Paus Pius XII


Pius XII
Awal masa kepausan
2 Maret 1939
Akhir masa kepausan
9 Oktober 1958
PendahuluPius XI
PenerusYohanes XXIII
Imamat
Tahbisan imam
2 April 1899
oleh Francesco di Paola Cassetta
Tahbisan uskup
13 Mei 1917
oleh Benediktus XV
Pelantikan kardinal
16 Desember 1929
oleh Pius XI
Informasi pribadi
Nama lahirEugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli
Lahir2 Maret 1876
Roma, Italia
Meninggal9 Oktober 1958(1958-10-09) (umur 82)
Castel Gandolfo, Italia
Paus lainnya yang bernama Pius

Paus Pius XII (Latin: Pius PP. XII), nama lahir Eugenio Maria Giuseppe Giovanni Pacelli (2 Maret 1876 – 9 Oktober 1958) adalah seorang Paus Gereja Katolik Roma yang menjabat dari tanggal 2 Maret 1939 hingga 9 Oktober 1958. Ia menjabat sebagai paus ke-260.

Sebelum terpilih sebagai Sri Paus, Pacelli adalah seorang sekretaris Sacra Congregatio pro Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis, Nuncio Apostolik, dan Sekretariat Negara Tahta Suci. Tugasnya adalah membuat perjanjian-perjanjian dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin, termasuk Reichskonkordat dengan tokoh Jerman yang terkenal. Masa kepemimpinannya di dalam Gereja Katolik Roma selama Perang Dunia II menjadi topik kontroversi sejarah yang berkelanjutan hingga hari ini.

Setelah masa perang, Pius XII membantu usaha-usaha pembangunan kembali Eropa serta menganjurkan perdamaian dan perukunan kembali, yang meliputi pemberian kebijakan-kebijakan yang lunak kepada negara-negara yang hancur akibat perang dan penyatuan Eropa. Gereja yang berkembang subur di Barat mengalami penindasan keras dan deportasi massal di Timur. Berkat penentangannya, serta keterlibatannya dalam pemilihan umum Italia tahun 1948, ia terkenal sebagai lawan Komunisme yang gigih. Ia menandatangani tiga puluh concordat dan perjanjian diplomatik.

Pius XII adalah salah satu dari dua paus (bersama Paus Pius IX) yang menggunakan infalibilitas kepausan ex cathedra untuk menjelaskan dogma Pengangkatan Tubuh Bunda Maria ke Surga, seperti yang dinyatakan dalam konstitusi apostolik Munificentissimus Deus. Magisteriumnya meliputi hampir 1.000 pidato dan siaran radio. Ia menerbitkan empat puluh satu surat ensiklik, termasuk di antaranya Mystici Corporis Christi "Gereja sebagai Tubuh Kristus", Mediator Dei mengenai reformasi liturgi, dan Humani Generis Redemptionem mengenai sifat Gereja terhadap teologi dan evolusi. Ia menghapuskan kemayoritasan orang Italia dalam Kolegium para Kardinal melalui Konsistorium Agung-nya pada tahun 1946.

Pada tahun 1954, Pius XII mulai menderita sakit, yang berlanjut hingga kematiannya pada tahun 1958. Pembalseman tubuhnya ditangani secara salah, dengan efek yang terlihat jelas selama pemakaman. Ia dimakamkan di dalam gua di bawah Basilika Santo Petrus, Vatikan, dan kemudian digantikan oleh Paus Yohanes XXIII.

Dalam proses menuju penggelaran santo, kasus untuk kanonisasinya dibuka pada tanggal 18 November 1965 oleh Paus Paulus VI pada sesi akhir Konsili Vatikan II. Ia diberi gelar Hamba Allah oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1990, dan Paus Benediktus XII menyatakannya sebagai Venerabilis pada tanggal 19 Desember 2009.[1]

Kehidupan awal

Eugenio berusia enam tahun pada tahun 1882

Eugenio Pacelli dilahirkan di Roma pada tanggal 2 Maret 1876. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang memiliki hubungan sejarah dengan Tahta Kepausan (Kebangsawanan Hitam atau dalam Bahasa Italia aristocrazìa nera). Kakeknya, Marcantonio Pacelli, adalah Pembantu Sekretaris di Kementerian Keuangan Kepausan[2] yang kemudian menjadi Sekretaris Kementerian Dalam Negeri pada era kekuasaan Paus Pius IX dari tahun 1851 hingga tahun 1870. Sang kakek juga merupakan pendiri surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, pada tahun 1861.[3] Saudara sepupu Eugenio, Ernesto Pacelli, adalah penasihat penting masalah keuangan bagi Paus Leo XIII. Ayahnya, Filippo Pacelli, adalah rektor Sacra Rota Romana; dan saudaranya, Francesco Pacelli, menjadi pengacara hukum sekuler, yang dihargai atas perannya dalam perundingan Perjanjian Lateran tahun 1929, yang mengakhiri perselisihan antara Tahta Suci dan Pemerintah Italia. Pada usia dua belas tahun, Eugenio menyatakan keinginannya untuk menjadi imam daripada menjadi seorang pengacara.

Eugenio Pacelli pada tahun 1896

Setelah menamatkan pendidikan di sekolah dasar, Pacelli mengenyam pendidikan sekolah menengah di Institut Visconti.[4] Pada tahun 1894, di usianya yang kedelapan belas tahun, ia masuk Seminari Almo Capranica untuk memulai pendidikan menjadi imam dan kemudian berkuliah di Universitas Kepausan Gregoriana dan Institut Appolinare di Universitas Kepausan Lateran.[4] Pada tahun 1895–1896, ia mempelajari filsafat di Universitas Roma La Sapienza.[4] Pada tahun 1899, ia menerima gelar sarjana dalam bidang teologi dan dalam bidang utroque iure (Hukum Perdata dan Hukum Kanon).[4] Di seminari, ia memperoleh dispensasi khusus untuk tinggal di rumahnya dan tidak tinggal di pondokan seminari karena alasan kesehatan.[4]

Karier di gereja

Menjadi Imam dan Monsinyur

Eugenio ditahbiskan menjadi seorang imam pada Hari Minggu Paskah tanggal 2 April 1899 oleh Uskup Francesco di Paola Cassetta—wakil wali Gereja Roma dan seorang kerabat keluarga—dan menerima tugas pertamanya sebagai imam pembantu di Chiesa Nuova (ia pernah menjadi putra altar di tempat ini).[5] Pada tahun 1901 ia masuk Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis. Pada kongregasi tersebut, Eugenio menjadi minutante atas anjuran Kardinal Vannutelli, kerabat keluarganya yang lain.[5]

Pada tahun 1904, Pacelli menjadi seorang bendahara Tahta Kepausan dan pada tahun 1905 ia diberi gelar prelat domestik.[5] Dari tahun 1904 hingga 1916, Pacelli membantu Kardinal Pietro Gasparri dalam kodifikasi (penyusunan) Hukum Kanon bersama Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis.[6] Ia juga ditunjuk oleh Paus Leo XIII untuk menyampaikan belasungkawa Vatikan secara pribadi kepada Edward VII dari Britania Raya setelah wafatnya Ratu Victoria.[7] Pada tahun 1908 ia menjabat sebagai wakil Vatikan dalam Kongres Ekaristi Internasional di London[7] tempat ia bertemu dengan Winston Churchill.[8] Pada tahun 1911, ia mewakili Tahta Suci di pentahbisan Raja George V.[6]

Pada tahun 1908 dan 1911, Pacelli menolak jabatan profesor dalam bidang Hukum Kanon di sebuah universitas di Roma dan di The Catholic University of America. Pacelli menjadi sekretaris pembantu pada tahun 1911, ajun-sekretaris pada tahun 1912 (sebuah posisi yang ia terima pada masa kepemimpinan Paus Pius X, dan mempertahankannya pada masa kepemimpinan Paus Benediktus XV) dan menjadi sekretaris Congregatio de Negotiis Ecclesiasticis Extraordinariis pada tahun 1914—menggantikan Gasparri yang sebelumnya diangkat menjadi Kardinal Sekretaris Negara.[6] Sebagai seorang sekretaris, Pacelli menyelesaikan perjanjian dua-pihak (konkordat) dengan Serbia empat hari sebelum Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria dibunuh di Sarajevo.[9] Selama Perang Dunia I, Pacelli mengurus pendaftaran tahanan perang Vatikan. Pada tahun 1915 ia melakukan perjalanan ke Wina untuk membantu Monsinyur Scapinelli—Duta Gereja Katolik di Wina—dalam usaha perundingannya dengan Franz Joseph I dari Austria mengenai Italia.[10]

Menjadi Uskup Agung dan Nuncio Apostolik

Paus Benediktus XV mengangkat Pacelli sebagai Nuncio Apostolik untuk Bavaria pada tanggal 23 April 1917, mentahbiskannya sebagai Uskup tituler Sardis, dan kemudian segera mengangkatnya menjadi Uskup Agung di Kapel Sistina pada tanggal 13 Mei 1917, pada hari yang sama Santa Perawan Maria dipercaya menampakkan diri untuk pertama kali pada tiga anak penggembala di Fatima, Portugal. Setelah pentahbisannya, Eugenio Pacelli berangkat ke Bavaria.

Ikhtiar perdamaian Vatikan

Karena tiadanya Nuncio untuk Prusia atau Jerman pada waktu itu, Pacelli menjadi Nuncio untuk seluruh Kekaisaran Jerman demi alasan kepraktisan. Setelah tiba di München, ia langsung menyampaikan ikhtiar Tahta Kepausan untuk mengakhiri perang kepada Pemerintah Jerman.[11] Ia bertemu dengan Raja Ludwig III pada tanggal 29 Mei 1917, dan kemudian dengan Kaiser Wilhelm II dan Kanselir Bethmann-Hollweg, yang menanggapi ikhtiar tersebut dengan positif.[12] Pacelli melihat "untuk pertama kalinya prospek nyata bagi perdamaian".[13] Sayangnya, Bethmann-Hollweg dipaksa untuk mengundurkan diri dan Pemerintahan Tinggi Jerman, yang mengharapkan kemenangan militer, menunda jawaban Jerman atas ikhtiar tersebut hingga tanggal 20 September 1917. Pacelli sangat kecewa dan tertekan akibat hal ini karena jawaban Jerman tersebut ternyata tidak mengikutsertakan beberapa konsesi yang mereka janjikan sebelumnya.[14] Di sisa masa perang, ia mengkonsentrasikan dirinya pada usaha-usaha kemanusiaan Paus Benediktus XV.[15]

Setelah perang berakhir, pada tahun 1919, selama masa Republik Soviet Bavaria yang pendek umurnya, Pacelli merupakan salah satu dari sedikit diplomat asing yang bertahan di München. Menurut Pascalina Lehnert, yang secara pribadi ada di sana waktu itu, Pacelli dengan tenang menghadapi sebuah kelompok kecil kaum revolusioner Spartasis yang telah memasuki bangunan kedutaan besar secara paksa untuk merampas mobilnya. Pacelli menyarankan mereka untuk meninggalkan bangunan yang merupakan teritori Tahta Suci, yang dibalas oleh orang-orang tersebut bahwa mereka hanya mau pergi dengan mobilnya. Pacelli yang sebelumnya telah memerintahkan pemutusan aliran starter mobilnya, mengizinkan mobil tersebut untuk diderek dan dibawa pergi, hanya setelah ia diberitahu bahwa Pemerintah Bavaria telah berjanji untuk mengembalikan mobil tersebut sesegera mungkin nantinya.[16] Beberapa versi dari insiden ini dan insiden-insiden berikutnya terdengar lebih seru, namun menurut cerita para saksi di proses beatifikasinya di Vatikan, kebanyakan versi-versi lain tersebut adalah hasil imajinasi belaka.[17] Pandangan umum mungkin juga tidak terlalu memperhatikan hubungan baiknya dengan politikus sosialis seperti Friedrich Ebert dan Philipp Scheidemann, dan negosiasi-negosiasi rahasianya yang berkepanjangan dengan Uni Soviet. "Pacelli terlalu pandai untuk menjadi terusik dengan insiden semacam itu," kata seorang duta Bavaria di Vatikan.[18]

Eugenio Pacelli pada tahun 1922.

Pada malam saat Adolf Hitler melancarkan gerakan Bierkeller Putsch-nya, Franz Matt, satu-satunya anggota kabinet Bavaria yang tidak hadir di Bürgerbräu Keller, ternyata sedang makan malam bersama dengan Pacelli dan Michael Cardinal von Faulhaber.[19] Diplomat Amerika Serikat Robert Murphy yang waktu itu berada di München menulis bahwa "semua duta asing di München, termasuk Nuncio Pacelli, yakin bahwa karier politik Hitler telah habis dengan penuh cela pada tahun 1924. Ketika saya mengangkat cerita ini untuk mengingatkan Sri Paus tentang bagian kecil sejarah ini (pada tahun 1945), ia tertawa dan berkata: Aku tahu apa yang kamu maksud—infalibilitas kepausan. Jangan lupa, waktu itu aku hanyalah seorang Monsinyur."[20]

Nuncio pertama di Berlin

Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi Nuncio untuk Jerman, dan setelah menyelesaikan sebuah konkordat dengan Bavaria (23 Juni 1920), Nunciature Apostolik Tahta Suci dipindahkan ke Berlin (tahun 1925). Banyak staf Pacelli di München ikut bersamanya hingga akhir hidupnya, termasuk penasihatnya Robert Leiber dan Suster Pascalina Lehnert—pembantu rumah tangga, teman, dan penasihat Pacelli selama 41 tahun.

Di Berlin, Pacelli adalah Pemimpin dari Korps Diplomatik dan aktif dalam kegiatan-kegiatan diplomatik dan sosial. Di sana ia bertemu dengan orang-orang terkenal seperti Albert Einstein, Adolf von Harnack, Gustav Stresemann, Clemens August Graf von Galen, dan Konrad Cardinal von Preysing. Dua nama terakhir ia angkat menjadi kardinal pada tahun 1946. Ia bekerja sama dengan Imam Jerman Ludwig Kaas, yang dikenal atas pengetahuannya yang dalam mengenai hubungan antar Gereja dan Negara serta aktif secara politik di Partai Tengah.[21] Ketika berada di Jerman ia menikmati pekerjaannya sebagai seorang imam. Ia melakukan perjalanan ke seluruh daerah di Jerman, menghadiri Katholikentag (Pertemuan Nasional Umat Katolik), dan memberikan sekitar 50 khotbah dan pidato kepada masyarakat Jerman.[22]

Negosiasi dengan Uni Soviet (1925–1927)

Di Jerman pasca-perang, Pacelli terutama berusaha menjelaskan hubungan antara Gereja dan Negara, namun dengan ketiadaan duta besar Tahta Kepausan di Moskwa, Pacelli juga bekerja dalam pengurusan hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Uni Soviet. Ia merundingkan pengiriman makanan bagi Rusia, negara tempat Gereja ditindas. Ia bertemu dengan wakil-wakil Uni Soviet termasuk Menteri Luar Negeri Georgi Chicherin, yang menolak semua bentuk pendidikan keagamaan serta pentahbisan imam dan uskup, namun menawarkan persetujuan tanpa hal-hal yang penting bagi Gereja maupun Vatikan.[23] "Sebuah percakapan yang sangat tinggi kelasnya antara dua orang yang sangat pintar seperti Pacelli dan Chicherin, yang tampak saling tidak menyukai pihak yang lain," demikian catatan salah seorang yang hadir di sana. Di samping sikap pesimistis Vatikan dan kurangnya kemajuan yang jelas, Pacelli meneruskan negosiasi-negosiasi rahasia dengan pihak Uni Soviet sampai Paus Pius XI memerintahkan agar semua negosiasi tersebut dihentikan pada tahun 1927.

Pacelli dan Republik Weimar

Pacelli mendukung Koalisi Weimar dengan Partai Demokrat Sosial dan partai-partai liberal. Walaupun ia memiliki hubungan yang baik dengan wakil-wakil Partai Tengah seperti Marx dan Kaas, ia tidak mengikutsertakan Partai Tengah dalam urusannya dengan Pemerintah Jerman.[24] Pacelli mendukung aktivitas diplomatik Jerman yang ditujukan pada penolakan berbagai bentuk hukuman dari mantan-mantan musuh yang sekarang di pihak yang menang. Ia menghalangi usaha-usaha Prancis untuk pemisahan gereja di wilayah Saar, mendukung penunjukan pejabat Tahta Kepausan bagi Danzig, dan membantu proses reintegrasi para imam yang diusir dari Polandia.[25] Pacelli sangat kritis terhadap kebijakan Jerman mengenai perbaikan keuangan, yang dianggapnya tak bisa dibayangkan dan kekurangan unsur realitas di dalamnya.[26] Ia menyesalkan kembalinya William, Putra Mahkota Jerman, dari pengasingan dan menganggap hal itu sebagai penyebab ketidak-stabilan situasi di negara tersebut. Setelah terjadinya sabotase-sabotase Jerman terhadap tentara pendudukan Prancis di Lembah Ruhr pada tahun 1923, media Jerman memberitakan adanya konflik antara Pacelli dan Pemerintah Jerman. Vatikan mengutuk tindakan-tindakan terhadap Prancis tersebut di Ruhr.[27]

Ketika ia kembali ke Roma pada tahun 1929, pujian datang bertubi-tubi kepadanya dari umat Katolik maupun Protestan. Saat itu, ia menjadi orang yang lebih terkenal dibandingkan kardinal atau uskup Jerman manapun[28]—dua pihak yang sebagian besar tidak ia ikut sertakan dalam negosiasi dan urusan dengan Pemerintah Jerman.

Menjadi Kardinal Sekretaris Negara dan Camerlengo

Pacelli diangkat menjadi seorang kardinal pada tanggal 16 Desember 1929 oleh Paus Pius XI, dan beberapa bulan kemudian, pada tanggal 7 Februari 1930, Paus Pius XI mengangkatnya sebagai Kardinal Sekretaris Negara. Pada tahun 1935, Kardinal Pacelli diberi gelar sebagai Camerlengo Gereja Katolik Roma.

Sebagai Kardinal Sekretaris Negara, Pacelli menandatangani konkordat dengan beberapa negara seperti Baden (1932),[29] Austria (1933), Jerman (1933), Yugoslavia (1935), dan Portugal (1940). Perjanjian Lateran dengan Italia (1929) selesai dibuat sebelum Pacelli menjadi Menteri Luar Negeri. Semua konkordat ini memungkinkan Gereja Katolik untuk mengorganisasi kelompok-kelompok kepemudaan, membuat penunjukan-penunjukan pejabat gereja, menjalankan sekolah, rumah sakit, dan berbagai organisasi sosial, atau bahkan melaksanakan pelayanan-pelayanan keagamaan. Perjanjian-perjanjian ini memastikan bahwa Hukum Kanon diterima dalam beberapa ruang lingkup (seperti keputusan gereja mengenai pembatalan pernikahan).[30]

Ia banyak melakukan kunjungan diplomatik di seluruh Eropa dan Amerika, termasuk sebuah kunjungan panjang ke Amerika Serikat pada tahun 1936. Dalam kunjungan tersebut ia bertemu dengan Charles Coughlin dan Franklin D. Roosevelt, yang menunjuk seorang duta pribadi (tanpa memerlukan persetujuan Senat) bagi Tahta Suci pada bulan Desember 1939, mendirikan kembali tradisi diplomatik yang putus sejak tahun 1870 ketika Sri Paus kehilangan kekuasaan atas hal-hal sekuler.[31]

Pacelli menduduki jabatan sebagai Legatus Pontificius dalam Kongres Ekaristi Internasional di Buenos Aires, Argentina, pada tanggal 10-14 Oktober 1934, dan di Budapest, Hungaria, tanggal 25-30 Mei 1938.[32]

Beberapa ahli sejarah menganggap bahwa Pacelli, sebagai Kardinal Sekretaris Negara, menghalangi Paus Pius XI (yang hampir meninggal dunia saat itu[33]) untuk mengutuk peristiwa Kristallnacht di Jerman pada November 1938,[34] ketika ia diberitahu akan peristiwa itu oleh Nuncio Berlin.[35] Surat ensiklik Paus Pius XI berjudul Humani Generis Unitas ("Mengenai Persatuan Umat Manusia"), yang telah siap untuk diterbitkan pada bulan September 1938 (menurut dua penerbit surat ensiklik[36] tersebut dan sumber-sumber lainnya) tidak dikirimkan ke Vatikan oleh Sekretaris Jenderal Yesuit Wlodimir Ledochowski.[37][38] Surat tersebut mengandung sebuah pengutukan yang terbuka dan jelas terhadap kolonialisme, rasisme, dan antisemitisme, namun juga mengandung tuduhan yang keras kepada kaum Yahudi dan elemen-elemen antiyudaisme.[37][39][40] Beberapa ahli sejarah menilai bahwa Pacelli yang mengetahui keberadaan surat ensiklik ini hanya setelah wafatnya Paus Pius XI tidak mengumumkannya secara resmi sebagai Paus,[41] namun ia menggunakan sebagian dari surat ensiklik tersebut di dalam surat ensikliknya pada saat ia ditahbiskan sebagai Sri Paus, Summi Pontificatus, yang ia sebut "Mengenai Persatuan Umat Manusia."[42]

Berbagai pandangannya mengenai Gereja dan masalah-masalah kebijakan selama masa tugasnya sebagai Kardinal Sekretaris Negara diterbitkan oleh Vatikan pada tahun 1939. Salah satu hal yang paling penting di antara lima puluh pidatonya adalah ulasannya mengenai masalah hubungan Gereja dan negara di Budapest tahun 1938.[43]

Reichskonkordat

Reichskonkordat adalah sebuah bagian yang tak terpisahkan dari empat konkordat yang diselesaikan Pacelli atas nama Vatikan terhadap negara-negara bagian Jerman. Konkordat bagi negara-negara bagian ini diperlukan karena konstitusi negara Jerman Federalis Weimar memberikan kekuasaan kepada tiap-tiap negara bagian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dua hal yang menjadi perhatian kebijaksanaan Vatikan. Sebagai Nuncio Bavaria, Pacelli berhasil merundingkannya dengan Pemerintah Bavaria pada tahun 1925. Ia berharap konkordat dengan negara bagian Bavaria yang Katolik menjadi model untuk wilayah lainnya di Jerman.[44] Prusia menunjukkan ketertarikan untuk berunding hanya setelah adanya konkordat dengan Bavaria, namun Pacelli menerima kondisi yang kurang menguntungkan bagi Gereja di dalam konkordat dengan Prusia tahun 1929, yang tidak meliputi masalah-masalah pendidikan. Sebuah konkordat dengan Negara Bagian Jerman Baden diselesaikan oleh Pacelli pada tahun 1932 setelah ia kembali ke Roma. Di sana ia juga merundingkan sebuah konkordat dengan Austria pada tahun 1933.[45] Sebanyak 16 konkordat dan perjanjian dengan negara-negara Eropa diselesaikan dalam periode sepuluh tahun (1922–1932).[46]

Reichskonkordat yang ditandatangani pada tanggal 20 Juli 1933 antara Jerman dan Tahta Suci adalah suatu hal yang penuh kontroversi sejak awal, meskipun perjanjian ini merupakan bagian dari kebijaksanaan Vatikan secara keseluruhan. Perjanjian ini masih menjadi konkordat paling penting yang dibuat oleh Pacelli. Perjanjian ini diperdebatkan bukan karena isinya (yang masih berlaku hingga hari ini), namun karena waktu pembuatannya. Sebuah konkordat nasional dengan Jerman merupakan tujuan utama Pacelli sebagai Menteri Luar Negeri karena ia berharap untuk memperkuat kedudukan legal Gereja di sana. Pacelli, yang mengenal kondisi Jerman dengan baik, menekankan (1) perlindungan terhadap perkumpulan-perkumpulan Katolik, (2) kebebasan bagi pendidikan dan sekolah-sekolah Katolik, dan (3) kebebasan penerbitan.[47]

Sebagai nuncio di sana selama era 1920-an, usahanya ternyata gagal untuk mendapatkan persetujuan dengan Jerman terhadap perjanjian semacam itu. Antara tahun 1930–1933 ia mencoba untuk memulai perundingan dengan wakil-wakil penerus pemerintahan Jerman, namun Pacelli gagal mencapai tujuan ini karena penentangan partai-partai Protestan dan Sosialis, ketidak-stabilan pemerintahan nasional, dan prioritas pemerintahan negara-negara bagian untuk melindungi status otonomi mereka. Khususnya, kesangsian mengenai kontribusi adanya denominasi-denominasi agama dan karya-karya rohaniwan di dalam angkatan bersenjata menghalangi persetujuan apa pun di tingkat nasional walaupun pembicaraan mengenai hal ini sempat terjadi pada musim dingin tahun 1932.[48][49]

Adolf Hitler diangkat menjadi Kanselir pada tanggal 30 Januari 1933 dan segera mencoba mendapatkan rasa hormat dunia internasional atas dirinya serta mencoba menyingkirkan lawan-lawan politik dalam negeri dari pihak Gereja dan Partai Tengah Katolik. Ia mengirim Wakil Kanselir-nya Franz von Papen, seorang bangsawan Katolik dan mantan anggota Partai Tengah, ke Roma untuk menawarkan perundingan mengenai Reichskonkordat.[50] Atas nama Kardinal Parcelli, Uskup Ludwig Kaas, pemimpin Partai Tengah yang ramah, merundingkan rancangan-rancangan pertama mengenai kondisi-kondisi perjanjian dengan Papen.[51] Konkordat tersebut akhirnya ditanda-tangani oleh Pacelli atas nama Vatikan dan oleh von Papen atas nama Jerman pada tanggal 20 Juli dan diratifikasi pada tanggal 10 September 1933.[52]

Antara tahun 1933 dan 1939, Pacelli mengeluarkan 55 protes atas pelanggaran Reichskonkordat. Yang paling terkenal ialah pada awal tahun 1937 Pacelli meminta beberapa kardinal Jerman, termasuk Michael Cardinal von Faulhaber, untuk membantunya menulis sebuah protes atas pelanggaran Nazi terhadap Reichskonkordat; Surat ini nantinya menjadi surat ensiklik Paus Pius XI berjudul Mit Brennender Sorge. Surat ensiklik tersebut, yang mengutuk pandangan yang "meninggikan ras, atau masyarakat, atau negara, atau suatu bentuk khusus dari negara … di atas nilai-nilai dasar mereka dan mempertuhankan mereka (pandangan-pandangan ini) ke tahap menjadi barang pujaan berhala", ditulis dalam Bahasa Jerman, bukan Bahasa Latin seperti biasanya, dan dibacakan di gereja-gereja Jerman pada Hari Minggu Palma tahun 1937.[53] Pada tanggal 10 Juni 1941, ia mengomentari berbagai permasalahan dengan Reichskonokordat dalam sepucuk surat kepada Uskup Passau di Bavaria: "Sejarah Reichskonkordat menunjukkan bahwa pihak yang lain tidak memiliki prasyarat paling dasar untuk menerima kebebasan dan hak Gereja sedikitpun, yang tanpanya Gereja tidak akan bisa hidup dan berkarya, meski dengan adanya perjanjian-perjanjian formal sekalipun".[54]

Masa kepausan

Pemilihan dan pentahbisan

Paus Pius XI wafat pada tanggal 10 Februari 1939. Beberapa ahli sejarah telah memperkirakan bahwa konklaf yang akan diadakan untuk memilih penerus Sri Paus akan menghadapi sebuah pilihan besar antara calon yang memiliki kemampuan diplomatis atau yang memiliki kehidupan spiritual yang kuat. Para kardinal melihat pengalaman diplomatik Pacelli, terutama dengan Jerman, sebagai salah satu faktor yang membawa pemilihannya sebagai Sri Paus berikutnya pada tanggal 2 Maret 1939, pada hari ulang tahun ke-63-nya, setelah hanya satu hari berembuk dan tiga kali pengisian kartu pemilihan.[55][56] Ia menjadi Kardinal Sekretaris Negara pertama yang terpilih menjadi Sri Paus semenjak Paus Klemens IX pada tahun 1667.[57] Ia juga menjadi salah satu dari dua pria yang pernah menjabat sebagai Camerlengo tepat sebelum terpilih sebagai paus (yang lainnya adalah Paus Leo XIII). Pentahbisannya diadakan tanggal 12 Maret 1939.

Pacelli mengambil gelar kepausan yang sama dengan pendahulunya, sebuah gelar yang hanya digunakan oleh paus-paus orang Italia. Ia pernah berkata, "Saya memanggil diri saya Pius; seluruh hidup saya berada di bawah kepemimpinan Paus dengan nama ini, namun (saya memakai nama ini) khususnya sebagai tanda terima kasih saya pada Paus Pius XI."[58]

Pada tanggal 15 Desember 1937, selama konsistorium-nya yang terakhir (berada di dalam pertemuan Kolegium para Kardinal yang bukan konklaf), Paus Pius XI memberikan isyarat yang cukup jelas kepada para kardinal bahwa ia berharap Pacelli menjadi penerusnya dengan ucapan "Ia berada di antara kalian".[59][60] Ia pernah berkata: "Apabila hari ini Sri Paus meninggal dunia, kalian akan mendapatkan paus baru esok harinya karena Gereja hidup terus. Adalah merupakan tragedi yang lebih besar apabila Kardinal Pacelli yang meninggal dunia karena ia hanya ada satu. Saya berdoa tiap hari agar Tuhan mengirimkan orang yang lain (seperti Pacelli) ke tengah-tengah kita, namun hingga hari ini, hanya ada satu (Pacelli) di dunia ini."[61]

Setelah pemilihannya, Paus Pius XII menyebutkan tiga sasarannya sebagai Sri Paus:[62]

  1. Sebuah terjemahan baru Kidung Mazmur yang dikumandangkan tiap hari oleh rohaniwan/wati dan para imam, agar mereka lebih dapat menghargai keindahan dan kekayaan Kitab Perjanjian Lama. Terjemahan ini diselesaikan pada tahun 1945.
  2. Sebuah penjelasan mengenai dogma tentang pengangkatan tubuh ke surga. Hal ini mengakibatkan banyaknya penelitian ke dalam sejarah Gereja dan konsultasi dengan berbagai keuskupan di seluruh dunia. Dogma ini dinyatakan pada bulan November 1950.
  3. Meningkatkan usaha-usaha penggalian arkeologi di bawah Basilika Santo Petrus di Roma untuk memastikan apakah Santo Petrus benar-benar dimakamkan di sana, atau apakah Gereja telah terjebak dalam kebohongan iman selama lebih dari 1500 tahun. Hal ini adalah sebuah hal yang penuh kontroversi karena kemungkinan nyata dari sebuah peristiwa memalukan yang luar biasa, dan juga karena kekhawatiran dalam masalah teknis karena usaha penggalian ini akan dilakukan di bawah altar utama, dekat dengan pilar-pilar Bernini dari altar kepausan dan yang merupakan penopang utama dari cupola (kubah) Michelangelo.[63] Hasil pertama mengenai makam Santo Petrus diterbitkan pada tahun 1950.[64]

Pengangkatan pejabat gereja

Setelah pemilihannya, ia mengangkat Lugi Cardinal Maglione menjadi penerusnya sebagai Sekretaris Negara. Maglione, seorang diplomat Vatikan yang berpengalaman, telah mendirikan kembali hubungan-hubungan diplomatik dengan Swiss dan untuk waktu yang lama menjadi nuncio di Paris, Prancis. Walau demikian, Maglione tidak menggunakan pengaruh pendahulunya dalam melakukan tugasnya sebagai Menteri Luar Negeri.

Sebagai paus, Pacelli tetap berhubungan dekat dengan Monsinyur Montini (yang kelak menjadi Paus Paulus VI) dan Domenico Tardini. Setelah wagatnya Maglione pada tahun 1944, Paus Pius XII membiarkan posisi tersebut kosong dan mengangkat Tardini sebagai kepala bagian urusan luar negeri dan Montini sebagai kepala bagian urusan dalam negeri.[65] Tardini dan Montini terus mengabdi di jabatan mereka hingga tahun 1953 ketika Paus Pius XII memutuskan untuk mengangkat mereka menjadi kardinal—suatu kehormatan yang ditolak oleh mereka berdua.[66] Mereka kemudian diangkat menjadi Pro-Sekretaris, sebuah jabatan yang memberikan hak pada mereka untuk mengenakan Tanda Kehormatan Keuskupan.[67] Tardini terus menjadi pejabat dekat Sri Paus hingga wafatnya Paus Pius XII, sementara Mantini menjadi Uskup Agung Milan setelah wafatnya Alfredo Ildefonso Schuster.

Paus Pius XII perlahan tetapi pasti mengurangi monopoli Pemerintah Italia terhadap Kuria Romawi. Ia mengangkat penasihat-penasihat Yesuit dari Jerman dan Belanda: Robert Leiber, Augustin Bea, dan Sebastian Tromp. Ia juga mendukung pengangkatan orang Amerika seperti Francis Spellman dari peran kecil menjadi memiliki peran yang besar di dalam Gereja.[68] Setela Perang Dunia II, Paus Pius XII mengangkat lebih banyak pejabat gereja yang bukan orang Italia dibandingkan dengan paus-paus sebelum dirinya: orang Amerika seperti Joseph P. Hurley sebagai pejabat kedutaan besar Tahta Suci di Belgrade, Gerald P. O'Hara sebagai nuncio bagi Rumania, dan Monsinyur Aloisius Joseph Muench sebagai nuncio bagi Jerman. Untuk pertama kalinya, banyak orang-orang muda dari Eropa, Asia dan Amerika "dididik dan dilatih di dalam berbagai kongregasi dan jabatan administrasi di Vatikan untuk pelayanan-pelayanan mereka nantinya di seluruh dunia".[69]

Konsistorium

Hanya dua kali dalam masa kepemimpinannya Paus Pius XII mengadakan konsistorium untuk memilih kardinal-kardinal baru; sangat berlawanan dengan Paus Pius XI yang mengadakan tujuh belas kali pertemuan itu dalam periode tujuh belas tahun. Paus Pius XII memilih untuk tidak mengangkat kardinal-kardinal baru selama Perang Dunia II, menyebabkan jumlah para kardinal menyusut menjadi 38 (Kardinal Denis Dougherty menjadi satu-satunya kardinal pada masa Paus Pius XII yang masih hidup). Konsistorium pertama diadakan pada tanggal 18 Februari 1946—yang kemudian dikenal sebagai Konsistorium Agung—menghasilkan pengangkatan jumlah kardinal terbanyak di sebuah konsistorium dalam sejarah gereja: 32 kardinal baru, hampir 50% dari jumlah Kolegium para Kardinal, dan mencapai batas terbanyak menurut hukum gereja, yakni tujuh puluh kardinal.[70] Konsistorium Paus Pius XII pada tahun 1946 ini, dengan tetap menjaga jumlah terbanyak Kolegium para Kardinal di angka 70, mengangkat kardinal-kardinal dari Cina, India, Timur Tengah, dan menambah jumlah kardinal dari Amerika, sehingga secara proporsi mengurangi pengaruh kardinal Italia dalam kolegium tersebut.[71]

Pada konsistorium keduanya pada tanggal 12 Januari 1953, telah diantisipasi bahwa pejabat dekat Sri Paus, Monsinyur Domenico Tardini dan Monsinyur Montini akan diangkat menjadi kardinal.[72] Paus Pius XII memberi tahu para kardinal yang telah berkumpul bahwa kedua orang tersebut mulanya berada di daftar teratasnya,[73] namun mereka berdua menolak tawaran tersebut dan sebagai gantinya mereka diberikan kenaikan jabatan lainnya.[74]

Dua konsistorium tahun 1946 dan 1953 mengakhiri masa 500 tahun saat orang-orang Italia menjadi mayoritas di dalam Kolegium para Kardinal.[75] Dengan beberapa pengecualian, para uskup dan kardinal Italia menerima perubahan ini dengan positif; tidak terdapat protes atau penentangan terbuka terhadap usaha-usaha internasionalisasi ini.[76]

Sebelumnya, pada tahun 1945, Paus Pius XII telah menghapuskan prosedur konklaf kepausan yang rumit, yang dulunya dibuat dengan tujuan untuk menjamin kerahasiaan dan untuk menghalangi para kardinal memilih dirinya sendiri. Sebagai gantinya, prosedur yang baru menambah jumlah suara mayoritas untuk memilih Sri Paus baru dari dua-per-tiga jumlah Kolegium para Kardinal menjadi dua-per-tiga ditambah satu.

Reformasi gereja

Reformasi liturgi

Dalam surat ensikliknya, Mediator Dei, Paus Pius XII menghubungkan liturgi dengan kehendak terakhir Kristus: "Tapi adalah kehendak-Nya bahwa ibadah yang Ia dirikan dan lakukan selama hidup-Nya di bumi akan selalu berlanjut selamanya tanpa henti. Karena Ia tidak meninggalkan umat manusia menjadi yatim piatu. Ia masih menawarkan kita bantuan dari perantaraan-Nya yang penuh kuasa dan tidak pernah gagal, bertindak sebagai 'pembela kita di hadapan Allah Bapa'. Ia membantu kita melalui Gereja-Nya tempat Ia berkuasa sepanjang zaman; melalui Gereja yang Ia dirikan, tahbiskan dan sahkan selama-lamanya, tempat Ia mendirikan 'pilar-pilar kebenaran' dan penyebar rahmat, dan yang melalui pengorbanan-Nya di kayu salib."[77]

Oleh karenanya, Gereja, menurut Paus Pius XII, memiliki tujuan yang sama dengan Kristus sendiri, yakni mengajari semua manusia tentang kebenaran dan mempersembahkan kepada Tuhan persembahan yang baik dan layak. Dengan cara ini, Gereja membentuk kembali persatuan antara Sang Pencipta dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya.[78] Persembahan di altar, sesuai dengan apa yang pernah dilakukan Kristus sendiri, menghantarkan dan menebarkan rahmat kudus dari Kristus kepada para anggota di dalam sebuah Tubuh Keilahian.[79]

Liturgi menuntut partisipasi dari para umat. Paus Pius XII menolak secara tegas praktik-praktik devosi Katolik pribadi dan dalam hati yang semakin menyebar yang dilakukan oleh para umat selama Misa Kudus. Menurutnya, mereka memisahkan umat "dari pengorbanan di altar dan dari aliran tenaga Ilahi yang mengalir dari kepala (yakni pemimpin misa) ke anggota-anggota tubuhnya (yakni para umat)". Ibadah Katolik mempersembahkan Pengakuan Iman Katolik dan Keberadaan Harapan dan Amal kepada Tuhan.[80]

Reformasi Liturgi Paus Pius XII yang berjumlah banyak menunjukkan dua karakteristik. Pembaruan dan penemuan kembali tradisi-tradisi liturgi tua, seperti pengenalan kembali upacara Malam Paskah dan suatu suasana yang lebih tertata di dalam bangunan-bangunan gereja. Penggunaan bahasa daerah didukung oleh Paus Pius XII, suatu hal yang menjadi bahan perdebatan hangat waktu itu. Ia menambah jumlah peribadatan yang tidak menggunakan Bahasa Latin, terutama di negara-negara tempat kegiatan misi Katolik sedang berkembang. Pelaksanaan Sakramen Kudus di dalam gereja juga harus selalu dilakukan di altar utama yang berada di tengah gereja.[81] Gereja juga selayaknya memajang benda-benda religius dan tidak dipenuhi dengan benda-benda yang tidak penting atau bahkan dengan benda-benda yang merusak keagungan gereja.[82] Karya-karya seni suci modern harus tetap menimbulkan rasa hormat dan menggambarkan semangat masa kini. Para imam diperbolehkan memimpin upacara pernikahan tanpa Misa Kudus. Mereka juga boleh memimpin Sakramen Krisma dalam situasi-situasi tertentu yang sebelumnya hanya berhak diadakan oleh para Uskup.[83]

Reformasi hukum kanon

Reformasi Hukum Kanon, Corpis Iuris Canonici (CIC), bertujuan untuk melakukan desentralisasi kekuasaan dan meningkatkan kebebasan Gereja yang bersatu. Dalam undang-undang dasarnya yang baru, para Patriark Gereja Ortodoks Timur diangkat hampir tanpa campur tangan Roma (CIC Orientalis, 1957). Demikian juga Hukum Pernikahan Gereja Ortodoks Timur (CIC Orientalis, 1949), hukum sipil (CIC Orientalis, 1950), hukum-hukum yang mengatur organisasi-organisasi religius (CIC Orientalis, 1952), hukum hal milik (CIC Orientalis, 1952), dan hukum-hukum lainnya. Semua reformasi dan tulisan Paus Pius XII ditujukan untuk membuat tradisi Oriental Timur sebagai bagian yang sama di dalam tubuh ilahi Kristus, seperti yang dijelaskan di dalam surat ensiklik Mystici Corporis.[butuh rujukan]

Para imam dan rohaniwan/wati

Dengan undang-undang apostolik Sedis Sapientiae, Paus Pius XII menambahkan ilmu-ilmu sosial, sosiologi, psikologi, dan psikologi sosial ke dalam pelatihan calon imam masa depan. Paus Pius XII menekankan kebutuhan untuk secara sistematis menganalisis kondisi psikis para calon imam untuk memastikan bahwa mereka mampu hidup selibat dan penuh pelayanan. Paus Pius XII menambahkan satu tahun lagi ke dalam masa formasi teologi para calon imam. Ia juga mengikut-sertakan satu tahun pastoral sebagai masa pengenalan nyata terhadap karya-karya keparokian.[84]

Intisari dari pesan Paus Pius XII kepada semua rohaniwan/wati adalah mengajak mereka untuk selalu mereformasi diri sendiri dan untuk selalu melakukan tindakan heroisme Kristen. Artinya adalah untuk hidup lebih baik secara spiritual dibandingan orang awam dan menjadi contoh hidup dari kebajikan Kristen. Pada saat dunia sekuler jatuh kembali kepada hedonisme, pilihan lain umat Katolik adalah kesucian dari, khususnya, para imam dan rohaniwan/wati. Norma-norma ketat yang mengatur hidup mereka bertujuan untuk membuat mereka menjadi model kesempurnaan seorang Kristiani bagi orang awam, demikian tulisannya di dalam Menti Nostrae.[85] Para uskup didorong untuk mencontoh orang suci seperti Bonifasius dan Paus Pius X.[86] Para imam didorong untuk menjadi contoh hidup dari cinta Kristus dan pengorbanan-Nya.[87]

Teologi

Paus Pius XII menjabarkan iman Katolik di dalam 41 surat ensiklik dan hampir 1000 pesan dan amanat selama masa kepemimpinannya yang lama. Mediator Dei memperjelas keanggotaan dan partisipasi di dalam Gereja, Surat ensiklik Divino Afflante Spiritu membuka pintu bagi penelitian kitab suci, namun magisterium-nya jauh lebih luas dan sulit untuk dirangkum. Dalam banyak amanatnya, ajaran Katolik memiliki hubungan dengan berbagai aspek kehidupan, pendidikan, obat-obatan, politik, perang dan perdamaian, kehidupan para orang suci, Bunda Maria Bunda Allah, serta hal-hal abadi dan masa kini. Secara teologis, Paus Pius XII memperinci keberadaan kekuasaan pengajaran Gereja. Ia juga memberikan kebebasan baru di dalam penyelidikan teologis.

Orientasi teologi

Pius XII pada tahun 1939

Penelitian kitab suci

Surat ensiklik Divino Afflante Spiritu, terbit tahun 1943,[88] menekankan peran Kitab Suci. Paus Pius XII memberikan kebebasan kepada penelitian kitab suci yang banyak dibatasi sebelumnya. Ia mendorong teolog Kristen untuk melihat kembali versi asli kitab suci yang ditulis dalam Bahasa Yunani dan Ibrani. Memperhatikan kemajuan dalam bidang arkeologi, surat ensiklik tersebut mengubah surat ensiklik Paus Leo XIII, yang hanya menyarankan untuk kembali ke naskah asli untuk memecahkan masalah makna yang berbeda-beda dalam kitab suci Bahasa Latin. Surat ensiklik tersebut menuntut pengertian yang lebih mendalam lagi mengenai sejarah dan tradisi Yahudi. Surat tersebut menuntut para uskup di seluruh Gereja untuk mulai mengadakan pelajaran kitab suci bagi orang awam. Sri Paus juga meminta orientasi ulang dari ajaran dan pendidikan Katolik, dengan lebih banyak mendasarkan diri pada kitab suci dalam khotbah-khotbah dan petunjuk-petunjuk rohani.[89]

Peran teologi

Kebebasan untuk melakukan penyelidikan teologis tidak diberikan kepada semua aspek teologi. Menurut Paus Pius XII, teolog yang dipekerjakan oleh Gereja menjadi para pembantu dalam pengajaran ajaran-ajaran resmi Gereja dan bukan pengajaran pemikiran-pemikiran pribadi mereka. Mereka bebas untuk melibatkan diri dalam penelitian empiris—suatu hal yang didukung penuh oleh Gereja—namun dalam masalah-masalah moralitas dan agama mereka tunduk kepada otoritas pengajaran Gereja, Magisterium. Kedudukan teologi yang paling mulia adalah untuk menunjukkan bagaimana sebuah doktrin yang dirumuskan oleh Gereja terdapat di dalam sumber-sumber wahyu, dalam sebuah pengertian yang telah ditetapkan oleh Gereja.[90] Kumpulan iman aslinya tidak diinterpretasikan bagi tiap umat maupun teolog, tetapi hanya bagi otoritas pengajaran Gereja.[91]

Mariologi dan dogma pengangkatan tubuh ke surga

Pada 1 November 1950, Pius XII mendefinisikan dogma pengangkatan (Assunta karya Titian (1516–18)).

Sebagai seorang anak muda dan dalam kehidupan selanjutnya, Eugenio Pacelli adalah seorang pengikut Sang Perawan Maria yang rajin. Paus Pius XII yang dikonsekrasi pada tanggal 13 Mei 1917, hari yang sama saat Bunda Maria Ratu Fatima dipercaya menampakkan dirinya untuk pertama kalinya, menyucikan dunia melalui Hati Kudus Maria tahun 1942, sesuai dengan "rahasia" kedua Bunda Maria Ratu Fatima. (Jenazah Paus Pius XII nantinya juga dimakamkan di dalam ruang bawah tanah Basilika Santo Petrus pada hari perayaan Bunda Maria Bunda Fatima pada tanggal 13 Oktober 1958).

Pada tanggal 1 November 1950, Paus Pius XII menjelaskan dogma tentang pengangkatan tubuh ke surga:

"Oleh kekuasaan Tuhan kita Yesus Kristus, Rasul Suci Petrus dan Paulus, dan oleh kekuasaan kami sendiri, kami menyatakan, mengumumkan, dan menetapkan hal berikut sebagai sebuah dogma yang diwahyukan oleh Allah: bahwa Bunda Allah yang suci, Sang Perawan Maria, setelah menjalani kehidupan duniawinya, tubuh dan jiwanya diangkat ke keagungan surgawi."[92]

Dogma mengenai pengangkatan tubuh Sang Perawan Maria ke surga adalah puncak teologi Paus Pius XII. Dalam pernyataan dogmatis ini, kalimat "setelah menjalani kehidupan duniawinya" membiarkan pertanyaan tak terjawab apakah Sang Perawan Maria meninggal sebelum tubuhnya diangkat ke surga atau dirinya diangkat ke surga sebelum kematiannya; kedua kemungkinan ini dibiarkan ada. Pengangkatan tubuh Maria ke surga adalah rahmat Tuhan kepada Maria sebagai Bunda Allah. Sebagaimana Maria menyelesaikan perjalanan hidupnya sebagai sebuah contoh luar biasa bagi umat manusia, pandangan mengenai rahmat pengangkatan tubuh ke surga ditawarkan kepada seluruh umat manusia.

Dogma ini didahului dengan surat ensiklik tahun 1946, Deiparae Virginis Mariae, yang meminta semua uskup Katolik untuk menyatakan opini mereka mengenai perumusan sebuah dogma tentang Sang Perawan Maria. Pada tanggal 8 September 1953, surat ensiklik Fulgens Corona mengumumkan tahun 1954 sebagai Tahun Maria, sebagai perayaan seratus tahun lahirnya Dogma Pembuahan Suci (Immaculate Conception).[93] Dalam surat ensiklik Ad Caeli Reginam ia mengumumkan secara resmi perayaan dan gelar Ratu bagi Maria.[94] Mystici Corporis merangkum Mariologi Paus Pius XII.[95]

Ajaran-ajaran sosial

Pengangkatan Salus Populi Romani oleh Paus Pius XII tahun 1954

Teologi medis

Paus Pius XII memberikan banyak pidato kepada para pekerja dan peneliti medis.[96] Ia memberikan amanat kepada para dokter, perawat, dan bidan yang memperinci semua aspek mengenai hak dan harga diri para pasien, tanggung-jawab medis, implikasi moral dari penyakit-penyakit psikis, dan penggunaan obat-obatan untuk sakit jiwa. Ia juga mengangkat topik seperti penggunaan obat-obatan bagi orang-orang dengan sakit yang tak tersembuhkan, berdusta dalam dunia medis di dalam kasus penyakit-penyakit yang parah, dan hak-hak anggota keluarga untuk mengambil keputusan menolak saran ahli medis. Paus Pius XII sering kali menunjukkan cara-cara baru dalam menghadapi topik-topik seperti yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, ia adalah orang pertama yang menetapkan bahwa penggunaan obat penghilang rasa sakit bagi pasien dengan sakit yang tak tersembuhkan dapat dibenarkan, bahkan apabila hal ini justru akan memperpendek masa hidup pasien tersebut, sejauh memperpendek masa hidup orang bukan menjadi tujuan diberikannya obat tersebut.[97]

Keluarga dan seksualitas

Paus Pius XII mengembangkan sebuah teologi keluarga yang mendalam, mengangkat masalah-masalah dalam peran keluarga, pembagian tugas dalam rumah tangga, pendidikan anak-anak, penyelesaian konflik, dilema-dilema keuangan rumah tangga, masalah-masalah psikologis, penyakit, perawatan generasi yang lebih tua, pengangguran, kesucian dan kebajikan pernikahan, doa bersama, diskusi religius, dan masih banyak lagi. Dalam tujuan ilahi sepenuhnya dari kehidupan berkeluarga, ia secara penuh menerima Metode Kalender sebagai sebuah bentuk bermoral dari keluarga berencana, walaupun dalam situasi-situasi yang terbatas di dalam konteks keluarga.[98]

Teologi dan ilmu pengetahuan

Bagi Paus Pius XII, ilmu pengetahuan dan agama adalah saudara dari surga, manifestasi yang berbeda dari kebenaran ilahi, yang tidak mungkin bisa saling menyanggah satu dengan yang lain dalam jangka panjang.[99] Mengenai hubungan mereka, penasihatnya Profesor Robert Leiber menulis: "Paus Pius XII sangat berhati-hati untuk tidak menutup pintu manapun terlalu dini. Ia sangat tegas dalam hal ini dan menyesali adanya kasus Galileo."[100]

Tanda tangan Pius XII

Evolusi

Pada tahun 1950, Paus Pius XII mengumumkan secara resmi Humani Generis yang mengakui bahwa evolusi mungkin menjelaskan asal usul biologis kehidupan manusia dengan lebih tepat, namun pada saat yang sama mengkritik pihak-pihak yang menggunakan teori evolusi ini sebagai sebuah agama, yang "dengan tidak berhati-hati dan tidak bijaksana menganggap bahwa evolusi... menjelaskan asal usul dari semua hal". Umat Katolik harus percaya bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Karena jiwa adalah suatu zat spiritual, jiwa tidak dilahirkan melalui transformasi benda-benda duniawi, namun diciptakan langsung oleh Tuhan, daripadanya hadir keunikan khusus tiap manusia."[101] Lima puluh tahun kemudian, Paus Yohanes Paulus II, sembari menyatakan bahwa bukti-bukti ilmiah saat ini tampak lebih mendukung teori evolusi, menegaskan kembali penjelasan Paus Pius XII mengenai jiwa manusia: "Bahkan apabila tubuh manusia berasal dari benda-benda hidup yang telah ada sebelumnya, jiwa spiritual tetap secara spontan diciptakan oleh Tuhan".[102]

Surat ensiklik, tulisan, dan amanat

Paus Pius XII mengeluarkan 41 surat ensiklik selama masa kepemimpinannya,—jumlah yang lebih banyak dari apa yang dihasilkan oleh semua penerusnya pada masa lima puluh tahun terakhir—di samping banyak tulisan dan amanat lainnya. Masa kepausan Pius XII adalah yang pertama dalam sejarah Vatikan yang menerbitkan pidato dan amanat Sri Paus ke dalam berbagai bahasa daerah secara sistematis. Hingga saat itu, semua dokumen kepausan diterbitkan khususnya dalam Bahasa Latin di dalam Acta Apostolicae Sedis sejak tahun 1909. Karena memiliki nilai koleksi yang tinggi dan karena ketakutan akan pendudukan Vatikan oleh angkatan bersenjata (Wehrmacht) Jerman, tidak semua dokumen masih ada hingga hari ini.[103] Pada tahun 1944, sebagian dokumen kepausan dibakar atau diubah isinya untuk menghindari penemuan oleh angkatan bersenjata Jerman. Karena dengan tegas ia menyatakan bahwa dirinya sendiri harus meninjau kembali semua tulisan-tulisannya sebelum diterbitkan untuk menghindari kesalah-pahaman, beberapa tulisan dan amanat Paus Pius XII tidak memperoleh kesempatan untuk diterbitkan atau kadang-kadang hanya muncul sekali di dalam surat kabar harian Vatikan, L'Osservatore Romano.

Gemma Galgani dikanonisasi tahun 1940 oleh Pius XII

Beberapa surat ensiklik ditujukan kepada Gereja-gereja Oriental. Orientales Ecclesias diterbitkan pada tahun 1944 pada hari perayaan wafatnya Sirilius dari Alexandria 15 abad yang lalu, seorang suci yang dikenal baik di Gereja Ortodoks maupun di Gereja Latin. Paus Pius XII meminta doa untuk pengertian yang lebih baik dan persatuan semua Gereja ini. Orientales Omnes, terbit tahun 1945 pada ulang tahun ke-350 pertemuan kembali kedua Gereja, adalah sebuah panggilan untuk mendoakan persatuan yang terus menerus dari Gereja Katolik Ruthenia, yang terancam keberadaannya akibat penindasan pihak pemerintah Uni Soviet. Sempiternus Rex diterbitkan tahun 1951 pada ulang tahun ke-15 Konsili Ekumenis Khalsedon. Surat ensiklik ini meliputi sebuah panggilan bagi masyarakat oriental yang percaya pada monofisitisme (paham bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat dasar, yaitu bersifat ilahi) untuk kembali kepada Gereja Katolik.

Orientales Ecclesias, diterbitkan pada tahun 1952 dan ditujukan kepada Gereja-gereja Oriental, memprotes penindasan pengikut Stalin yang terus-menerus kepada Gereja. Beberapa surat-surat apostolik dikirimkan ke para uskup di Timur. Pada tanggal 13 Mei 1956, Paus Pius XII memberikan amanat pada semua uskup dari Ritus Timur. Maria, Bunda Allah, menjadi topik surat-surat ensiklik kepada masyarakat Rusia di dalam Fulgens Corona dan topik sebuah surat kepausan bagi masyarakat Rusia.[104][105][106][107][108][109][110]

Kanonisasi dan beatifikasi

Paus Pius XII melakukan kanonisasi banyak orang suci, termasuk di antaranya Paus Pius X dan Maria Goretti. Ia melakukan beatifikasi Paus Innosensius XI. Kanonisasi pertamanya adalah dua orang wanita: pendiri sebuah ordo wanita, Mary Euphrasia Pelletier, dan seorang gadis cilik, Gemma Galgani. Pelletier memperoleh reputasi karena keberhasilannya membuka jalan-jalan baru bagi organisasi-organisasi amal Katolik, membantu orang-orang yang bermasalah dengan hukum, yang selama ini tidak terurus oleh sistem negara maupun oleh Gereja. Galgani adalah seorang gadis yang kurang diketahui khalayak umum, namun kebajikannya menjadi contoh bagi semua orang lewat kanonisasinya.[111]

Perang Dunia II

Masa kepemimpinan Paus Pius XII dimulai tak lama sebelum Perang Dunia II. Selama masa perang, Sri Paus menjalankan kebijaksanaan netralitas seperti yang dilakukan oleh Paus Benediktus XV selama Perang Dunia I.

Pada bulan April 1939, setelah penyerahan diri Charles Maurras kepada Tahta Suci dan intervensi Karmel dari Lisieux, Paus Pius XII mengakhiri larangan yang ditetapkan oleh pendahulunya atas Action Française, sebuah organisasi yang dinilai oleh beberapa penulis sebagai organisasi yang sangat antisemit dan antikomunis.[112][113]

Pada tahun 1939, Sri Paus mempekerjakan seorang kartografer (pembuat peta) Yahudi bernama Roberto Almagia untuk memperbaiki peta-peta tua di Perpustakaan Vatikan. Almagia telah berada di Universitas Roma sejak tahun 1915, namun dikeluarkan dari institusi itu setelah munculnya undang-undang anti-Yahudi pada tahun 1938 yang diprakarsai oleh Benito Mussolini. Pengangkatan Sri Paus atas dua orang Yahudi bagi Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan dan juga penunjukan Almagia diberitakan oleh New York Times dalam edisi 11 November 1939 dan edisi 10 Januari 1940.[114]

Selama masa agresi Uni Soviet atas Finlandia, yang dikenal sebagai Perang Musim Dingin, Paus Pius XII mengutuk serangan Uni Soviet tersebut dalam sebuah pidato di Vatikan pada tanggal 26 Desember 1939. Beberapa waktu kemudian ia menyumbangkan sebuah doa yang ia tanda tangani dan segel atas nama Finlandia.[115]

Pada tanggal 18 Januari 1940, setelah lebih dari 15.000 warga sipil Polandia terbunuh, Paus Pius XII berkata dalam sebuah siaran radio: "Penciptaan kengerian dan perbuatan kejam yang sangat keterlaluan dan tidak dapat dibenarkan yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak berdaya dan yang menjadi tuna wisma telah dibuat menjadi bukti yang nyata oleh pengakuan-pengakuan saksi-saksi mata yang tidak dapat dibantah."[116]

Setelah Jerman menginvasi Negara-negara Rendah (Belanda, Belgia dan negara-negara kecil di sekitarnya) selama tahun 1940, Paus Pius XII mengirimkan pernyataan simpati kepada Ratu Belanda, Raja Belgia, dan Adipati Agung Luksemburg. Ketika Mussolini mengetahui adanya peringatan dan telegram simpati dari Vatikan ini, ia menganggap hal-hal itu sebagai penghinaan pribadi kepada dirinya dan memerintahkan duta besarnya di Vatikan untuk mengirimkan surat protes resmi, menuduh Paus Pius XII telah berpihak melawan sekutu Italia, Jerman. Menteri Luar Negeri Mussolini menyatakan bahwa Paus Pius XII telah "siap untuk membiarkan dirinya dideportasi ke kamp konsentrasi daripada melakukan apa pun yang berlawanan dengan hati nuraninya."[117]

Pada musim semi 1940, sekelompok jenderal Jerman yang berusaha untuk menggulingkan Hitler dan berdamai dengan Inggris mendekati Paus Pius XII, yang berperan sebagai salah seorang perunding antara Inggris dan komplotan yang gagal ini.[118]

Pada bulan April 1941, Paus Pius XII melakukan pertemuan pribadi dengan Ante Pavelić, pemimpin negara Kroasia yang baru saja diproklamasikan (daripada melakukan pertemuan diplomatik yang diharapkan oleh Pavelić). Paus Pius XII dikritik atas pertemuannya dengan Pavelić ini: sebuah surat pendek Kementerian Luar Negeri Inggris yang tidak bernama menyebut Paus Pius XII sebagai "pengecut moralitas terbesar pada masa kini".[119] Vatikan tidak mengakui secara resmi rezim Pavelić. Paus Pius XII tidak mengutuk pengusiran dan pemaksaan konversi ke agama Katolik yang dilakukan oleh rezim Pavelić pada orang-orang Serbia;[120] namun Tahta Suci secara tegas menolak pemaksaan perpindahan agama yang dilakukan oleh rezim Pavelić dalam sebuah memorandum tertanggal 25 Januari 1942 dari Kementerian Dalam Negeri Vatikan kepada Kedutaan Yugoslavia.[121]

Pada tahun 1941, Paus Pius XII menafsirkan Divini Redemptoris, surat ensiklik Paus Pius XI, yang melarang umat Katolik membantu kaum Komunis, sebagai hal yang tidak berlaku bagi pemberian bantuan militer kepada Uni Soviet dalam Perang Dunia II (Uni Soviet berada di pihak yang sama dengan negara-negara lain yang menentang Nazi Jerman dan Fasis Italia). Penafsiran ini mengakhiri penentangan umat Katolik Amerika atas aturan Lend-Lease dengan Uni Soviet yang diadakan oleh Pemerintah Amerika Serikat.[122] (aturan Lend-Lease ini adalah sebuah program saat negara pemberi bantuan militer, seperti Amerika Serikat dan Inggris, mendapatkan fasilitas instalasi militer sebagai balasannya di negara-negara yang dibantu secara militer tersebut.)

Pada bulan Maret tahun 1942, Paus Pius XII mengadakan hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Jepang dan menerima Duta Besar Ken Harada, yang memegang jabatan tersebut hingga akhir masa perang.[123] Pada Mei 1942, Kazimierz Papée, Duta Besar Polandia untuk Vatikan, mengeluhkan bahwa Paus Pius XII telah gagal untuk mengutuk gelombang kejahatan dan kekejaman yang belakangan terjadi di Polandia. Ketika Kardinal Sekretaris Negara Maglione menjawab bahwa Vatikan tidak dapat mencatat tiap-tiap kejahatan yang terjadi, Papée berkata, "ketika sesuatu telah terkenal kejahatannya, bukti-bukti tidak diperlukan lagi".[124]

Siaran-siaran radio Hari Natal Paus Pius XII yang terkenal yang disiarkan pada tahun 1941 dan 1942 (yang terakhir disiarkan dalam waktu lebih dari 45 menit karena terdiri atas 26 halaman dan lebih dari 5.000 kata) masih menjadi sebuah "penangkal petir" dalam perdebatan mengenai Paus Pius XII selama Perang Dunia II, terutama mengenai Holocaust.[125] Dalam siaran radio Natalnya tahun 1941, ia menyerukan suatu tatanan dunia yang baru yang ditandai dengan hidupnya perdamaian Kristiani. Mayoritas amanat tahun 1942 membicarakan secara umum mengenai hak-hak asasi manusia dan masyarakat yang beradab; pada bagian paling akhir amanatnya, Paus Pius XII tampak beralih untuk membicarakan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi saat itu, walaupun tidak secara khusus, merujuk pada "semua yang selama perang telah kehilangan tanah airnya dan, walau tidak bersalah, telah terbunuh atau menjadi kehilangan segala sesuatunya hanya karena status kewarganegaraan dan asal-usulnya".[126] Editorial New York Times menilai Paus Pius XII sebagai "sebuah suara kesepian di dalam kesunyian dan kegelapan yang menyelimuti Eropa Hari Natal ini" pada tahun 1941[127] dan "suara kesepian yang berteriak keras dari kesunyian sebuah benua" pada tahun 1942.[128]

Setelah perang mulai mendekati masa akhirnya pada tahun 1945, Paus Pius XII menganjurkan kebijaksanaan yang lunak dari para pemimpin negara-negara sekutu sebagai sebuah usaha untuk menghindari apa yang ia nilai sebagai kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akhir Perang Dunia I.[129]

Holocaust

Paus Pius XII membuat sebuah persetujuan—secara resmi disetujui tanggal 23 Juni 1939—dengan Presiden Brasil Getúlio Vargas untuk mengeluarkan 3.000 visa bagi "umat Katolik yang bukan bangsa Arya", namun selama delapan belas bulan berikutnya, badan Conselho de Imigração e Colonização (CIC) di Brasil terus memperketat batasan-batasan dalam penerbitan visa—termasuk di dalamnya adalah menuntut pengadaan surat baptis yang diterbitkan sebelum tahun 1933, transfer uang dalam jumlah yang besar ke Banco do Brasil, dan persetujuan dari Kantor Propaganda Brasil di Berlin—yang berujung pada pembatalan program ini empat belas bulan kemudian setelah hanya kurang dari 1.000 visa yang diterbitkan, di tengah-tengah kecurigaan atas "tindak-tanduk yang tidak benar" (contohnya terus melakukan praktik-praktik agama Yahudi) di antara mereka yang menerima visa.[35][130]

Kardinal Sekretaris Negara Luigi Maglione menerima sebuah permintaan dari Pemimpin Rabbi Palestina Isaac Herzog di Musim Semi 1940 agar Tahta Suci bersedia menjadi wakil orang-orang Yahudi Lithuania yang akan dideportasi ke Jerman[35] untuk mengubah kebijaksanaan Pemerintah Lithuania tersebut. Paus Pius XII memanggil Joachim von Ribbentrop, Menteri Luar Negeri Jerman, pada tanggal 11 Maret 1940, dan berulang kali memprotes tindak Jerman atas perlakuannya terhadap orang-orang Yahudi.[113]

Pada tahun 1941, Kardinal Theodor Innitzer dari Wina memberi tahu Paus Pius XII mengenai pendeportasian orang-orang Yahudi di Wina.[126] Tak lama kemudian ketika ditanya oleh Jenderal Besar Philipe Pétain dari Prancis apakah Vatikan keberatan atas hukum-hukum yang anti-Yahudi, Paus Pius XII menjawab bahwa Gereja mengutuk antimitisme namun tidak akan berkomentar terhadap aturan-aturan tertentu.[126] Hal lain yang hampir sama, ketika pemerintahan boneka Pétain mengadopsi "Undang-undang Yahudi", Duta Besar Vichy-Prancis (atau negara Prancis pada masa penjajahan Nazi Jerman) bagi Vatikan, Léon Bérard, diberitahu bahwa legislasi tersebut tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Katolik.[131] Valerio Valeri, nuncio untuk Prancis menjadi sangat malu ketika ia mengetahui hal ini secara publik dari Pétain[132] dan secara pribadi memeriksa kebenaran informasi tersebut pada Kardinal Sekretaris Negara Maglione[133] yang membenarkan posisi Vatikan tersebut.[134] Pada bulan September 1941, Paus Pius XII menentang Undang-undang Yahudi di Slowakia,[135] yang, tidak seperti Undang-undang di Vichy, melarang pernikahan campur antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Pada bulan Oktober 1941 Harold Tittman, seorang delegasi Amerika Serikat untuk Vatikan, meminta Sri Paus untuk mengutuk kekejaman yang menimpa orang-orang Yahudi; Paus Pius XII menjawab bahwa Vatikan berkeinginan untuk tetap "netral",[136] menegaskan kembali kebijaksanaan netralitas yang diambil oleh Paus Pius XII semenjak September 1940.[131]

Pada tahun 1942, seorang diplomat Slowakia melapor Paus Pius XII bahwa orang-orang Yahudi Slowakia sedang dikirim ke kamp-kamp konsentrasi.[126] Pada tanggal 11 Maret 1942, beberapa hari sebelum pengiriman pertama dijadwalkan untuk berangkat, seorang diplomat di Bratislava melaporkan ke Vatikan: "Saya telah diyakinkan bahwa rencana kejam ini merupakan hasi karya Perdana Menteri (Vojtech Tuka), yang menyetujui rencana ini .... ia berani-beraninya berkata kepada saya—seseorang yang sering memamerkan iman Katoliknya—bahwa ia tidak melihat sesuatu yang tidak berperikemanusiaan atau yang tidak Kristiani di dalam rencana tersebut … pendeportasian 80.000 orang ke Polandia adalah sama saja dengan menghukum mati sebagian besar dari mereka". Vatikan kemudian memprotes Pemerintah Slowakia, bahwa Vatikan "menyesalkan tindakan-tindakan ini yang sangat menyakiti hak asasi manusia seseorang, hanya karena ras mereka."[137]

Pada tanggal 18 September 1942, Paus Pius XII menerima surat dari Monsinyur Montini (yang nantinya menjadi Paus Paulus VI) yang mengatakan bahwa "pembunuhan massal orang-orang Yahudi telah mencapai pada proporsi dan bentuk yang sangat menakutkan".[126] Pada bulan yang sama, Myron Taylor, duta Amerika Serikat untuk Vatikan, memperingatkan Paus Pius XII bahwa "wibawa moral" Vatikan sedang dirusak akibat sikap diamnya terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi di Eropa—sebuah peringatan yang juga dikumandangkan secara bersama oleh duta-duta dari Inggris, Brasil, Uruguay, Belgia, dan Polandia.[138] Kardinal Sekretaris Negara menjawab bahwa isu-isu mengenai genosida belum bisa dibuktikan.[139] Pada bulan Desember 1942, ketika Tittman bertanya kepada Kardinal Sekretaris Negara Maglione apakah Paus Pius XII akan mengeluarkan pernyataan yang sama dengan pernyataan negara-negara sekutu "Kebijaksanaan Jerman mengenai Pemusnahan Ras Yahudi", Maglione menjawab bahwa Vatikan "tidak bisa mengutuk kekejaman-kekejaman tertentu di depan umum".[140]

Pada akhir tahun 1942, Paus Pius XII menyarankan para uskup Jerman dan Hungaria bahwa bersuara menentang pembunuhan massal di wilayah timur akan memiliki keuntungan dari segi politik.[141] Pada tanggal 7 April 1943, Monsinyur Tardini, salah satu penasihat terdekat Paus Pius XII, memberitahu Sri Paus bahwa adalah suatu hal yang menguntungkan secara politik untuk melakukan langkah-langkah membantu orang-orang Yahudi dari Slowakia setelah masa perang.[142]

Pada bulan Januari 1943, Paus Pius XII sekali lagi menolak untuk secara publik mengutuk kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi, setelah adanya permintaan dari Władysław Raczkiewicz, Presiden Pemerintahan Polandia di pembuangan, dan Uskup Konrad von Preysing dari Berlin.[143] Pada tanggal 26 September 1943, setelah Jerman menduduki Italia bagian utara, pejabat-pejabat Nazi memberikan waktu 36 jam bagi para pemimpin Yahudi di Roma untuk menyetorkan 50 kilogram emas (atau yang setara dengannya) kepada Nazi dengan ancaman Nazi akan menyandera 300 orang apabila hal tersebut tidak terpenuhi. Pemimpin Rabbi di Roma saat itu, Israel Zolli, menulis dalam bukunya bahwa ia diutus untuk pergi ke Vatikan untuk mencari bantuan.[144] Vatikan menawarkan bantuan dalam bentuk pinjaman 15 kilogram emas, namun ternyata tawaran ini tidak diperlukan lagi ketika orang-orang Yahudi menerima perpanjangan waktu.[145] Tak lama kemudian, ketika deportasi dari Italia tidak bisa dihindarkan lagi, 477 orang Yahudi disembunyikan di dalam Vatikan sendiri dan 4.238 orang lainnya dilindungi di berbagai biara di Roma.

Pada tanggal 30 April 1943, Paus Pius XII menulis kepada Uskup von Preysing di Berlin: "Kami memberikan tugas kepada para imam yang bekerja di lapangan untuk menentukan bila dan hingga pada derajat mana bahaya tindakan balas dendam dan berbagai bentuk penindasan akan terjadi dengan pernyataan gereja … ad maiora mala vitanda (untuk menghindari hal yang lebih parah) … untuk selalu berhati-hati. Di sinilah terletak salah satu alasan mengapa kita menahan diri kita sendiri dalam amanat-amanat kita; pengalaman yang terjadi dengan adanya amanat Sri Paus pada tahun 1942 yang kami izinkan untuk disampaikan kepada semua umat, membenarkan pendapat kami sejauh yang bisa kami lihat … Tahta Suci telah melakukan segala sesuatu di dalam kemampuannya melalui bantuan-bantuan amal, keuangan dan moral, tak termasuk jumlah uang yang sangat besar yang telah kami gunakan dalam bentuk mata uang Amerika untuk biaya-biaya para imigran".[146]

Pada tanggal 28 Oktober 1943, Ernst von Weizsäcker, Duta Besar Jerman bagi Vatikan, mengirimkan telegram ke Berlin yang berisi: "... Sri Paus masih belum terpengaruh untuk mengutuk secara resmi pendeportasian orang-orang Yahudi dari Roma. Dengan anggapan bahwa pihak Jerman tidak akan mengambil langkah-langkah yang lebih jauh lagi terhadap orang-orang Yahudi di Roma, pertanyaan mengenai hubungan kita dengan pihak Vatikan bisa dianggap selesai".[147]

Pada bulan Maret 1944, melalui nuncio Tahta Kepausan di Budapest, Angelo Rotta mendesak Pemerintah Hungaria untuk melunakkan perlakuannya terhadap orang-orang Yahudi.[148] Protes-protes ini, bersama dengan protes yang sama dari Raja Swedia, Palang Merah Internasional, Amerika Serikat, dan Inggris, mengakibatkan penghentian deportasi pada tanggal 8 Juli 1944.[149] Juga pada tahun 1944, Paus Pius XII menyerukan kepada 13 pemerintah negara-negara Amerika Latin untuk menerima "paspor darurat", walau hal ini membutuhkan intervensi dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat agar negara-negara ini menerima dokumen semacam itu.[150]

Ketika pihak gereja memindahkan 6.000 anak-anak Yahudi di Bulgaria ke Palestina, Kardinal Sekretaris Negara Maglione menegaskan kembali bahwa Tahta Suci bukanlah pendukung Zionisme.[148]

Pada bulan Agustus 2006 beberapa kutipan dari catatan pribadi seorang biarawati dari Biara Santi Quattro Coronati[151] yang telah berusia 60 tahun diterbitkan di media Italia, menyatakan bahwa Paus Pius XII memerintahkan biara-biara di Roma untuk menyembunyikan orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II.[152]

Pasca-Perang Dunia II

Kebijakan gereja setelah masa perang

Kebijakan Gereja setelah Perang Dunia II dari kepemimpinan Paus Pius XII memfokuskan pada bantuan material bagi Eropa yang tercabik-cabik oleh perang, sebuah gerakan internasionalisasi internal Gereja Katolik Roma, serta pembangunan hubungan-hubungan diplomatik seluruh dunia-nya. Surat ensikliknya, Evangelii Praecones dan Fidei Donum yang diterbitkan tanggal 2 Juni 1951 dan 21 April 1957, memberikan hak yang lebih besar bagi misi-misi Katolik untuk mengambil keputusan sendiri. Banyak misi-misi ini yang kemudian menjadi keuskupan-keuskupan yang berdiri sendiri. Paus Pius XII menuntut pengakuan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal sebagai sesuatu yang sejajar dengan kebudayaan Eropa.[153][154] Melanjutkan garis kebijakan pendahulunya, Paus Pius XII mendukung pembentukan administrasi lokal di dalam urusan-urusan gereja: pada tahun 1950, hierarki gereja di Afrika Barat menjadi berdiri sendiri; pada tahun 1951 di Afrika Selatan; dan tahun 1953 di Afrika Timur Britania. Finlandia, Burma, dan Afrika Prancis menjadi keuskupan-keuskupan yang berdiri sendiri tahun 1955.

Penindasan di Eropa Timur

Meski Gereja berkembang di dunia Barat dan di kebanyakan negara-negara yang berkembang, Gereja menghadapi penindasan serius di dunia Timur. Rezim-rezim komunis di Albania, Bulgaria, dan Rumania hampir membasmi Gereja Katolik Roma di negara-negara mereka.[butuh rujukan]

Hubungan dengan Rusia

Hubungan yang sulit antara Vatikan dengan Uni Soviet, atau Rusia, bermula dari Revolusi Rusia tahun 1917 dan berlanjut terus hingga masa kepemimpinan Paus Pius XII. Situasi ini memengaruhi hubungan dengan Gereja Ortodoks pula. Gereja-gereja Oriental Katolik dibasmi di sebagian besar Uni Soviet selama era pemerintahan Joseph Stalin dan para penerusnya. Penindasan terhadap Gereja terus berlangsung selama masa kepemimpinan Paus Pius XII ini.[butuh rujukan]

Hubungan dengan Cina

Hubungan antara Tahta Suci dengan Republik Rakyat Tiongkok tahun 1939–1958 bermula dengan penuh harapan ketika Vatikan mengakui keabsahan ritus Cina dalam Gereja yang telah berlangsung lama pada tahun 1939, pengangkatan kardinal Tiongkok pertama pada tahun 1946, dan pembentukan sebuah hierarki Gereja lokal di Cina. Hubungan ini berakhir dengan penindasan dan pembasmian nyata terhadap Gereja Katolik pada awal dasawarsa 1950-an dan berdirinya Asosiasi Umat Katolik Patriotik Tiongkok pada tahun 1957, sebuah organisasi Gereja Katolik yang tidak diakui oleh Vatikan.[butuh rujukan]

Kontroversi anak-anak yatim-piatu Yahudi

Pada tahun 2005, Corriere della Sera menerbitkan sebuah dokumen bertanggal 20 November 1946 dengan topik anak-anak Yahudi yang dibaptis di Prancis masa perang. Dokumen tersebut memerintahkan agar anak-anak yang telah dibaptis, bila yatim-piatu, harus dipelihara di tempat-tempat asuh Katolik dan menyatakan bahwa keputusan tersebut "telah disetujui oleh Sri Paus". Nuncio Angelo Roncalli (yang nantinya akan menjadi Paus Yohanes XXIII dan mendapat penghargaan dari Yad Vashem—organisasi Israel yang menjaga peringatan atas holocaust—sebagai Yang Berbudi Di Antara Semua Bangsa) mengabaikan berita ini.[155] Abe Foxman, direktur nasional organisasi Liga Anti-Defamasi—sebuah organisasi perlindungan kaum Yahudi di Amerika Serikat—yang dirinya sendiri pernah dibaptis dan mengalami perseteruan perwalian setelahnya, menyerukan penghentian secepatnya terhadap proses beatifikasi Paus Pius XII hingga semua Arsip Rahasia Vatikan dan catatan pembaptisan yang relevan dibuka.[156] Dua orang cendekiawan Italia, Matteo Luigi Napolitano dan Andrea Tornielli, memastikan bahwa memorandum tersebut adalah asli, namun mereka juga menyampaikan bahwa apa yang diungkapkan oleh Corriere della Sera tidak pada tempatnya, karena dokumen tersebut berasal dari Gereja Katolik Prancis, bukan dari arsip Vatikan, dan hanya membatasi diri pada masalah anak-anak tanpa sanak saudara yang seharusnya diserahkan kepada organisasi-organisasi Yahudi.[157]

Masa tua, wafat dan warisan

Tahun-tahun terakhir Paus Pius XII

Patung Pius XII di Braga, Portugal

Tahun-tahun terakhir masa kepemimpinan Paus Pius XII dimulai pada akhir tahun 1954 dengan sebuah penyakit yang berlangsung lama, hingga ia sempat memikirkan untuk mengundurkan diri. Setelah itu, perubahan dalam kebiasaan bekerjanya menjadi terlihat jelas. Sri Paus menghindari upacara-upacara, kanonisasi, dan konsistorium yang memakan waktu lama, serta menunjukkan kebimbangan dalam masalah-masalah pribadi. Selama tahun-tahun terkahir masa kepemimpinannya, Paus Pius XII menunda-nunda pengangkatan pejabat-pejabat di Vatikan dan terlihat semakin susah untuk menjatuhkan hukuman kepada para pembantu dan pejabat seperti Riccardo Galeazzi-Lisi, yang setelah banyak melakukan hal-hal yang negatif akhirnya dikeluarkan dari jabatannya dalam melayani Sri Paus pada tahun-tahun terakhirnya, namun, dengan gelarnya, berhasil masuk ke tempat tinggal Sri Paus dan mengambil foto Sri Paus yang sedang sekarat dan menjualnya ke majalah-majalah Prancis.[158]

Paus Pius XII sering kali mengangkat imam-imam muda menjadi uskup, seperti Julius Döpfner (35 tahun) dan Karol Wojtyla (38 tahun), orang-orang terakhir yang diangkatnya pada tahun 1958. Ia dengan tegas menolak percobaan pastoral, seperti apa yang disebut "imam-pekerja", yakni para imam yang juga bekerja penuh di pabrik-pabrik dan bergabung dengan partai-partai politik dan serikat buruh. Ia terus-menerus membela tradisi teologi Thomisme sebagai sesuatu yang berharga untuk direformasi terus, dan sebagai paham yang lebih superior dibandingkan dengan paham aliran modern seperti Fenomenologi atau Eksistensialisme.[159]

Sakit hingga wafat

Semenjak jatuh sakit tahun 1954, Paus Pius XII menyampaikan berbagai pesan kepada masyarakat dan kelompok awam dalam topik-topik yang sangat beraneka ragam yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Sering kali ia berbicara di depan para peserta pertemuan-pertemuan ilmiah menjelaskan ajaran-ajaran Kristiani dalam hubungannya dengan penemuan-penemuan ilmiah terbaru. Terkadang ia menjawab pertanyaan-pertanyaan moral tertentu yang diajukan kepadanya. Kepada asosiasi-asosiasi profesional, ia menjelaskan etika menjalankan pekerjaan yang relevan dengan asosiasi-asosiasi tersebut dalam hubungannya dengan ajaran-ajaran Gereja.

Sebelum tahun 1955, Pacelli bekerja sama selama bertahun-tahun dengan Giovanni Battista Montini. Sri Paus tidak memiliki satu asisten penuh untuk dirinya sendiri. Robert Leiber kadang-kadang membantu dirinya mengenai pidato dan terbitannya. Augustine Bea menjadi imam yang menerima pengakuan dosanya secara pribadi. Bunda Pascalina Lehnert adalah pengurus rumah tangga dan asistennya selama empat puluh tahun. Domenico Tardini bisa jadi adalah orang yang paling dekat dengannya yang bisa menjadi asisten pribadinya, namun hal ini tidak pernah secara resmi terjadi.

Paus Pius XII meninggal dunia pada tanggal 9 Oktober 1958 di Castel Gandolfo, tempat tinggal resmi Tahta Kepausan selama Musim Panas. Ketika jenazahnya memasuki kota Roma sebagai bagian dari proses pemakamannya, penduduk Roma berkumpul membentuk kumpulan penduduk Roma terbesar saat itu. Penduduk Roma berkabung atas meninggalnya paus "mereka", seseorang yang lahir di kota itu dan terutama seseorang yang menjadi pahlawan pada masa perang.[160] Surat wasiat Paus Pius XII diterbitkan segera setelah wafatnya. Alasan kanonisasi Paus Pius XII dibuka pada tanggal 18 November 1965 oleh Paus Paulus VI. Pada tanggal 2 September 2000, dalam masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II, Paus Pius XII dianugerahi gelar Yang Dimuliakan.

Pandangan, penafsiran dan penelitian ilmiah

Pandangan semasa hidupnya

Selama masa perang, Sri Paus banyak dipuji. Contohnya, Majalah TIME memberikan penghargaan kepada Paus Pius XII dan Gereja Katolik atas "perjuangannya melawan totalitarianisme secara lebih terbuka, lebih tulus, lebih tegas, dan lebih lama dibandingkan kekuatan-kekuatan terorganisasi lainnya".[161] Selama masa perang ia juga dipuji lewat ulasan editorial di surat kabar New York Times atas penentangannya terhadap antisemitisime dan agresi Nazi.[162] Beberapa karya tulis pada masa itu juga menggemakan suara yang sama, termasuk buku Pius XII: Eugenio Pacelli, Paus Perdamaian (1954) yang ditulis oleh sejarawan Polandia Oskar Halecki dan "Potret Pius XII" (1949) karya Nazareno Padellaro.

Banyak orang Yahudi yang secara terbuka berterima kasih kepada Sri Paus atas pertolongannya. Salah satu contohnya adalah Pinchas Lapide, seorang teolog Yahudi dan diplomat Israel bagi Milan pada era tahun 1960-an, yang memperkirakan bahwa Paus Pius XII "sangat berperan dalam penyelamatan minimal 700.000, mungkin bisa mencapai 860.000, orang Yahudi dari kematian di tangan Nazi".[163] Beberapa ahli sejarah mempertanyakan angka-angka yang sering disebutkan ini, yang Lapide hitung dengan cara "mengurangi semua pengakuan pertolongan yang dilakukan oleh pihak-pihak non-Katolik yang masuk akal dari jumlah total orang Yahudi Eropa yang selamat dari Holocaust.[164] Cendekiawan Katolik Kevin Madigan menilai hal ini dan pujian lainnya dari para pemimpin terkemuka Yahudi, termasuk di antaranya Golda Meir, sebagai sesuatu yang kurang tulus dan hanya sebagai suatu usaha untuk memastikan pengakuan Vatikan atas Negara Israel.[165]

Paus Pius XII juga dikritik pada masa hidupnya. Salah satu contohnya, Leon Poliakov, lima tahun setelah Perang Dunia II, menulis bahwa Paus Pius XII diam-diam adalah pendukung undang-undang antisemit di Prancis Vichy, menjulukinya "kurang jujur" dibandingkan Paus Pius XI, mungkin karena "kecintaannya pada Jerman", atau karena adanya harapan bahwa Hitler akan mengalahkan Rusia yang komunis.[166] Uskup Carlos Duarte Costa, pengkritik lama kebijaksanaan Paus Pius XII selama masa perang dan penentang kebijakan selibat bagi para imam dan diakuinya Misa Tridentine, di-ekskomunikasi oleh Paus Pius XII pada tanggal 2 Juli 1945.[167]

Pada tanggal 21 September 1945, sekretaris jenderal Dewan Yahudi Dunia, Dr. Leon Kubowitzky, menyampaikan sejumlah uang kepada Sri Paus "sebagai pengakuan atas karya Tahta Suci dalam menyelamatkan orang-orang Yahudi dari penindasan kaum Fasis dan Nazi".[168]

Setelah masa perang, di Musim Gugur tahun 1945, Harry Greenstein dari Baltimore, seorang teman dekat Kepala Rabbi Herzog dari Yerusalem, menyampaikan kepada Sri Paus betapa berterimakasihnya orang-orang Yahudi atas semua hal yang telah Sri Paus lakukan demi mereka. "Satu-satunya penyesalan saya," jawab Sri Paus, "adalah tidak mampu untuk menyelamatkan orang Yahudi dalam jumlah yang lebih banyak."[169]

Sang Deputi

Pada tahun 1963, sebuah drama karya Rolf Hochhuth berjudul "Der Stellvertreter. Ein christliches Trauerspiel" (Sang Deputi, sebuah tragedi Kristen) menggambarkan Paus Pius XII sebagai seorang munafik yang tinggal diam atas terjadinya holocaust. Buku-buku seperti "A Question of Judgment" (1963, Sebuah Pertanyaan mengenai Pertimbangan) karya Dr. Joseph Lichten ditulis sebagai balasan terhadap "Sang Deputi" dan membela tindakan-tindakan Sri Paus selama masa perang. Lichten menyebut kritik apa pun terhadap tindakan Sri Paus pada masa Perang Dunia II sebagai "sebuah paradoks yang mengherankan" dan berkata "tidak ada satu orang pun yang membaca catatan tindakan-tindakan Paus Pius XII atas nama orang-orang Yahudi yang bisa menyetujui tuduhan Hochhuth".[170] Karya-karya ilmiah yang kritis seperti "The Catholic Church and Nazi Germany" (1964, Gereja Katolik dan Nazi Jerman) karya Guenter Lewy juga mengikuti jejak terbitan "Sang Deputi". Pada tahun 2002, drama ini diadaptasi menjadi sebuah film berjudul "Amen".

Actes

Akibat kontroversi dari "Sang Deputi", pada tahun 1964 Paus Paulus VI mengizinkan para cendekiawan Yesuit untuk meneliti arsip-arsip Departemen Dalam Negeri Vatikan, yang biasanya tidak dibuka selama tujuh puluh lima tahun. Actes et Documents du Saint Siège relatifs à la Seconde Guerre Mondiale (Tindakan-tindakan dan Dokumen-dokumen dari Sri Paus selama Perang Dunia II) diterbitkan dalam sebelas jilid antara tahun 1965 dan tahun 1981. Jilid-jilid ini diterbitkan oleh Angelo Martini, Burkhart Schneider, Robert Graham, dan Pierre Blet. Pierre menerbitkan sebuah rangkuman dari sebelas jilid ini.[171] Keempatnya, dengan Robert Graham yang paling sering, menerbitkan artikel-artikel dan buku-buku berdasarkan topik ini.

Paus milik Hitler

Pada tahun 1999, buku "Hitler's Pope" (Paus milik Hitler) karya John Cornwell mengkritik Paus Pius XII karena tidak cukup melakukan atau menyuarakan penentangan terhadap holocaust. Cornwell menilai bahwa seluruh karier Paus Pius XII sebagai nuncio untuk Jerman, Kardinal Sekretaris Negara, dan Paus ditandai dengan sebuah keinginan yang besar untuk meningkatkan dan memusatkan kekuasaan Tahta Kepausan, dan ia menempatkan lebih rendah penentangannya terhadap Nazi dibandingkan tujuannya tersebut. Ia lebih lanjut menilai bahwa Paus Pius XII adalah antisemit dan akibatnya ia tidak terlalu peduli dengan nasib orang-orang Yahudi Eropa.[172]

Karya Cornwell merupakan karya pertama yang menelaah pengakuan-pengakuan dari proses beatifikasi Paus Pius XII dan juga banyak dokumen dari masa nuncio Pacelli yang baru saja dibuka sesuai dengan aturan tujuh puluh lima tahun arsip-arsip Kesekretariatan Negara Vatikan.[173] Cornwell menyimpulkan bahwa "kegagalan Pacelli untuk menanggapi besarnya kekejaman kasus holocaust lebih dari hanya sebuah kegagalan pribadi. Hal ini adalah juga kegagalan dari Tahta Kepausan dan kebudayaan Katolik yang besar".

Karya Cornwell ini menerima banyak pujian maupun kritik. Kebanyakan pujian bagi Cornwell berpusat pada pernyataannya bahwa dirinya adalah seorang umat Katolik yang mencoba untuk "membersihkan" Paus Pius XII dengan karyanya.[174] Karya-karya tulis seperti "Under His Very Windows: The Vatikan and the Holocaust in Italy" (2000, Di Bawah Jendelanya Sendiri: Vatikan dan Holocaust di Italia) karya Susan Zuccotti dan "The Catholic Church and the Holocaust, 1930-1965" (2000, Gereja Katolik dan Holocaust Tahun 1930–1965) sangat kritis baik terhadap Cornwell maupun terhadap Paus Pius XII.

Segi ilmiah dari karya Cornwell menerima banyak kritik. Salah satu contoh, Kenneth L. Woodward menyatakan dalam ulasannya mengenai buku Cornwell tersebut di majalah Newsweek bahwa "terdapat kesalahan mengenai fakta dan ketidak-tahuan mengenai konteks sejarah hampir di setiap halamannya".[175] Cornwell sendiri memberikan masukan yang lebih membingungkan mengenai tindakan Paus Pius XII dalam sebuah wawancara tahun 2004. Ia menyatakan bahwa "Paus Pius XII memiliki cakupan tindakan yang sangat sempit sehingga adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk menilai alasan dari kebisuannya selama masa perang".[176] Paling belakangan, buku "The Myth of Hitler's Pope" (Mitos mengenai Paus milik Hitler) karya Rabbi David Dalin menilai bahwa para pengkritik Paus Pius XII adalah orang-orang Katolik liberal dan orang-orang bekas Katolik yang "mengeksploitasi tragedi orang-orang Yahudi selama Holocaust untuk membantu mengembangkan agenda politik mereka sendiri untuk memaksakan perubahan dalam Gereja Katolik masa kini" dan bahwa Paus Pius XII nyatanya berjasa atas penyelamatan hidup beribu-ribu orang Yahudi.[177]

ICJHC

Pada tahun 1999, dalam sebuah usaha untuk mengakhiri kontroversi ini, Vatikan membentuk International Catholic-Jewish Historical Commission (ICJHC) atau Komisi Sejarah Katolik-Yahudi Internasional, sebuah badan yang terdiri atas tiga orang cendekiawan Yahudi dan tiga orang cendekiawan Katolik untuk menyelidiki peran Gereja semasa Holocaust. Pada tahun 2001, ICJHC menerbitkan penemuan awalnya yang menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai cara Vatikan berurusan dengan Holocaust, berjudul "The Vatican dan the Holocaust: A Preliminary Report" (Vatikan dan Holocaust: Sebuah Laporan Awal).[178]

Komisi ini menemukan dokumen-dokumen yang merujuk dengan jelas bahwa Paus Pius XII sadar akan penganiayaan anti-Yahudi yang meluas pada tahun 1941–1942, dan mereka mencurigai bahwa pihak Gereja mungkin terpengaruh untuk tidak membantu imigrasi orang-orang Yahudi dari nuncio di Chili dan wakil Tahta Kepausan di Bolivia yang mengeluhkan "invasi orang-orang Yahudi" ke negara-negara mereka, tempat orang-orang Yahudi ini terlibat di dalam "transaksi bisnis yang tidak jujur, aksi-aksi kekerasan, tindakan-tindakan tidak bermoral, dan bahkan sikap tidak hormat kepada agama".[178]

ICJHC mengajukan 47 pertanyaan mengenai cara Gereja berurusan dengan Holocaust, meminta agar dokumen-dokumen yang belum pernah diterbitkan kepada publik sebelumnya dikeluarkan agar mereka bisa meneruskan pekerjaan mereka. Karena tidak memperoleh izin tersebut, komisi ini dibubarkan pada bulan Juli 2001 tanpa pernah mengeluarkan satu laporan akhir pun. Tak puas dengan penemuan-penemuan ini, Dr. Michael Marrus, salah satu dari tiga orang Yahudi anggota komisi tersebut, menyatakan bahwa komisi mereka "bertubrukan dengan sebuh tembok batu … seharusnya akan menjadi sesuatu yang sangat membantu apabila memiliki dukungan dari Tahta Suci mengenai masalah ini".[179]

Catatan kaki

  1. ^ Pitel, Laura (19 December 2009). "Pope John Paul II and Pope Pius XII move closer to sainthood". London: The Times. Diakses tanggal 25 September 2011. 
  2. ^ Pollard, 2005, hal. 70.
  3. ^ Marchione, 2004, hal. 1.
  4. ^ a b c d e Marchione, 2005, hal. 64.
  5. ^ a b c Marchione, 2000, hal. 193.
  6. ^ a b c Marchione, 2004, hal. 10.
  7. ^ a b Marchione, 2004, hal. 9.
  8. ^ Dalin, 2005, hal. 47.
  9. ^ Dalin, 2005, hal. 48.
  10. ^ Levillain, 2002, hal. 1211.
  11. ^ Emma Fatoni, Germania e Santa sede, Le Nunziature di Pacelli tra la Grande Guerra e la Republica de Weimar, Societa Editrice il Mulino, Bologna, Italia, 1992, hal.45-85)
  12. ^ Marchione, 2004, p. 11.
  13. ^ Burkhart Schneider,Pio XII. Pace, Opera della Giustizia, Edizione Paolini, Roma, 1984, hal.16
  14. ^ Burkhart Schneider, Pio XII. Pace, Opera della Giustizia, Edizione Paolini, Roma, 1984, hal.17
  15. ^ Ronald Ryschlak, Hitler the War and the Pope, Genesis Press, Columbus MS, USA, 2000, hal.6;
  16. ^ Lehnert, 15-16
  17. ^ Peter Gumpel, perbincangan 9 Oktober 1994
  18. ^ Bayrisches Geheimes Staatsarchiv München, Bayrische Gesandtschaft beim Päpstlichen Stuhl, 1919, Faszikel 967, 139,167
  19. ^ Schmidt, Lydia. (2000). Kultusminister Franz Matt (1920–1926): Schul-, Kirchen- und Kunstpolitik in Bayern nach dem Umbruch von 1918. CH Beck. ISBN 3-406-10707-9
  20. ^ Robert Murphy Diplomat among Warriors Doubleday, Garden City,N.Y. 1964, p.205
  21. ^ Ludwig Volk Das Reichskonkordat vom 20. Juli 1933 ISBN 3-7867-0383-3.
  22. ^ Ludwig Kaas, Eugenio Pacelli, Erster Apostolischer Nuntius beim Deutschen Reich, Gesammelte Reden, Buchverlag Germania, Berlin, 1930
  23. ^ (Hansjakob Stehle, Die Ostpolitik des Vatikans, Piper, München, 1975, hal.139-141
  24. ^ Rudolf Morsey, Eugenio Pacelli als Nuntius in Deutschland, in Herbert Schambeck, Pius XII. Duncker &Humblot, Berlin, hal. 131.
  25. ^ Rudolf Morsey, Eugenio Pacelli als Nuntius in Deutschland, in Herbert Schambeck, Pius XII. Duncker &Humblot, Berlin, hal. 121.
  26. ^ Karl Heinz Harbeck, Akten der Reichskanzlei. Das Kabinett Cuno, Boppard, 1968, hal. 544.
  27. ^ Emma Fatoni, Germania e Santa Sede, Le Nunziature di Pacelli tra la Grande Guerra e la Republica de Weimar, Societa Editrice il Mulino, Bologna, Italia, 1992, p. 265f.
  28. ^ Nikolaus Junk, Im Kampf Zwischen Zwei Epochen, Mainz 1973, hal. 381.
  29. ^ Kent, 2002, hal. 24.
  30. ^ Fahlbusch, Erwin (ed.). Bromiley, Geoffrey W. (trans.). (2005). The Encyclopedia of Christianity. ISBN 0-8028-2416-1
  31. ^ Dalin, 2005, hal. 58–59.
  32. ^ Marchione, 2002, hal. 22.
  33. ^ Phayer, 2000, hal. 3.
  34. ^ Walter Bussmann, 1969, "Pius XII an die deutschen Bischöfe", Hochland 61, hal. 61–65
  35. ^ a b c Gutman, Israel, Encyclopedia of the Holocaust, hal. 1136.
  36. ^ Passelecp, Suchecky hal.113-137
  37. ^ a b Hill, Roland. 1997, August 11. "The lost encyclical Diarsipkan 2017-06-30 di Wayback Machine.." The Tablet.
  38. ^ January 28,1939, eleven days before the death of Pope Pius XI, author a disappointed Gundlach informs to author La Farge,."It cannot continue like this" The text has not been forwarded to the Vatican. He had talked to the American assistant to Father General, who promised to look into the matter in December 1938, but did not report back.Passelecp, Suchecky. hal. 121.
  39. ^ Humani Generis Unitas
  40. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-30. Diakses tanggal 2015-03-06. 
  41. ^ On March 16, four days after coronation, Gundlach informs LaFarge, that the documents were given to Pius XI shortly before his death, but that the new Pope had sofar no opportunity to learn about it. Passelecp, Suchecky. hal. 126.
  42. ^ ENCYCLICAL OF POPE PIUS XII ON THE UNITY OF HUMAN SOCIETY TO OUR VENERABLE BRETHREN: THE PATRIARCHS, PRIMATES, ARCHBISHOPS, BISHIOPS, AND OTHER ORDINARIES IN PEACE AND COMMUNION WITH THE APOSTOLIC SEE (AAS 1939).
  43. ^ Eugenio Cardinal Pacelli Discorsi E Panegirici 1931–1938 Tipografia Poliglotta Vaticana, 1939
  44. ^ Ludwig Volk, Die Kirche in den deutschsprachigen Ländern in: Handbuch der Kirchengeschichte, Band VII, hal. 539.
  45. ^ Ludwig Volk, Die Kirche in den deutschsprachigen Ländern in: Handbuch der Kirchengeschichte, Band VII, hal. 539-544.
  46. ^ Konkordat-konkordat tersebut adalah: Latvia 1922, Bavaria 1925, Poland 1925, France I., 1926, France II. 1926, Lithuania 1927, Czechoslovakia 1928, Portugal I 1928, Italy I1929, Italy II 1929, Portugal II 1929, Rumania I1927, Prussia 1929, Rumania II 1932, Baden 1932, Germany 1933, Austria 1933. Lihat P.Joanne M.Restrepo Restrepo SJ. Concordata Regnante Sanctissimo Domino Pio PP.XI. Inita PontificiaUniversita Gregoriana, Roma, 1934.
  47. ^ Ludwig Volk, Die Kirche in den deutschsprachigen Ländern in: Handbuch der Kirchengeschichte, Band VII, hal. 546,547.
  48. ^ Ludwig Volk Das Reichskonkordat vom 20. Juli 1933, hal. 34f., 45–58.
  49. ^ Klaus Scholder "The Churches and the Third Reich" volume 1: terutama Part 1, chapter 10; Part 2, chapter 2
  50. ^ Volk, hal. 98–101. Feldkamp, 88–93.
  51. ^ Volk, hal. 101,105.
  52. ^ Volk, hal. 254.
  53. ^ Phayer 2000, hal. 16; Sanchez 2002, hal. 16–17.
  54. ^ 74.A lEveque de Passau, in "Lettres de Pie XII aux Eveques Allemands 1939–1944, Libreria Editrice Vaticana, 1967, hal.416
  55. ^ Michael F. Feldkamp Pius XII und Deutschland ISBN 3-525-34026-5.
  56. ^ Dalin, 2005, hal. 69–70
  57. ^ Catholic Forum. Pope Pius XII Diarsipkan 2006-04-24 di Wayback Machine..
  58. ^ Pius XII, quoted in Joseph Brosch, Pius XII, Lehrer der Wahrheit, Kreuzring, Trier,1968, hal.45
  59. ^ “Medius vestrum stetit quem vos nescetis. Everybody knew what the pope meant". Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960, hal.105
  60. ^ Lehnert, Pascalina Ich durfte Ihm Dienen,Erinnerungen an Papst Pius XII. Naumann, Würzburg, 1986, hal.57
  61. ^ Pascalina Lehnert, Ich durfte Ihm Dienen, Erinnerungen an Papst Pius XII. Naumann, Würzburg, 1986,hal. 49
  62. ^ Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960, hal.75
  63. ^ Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960, hal.76
  64. ^ Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960, hal. 76.
  65. ^ Congregation of Extraordinary Ecclesiastical Affairs and Congregation of Ordinary Affairs
  66. ^ Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960, hal.157
  67. ^ Guilio Nicolini, Il Cardinale Domenico Tardini, Padova, 1980, ISBN 88-7026-340-1; hal.313
  68. ^ In the State Department he had actively supported “foreigners”, for example Francis Spellman, the American monsignor, whom he consecrated himself as the first American Bishop in the Vatican curia. Spellman had organized and accompanied Pacelli's American journey and arranged a meeting with President Roosevelt. Only 30 days after his coronation, on April 12 1939, Pope Pius XII named Spellman as archbishop of New York. ((For many interesting details see the authorized biography of Cardinal Spellman: Robert I. Gannon The Cardinal Spellman Story, Doubleday Company, New York, 1962
  69. ^ Oscar Halecki, James Murray, Jr. Pius XII, Eugenio Pacelli, Pope of Peace; hal.370
  70. ^ (previously Leo X's elevation of thirty-one cardinals in 1517 had held this title). John Paul II would later surpass this number on February 21 2001, elevating forty-four cardinals. By that time, the limit had been suspended and over 120 Cardinals existed.
  71. ^ Oscar Halecki, James Murray, Jr. Pius XII, Eugenio Pacelli, Pope of Peace, hal. 371.
  72. ^ Levillain, 2002, hal. 1136.
  73. ^ Pio XII, La Allocuzione nel consistorio Segreto del 12 Gennaio 1953 in Pio XII, Discorsi e Radiomessagi di Sua Santita, Vatican City, 1953, 455
  74. ^ Tardini later thanked him for not appointing him. The Pope replied with a smile: Monsignore mio, you thank me, for not letting me do what I wanted to do” I replied, yes Holy Father, I thank you for everything you have done for me, but even more, what you have not done for me. The Pope smiled. In Domenico Cardinale Tardini, Pio XII, Tipografia Poliglotta Vaticana, 1960 157
  75. ^ Tobin, Greg. (2003). Selecting the Pope: Uncovering the Mysteries of Papal Elections. Barnes & Noble Publishing. ISBN 0-7607-4032-1. hal. xv-xvi, 143.
  76. ^ For example Padellaro:“Church history will memorize with special letters the secret conclave of 1946, and the cosmopolitan Pius XII, who called men of all races into the Senate of the Church" Nazareno Padellaro, Pio XII Torino, 1956, p. 484
  77. ^ AAS, 1947, Mediator Dei, 18
  78. ^ AAS, 1947, Mediator Dei, p. 19.
  79. ^ AAS 1947, Mediator Dei, hal. 31.
  80. ^ AAS, 1947, Mediator Dei, 47
  81. ^ AAS, 1957, hal. 425.
  82. ^ AAS, 1952, pp. 542-546
  83. ^ AAS, 1946, pp. 349-354
  84. ^ AAS, 1956, hal. 357.
  85. ^ AAS, 1950, hal. 657
  86. ^ AAS 1954 313
  87. ^ AAS 1957 272
  88. ^ AAS, 1943, hal. 297.
  89. ^ AAS, 1943, hal. 305.
  90. ^ Pius XII, Enc. Humani Generis, 21
  91. ^ Humani Generis, hal. 21.
  92. ^ AAS, 1950, hal. 753.
  93. ^ AAS 1953, 577
  94. ^ AAS 1954, 625
  95. ^ Pius XII, Enc. Mystici Corporis Christi, 110
  96. ^ Pio XII, Discorsi Ai Medici compiles 700 pages of specific addresses.
  97. ^ Pope Pius XII, The Moral Limits of Medical Research and Treatment Diarsipkan 2010-08-21 di Wayback Machine..
  98. ^ Dua pidato pada 29 Oktober 1951, dan 26 November 1951: Moral Questions Affecting Married Life: Addresses given to the Italian Catholic Union of midwives 29 Oktober 1951, dan 26 November 1951 to the National Congress of the Family Front and the Association of Large Families, National Catholic Welfare Conference, Washington, DC. Text of the speeches available from EWTN Diarsipkan 2010-12-06 di Wayback Machine. or CatholicCulture.org
  99. ^ Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1940, p407; Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1942, hal.52; Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1946,hal.89Discorsi E Radiomessaggi di sua Santita Pio XII, Vatican City, 1951, hal.28.221.413.574
  100. ^ Robert Leiber, Pius XII Stimmen der Zeit, November 1958 in Pius XII. Sagt, Frankfurt 1959, hal.411
  101. ^ Pius XII, Enc. Humani Generis, 36
  102. ^ http://www.catholic.net/RCC/Periodicals/Inside/01-97/creation.html
  103. ^ Communication, Father Robert Graham, SJ, 10 November 1992
  104. ^ Orientales Ecclesias, AAS, 1944, hal. 129.
  105. ^ Orientales Omnes, AAS, 1946, hal. 33-63.
  106. ^ Sempiternus Rex, AAS, 1951, hal. 625-644.
  107. ^ Orientales Ecclesias. AAS, 1953, hal. 5-15.
  108. ^ Apostolic Letters to the bishops in the East. AAS, 1956, hal. 260-264.
  109. ^ Fulgens Corona, AAS, 1953, hal. 577-593.
  110. ^ Papal letter to the People of Russia, AAS, 1952, hal. 505-511.
  111. ^ Pascalina Lehnert, Pius XII, Ich durfte ihm dienen, Würzburg, 1982, hal. 163
  112. ^ Friedländer, Saul, 1997, Nazi Germany and the Jews: The Years of Persecution, New York: HarperCollins, hal. 223.
  113. ^ a b McInerny, 2001, hal. 49.
  114. ^ McInerny, 2001, hal. 47.
  115. ^ Finnish Defence Forces – The Winter War 1939–1940 Diarsipkan 2008-07-15 di Wayback Machine. Diakses pada 9-5-2007.
  116. ^ Gilbert, Martin, The Second World War, hal. 40.
  117. ^ Dalin, David G. The Myth of Hitler's Pope: How Pope Pius XII Rescued Jews from the Nazis. Regnery Publishing. Washington, 2005. ISBN 0-89526-034-4. hal. 76.
  118. ^ Prof. John S. Conway: The Vatican, the Nazis and Pursuit of Justice.
  119. ^ Mark Aarons and John Loftus Unholy Trinity hal. 71–2
  120. ^ Israel Gutman (ed.) Encyclopedia of the Holocaust vol 2 hal. 739
  121. ^ Ronald Rychlak, Hitler, the War, and the Pope, hal. 414–15, note 61.
  122. ^ Mary Ball Martinez. 1993. "Pope Pius XII and the Second World War". Journal of Historical Review. v. 13.
  123. ^ [1] Diarsipkan 2012-09-12 di Archive.is [2].
  124. ^ Report by the Polish Ambassador to the Holy See on the Situation in German-occupied Poland, Memorandum No. 79, 29 Mei 1942, Myron Taylor Papers, NARA.
  125. ^ Rittner and Roth, 2002, hal. 4.
  126. ^ a b c d e Gutman, Israel, Encyclopedia of the Holocaust, hal. 1137.
  127. ^ New York Times. December 25, 1941. "The Pope's Message." hal. 24.
  128. ^ New York Times. December 25, 1942. "The Pope's Verdict." hal. 16.
  129. ^ Kent, 2002, hal. 87–100.
  130. ^ Lesser, Jeffrey. 1995. Welcoming the Undesirables: Brazil and the Jewish Question. University of California Press. hal. 151–168.
  131. ^ a b Perl, William, The Holocaust Conspiracy, hal. 200.
  132. ^ Phayer, 2000, hal. 5.
  133. ^ Michael R. Marrus and Robert O. Paxton, 1981, Vichy France and the Jews, New York: Basic Books, hal. 202.
  134. ^ Delpech, Les Eglises et la Persécution raciale, hal. 267.
  135. ^ John F. Morley, 1980, Vatican Diplomacy and the Jews during the Holocaust, 1939–1943, New York: KTAV, hal. 75.
  136. ^ Perl, William, The Holocaust Conspiracy, hal. 206.
  137. ^ Lapide, 1980, hal. 139.
  138. ^ Phayer, 2000, hal. 27–28.
  139. ^ Israel Pocket Library, Holocaust, hal. 133; Gutman, Israel, Encyclopedia of the Holocaust, hal. 1137.
  140. ^ Hilberg, Raul, The Destruction of the European Jews, hal. 315.
  141. ^ Israel Pocket Library, Holocaust, hal. 136.
  142. ^ Actes et documents du Saint Siège relatifs à la Seconde Guerre mondiale / éd. par Pierre Blet, Angelo Martini, Burkhart Schneider. 7 April 1943
  143. ^ Israel Pocket Library, Holocaust, hal. 134.
  144. ^ Eugenio Zolli. Before the Dawn. Reissued in 1997 as Why I Became a Catholic.
  145. ^ Israel Pocket Library, Holocaust, hal. 133.
  146. ^ Surat Pius XII pada 30 April 1943 untuk Uskup Berlin, Graf von Preysing, diterbitkan dalam "Documentation catholique" tanggal 2 Februari 1964.
  147. ^ Berel Lang. "Not Enough" vs. "Plenty": Which did Pius XII do? Diarsipkan 2007-12-15 di Wayback Machine.. Judaism. Fall 2001. dan "Jewish Virtual Library: 860,000 Lives Saved – The Truth About Pius XII and the Jews"
  148. ^ a b Gutman, Israel, Encyclopedia of the Holocaust, hal. 1138.
  149. ^ Gilbert, Martin, The Holocaust, hal. 701.
  150. ^ Perl, William, The Holocaust Conspiracy, hal. 176.
  151. ^ Baglioni, Pina (August 2006). "30Days – The Holy Father orders…". 30Days. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2006-11-02. 
  152. ^ Davies, Bess Twiston (2006-08-19). "Faith news – Comment – Times Online". The Times. Diakses tanggal 2006-11-02. 
  153. ^ Audience for the directors of mission activities in 1944 A.A.S., 1944, hal. 208.
  154. ^ Evangelii Praecones. hal. 56.
  155. ^ Jerusalem Report, (7 Februari 2005).
  156. ^ Anti-Defamation League. ADL to Vatican: Open Baptismal Records and Put Pius Beatification on Hold Diarsipkan 2009-01-04 di Wayback Machine.. 13 Januari 2005.
  157. ^ Dimitri Cavalli. Pius's Children Diarsipkan 2008-05-27 di Wayback Machine.. The American. 1 April 2006.
  158. ^ Schneider, hal. 80.
  159. ^ Lihat Humani Generis.
  160. ^ Pascalina Lehnert, Ich durfte ihm dienen, hal.197
  161. ^ Time. 16 Agustus 1943.
  162. ^ New York Times 25 Desember 1941 dan 25 Desember 1942 [3][pranala nonaktif permanen]
  163. ^ Lapide, Three Popes and the Jews, 1967, dikutip di Dalin, 2005, hal. 11.
  164. ^ Lapide, 1967, hal. 269.
  165. ^ Kevin Madigan. Judging Pius XII, page 2 Diarsipkan 2007-12-19 di Wayback Machine.. Christian Century. 14 Maret 2001.
  166. ^ Leon Poliakov. November 1950. "The Vatican and the 'Jewish Question': The Record of the Hitler Period — and After." Commentary 10: 439–449.
  167. ^ Redmile, Robert David. 2006. The Apostolic Succession and the Catholic Episcopate in the Christian Episcopal. Xulon Press. ISBN 1-60034-516-6. hal. 247.
  168. ^ McInernny, 2001, hal. 155.
  169. ^ McInernny, Ralph, The Defamation of Pius XII, 2001.
  170. ^ Lichten, 1963, A Question of Judgement Diarsipkan 2006-07-25 di Wayback Machine..
  171. ^ Pierre Blet Pius XII and the Second World War, Paulist Press, 1999
  172. ^ Phayer, 2000, hal. xii-xiii.
  173. ^ Sanchez, 2002, hal. 34.
  174. ^ Sanchez, 2002.
  175. ^ Kenneth L. Woodward. The Case Against Pius Xii, Newsweek. 27 September 1999. http://www.newsweek.com/id/89597
  176. ^ For God's sake. The Economist. 9 Desember 2004.
  177. ^ Dalin, 2005, hal. 3.
  178. ^ a b ICJHC, 2000.
  179. ^ Melissa Radler. "Vatican Blocks Panel's Access to Holocaust Archives." The Jerusalem Post. 24 Juli 2001.

Referensi

Pustaka utama

  • Acta Apostolicae Sedis (AAS). 1939–1958. Vatican City.
  • (Italia) Angelini, Fiorenzo. 1959. Pio XII, Discorsi Ai Medici. Rome.
  • Claudia, M. 1955. Guide to the Documents of Pope Pius XII. Westminster, Maryland.
  • Pio XII, Discorsi e Radio Messaggi di Sua Santita Pio XII. 1939–1958. Vatican City. 20 vol.
  • Roosevelt, Franklin D.; Myron C. Taylor, ed. Wartime Correspondence Between President Roosevelt and Pope Pius XII. Prefaces by Pius XII and Harry Truman. Kessinger Publishing (1947, reprinted, 2005). ISBN 1-4191-6654-9
  • (Jerman) Utz, A. F., and Gröner, J. F. (eds.). Soziale Summe Pius XII 3 vol.
  • Zolli, Israel. 1997. Before the Dawn. Roman Catholic Books (Reprint edition). ISBN 0-912141-46-8. Also see Amazon Online Reader

Pustaka kedua

  • Cornwell, John. 1999. Hitler's Pope: The Secret History of Pius XII. Viking. ISBN 0-670-87620-8. Also see Amazon Online Reader.
  • Cushing, Richard. 1959. Pope Pius XII. Paulist Press.
  • Dalin, Rabbi David G. 2005. The Myth of Hitler's Pope: How Pope Pius XII Rescued Jews from the Nazis. Regnery. ISBN 0-89526-034-4.
  • Falconi, Carlo. 1970 (translated from the 1965 Italian edition). The Silence of Pius XII. Boston: Little, Brown, and Co. ISBN 0-571-09147-4
  • Feldkamp, Michael F. Pius XII und Deutschland. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht. ISBN 3-525-34026-5.
  • Friedländer, Saul. 1966. Pius XII and the Third Reich: A Documentation. New York: Alfred A Knopf. ISBN 0-374-92930-0
  • Gallo, Patrick J., ed. 2006. Pius XII, The Holocaust and the Revisionists. London: McFarland & Company, Inc., Publishers. ISBN 0-7864-2374-9
  • Goldhagen, Daniel. 2002. "A Moral Reckoning – The role of the Catholic Church in the Holocaust and Its Unfulfilled Duty of Repair". Little, Brown ISBN 0 316 724467
  • Gutman, Israel (ed.). 1990. Encyclopedia of the Holocaust, vol. 3. New York: Macmillan Publishing Company. ISBN 0-02-864529-4
  • Halecki, Oskar. 1954. Pius XII: Eugenio Pacelli: Pope of peace. Farrar, Straus and Young. OCLC 775305
  • Hatch, Alden, and Walshe, Seamus. 1958. Crown of Glory, The Life of Pope Pius XII. New York: Hawthorne Books.
  • ICJHC. 2000. The Vatican and the Holocaust: A Preliminary Report.
  • Kent, Peter. 2002. The Lonely Cold War of Pope Pius XII: The Roman Catholic Church and the Division of Europe, 1943–1950. Ithaca: McGill-Queen's University Press. ISBN 0-7735-2326-X
  • Lapide, Pinchas 1980. The Last Three Popes and the Jews. London:Souvenir Press.
  • Levillain, Philippe. 2002. The Papacy: An Encyclopedia. Routledge (UK). ISBN 0-415-92228-3
  • Lewy, Guenter. 1964. The Catholic Church and Nazi Germany. New York: McGraw-Hill. ISBN 0-306-80931-1
  • Marchione, Sr. Margherita. 2000. Pope Pius XII: Architect for Peace. Paulist Press. ISBN 0-8091-3912-X
  • Marchione, Sr. Margherita. 2002. Consensus and Controversy: Defending Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4083-7
  • Marchione, Sr. Margherita. 2002. Shepherd of Souls: A Pictorial Life of Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4181-7
  • Marchione, Sr. Margherita. 2004. Man of Peace: An Abridged Life of Pope Pius XII. Paulist Press. ISBN 0-8091-4245-7
  • McDermott, Thomas. 1946. Keeper of the Keys -A Life of Pope Pius XII. Milwaukee: The Bruce Publishing Company.
  • McInerney, Ralph. 2001. The Defamation of Pius XII. St Augustine's Press. ISBN 1-890318-66-3
  • Murphy, Paul I. and Arlington, R. Rene. 1983. La Popessa: The Controversial Biography of Sister Pasqualina, the Most Powerful Woman in Vatican History. New York: Warner Books Inc. ISBN 0-446-51258-3
  • (Italia) Padellaro, Nazareno. 1949. Portrait of Pius XII. Dutton; 1st American ed edition (1957). OCLC 981254
  • Paul, Leon. 1957. The Vatican Picture BookA Picture Pilgrimage. New York: Greystone Press.
  • Phayer, Michael. 2000. The Catholic Church and the Holocaust, 1930–1965. Indianapolis: Indiana University Press. ISBN 0-253-33725-9.
  • Pollard, John F. 2005. Money and the Rise of the Modern Papacy: Financing the Vatican, 1850–1950. Cambridge University Press.
  • Pfister, Pierre. 1955. PIUS XIIThe Life and Work of a Great Pope. New York: Thomas Y. Crowell Company.
  • Ritner, Carol and Roth, John K. (eds.). 2002. Pope Pius XII and the Holocaust. New York: Leicester University Press. ISBN 0-7185-0275-2
  • Rychlak, Ronald J. 2000. Hitler, the War, and the Pope. Our Sunday Visitor. ISBN 0-87973-217-2. Also see Amazon Online Reader
  • Sánchez, José M. 2002. Pius XII and the Holocaust: Understanding the Controversy. Washington D.C.: Catholic University of America Press. ISBN 0-8132-1081-X
  • Scholder, Klaus. 1987. The Churches and the Third Reich. London.
  • Volk, Ludwig. 1972. Das Reichskonkordat vom 20. Juli 1933. Mainz: Matthias-Grünewald-Verlag. ISBN 3-7867-0383-3.
  • Zuccotti, Susan. 2000. Under his very Windows, The Vatican and the Holocaust in Italy. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-08487-0

Pranala luar

Umum

Dokumen resmi

Pro-Pius

Anti-Pius

Campuran

Didahului oleh:
Pius XI
Paus
1939–1958
Diteruskan oleh:
Yohanes XXIII