Katolik karena menganggap dirinya sebagai bagian dari gereja Yesus Kristus yang universal dalam kontinuitas tak terputus dengan gereja apostolik awal. Hal ini diungkapkan dalam penekanannya pada ajaran-ajaran para Bapa Gereja awal, sebagaimana telah diresmikan dalam Kredo Para Rasul, Nicea, dan Athanasius.[9]
Fase awal Reformasi Inggris menghasilkan banyak martir Katolik maupun martir Protestan radikal. Pada fase selanjutnya, Hukum Pidana digunakan untuk menghukum para penganut Katolik Roma dan Protestan nonkonformis. Pada abad ke-17, perselisihan politik dan agama mengakibatkan timbulnya faksi Puritan dan Presbisterian yang berkeinginan untuk mengendalikan gereja, tetapi ini berakhir dengan terjadinya Restorasi. Pengakuan kepausan atas kepemimpinan George III pada tahun 1766 menghasilkan toleransi keagamaan yang lebih baik.
Sejak Reformasi Inggris, Gereja Inggris telah menggunakan liturgi dalam bahasa Inggris. Gereja ini meliputi beberapa aliran doktrinal, tiga yang terutama dikenal sebagai Anglo-Katolik, Evangelikal, dan Gereja Luas. Ketegangan antara kaum progresif dan konservatif teologis tampak jelas dalam perdebatan mengenai penahbisan kaum wanita dan homoseksualitas. Gereja ini terdiri dari para anggota dan rohaniwan yang liberal maupun konservatif.[10]
Struktur tata kelola gereja berbasis pada keuskupan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang uskup. Di dalam setiap keuskupan terdapat paroki setempat. Sinode Umum Gereja Inggris berfungsi sebagai badan legislatif gereja ini dan terdiri dari para uskup, klerus lainnya, dan kaum awam. Rancangan undang-undang atau ketentuan hukum yang mereka hasilkan harus mendapat persetujuan dari kedua Dewan Parlemen Britania Raya.
Gereja Inggris menganggap dirinya sebagai bagian dari gereja katolik sekaligus gereja reformasi yang bersifat protestan. Reformasi dalam arti bahwa Gereja ini banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Reformasi Protestan, dan menolak kewibawaan Paus. Katolik dalam arti bahwa Gereja ini memandang dirinya sebagai bagian dari 'garis yang tidak terputus dari "Gereja universal" yang mula-mula didirikan oleh para murid Yesus serta dari abad pertengahan, dan bukan merupakan suatu 'bentukan yang baru'. Dalam praktiknya, Gereja Anglikan bersifat campuran. Beberapa jemaatnya beribadah lebih mirip dengan Gereja Katolik Roma dibandingkan dengan kebanyakan Gereja Protestan. Namun di pihak lain, berbagai bentuk ibadah yang digunakan di sejumlah Gereja Anglikan lainnya sulit dibedakan dari Gereja-gereja Injili yang muncul dari Gerakan Reformasi.
Gereja ini memegang banyak bentuk keyakinan teologis yang relatif konservatif, bentuk liturginya biasanya tradisional, dan organisasinya mencerminkan keyakinan akan pentingnya hierarkhi keuskupan yang historis dalam bentuk uskup agung, uskup, dan diosis.
Di mata banyak orang, Gereja Inggris terutama ditandai oleh sifatnya yang luas dan 'terbuka'. Selain kelompok atau faksi arus utamanya yang tradisional, Gereja ini juga mencakup faksi-faksi "gereja tinggi" dan "gereja rendah" yang masing-masing mempunyai ciri-cirinya sendiri.
Pada masa kini, praktik-praktik di Gereja ini merentang dari kaum Anglo-Katolik, yang menekankan liturgi dan sakramen, hingga bentuk-bentuk kebaktian yang lebih menekankan khotbah dan kurang ritualistik dari kaum Evangelikal, dan bahkan juga bentuk-bentuk kebaktian yang bersemangat dari kaum Karismatik. Namun "Gereja luas" ini menghadapi berbagai pertanyaan doktriner yang saling berbenturan, yang muncul karena perkembangan masyarakat modern, seperti misalnya konflik mengenai penahbisan perempuan sebagai pendeta (disetujui pada 1992 dan dimulai pada 1994), dan status para pendeta homoseksual yang tidak selibat (masih diperdebatkan sekarang, tetapi kebanyakan orang mengambil pandangan yang konservatif). Pada Juli 2005, perpecahan ini kembali muncul ketika Sinode Umum mengambil suara untuk "meluruskan" proses yang mengizinkan penahbisan perempuan sebagai uskup, dan menetapkan untuk mengadakan perdebatan tentang aturan-aturan yang spesifik pada Februari 2006.
Namun pada praktiknya, kepemimpinan administratif gereja berada di tangan Uskup Agung Canterbury. Komuni Anglikan sedunia yang terdiri atas gereja-gereja nasional atau regional yang independen mengakui Uskup Agung Canterbury sebagai semacam pemimpin 'simbolik'. Justin Welby menjadi Uskup Agung Canterbury menggantikan Rowan Williams sejak 2013.
Dewan legislatif di Gereja Inggris adalah Sinode Umum. Namun, keputusan legislatif yang fundamental masih harus disetujui oleh Parlemen Britania Raya. Gereja mempunyai cabang yudisialnya sendiri, yang dikenal sebagai pengadilan gerejawi, yang juga merupakan bagian dari sistem peradilan Britania, Namun, pengadilan ini secara umum sudah tidak berfungsi karena syarat-syarat untuk memberlakukan keputusan-keputusan gerejawi kebanyakan sudah dicabut satu abad yang lalu oleh keputusan Pengadilan Tinggi.
Pendeta memimpin upacara di diosis karena mereka memegang jabatan sebagai pendeta yang diberi kuasa, atau karena diberi izin oleh uskup ketika diangkat (mis. kurator), atau dengan izin saja.
Proses pengangkatan uskup diosis lebih rumit, dan ditangani oleh sebuah lembaga yang disebut Komisi Nominasi Kerajaan, yang menyerahkan nama-namanya kepada Perdana Menteri (yang bertindak atas nama Raja atau Ratu) untuk dipertimbangkan. Proses ini digambarkan dalam artikel Pengangkatan Uskup Gereja Inggris.
Sejarah Gereja Inggris dapat ditelusuri sejak misi Agustinus dari Canterbury pada tahun 597, dan menekankan kesinambungan dan identitasnya dengan Gereja Barat universal yang pertama. Gereja ini juga menetapkan sifatnya yang independen dan nasional pada masa pasca-Reformasi dari masa Tudor di Inggris.
Agama Kristen tiba di Britania pada abad pertama atau kedua (diduga melalui jalur perdagangan timah melalui Irlandia dan Spanyol), dan berdiri secara terpisah dari Gereja Katolik Roma, seperti halnya banyak komunitas Kristen pada masa itu. Menurut berbagai catatan, uskup-uskup Britania menghadiri Konsili Arles pada 314. Paus mengutus Augustinus dari Canterbury dari Roma pada abad ke-6 untuk menginjili orang-orang Anglo pada (597). Dengan bantuan orang-orang Kristen yang sudah tinggal di Kent, ia mendirikan gerejanya di Canterbury, ibu kota Kent, dan menjadi uskup agung pertama dari Canterbury.
Pada saat yang bersamaan, Gereja Keltik dari St.Columba terus menginjili Skotlandia. Gereja Keltik dari Britania Utara dalam pengertian tertentu mengakui 'wewenang' Roma pada Sinode Whitby pada 644. Selama beberapa abad berikutnya, sistem Roma yang diperkenalkan oleh Agustinus secara perlahan menyerap gereja-gereja Kristen Keltik yang sudah ada sebelumnya.
Selama hampir seribu tahun Inggris menjadi bagian dari Gereja Katolik Roma. Pada 1534 Gereja di Inggris memisahkan diri dari Roma, pada masa pemerintahan Raja Henry VIII. Di bawah anaknya, Edward VI, Gereja ini secara teologis menjadi lebih radikal, tetapi tak lama kemudian kemudian bergabung kembali dengan Gereja Roma pada masa pemerintahan Ratu Mary I pada 1555. Di bawah Elizabeth I dibentuklah sebuah Gereja yang mapan (artinya, takluk kepada dan merupakan bagian dari negara), yang agak bersifat protestan, Katolik, dan apostolik. Gereja ini mengakomodasi posisi-posisi teologis yang merentang luas, yang menjadi cirinya sejak saat itu.
Gereja-gereja terkait
Saudara Gereja Inggris, Gereja Irlandia, juga mengalami reformasi pada abad ke-16 atas permintaan penguasa-penguasa Irlandia yang berada di Inggris. Berbeda dengan di in Inggris, mayoritas penduduk nya tidak mengikuti reformasi ini, dan lebih suka untuk tetap berpegang pada ajaran Katolik Roma; tetapi Gereja Irlandia mempertahankan status Gereja negara yang resmi di Irlandia hingga 1871. Hingga saat ini, Gereja ini tetap ditata sebagai Gereja seluruh pulau Irlandia.
Di Skotlandia, Gereja Skotlandia diakui menurut hukum (Akta Gereja Skotlandia 1921) sebagai "Gereja nasional" (meskipun ia bukanlah "Gereja mapan" dalam pengertian yang sama dengan Gereja Inggris, karena mempunyai otonomi yang lebih besar dalam pemerintahannya). Gereja Skotlandia mempunyai sistem kepemimpinan presbyterian. Sebuah Gereja Anglikan yang lebih kecil juga hadir di Skotlandia, yang dikenal sebagai Gereja Episkopal Skotlandia, yang mempunyai komuni penuh dengan Gereja Inggris. Sejarahnya rumit dan membingungkan, melibatkan masa-masa promosi dan penganiayaan resmi pada suatu masa tertentu, karena Gereja ini terkait dengan Jacobitisme, sehingga ia harus beroperasi sub rosa (secara rahasia).
Ketika Gereja Episkopal di Amerika Serikat menjadi mandiri dari Gereja Inggris setelah Perang Kemerdekaan Amerika, pimpinan Gereja Inggris tidak yakin bahwa Gereja itu dapat secara sah menahbiskan uskup-uskup baru tanpa menuntut mereka mengucapkan sumpah kesetiaan yang baku kepada raja atau ratu Inggris. Akibatnya, para uskup dari Gereja Episkopal Skotlandia yang bukan Gereja negara itulah yang menahbiskan para uskup pertama Amerika, hingga peraturan yang baru memungkinkan Gereja Inggris mengendurkan kebijakannya.
Gereja di Wales, sebelumnya adalah bagian dari Gereja Inggris, berubah sehingga menjadi bukan Gereja negara pada 1920 dan pada saat yang sama menjadi anggota inedependen dari Komuni Anglikan.
Meskipun statusnya Gereja negara, Gereja Inggris tidak mendapatkan dukungan langsung pemerintah dari segi keuangan. Sumbangan adalah sumber pendapatannya yang terbesar, meskipun Gereja ini juga sangat mengandalkan pendapatan dari berbagai dana abadi historis. Pada 2005, pengeluaran Gereja Inggris diperkirakan mencapai sekitar £900 juta.
Secara historis, masing-masing paroki mencari dana dan menggunakan sebagian besar dana Gereja, artinya bahwa gaji rohaniwannya tergantung pada kekayaan parokinya, dan hak paroki untuk mengangkat pendeta ke paroki-paroki tertentu dapat menjadi karunia yang sangat berharga. Masing-masing diosis juga mempunyai aset yang cukup besar: Diosis Durham mempunyai kekayaan yang sangat besar dan kekuasaan dunia sehingga uskupnya digelari 'Uskup-Pangeran'. Namun sejak pertengahan abad ke-19, Gereja telah melakukan berbagai upaya untuk 'menyamakan' situasinya, dan para rohaniwan di masing-masing diosis kini menerima tunjangan standar yang dibayar dari dana diosis. Sementara itu, Gereja memindahkan sebagian besar dari aset-asetnya yang menghasilkan uang (yang pada masa lalu mencakup banyak sekali tanah, tetapi sekarang umumnya berupa saham dan surat-surat berharga) dari tangan masing-masing rohaniwan dan uskup ke dalam tangan sebuah lembaga yang disebut Komisioner Gereja, yang menggunakan dana-dana ini untuk membayar banyak sekali pengeluaran non-paroki, termasuk pensiun rohaniwan, dan biaya pemeliharaan katedral dan rumah uskup. Dana-danaDiarsipkan 2009-04-20 di Wayback Machine. ini jumlahnya sekitar £3,9 miliar, dan menghasilkan pendapatan sekitar £164 juta setiap tahunnya (pada tahun 2003), sekitar seperlima dari keseluruhan penghasilan Gereja.
Selain gedung-gedung gereja dan katedral, Gereja Inggris juga menguasai sejumlah bangunan yang terkait yang ada di samping gereja atau terkait kepadanya, termasuk sejumlah besar perumahan pendeta. Selain perumahan vikar dan rektor (pendeta kepala), perumahan ini mencakup juga sejumlah tempat tinggal (disebut 'istana') untuk masing-masing dari ke-114 uskup Gereja. Dalam beberapa kasus tertentu, nama ini tampaknya tepat. Gedung-gedung seperti Istana Lambeth, tempat tinggal Uskup Agung Canterbury di London dan Istana Lama di Canterbury benar-benar mirip istana, sementara Istana Auckland yang dihuni Uskup Durham, mempunyai 50 kamar, sebuah ruang pesta dan taman berukuran 120.000. Namun, banyak uskup yang merasa bahwa istana-istana lama itu tidak cocok dengan gaya hidup sekarang, dan beberapa 'istana' uskup hanya berupa rumah dengan empat kamar. Banyak diosis yang mempertahankan istana-istana besar kini menggunakan sebagian ruangannya sebagai kantor administrasi, sementara para uskup dan keluarga mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di dalam istana itu. Pada tahun-tahun belakangan sebagian diosis berhasil memanfaatkan ruangan yang berlebih dan kemewahan istana-istana mereka untuk mencari dana, dengan menjadikannya pusat-pusat konferensi. Ketiga istana uskup yang lebih mewah yang disebutkan di atas — Istana Lambeth, Istana Lama Canterbury dan Istana Auckland — berfungsi sebagai kantor untuk administrasi gereja, tempat-tempat konferensi, dan sampai batas tertentu tempat tinggal pribadi seorang uskup. Ukuran keluarga para uskup telah jauh mengecil dan anggaran mereka untuk menerima tamu dan memiliki staf hanya mengambil bagian yang kecil sekali dibandingkan dengan tingkat biaya yang dikeluarkan pada masa sebelum abad ke-20.
^(Inggris) John E. Booty, Stephen Sykes, Jonathan Knight (1998). Study of Anglicanism. London: Fortress Books. hlm. 477. ISBN0-281-05175-5.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
(Inggris) Garbett, Cyril, Abp. The Church of England Today. London: Hodder and Stoughton, 1953. 128 p.
(Inggris) Hardwick, Joseph. An Anglican British world: The Church of England and the expansion of the settler empire, c. 1790–1860 (Manchester UP, 2014).
(Inggris) Hodges, J. P. The Nature of the Lion: Elizabeth I and Our Anglican Heritage. London: Faith Press, 1962. 153 pp.
(Inggris) Kirby, James. Historians and the Church of England: Religion and Historical Scholarship, 1870–1920 (2016) online at DOI:10.1093/acprof:oso/9780198768159.001.0001
(Inggris) Lawson, Tom. God and War: The Church of England and Armed Conflict in the Twentieth Century (Routledge, 2016).
(Inggris) Maughan Steven S. Mighty England Do Good: Culture, Faith, Empire, and World in the Foreign Missions of the Church of England, 1850–1915 (2014)
(Inggris) Picton, Hervé. A Short History of the Church of England: From the Reformation to the Present Day. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing, 2015. 180 p.
(Inggris) Rowlands, John Henry Lewis. Church, State, and Society, 1827–1845: the Attitudes of John Keble, Richard Hurrell Froude, and John Henry Newman. (1989). xi, 262 p. ISBN 1-85093-132-1
(Inggris) Tapsell, Grant. The later Stuart Church, 1660–1714 (2012).