 M) mengulangi daftar kitab-kitab biblika yang sama. Kanon ini tetap tak terganggu sampai abad ke-16, dan disetujui oleh Konsili Trente pada sesi keempat."[73]
Kanon n. 85 dari Kanon Para Rasul menyajikan suatu daftar kitab-kitab kanonik,[77] termasuk 46 kitab dari kanon Perjanjian Lama yang pada dasarnya sesuai dengan yang terdapat dalam Septuaginta. Bagian Perjanjian Lama dari Kanon n. 85 dinyatakan sebagai berikut:[78]
Dari Perjanjian Lama: lima kitab Musa — Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan; satu kitab Yosua putra Nun, satu kitab Hakim-hakim, satu kitab Rut, empat kitab Raja-raja, dua kitab Tawarikh, dua kitab Ezra, satu kitab Ester, satu kitab Yudit, tiga kitab Makabe, satu kitab Ayub, seratus lima puluh mazmur; tiga kitab Salomo —Amsal, Pengkhotbah, dan Kidung Agung, enam belas kitab nabi-nabi. Dan selain ini, perhatikanlah agar kaum mudamu mempelajari Kebijaksanaan dari Sirakh yang sangat terpelajar itu.
Karl Josef von Hefele berpendapat bahwa "Ini mungkin merupakan kanon yang paling kuno di dalam keseluruhan koleksi";[78]:n.3826 bahkan ia dan William Beveridge meyakini bahwa tulisan-tulisan dari Kanon Para Rasul bertarikh akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3, sedangkan kalangan lainnya sepakat bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak mungkin disusun sebelum Sinode Antiokhia tahun 341 atau penghujung akhir abad ke-4.[76][79]
Para reformator memandang Apokrifa berbeda dengan isi yang lainnya dari Kitab Suci. Gereja Katolik Roma menggunakannya untuk mendukung doktrin purgatorium, doa dan Misa bagi orang yang telah meninggal dunia (2 Makabe 12:43–45), serta manfaat perbuatan-perbuatan baik dalam memperoleh keselamatan (Tobit 12:9, Sirakh 7:33), yang kemudian kesemuanya itu oleh umat Protestan hingga saat ini dianggap sangat bertentangan dengan bagian-bagian lainnya dalam Alkitab.
Luther tidak sepenuhnya mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dari Perjanjian Lama Alkitab terjemahannya, ia menempatkan kitab-kitab tersebut dalam "Apokrifa, yakni kitab-kitab yang tidak dianggap setara dengan Kitab Suci, namun berguna dan baik untuk dibaca".[80] Ia juga melakukan banyak hal lain yang berhubungan dengan kanon. Luther berkehendak untuk memindahkan Kitab Ester dari Kanon ke dalam Apokrifa karena tanpa bagian-bagian deuterokanonikanya kitab tersebut tidak pernah menyebutkan Tuhan, namun tidak jadi dilakukannya. Ia mengatakan: "Apakah kitab itu membawa Kristus? Ya, karena bercerita tentang kelangsungan hidup orang-orang dari siapa Kristus datang."[81]
Sebagai akibat dari apa yang dilakukan Luther, antara umat Katolik dan Protestan tetap menggunakan kanon yang berbeda, yang mana terdapat perbedaan sehubungan dengan Perjanjian Lama dan dalam konsep Antilegomena dari Perjanjian Baru.
Ada beberapa bukti bahwa keputusan awal untuk mengeluarkan kitab-kitab ini seluruhnya dari Alkitab dibuat oleh kaum awam Protestan bukannya kaum pendeta. Alkitab-Alkitab yang dihasilkan tidak lama setelah Reformasi Protestan memuat daftar isi yang memuat keseluruhan kanon Katolik Roma, tetapi sebenarnya tidak memuat kitab-kitab yang diperdebatkan tersebut, sehingga beberapa sejarawan menganggap bahwa para pekerja di percetakan membuangnya atas inisiatif mereka sendiri. Namun Alkitab-Alkitab Anglikan dan Lutheran pada umumnya masih memuat kitab-kitab ini sampai dengan abad ke-20, sedangkan Alkitab Calvinis tidak. Beberapa alasan yang diajukan untuk mengeluarkan kitab-kitab ini dari kanon antara lain adalah adanya dukungan untuk doktrin-doktrin Katolik seperti purgatorium dan doa untuk orang yang telah meninggal dalam Kitab 2 Makabe. Luther sendiri mengatakan bahwa ia mengikuti ajaran Hieronimus mengenai veritas Hebraica.
Konsili Trente pada tanggal 8 April1546 menyetujui pemberlakuan Kanon Alkitab Katolik Roma sebagaimana adanya saat ini, yang memuat Kitab-kitab Deuterokanonika, sebagai sebuah tulisan keimanan (isi kanon itu sendiri telah ditegaskan kembali secara aklamasi), dan keputusan ini dikonfirmasi dengan anatema melalui pemungutan suara (24 setuju, 15 tidak, 16 abstain).[82] Kanon Trente dikatakan berisi daftar yang sama seperti yang dihasilkan dalam Konsili Florence (Sesi 11, tanggal 4 Februari 1442),[83]Konsili Kartago tahun 397-419,[73] dan mungkin Konsili Roma tahun 382.[49][50] Daftar ini juga ditetapkan kanonisitasnya dalam pengakuan iman yang diajukan untuk Gereja Ortodoks Suriah.[butuh rujukan]
Saat itu (pada Konsili Florence) daftar tersebut tidak dianggap mengikat bagi Gereja Katolik, dan karena tuntutan Martin Luther, Gereja Katolik mengkaji ulang kanon tersebut pada Konsili Trente, yang mana kemudian menegaskan kembali kanon dari Konsili Florence dan menambahkan klausul anatema terhadap segala upaya untuk mengubah isi kanon tersebut. Kitab-kitab Perjanjian Lama yang dahulu diperdebatkan diberi istilah deuterokanonika, bukan menandakan tingkatan pengilhaman yang lebih rendah tetapi karena persetujuan akhirnya belakangan. Di luar kitab-kitab ini, beberapa edisi Vulgata Latin memuat Mazmur 151, Doa Manasye, 1 Esdras (disebut 3 Esdras), 2 Esdras (disebut 4 Esdras), dan Surat kepada Jemaat di Laodikia dalam sebuah lampiran "Apogryphi".
Pada tanggal 2 Juni 1927, Paus Pius XI memutuskan bahwa Comma Johanneum dalam Perjanjian Baru menjadi terbuka untuk diperdebatkan; pada tanggal 30 September 1943, Paus Pius XII mengeluarkan ensiklikDivino afflante Spiritu yang menegaskan bahwa penerjemahan Alkitab Katolik dalam bahasa sehari-hari berdasarkan teks Ibrani, Yunani, dan Aramaik diizinkan kembali sejak pelarangannya dalam dekret Konsili Trente.[84]
Gereja Inggris memisahkan diri dari Roma pada tahun 1534, dan menerbitkan 39 Artikel mereka dalam bahasa Latin pada tahun 1563 serta bahasa Inggris Modern Awal pada tahun 1571.[85] Artikel 6 dari revisi Amerika tahun 1801 diberi judul: "Tentang Kecukupan Kitab Suci demi Keselamatan":
... Dalam nama Kitab Suci, kita memahami Kitab-kitab Kanonik dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang mana otoritasnya tidak pernah diragukan dalam Gereja. Nama dan Jumlah Kitab-kitab Kanonik: Kejadian; Keluaran; Imamat; Bilangan; Ulangan; Yosua; Hakim-hakim; Rut; Kitab I Samuel; Kitab II Samuel; Kitab I Raja-raja; Kitab II Raja-raja; Kitab I Tawarikh; Kitab II Tawarikh; Kitab I Esdras; Kitab II Esdras; Kitab Ester; Kitab Ayub; Mazmur; Amsal; Pengkhotbah, atau Pengajar; Cantica, atau Kidung Agung; Empat Nabi Besar; Dua Belas Nabi Kecil. Dan Kitab-kitab lainnya (sebagaimana disampaikan Heirome [bahasa Inggris Lama dari Hieronimus]), Gereja hanya membacanya untuk teladan hidup dan pengajaran tata krama; tetapi tidak digunakan untuk menetapkan doktrin apa pun; seperti berikut ini: Kitab III Esdras; Kitab IV Esdras; Kitab Tobias; Kitab Yudit; Selebihnya dari Kitab Ester†; Kitab Kebijaksanaan; Yesus bin Sirakh; Nabi Barukh†; Lagu Pujian Ketiga Pemuda†; Kisah Susana; Bel dan Naga†; Doa Manasye†; Kitab I Makabe; Kitab II Makabe. Semua Kitab Perjanjian Baru, sebagaimana kitab-kitab tersebut diterima secara umum, kita terima dan memandangnya Kanonik. [kitab-kitab yang diberi tanda † merupakan penambahan pada tahun 1571.]
Perang Saudara Inggris berlangsung mulai tahun 1642 sampai tahun 1649. Pada masa tersebut, Parlemen Panjang pada tahun 1644 memutuskan bahwa hanya Kanon Ibrani yang akan dibacakan dalam Gereja Inggris, dan pada tahun 1647 Pengakuan Iman Westminster menetapkan 39 kitab PL dan 27 kitab PB, sementara yang lainnya yang biasa diberi label "Apokrifa" tidak diikutsertakan.[87] Dekret tersebut pada masa kini merupakan kekhasan Protestan, suatu konsensus dari gereja-gereja Protestan yang tidak terbatas pada Gereja Skotlandia, Presbiterian, dan Calvinis, namun juga Baptis dan Anabaptis.[88]
Pemulihan Monarki kepada Charles II dari Inggris (1660–1685) menyebabkan Gereja Inggris sekali lagi didasarkan pada 39 Artikel, sebagaimana tercetak dalam Buku Doa Umum (1662), yang mana secara eksplisit tidak menyertakan Apokrifa tersebut dalam tulisan-tulisan yang terilhami karena dianggap tidak cocok untuk pembentukan doktrin, namun mengakui nilainya untuk pendidikan sehingga jemaat diperkenankan untuk membaca dan mempelajarinya. Menurut The Apocrypha, Bridge of the Testaments:
Di sisi lain, Komuni Anglikan dengan tegas menyatakan bahwa Apokrifa tersebut adalah bagian dari Alkitab dan harus dibaca dengan hormat oleh jemaat. Dua himne yang digunakan pada ofisi Doa Pagi dalam Buku Doa Amerika, Benedictus es dan Benedicite, diambil dari Apokrifa. Salah satu kalimat persembahan saat Komuni Suci diambil dari sebuah kitab apokrif (Tobit 4:8-9). Berbagai pelajaran dari Apokrifa ditetapkan secara teratur untuk dibacakan dalam layanan-layanan khusus, Minggu, dan harian pada Doa Pagi dan Doa Sore. Secara keseluruhan ada 111 pelajaran seperti demikian dalam Leksionari Buku Doa Amerika revisi terbaru [Kitab-kitab yang digunakan adalah: II Esdras, Tobit, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, Ketiga Pemuda, dan I Makabe]. Posisi Gereja tersebut terangkum paling baik dalam kata-kata pada Artikel Enam dari 39 Artikel: "Dalam nama Kitab Suci, kita memahami Kitab-kitab Kanonik dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang mana otoritasnya tidak pernah diragukan dalam Gereja. ... Dan Kitab-kitab lainnya (sebagaimana disampaikan Heirome [Hieronimus]), Gereja hanya membacanya untuk teladan hidup dan pengajaran tata krama; tetapi tidak digunakan untuk menetapkan doktrin apa pun; ..."[89]
secara spesifik, "Kebijaksanaan Salomo", "Yudit", "Tobit", "Sejarah Naga" [Dewa Bel dan Naga Babel], "Sejarah Susana", "Makabe", dan "Kebijaksanaan Sirakh". Karena kita menilai kitab-kitab ini juga bersama dengan kitab asli lainnya dari Kitab Suci yang Ilahi sebagai bagian yang asli dari Kitab Suci. Karena tradisi kuno, atau tepatnya Gereja Katolik, yang mana telah disampaikan kepada kita sebagai yang asli dari Injil Sakral dan kitab-kitab lainnya dari Kitab Suci, tidak diragukan lagi telah memberikan kitab-kitab ini juga sebagai bagian dari Kitab Suci, dan penyangkalan atas kitab-kitab ini merupakan penolakan atas kitab yang lainnya. Dan apabila, mungkin, kitab-kitab ini tampaknya tidak selalu mendapat pertimbangan pada tingkat yang sama seperti kitab lainnya, namun tetap saja kitab-kitab ini juga telah terbilang dan diperhitungan dalam keseluruhan Kitab Suci, baik oleh Sinode-sinode maupun kebanyakan teolog kuno dan terkemuka dari Gereja Katolik. Kesemuanya ini juga kita nilai sebagai Kitab-kitab Kanonik, dan mengakuinya sebagai Kitab Suci.[90]
Tidak semua kitab dari Perjanjian Lama tercakup dalam Prophetologion, yakni leksionari Perjanjian Lama yang resmi:[91] "Karena satu-satunya pengenalan yang didapat kebanyakan umat Kristen Timur dari Perjanjian Lama adalah dari bacaan-bacaan selama ibadat, Prophetologion dapat disebut sebagai Perjanjian Lama Gereja Bisantin."[92]
^(Inggris) Philip R. Davies in The Canon Debate, page 50: "With many other scholars, I conclude that the fixing of a canonical list was almost certainly the achievement of the Hasmonean dynasty."
^(Inggris) McDonald & Sanders, The Canon Debate, 2002, page 5, cited are Neusner's Judaism and Christianity in the Age of Constantine, pages 128–145, and Midrash in Context: Exegesis in Formative Judaism, pages 1–22.
^(Inggris) Grant, Robert M. (1948). The Bible in the Church. New York: The Macmillan Company. hlm. 43 ff.
^(Inggris) Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, vol. VI, St. Athanasius, Letter 39.7, (Grand Rapids: Eerdmans, 1953), p. 552.
^"Terjemahan ini, yang kadang tidak mengikuti penggunaan lazim bahasa Ibrani, jelas dibuat dari suatu naskah sumber yang berbeda jauh di sejumlah bagian dengan naskah yang menjadi sumber Teks Masoret dari golongan Masorah (..) Namun, dua hal membuat Septuaginta lambat laun tidak disukai oleh orang Yahudi. Perbedaannya dengan naskah yang diterima (kemudian disebut Teks Masoret) terlalu nyata; dan karenanya tidak dapat menjadi dasar diskusi teologi atau tafsiran homiletik (khotbah). Kesangsian ini diperkuat dengan fakta bahwa terjemahan ini diterima sebagai Tulisan Suci oleh kepercayaan baru yaitu Kekristenan (..) Sejalan dengan waktu terjemahan ini menjadi kanon (diakui resmi sebagai) Alkitab Yunani (..) Terjamahan ini menjadi bagian dari Alkitab di Gereja Kristen." (Inggris)"Bible Translations – The Septuagint". JewishEncyclopedia.com. Diakses tanggal 10 February 2012.
^ ab(Inggris) Edward Earle Ellis (1991), The Old Testament in Early Christianity, Mohr Siebeck, hlm. 22, N.70, ISBN9783161456602
^(Inggris)Bruce Metzger's The canon of the New Testament, 1997, Oxford University Press, page 98."
^ abcde(Inggris) Everett Ferguson (2001), "18. Factors Leading to the Selection and Closure of the New Testament Canon: A Survey of Some Recent Studies", dalam Lee Martin McDonald, James A. Sanders, The Canon Debate, Baker Academic, ISBN9781441241634
^(Inggris) Arendzen, John (1910), "Marcionites", The Catholic Encyclopedia, 9, New York: Robert Appleton Company
^The Canon Debate, pp. 414–15, for the entire paragraph
^ Herbermann, Charles, ed. (1913). "Book of Judith". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Canonicity: "..."the Synod of Nicaea is said to have accounted it as Sacred Scripture" (Praef. in Lib.). It is true that no such declaration is to be found in the Canons of Nicaea, and it is uncertain whether St. Jerome is referring to the use made of the book in the discussions of the council, or whether he was misled by some spurious canons attributed to that council".
^ ab(Inggris) Lindberg, Carter (2006). A Brief History of Christianity. Blackwell Publishing. hlm. 15. ISBN1-4051-1078-3.
^ ab(Inggris) F.L. Cross, E.A. Livingstone, ed. (1983), The Oxford Dictionary of the Christian Church (edisi ke-2nd), Oxford University Press, hlm. 232
^(Inggris) McDonald & Sanders, editors of The Canon Debate, 2002, chapter 5: The Septuagint: The Bible of Hellenistic Judaism by Albert C. Sundberg Jr., page 88: "Jerome had Hebrew texts of Sirach, Tobit, Judith (in Aramaic, or "Chaldee"), 1 Maccabees, and Jubilees, presumably from Jews, translating them into Latin."
^(Inggris) Jerome, "Apology Against Rufinus (Book II)", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, 3 (edisi ke-1892), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent)
^Hieronimus, kepada Paulinus, Surat 58 (395 M), dalam NPNF2, VI:119.: "Saudaraku terkasih, jangan menilai diriku dengan usiaku. Rambut beruban bukanlah pengertian (kebijaksanaan); pengertianlah yang sama baiknya seperti uban. Setidaknya hal itu yang dikatakan Salomo: "pengertian orang adalah uban.’ [Kebijaksanaan 4:9]" Memang ketika Musa memilih tujuh puluh tua-tua, ia diperintahkan untuk mengambil dari antara mereka yang adalah para tetua dan memilih mereka bukan karena alasan usia tetapi karena kebijaksanaan mereka [Bilangan 11:16]. Dan, sebagai seorang pemuda, Daniel menghakimi orang-orang tua dan dalam bunga usia muda mengutuk ketiadaan tarak dalam usia lanjut [Daniel 13:55-59, atau Kisah Susana dan 55–59]"
^Hieronimus, kepada Oceanus, Surat 77:4 (399 M), dalam NPNF2, VI:159.:"Aku akan mengutip kata-kata pemazmur: 'korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur,' [Mazmur 51:19] dan dari Yehezkiel 'Aku lebih suka pertobatan seorang pendosa daripada kematiannya,' [Yehezkiel 18:23] dan dari Barukh, 'Bangkitlah, hai Yerusalem,’ [Barukh 5:5] dan banyak pernyataan lainnya yang dihasilkan oleh sangkakala para Nabi."
^Hieronimus, Surat 51, 6, 7, NPNF2, VI:87-8: "Sebab dalam Kitab Kebijaksanaan, yang mana bertuliskan namanya, Salomo mengatakan: "Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar hakikat-Nya sendiri." [Kebijaksanaan 2:23]...Sebagai ganti tiga bukti dari Kitab Suci yang kamu katakan akan memuaskanmu jika aku bisa memberikannya, lihatlah aku telah memberikan tujuh kepadamu."
^(Inggris) McDonald & Sanders, editors of The Canon Debate, 2002, chapter 5: The Septuagint: The Bible of Hellenistic Judaism by Albert C. Sundberg Jr., page 72, Appendix D-2, note 19.
^(Inggris) Everett Ferguson, "Factors leading to the Selection and Closure of the New Testament Canon," in The Canon Debate. eds. L. M. McDonald & J. A. Sanders (Hendrickson, 2002) p. 320.
^(Inggris) F. F. Bruce (1988), The Canon of Scripture. Intervarsity Press, p. 230.
^(Inggris) Metzger, Bruce M. (March 13, 1997). The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Oxford University Press. hlm. 246. ISBN0-19-826954-4. Finally on 8 April 1546, by a vote of 24 to 15, with 16 abstensions, the Council issued a decree (De Canonicis Scripturis) in which, for the first time in the history of the Church, the question of the contents of the Bible was made an absolute article of faith and confirmed by an anathema.
^(Inggris) Pope Pius XII. "Divino afflante Spiritu". hlm. #22. Diakses tanggal 13 October 2013. Nor is it forbidden by the decree of the Council of Trent to make translations into the vulgar tongue, even directly from the original texts themselves, for the use and benefit of the faithful and for the better understanding of the divine word, as We know to have been already done in a laudable manner in many countries with the approval of the Ecclesiastical authority