Kitab ini menceritakan kisah hidup keluarga Tobit, terutama Tobit sendiri, anaknya Tobia, dan menantunya Sara. Kisah tersebut berlatar pada saat Kerajaan Yehuda sedang dijajah oleh Kekaisaran Asyur, dan keluarga Tobit diasingkan ke Niniwe, ibu kota Asyur saat itu.
Nama
Nama kitab ini merujuk pada tokoh Tobit bin Tobiel,[a] salah satu tokoh penting dalam kitab ini. Nama "Tobit" sendiri diserap dari nama dalam bahasa Yunani Kuno: Τωβίτ (Tōbít), sementara kata itu sendiri diserap dari bahasa Ibrani: טוֹבִּי (Tobi), yang merupakan gabungan dari kata טוֹב (tov, har. "baik, kebaikan") dan bentuk terikat ־ִי (-i, har. "-ku"). Oleh karena itu, kata tersebut secara harfiah berarti "kebaikanku".
Sementara itu, nama "Tobias" merujuk pada tokoh Tobia, anak Tobit. Nama "Tobias" diserap dari bahasa Yunani Kuno: Τωβίας (Tōbias), yang juga diserap dari bahasa Ibrani: טוֹבִיָּה (Tobiyyah), yang menjadi sumber serapan dari nama "Tobia". Nama tersebut diperkirakan merupakan gabungan dari kata טוֹב (tov, har. "baik, kebaikan"), bentuk terikat ־ִי (-i, har. "-ku"), dan nama יה (Yah). Oleh karena itu, kata tersebut kemungkinan berarti "Allah itu kebaikanku" atau "Allah itu baik".
Isi
Kitab ini mengisahkan cerita tentang seorang Yahudi yang saleh dari suku Naftali yang bernama Tobit yang hidup di Niniwe setelah pembuangan suku Israel utara ke Asyur pada tahun 721 SM di bawah raja Salmaneser V (Dua pasal pertama dan setengah pasal berikutnya ditulis dengan sudut pandang orang pertama.) Ia khususnya diakui karena berusaha keras dalam menguburkan orang-orang Yahudi yang dibunuh oleh Sanherib. Oleh karena perbuatannya itu, raja menyita semua hartanya dan mengirim dia ke pembuangan. Setelah kematian Sanherib, ia diizinkan kembali ke Niniwe, tetapi ia tetap menguburkan seorang mati karena terbunuh di jalan. Malam itu, ia tidur di tempat terbuka dan menjadi buta oleh karena kotoran burung yang jatuh mengenai kedua matanya. Hal ini mengganggu hubungan perkawinannya, dan karena itu akhirnya ia memohon agar nyawanya dicabut.
Sementara itu, di Media, sebuah kerajaan yang jauh dari Niniwe, seorang perempuan muda yang bernama Sara berdoa memohon kematian karena ia kehilangan tujuh orang suaminya yang diambil oleh setan Asmodeus. Asmodeus membunuh setiap laki-laki yang dikawininya pada malam pernikahan Sara, sebelum ia sempat menikmati hubungan perkawinan itu. Allah mengutus malaikat bernama Rafael, yang menyamar sebagai seorang manusia, untuk menyembuhkan Tobit dan membebaskan Sara dari hantu itu.
Kisah tersebut kemudian berlanjut pada tokoh putra Tobit yang bernama Tobia, yang sedang diutus oleh ayahnya yang buta untuk mengumpulkan sejumlah uang yang pernah disimpannya beberapa waktu sebelumnya di Media. Rafael menampilkan diri sebagai sanak keluarga Tobit, Azarya, dan menawarkan bantuan serta melindungi Tobia dalam perjalanannya. Di bawah bimbingan Rafael, Tobia pergi ke Media. Sepanjang perjalanan, ia diserang oleh seekor ikan raksasa yang jantung, hati, dan empedunya diangkat untuk dijadikan obat.
Setelah tiba di Media, Rafael menceritakan kepada Tobia tentang Sara yang cantik, yang berhak dinikahi Tobia karena mereka masih bertalian keluarga. Rafael menyuruh anak muda itu membakar hati dan jantung ikan itu untuk mengusir hantu itu ke Mesir Hulu, sementara Rafael mengikutinya dan mengikatnya. Sementara itu, ayah Sara telah menggali liang kubur untuk diam-diam mengubur Tobia (yang diasumsikannya akan mati). Ia terkejut karena ternyata menantunya itu tetap hidup dan baik-baik saja, lalu ia menyuruh diadakan pesta pernikahan yang dua kali lipat besarnya (dan diam-diam menutup kembali lubang kubur itu). Karena ia tidak dapat berangkat karena pesta itu, Tobia mengutus Rafael untuk mengambil uang ayahnya.
Setelah pesta, Tobia dan Sara kembali ke Niniwe. Di sana Rafael menyuruh orang muda ini untuk menggunakan empedu ikan itu untuk menyembuhkan mata ayahnya dari buta. Rafael lalu mengungkapkan jati dirinya dan kembali ke surga. Tobit menyanyikan lagu pujian, dan menyuruh anaknya meninggalkan Niniwe sebelum Allah menghancurkannya sesuai dengan nubuat nabi Nahum. Setelah berdoa, Tobit meninggal karena usia lanjut. Setelah mengebumikan ayahnya, Tobia kembali ke Media dengan keluarganya. Di sana ia mendapat berita bahwa Niniwe telah hancur, tepat seperti yang diramalkan ayahnya.
Kitab ini diperkirakan merupakan karya fiksi anonim yang disisipi beberapa referensi sejarah, serta menggabungkan unsur-unsur doa, nasihat kehidupan, humor, dan petualangan dengan unsur-unsur yang diambil dari cerita rakyat, kisah kebijaksanaan, kisah perjalanan, romansa, dan komedi.[2][3]
Kitab ini aslinya ditulis dalam bahasa Aram, tetapi teks aslinya awalnya dianggap telah lenyap, sehingga Septuaginta, yaitu terjemahan Yunani dianggap sebagai teks standar dari kitab ini, sebelum akhirnya versi bahasa Aram dan Ibraninya ditemukan dalam kumpulan Naskah Laut Mati. Untuk Vulgata versi Hieronimus, kemungkinan sumbernya berasal sebuah teks bahasa Aram yang didapatkannya.
Pada umumnya diyakini bahwa kitab ini ditulis pada abad ke-2 SM, berdasarkan perhatian yang cermat terhadap rincian ritual dan penekanan pada beramal, tetapi kitab ini tidak mengandung nada mesianik. Tempat penulisannya tetap tidak diketahui.
Artikel VI dalam 39 ArtikelGereja Inggris mencantumkan kitab ini sebagai salah satu kitab "apokrifa".[5] Kalangan Protestan juga memandang Kitab Tobit sebagai kitab apokrifa karena tidak termasuk dalam Tanakh dan tidak dianggap kanonik oleh kalangan Yudaisme, dan sangat sering tidak mencantumkan kitab ini di dalam kanon Alkitab Protestan.
Sebelum penemuan fragmen-fragmen Kitab Tobit berbahasa Aram dan Ibrani pada tahun 1952, yakni di antara berbagai Naskah Laut Mati yang ditemukan di Gua IV di Qumran, para akademisi meyakini bahwa Kitab Tobit tidak termasuk dalam kanon Yahudi karena kepenulisannya belakangan, diperkirakan tahun 100 M.[4][6] Namun fragmen-fragmen Qumran tersebut, yang bertarikh antara 100 SM sampai 25 M, menunjukkan kesamaan dengan teks Yunani yang terdapat dalam tiga penyuntingan (recensio) berbeda dan membuktikan waktu penulisannya yang jauh lebih dari awal daripada yang diperkirakan sebelumnya.[4] Fragmen-fragmen ini membuktikan kepenulisannya tidak lebih dari abad ke-2 SM dan setidaknya sezaman dengan tarikh yang ditetapkan para akademisi modern atas kompilasi akhir Kitab Daniel yang berstatus kanonik.[7]
Akademisi-akademisi lainnya mendalilkan bahwa Kitab Tobit tidak disertakan dalam Kitab Suci Yahudi dengan alasan tidak sesuai dengan Halakha, karena Raguel—ayah dari mempelai wanita—yang menuliskan perjanjian perkawinan (lih. Tobit 7:14), bukannya dari mempelai pria sebagaimana disyaratkan oleh hukum kerabian Yahudi.[4]
Namun dapat dihipotesiskan bahwa beberapa akademisi rabinik Yahudi kuno memandang Kitab Tobit bernilai historis. Bereshith Rabba, suatu komentari aggadik tentang Kitab Kejadian yang disusun sekitar tahun 400–600 M, menyertakan sebuah potongan Kitab Tobit versi Aramaik.[8] Kitab Tobit termasuk dalam Septuaginta (interpretasi dan terjemahan Alkitab Ibrani dalam bahasa Yunani).[4] Pada masa yang lebih kontemporer, sejumlah kaum Yahudi di Israel telah berupaya untuk mengembalikan Kitab Tobit sebagai bagian dari kanon mereka.[9]
Pengajaran
Kitab ini sangat erat berkaitan dengan sastra hikmatYahudi. Hal ini paling jelas ditemukan dalam nasihat-nasihat Tobit kepada Tobia sebelum ia berangkat ke Media dalam Tobit 4. Nilai tentang doa, puasa, dan beramal secara khusus dipuji dalam nasihat ini.Gereja Katolik sering menggunakan bacaan dari bagian ini di dalam liturginya. Pujian yang dimuat kitab ini terkait kesucian dalam perkawinan menjelaskan mengapa kitab ini dibaca dalam misa pernikahan Katolik.
^R. Glenn Wooden, "Changing Perceptions of Daniel: Reading Chapters 4 and 5 of Daniel," in From Biblical Criticism to Biblical Faith, Brackney & Evans eds., p. 10 (Mercer Univ.Press 2007) ISBN 0-88146-052-4.
^Jared L. Olar, Introduction to the Apocrypha, Part Six: The Book of Tobit.
^Mark Bredin, Studies in the Book of Tobit: A Multidisciplinary Approach, p. 3 (T&T Clark 2006), ISBN 0-567-08229-6.