Kepausan AvignonKepausan Avignon dalam sejarah Gereja Katolik Roma adalah periode dari 1305 hingga 1378 ketika Uskup Roma, yaitu Paus, tinggal di Avignon (kini bagian dari Prancis) dan bukan di Roma. Tujuh paus, semuanya orang Prancis, tinggal di Avignon pada masa ini:
Pada tahun 1376, Paus Gregorius XI memindahkan takhta kepausan kembali ke Roma dan meninggal di sana pada tahun 1378. Karena adanya pertikaian mengenai pemilihan penggantinya, sekelompok kardinal mendirikan apa yang disebut antipaus di Avignon:
Ini adalah suatu masa sulit dari tahun 1378 hingga 1417 yang disebut oleh para cendekiawan Katolik sebagai "Skisma Barat" atau kontroversi besar mengenai para antipaus (yang juga disebut sebagai Skisma Besar Kedua oleh sejumlah ahli sejarah sekuler dan Protestan), di mana golongan-golongan di lingkungan Gereja Katolik terbagi-bagi kesetiaannya terhadap sejumlah orang yang mennyebut diri mereka berhak atas takhta paus. Konsili Konstanz pada 1417 akhirnya menyelesaikan kontroversi ini dengan mencabut sisa-sisa terakhir dari kepausan Avignon. Negara Gereja (yang kini terbatas hanya pada kota Vatikan) meliputi daerah di sekitar Avignon (Comtat Venaissin) dan sebuah kantong di sebelah timur. Daerah-daerah itu tetap menjadi bagian Negara Gereja hingga saat Revolusi Prancis, dan menjadi bagian dari Prancis pada tahun 1791. Latar belakangKepindahan ke AvignonSetelah wafatnya Paus Benediktus XI pada tahun 1304, Raymond Bertrand de Got, Uskup Agung Bordeaux, terpilih menjadi penerusnya dengan nama Paus Klemens V di bulan Juni 1305. Jabatannya ini diresmikan dalam sebuah upacara gereja pada tanggal 14 November 1305. Terpilihnya ia menjadi paus adalah sekitar setahun setelah terjadinya kebuntuan masa pemerintahan tahta suci akibat perseteruan antara para kardinal Prancis dengan para kardinal Italia, yang berjumlah sama kuat di dalam konklaf yang harus diselenggarakan di Perugia. Bertrand sendiri bukanlah seorang Italia maupun seorang kardinal, dan terpilihnya dirinya mungkin dianggap sebagai sebuah sikap menuju netralitas. Penulis sejarah masa itu Giovanni Villani melaporkan gosip yang menyatakan bahwa Sri Paus yang baru sebelumnya telah menyatakan tunduk kepada Raja Prancis Philippe IV (1285-1314) dalam sebuah persetujuan resmi sebelum pengangkatannya yang dibuat di St. Jean d'Angély di Saintonge. Benar atau tidaknya gosip ini tidaklah penting semenjak kemungkinan besar Sri Paus yang baru ini telah dipilih dengan persyaratan yang ketat yang diberikan oleh persekutuan para kardinal di dalam konklaf. Di Bordeaux, Bertrand secara resmi diberitahu pemilihan dirinya sebagai Sri Paus dan didorong untuk segera datang ke Italia. Namun ia memilih untuk ditahbiskan di Lyon pada tanggal 14 November 1305 yang dirayakan dengan mewah dan dihadiri oleh Philippe IV. Di antara tindakan-tindakan awalnya adalah pengangkatan sembilan kardinal Prancis. Pada awal tahun 1306, Paus Klemens V menjelaskan isi dari surat resmi Clericis Laicos yang tampak ditujukan bagi Raja Prancis dan pada dasarnya menghapuskan surat resmi Unam Sanctam, dua surat resmi yang dikeluarkan oleh Paus Bonifasius VIII yang sangat menyinggung pemerintahan Philippe IV yang sangat ambisius. Ia dinilai membawa jabatan Sri Paus sebagai alat dari monarki Prancis, sebuah perubahan radikal dalam kebijaksanaan tagta kepausan. Pada tanggal 13 Oktober 1307, ratusan Kesatria Kenisah ditangkap di Prancis, sebuah tindakan yang nyata-nyata bermotivasi masalah uang dan dilaksanakan oleh birokrasi kerajaan dengan sangat cepat untuk meningkatkan wibawa tahta kerajaan. Philippe IV berada di belakang tindakan kejam ini, tetapi kejadian ini juga merusak reputasi historis Paus Klemens V. Semenjak hari pertama pentahbisan Paus Klemens V, sang raja telah menuduh para Kesatria Kenisah sebagai pengikut ajaran sesat, tidak bermoral dan tidak berperikemanusiaan. Juga, kesangsian Sri Paus atas kasus Kesatria Kenisah ini diredam oleh pemikiran yang semakin meluas bahwa negara Prancis yang semakin besar mungkin tidak akan menunggu Gereja untuk mengadili Kesatria Kenisah dan melainkan akan melakukannya sendiri. Pada bulan Maret 1309 seluruh anggota tahta kepausan pindah dari Poitiers (di mana mereka berada selama empat tahun terakhir) ke Avignon, yang saat itu bukan bagian wilayah Prancis tetapi merupakan sebuah perkebunan kerajaan milik Raja Sisilia. Perpindahan tahta kepausan ke Avignon dibenarlan oleh para teolog Prancis pendukung Sri Paus atas dasar keamanan karena Roma (di mana pertikaian antar-bangsawan Romawi dan tentara mereka telah sampai pada situasi yang sangat parah, dan di mana Basilika San Giovanni di Laterano telah hancur terbakar) sedang dalam kondisi tidak stabil dan berbahaya. Namun keputusan ini kemudian menjadi pelopor dari Kepausan Avignon yang lama, yang dijuluki Francesco Petrarca sebagai "Tawanan Babilonia" (1309-1377), dan menandai awal dari hilangnya konsep Gereja Katolik bahwa Sri Paus adalah Uskup Dunia. Gaya Kepausan AvignonPada akhir Abad Pertengahan tahta kepausan memainkan sebuah peran lain yang besar selain peranannya di bidang rohani. Konflik antara Sri Paus dan Kaisar Romawi Suci pada dasarnya berakar pada suatu pertikaian tentang siapa di antara mereka berdua yang menjadi pemimpin Dunia Kristen dalam masalah-masalah sekuler. Pada awal abad ke-14, tahta kepausan tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar dalam aturan-aturan sekuler; suatu kekuasaan yang dimilikinya pada abad ke-12 dan -13. Kesuksesan Perang-perang Salib awal menambahkan kewibawaan Sri Paus sebagai pemimpin sekuler Dunia Kristen, dengan monarki-monarki seperti Raja Inggris, Prancis dan bahkan Kaisar sekalipun hanya bertindak sebagai panglima Sri Paus, dan memimpin tentara-tentara "mereka". Perkecualian dari hal ini adalah Frederick II, yang dua kali dikucilkan oleh Sri Paus dalam satu perang salib. Frederick II mengabaikan pengucilan ini dan bahkan berperang cukup sukses di Tanah Suci. Mulai dengan Paus Klemens V, yang diangkat pada tahun 1305, semua paus pada masa tahta kepausan berada di Avignon adalah orang Prancis. Fakta ini cenderung melebih-lebihkan pengaruh Prancis daripada apa yang terjadi sesungguhnya. Prancis bagian selatan pada waktu itu memiliki budaya yang cukup berbeda dengan Prancis bagian utara, daerah asal kebanyakan penasihat Raja Prancis waktu itu. Arles saat itu masih merdeka, sebuah kota yang resminya merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masa "troubadour" di daerah Languedoc bersifat unik dan sangat berbeda dengan budaya kalangan bangsawan di utara. Bahkan dalam segi agama, daerah selatan menghasilkan alirannya sendiri, yaitu gerakan Kathar, yang pada akhirnya dinyatakan sesat, karena bertabrakan dengan doktrin-doktrin Gereja. Gerakan ini sedikit banyak berasal dari kehendak daerah selatan yang ingin merdeka, walaupun kekuatan mereka telah sangat diperlemah akibat serangan kaum Albigensia seratus tahun sebelumnya. Pada saat tahta kepausan di Avignon, kekuasaan Raja Prancis di wilayah tersebut tidak terbantahkan, walau secara hukum masih belum mengikat. Sumber yang lebih kuat mengenai mengapa semua paus di Avignon adalah orang Prancis adalah pindahnya Kuria Romawi dari Roma ke Avignon pada tahun 1305. Akibat Konklaf sebelumnya yang menemui jalan buntu dan untuk menghindari perseteruan antara keluarga-keluarga Italia yang berpengaruh yang melahirkan paus-paus sebelumnya, seperti Keluarga Colonna dan Keluarga Orsini, pihak Gereja mencari sebuah tempat yang lebih aman dan menemukannya di Avignon, sebuah area pekebunan milik Sri Paus di daerah Comtat Venaissin. Secara resmi tempat ini adalah bagian dari Arles, tetapi kenyataannya tempat tersebut berada di bawah pengaruh yang kuat dari Raja Prancis. Selama berada di Avignon, tahta kepausan mengadopsi banyak gaya resmi kerajaan: gaya hidup para kardinalnya yang lebih mirip dengan gaya hidup para pangeran daripada gaya hidup para rohaniwan; semakin hari semakin banyak kardinal orang Prancis (kerap kali adalah sanak keluarga dari Sri Paus yang sedang berkuasa) yang mengambil jabatan-jabatan penting; dan kedekatan mereka dengan para prajurit Prancis. Semua hal ini adalah suatu peringatan tetap akan di mana letak kekuasaan sekuler berada, selain adanya kenangan dengan apa yang terjadi pada Paus Bonifasius VIII masih segar teringat. Salah satu hal yang paling merusak perkembangan Gereja tumbuh langsung dari reorganisasi dan sentralisasi yang berhasil dari administrasi Paus Klemens V dan Paus Yohanes XXII. Tahta kepausan saat itu secara langsung mengendalikan pemberian tanah untuk seumur hidup (benefice), mencampakkan tradisi proses-proses pemilihan yang ada, untuk mendapatkan pemasukan uang yang sangat besar daripadanya. Banyak bentuk-bentuk pemasukan uang lainnya memberikan kekayaan kepada Tahta Suci dan para kardinalnya, di antaranya: donasi persepuluhan untuk Gereja, pajak sepuluh persen untuk harta milik Gereja, pemberian seluruh keuntungan tahun pertama dari benefice (annatae), pendapatan tahun pertama setelah menduduki jabatan tertentu seperti uskup, pajak-pajak khusus bagi misi-misi perang atas nama Gereja yang batal terjadi, dan semua bentuk dispensasi, mulai dari masuknya permohonan benefice tanpa memenuhi kualifikasi dasar (seperti dapat membaca) hingga dispensasi bagi permintaan orang Yahudi yang telah menjadi Kristen untuk mengunjungi orang-tuanya yang masih belum menjadi Kristen. Para paus seperti Paus Yohanes XXII, Paus Benediktus XII dan Paus Klemens VI diceritakan menggunakan kekayaan ini untuk membeli pakaian-pakaian mahal dan mengadakan pesta-pesta makan bersama dengan menggunakan piring perak dan emas. Secara umum kehidupan mereka yang seharusnya memimpin para umat Gereja tampak lebih seperti kehidupan para pangeran daripada seperti kehidupan para rohaniwan. Gaya hidup yang penuh kemewahan dan korupsi dari pemimpin Gereja ini menular ke para bawahannya: ketika seorang uskup harus membayarkan pendapatannya selama satu tahun untuk memperoleh benefice, ia mencari jalan yang mirip untuk memperoleh uang dari jabatannya. Usaha ini sampai-sampai berujung pada penjualan absolusi, atau pengampunan dosa dalam Sakramen Tobat, untuk semua jenis dosa kepada kaum papa. Para pemberi Sakramen Tobat ini akhirnya dibenci namun tetap dibutuhkan untuk menebus jiwa seseorang. Para biarawan yang gagal untuk mentaati jalan Kristus, yaitu gagal untuk hidup sesuai dengan kaul kesucian dan kemiskinannya, dipandang rendah oleh masyarakat. Sentimen masyarakat ini memperkuat gerakan untuk menegakkan kembali kewajiban menjadi miskin total, pelepasan kepemilikan terhadap semua barang pribadi maupun barang gereja, dan penyebaran Injil seperti yang dilakukan oleh Yesus dan para rasul-Nya. Bagi gereja, sebuah institusi yang telah terikat dengan struktur sekuler waktu itu dan memiliki perhatian besar pada harta kekayaan, hal ini merupakan suatu perkembangan yang berbahaya, sehingga di awal abad ke-14 semua gerakan ini dinyatakan sesat. Gerakan-gerakan yang dimaksud antara lain gerakan Fraticelli di Italia, gerakan Waldensia di Jerman dan gerakan Hussite di Bohemia (yang terinspirasi oleh gerakan Wycliff di Inggris). Terlebih lagi, penampilan harta kekayaan oleh para pemimpin gereja, yang sungguh sangat berlawanan dengan harapan umum bahwa mereka harusnya miskiin harta dan sangat terikat pada prinsip-prinsip rohaniwan, digunakan oleh musuh-musuh Tahta Kepausan dalam membangun kekuatan melawan Sri Paus: Raja Prancis Philippe menggunakan strategi ini, demikian juga Ludwig IV dari Bavaria. Dalam perseteruannya dengan Ludwig, Paus Yohanes XXII mengucilkan (ekskomunikasi) dua orang tokoh filsuf, Marsilius dari Padua dan William Ockham, yang merupakan kritikus tahta kepausan yang sangat lantang dan yang dilindungi oleh Ludwig dari Bavaria di Munich. Sebagai balasannya, William Ockham menuduh Sri Paus dengan tujuh puluh kesalahan dan tujuh ajaran sesat. Tindakan-tindakan melawan Kesatria Kenisah dalam Konsili Wina merupakan contoh dari bagian masa ini, menunjukkan kekuatan-kekuatan ini dan hubungan antara mereka. Pada tahun 1314 Asosiasi para Kardinal di Wina diperintahkan untuk memutuskan kasus Kesatria Kenisah. Dewan ini, yang semuanya tidak yakin akan kesalahan organisasi (ordo/tarekat Templar) tersebut sebagai kesalahan satu organisasi penuh itu, sepertinya tidak akan mengutuk seluruh organisasi tersebut berdasarkan bukti-bukti yang tidak cukup. Menggunakan tekanan yang besar, agar memperoleh sebagian dari kekayaan ordo Templar, sang raja berhasil mendapatkan keputusan yang ia inginkan. Paus Klemens V memerintahkan dengan resmi penindasan terhadap organisasi tersebut. Di dalam Katedral St. Maurice di Wina, Raja Prancis dan putranya Raja Navarre, duduk di damping Sri Paus saat ia mengeluarkan surat keputusan itu. Di bawah ancaman ekskomunikasi, tidak ada orang yang boleh membuka suara dalam peristiwa itu, kecuali apabila ditanya oleh Sri Paus. Para Kesatria Kenisah yang datang di Wina untuk memberikan pembelaan terhadap organisasi mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan pembelaan tersebut. Awalnya Asosiasi Kardinal memutuskan bahwa para Kesatria Kenisah diperbolehkan untuk memberikan pembelaan. Namun setelah kedatangan Raja Prancis di Wina dan adanya tekanan kepada Asosiasi Kardinal tersebut, keputusan itu dibatalkan. Tahta Kepausan pada Abad ke-14Konflik antara Para Paus dan Raja PrancisPada awal abad ke-14, masa di mana terjadi bencana-bencana besar seperti wabah penyakit yang disebut Kematian Hitam (Black Death) dan Perang Seratus Tahun antara dua kekuatan utama di Eropa, tahta kepausan terlihat berada di puncak kekuasaannya. Paus Bonifasius VIII (1294-1303, terlahir Benedict Caetani), seorang politisi yang berpengalaman yang kadang-kadang digambarkan sebagai seseorang yang kasar dan sombong, adalah seorang pendukung kuat konsep kekuasaan menyeluruh tahta kepausan atas semua Dunia Kristen, seperti yang tercantum di dalam Dictatus Papae yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII. Masalah konkret yang menimbulkan konflik dengan Raja Prancis adalah masalah apakah pemerintahan sekuler diperkenankan untuk menarik pajak dari para rohaniwan. Dalam surat resminya Clericis Laicos tahun 1296, Paus Bonifasius VIII melarang pajak apapun terhadap harta milik gereja kecuali oleh tahta kepausan atau pembayaran pajak tersebut ke gereja. Namun hanya satu tahun kemudian ia memberikan hak kepada Raja Prancis untuk menarik pajak dari para rohaniwan apabila dalam situasi genting. Sukses besar Tahun Yubileum 1399 (dilaporkan ada sekitar dua juta peziarah mengunjungi Roma tahun itu) memperkuat kewibawaan tahta kepausan, membawa pendapatan uang bagi Roma dan menyebabkan Sri Paus untuk merasa kekuatannya jauh lebih besar dari yang sesungguhnya ada. Setelah penangkapan Uskup Pamiers oleh Raja Prancis Philippe IV, Sri Paus mengeluarkan surat resmi Salvator Mundi yang menarik kembali semua hak istimewa yang diberikan kepada Raja Prancis oleh paus-paus sebelumnya, dan mengeluarkan surat resmi Ausculta Fili beberapa minggu kemudian dengan tuduhan-tuduhan kepada sang raja, memerintahkannya untuk menghadiri sebuah pengadilan di Roma. Dalam sebuah pernyataan tegas mengenai kekuasaan Sri Paus, Bonifasius menyatakan bahwa "Tuhan telah meletakkan kita di atas para raja dan kerajaan". Sebagai balasan, Philippe menulis "Kebodohan yang mulia mungkin mengerti bahwa kami bukanlah budak siapapun dalam urusan duniawi", dan mengadakan sebuah pertemuan dengan États Généraux, yaitu kumpulan para penguasa di Prancis, yang mendukung posisinya. Raja Prancis mengeluarkan tuduhan-tuduhan sodomi, korupsi, ilmu hitam dan ajaran sesat terhadap Sri Paus dan memerintahkannya untuk datang di hadapan mereka. Jawaban Sri Paus adalah penegasan paling kuat mengenai kekuasaan Sri Paus hingga hari ini. Dalam Unam Sanctam, terbit tanggal 18 November 1302, Sri Paus menetapkan bahwa "sangat penting bagi penyelamatan jiwa bahwa setiap umat manusia tunduk kepada Uskup Roma". Saat Sri Paus sedang mempersiapkan surat resmi yang akan mengucilkan Raja Prancis dan Prancis, dan akan memecat semua rohaniwan di Prancis, William Nogaret, kritikus paling tajam terhadap tahta kepausan di lingkaran penguasa Prancis, memimpin sebuah delegasi ke Roma dengan perintah Raja Prancis yang sengaja dibuat tidak mengikat untuk membawa Sri Paus, bila perlu dengan paksa, ke sebuah pengadilan untuk memutuskan semua tuduhan terhadapnya. Nogaret bekerja sama dengan para kardinal dari Keluarga Colonna, yang sejak lama merupakan musuh-musuh Paus Bonifasius VIII, yang pernah diancam akan diserbu oleh Sri Paus pada awal-awal masa kepemimpinannya. Pada tahun 1303 tentara-tentara Prancis dan Italia menyerang Sri Paus di Anagni, kota asalnya, dan berhasil menangkapnya. Ia dibebaskan oleh para penduduk Anagni tiga hari kemudian. Namun, akibat usianya yang sudah lanjut (86 tahun) dan kondisinya yang tercabik-cabik akibat serangan fisik terhadap dirinya, Paus Bonifasius VIII meninggal dunia beberapa minggu setelah kejadian ini. Masa Kerja Sama dengan Raja PrancisWafatnya Paus Bonifasius VIII menyebabkan tahta kepausan kehilangan politisi yang paling handalnya yang mampu bertahan melawan kekuatan sekuler Raja Prancis. Setelah masa damai di bawah kepemimpinan Paus Benediktus XI (1303-1304), Paus Klemens V (1305-1314) terpilih menjadi Sri Paus. Ia dilahirkan di Prancis bagian selatan (Gascony), tetapi tidak memiliki hubungan langsung dengan para bangsawan Prancis. Ia berhutang budi pada para rohaniwan Prancis atas terpilihnya dia menjadi Sri Paus. Ia tidak menyetujui pindah kembali ke Roma dan mendirikan istananya di Avignon. Dalam situasi ketergantungan terhadap tetangga-tetangga yang berkuasa di Prancis, tiga prinsip utama menjadi strategi politis Paus Klemens V: penindasan terhadap gerakan-gerakan sesat (seperti aliran Kathar di Prancis bagian selatan); reorganisasi administrasi internal gereja; dan usaha-usaha pelestarian citra gereja sebagai alat tunggal Tuhan di bumi. Prinsip ketiganya itu langsung ditentang oleh Raja Philippe IV ketika ia mendorong sebuah pengadilan malawan mantan musuhnya, Paus Bonifasius VIII, atas tuduhan ajaran sesat. Memberikan pengaruh yang kuat pada Asosiasi para Kardinal, hal ini bisa menjadi sebuah pukulan yang telak pada kekuasaan gereja. Dan sebagian besar politik dari Paus Klemens V memang dirancang untuk menghindari pukulan politis seperti itu, yang pada akhirnya ia memang berhasil mengelakkannya. Namun, harga yang dibayar untuk hal ini sangat banyak. Salah satunya, meski secara pribadi sangat ragu, pada akhirnya Sri Paus mendorong diambilnya tindakan-tindakan terhadap Kesatria Kenisah, dan ia secara pribadi memutuskan untuk menindas organisasi tersebut. Salah satu masalah penting pada masa kepemimpinan Paus Yohanes XXII (terlahir Jacques Dueze di Cahors, dan sebelumnya adalah Kardinal Avignon), adalah konfliknya dengan Kaisar Louis IV dari Kekaisaran Romawi Suci. Sang kaisar menolak hak Sri Paus untuk mengangkat seorang kaisar dengan meletakkan mahkota di atas kepalanya. Ia menggunakan taktik yang mirip dengan apa yang dipakai oleh Raja Prancis Philippe sebelumnya dan memerintahkan para bangsawan Jerman untuk mendukung keputusannya. Marsilius dari Padua memberikan pembenaran terhadap supremasi sekuler di atas wilayah Kekaisaran Romawi Suci. Konflik dengan sang kaisar ini, yang seirngkali menyebabkan perang-perang yang mahal, membawa tahta kepausan semakin ke dalam tangan kekuasaan Raja Prancis. Paus Benediktus XII (1334-1342), terlahir Jacques Fournier di Pamiers, sebelumnya aktif dalam gerakan inkuisisi melawan gerakan Kathar. Tidak seperti gambaran kejam dalam gerakan inkuisisi pada umumnya, ia diceritakan sangat hati-hati dalam berhubungan dengan orang-orang yang diperiksa, mengambil banyak waktu dalam proses pemeriksaan mereka. Keinginannya untuk membuat Prancis bagian selatan yang damai juga menjadi motivasinya untuk menengahi konflik antara Raja Prancis dan Raja Inggris sebelum pecahnya Perang Seratus Tahun. Masa Tunduk pada Raja PrancisDi bawah kepemimpinan Paus Klemens VI (1342-1352) kepentingan-kepentingan Prancis mulai mendominasi Tahta Suci. Paus Klemens VI sebelumnya adalah Uskup Agung Rouen dan penasehat Philippe IV, sehingga ia memiliki hubungan yang jauh lebih kuat pada Istana Prancis dibandingkan para pendahulunya. Pada beberapa kesempatan ia bahkan membiayai usaha-usaha perang Prancis dari hartanya sendiri. Ia diceritakan mencintai pakaian-pakaian mahal dan di bawah kepemimpinannya gaya hidup mewah di Avignon mencapai puncak yang lebih tinggi. Paus Klemens VI adalah juga Sri Paus yang memerintah pada saat terjadi Wabah Hitam atau Kematian Hitam. Epidemi ini menyapu seluruh Eropa antara tahun 1347-1350, dan dipercaya telah membunuh sekitar sepertiga populasi Eropa. Paus Innosensius VI (1352-1362), terlahir Etienne Aubert, tidak terlalu bersikap memihak seperti Paus Klemens VI. Ia giat berusaha mendamaikan Prancis dan Inggris karena ia sebelumnya berada di dalam delegasi Sri Paus untuk perihal tersebut pada tahun 1345 dan 1348. Penampilannya yang sederhana yang kepribadiannya yang penuh perhatian mendapatkan rasa hormat di mata para bangsawan dari kedua belah pihak yang sedang di dalam konflik. Namun, ia juga seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat dan mudah terpengaruh karena ia sudah berusia sangat lanjut ketika terpilih sebagai Sri Paus. Dalam situasi ini, Raja Prancis berhasil memengaruhi Tahta Suci, walaupun para wakilnya memainkan peran-peran penting dalam berbagai usaha untuk menghentikan konflik. Yang paling terkenal adalah pada tahun 1353 saat Uskup Porto, Guy de Boulogne, mencoba mengadakan sebuah konferensi. Setelah sukses berbicara dengan kedua belah pihak, usaha ini akhirnya gagal akibat ketidak-percayaan pihak Inggris atas hubungan kuat Guy dengan Istana Prancis. Paus Innosensius VI secara pribadi menulis surat kepada Bangsawan Lancaster: "Walaupun kami dilahirkan di Prancis dan walaupun oleh karenanya kami memiliki kecintaan khusus bagi tanah Prancis, tetapi dalam bekerja demi perdamaian kami telah menyisihkan segala prasangka pribadi kami dan mencoba untuk berjuang demi kepentingan semua orang". Dengan Paus Urbanus V (1362-1370) kendali Istana Prancis atas Tahta Kepausan semakin besar. Paus Urbanus V sendiri digambarkan sebagai yang paling rendah hati dari para paus Avignon setelah Paus Benediktus XII dan mungkin yang paling religius di antara semuanya. Namun, ia bukanlah seorang ahli strategi dan membuat konsesi-konsesi penting kepada tahta kerajaan Prancis terutama di bidang keuangan, sebuah masalah penting dalam perang melawan Inggris. Pada tahun 1369 Paus Urbanus V mendukung pernikahan Philip II, Bangsawan Burgundy, dan Margaret dari Flanders, daripada memberikan dispensasi pada salah satu putra Raja Edward III dari Inggris untuk menikahi Margaret. Hal ini secara jelas menunjukkan keberpihakan Tahta Kepausan sehingga menyebabkan rasa hormat kepada gereja menjadi turun secara drastis. SkismaKeputusan berpengaruh terpenting pada masa kepemimpinan Paus Gregorius XI (1370-1378) adalah untuk kembali ke Roma pada tahun 1378. Walau Sri Paus adalah orang Prancis dan masih di bawah pengaruh kuat Raja Prancis, konflik-konflik yang semakin meningkat antara pihak-pihak yang bersahabat dan yang bermusuhan dengan Sri Paus memberikan ancaman nyata terhadap daerah kekuasaan Tahta Kepausan dan kepada kesetiaan Roma kepada Kepausan Avignon. Ketika Tahta Kepausan memberikan embargo terhadap ekspor biji gandum selama masa kekurangan pangan pada tahun 1374-1375, Florensia mengumpulkan beberapa kota ke dalam sebuah organisasi melawan Tahta Kepausan: Milan, Bologna, Perugia, Pisa, Lucca dan Genoa. Duta Tahta Kepausan, Robert dari Geneva, seorang kerabat Keluarga Savoy, memilih kebijaksanaan yang keras dalam usaha melawan organisasi tersebut untuk mendirikan kembali kendali atas kota-kota ini. Ia meyakinkan Paus Gregorius XI untuk menyewa tentara bayaran Breton yang berasal dari Brittany, Prancis. Untuk meredam pemberontakan dari para penduduk Cesena ia menyewa John Hawkwood dan memerintahkan pembunuhan massal orang-orang tersebut (antara 2500 hingga 3500 orang dinyatakan tewas). Setelah kejadian-kejadian ini, sikap menentang Tahta Kepausan semakin menguat. Florensia melakukan konflik terbuka melawan Sri Paus, sebuah konflik yang disebut Perang Delapan Orang Suci sebagai referensi atas delapan negara di Italia yang terlibat di dalamnya. Seluruh Florensia dikucilkan dan sebagai balasannya pengiriman pembayaran pajak administrasi dan rohaniwan dihentikan. Kondisi perdagangan menjadi sangat parah dan kedua belah pihak harus menemukan jalan keluar dari konflik ini. Dalam keputusannya untuk kembali ke Roma, Paus Gregorius XI juga dipengaruhi oleh Katarina dari Siena (belakangan juga dikanonisasi sebagai orang suci dan diberi gelar Pujangga Gereja), yang menyerukan agar Tahta Kepausan kembali ke Roma. Skisma itu sendiri akhirnya berakhir lewat beberapa konsili hingga tahun 1417. Berdirinya dewan-dewan gereja dengan kekuasaan untuk mengambil keputusan atas kedudukan Sri Paus adalah salah satu hasil utama dari skisma ini. Namun, hal ini tidak bertahan lama setelah tahun 1417. KritikPeriode ini telah dijuluki "Tawanan Babilonia" Para paus, terutama dari Martin Luther dan juga banyak penulis Katolik. Nama julukan ini memiliki berbagai unsur permasalahan karena di dalamnya julukan tersebut merujuk pada pendapat para kritikus bahwa kesejahteraan gereja pada masa ini didampingi dengan sebuah kompromi yang besar terhadap integritas spiritual Tahta Kepausan, khususnya dalam tuduhan tunduknya kekuasaan gereka pada ambisi raja-raja Prancis. Secara kebetulan, lama masa para paus di Avignon adalah sama lamanya dengan lama masa pembuangan orang Yahudi di Babilonia, membuat analogi tersebut lebih mudah dimengerti dan ampuh secara retoris. Untuk alasan ini, Kepausan Avignon hingga hari ini digambarkan sebagai kepemimpinan yang bergantung penuh pada raja-raja Prancis, dan kadang-kadang bahkan digambarkan sebagai masa kepemimpinan yang mengkhianati peran spiritual sebenarnya dan mengkhianati warisannya di Roma. RingkasanHubungan antara Tahta Kepausan dan Prancis berubah secara drastis selama abad ke-14. Dimulai dengan konflik terbuka antara Paus Bonifasius VIII dan Raja Philippe IV dari Prancis, hubungan ini berubah menjadi kerja sama dari 1305 hingga 1342, dan akhirnya Tahta Kepausan berada di bawah pengaruh kuat takhta kerajaan Prancis hingga 1378. Sifat partisan dari kepausan ini merupakan salah satu alasan dari jatuhnya kehormatan lembaga tersebut, yang pada gilirannya merupakan salah satu alasan untuk skisma dari 1378-1417. Pada masa Skisma ini, perebutan kekuasaan dalam Tahta Kepausan menjadi daerah pertempuran dari kekuatan-kekuatan utama, dengan Prancis mendukung Sri Paus di Avignon dan Inggris mendukung Sri Paus di Roma. Pada akhir abad itu, masih dalam keadaan skisma, Tahta Kepausan telah kehilangan sebagian besar dari kekuasaan politik langsungnya, dan negara-negara Prancis dan Inggris muncul sebagai kekuatan-kekuatan utama di Eropa. Secara keseluruhan adalah sebuah penilaian yang berlebih-lebihan untuk menggambarkan Tahta Kepausan sebagai boneka tahta kerajaan Prancis. Bahkan pada masa berada di Avignon (1305-1378), Tahta Kepausan selalu mengejar tujuannya untuk memperssatukan bangsawan-bangsawan Kristen (contohnya dengan menengahi konflik Prancis dan Inggris) dan untuk menegakkan posisi Gereja (contohnya dengan menghindarkan dakwaan ajaran sesat terhadap Paus Bonifasius VIII yang dibuat oleh Philippe IV). Hanya pada masa-masa berikutnya, saat Raja Prancis yang kuat berhadapan dengan Sri Paus yang lemah, Tahta Kepausan memberikan konsesi-konsesi pada Raja Prancis, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Paus Urbanus V yang memang berpihak pada Prancis dan yang ditekan oleh Raja Prancis. Dasar dari desakan untuk memberikan tekanan tersebut bisa ditemukan dari perubahan keseimbangan kekuatan di Eropa pada abad ke-14. Pendapat bahwa Tahta Kepausan bagi kemerdekaan dunia, yang ditegaskan kembali oleh Paus Gregorius VII dalam Dictatus Papae dan ditegakkan oleh Paus Bonifasius VIII pada awal abad itu, tidak mungkin untuk ditegakkan pada masa itu pada era gerakan-gerakan cendekiawan dan lahirnya karya-karya berpengaruh dari Marsilius Padua dan William Ockham. Reorganisasi administratif fimulai dengan Paus Klemens V berhasil mengumpulkan dana bagi Tahta Suci. Namun, perhatian pada masalah-masalah administratif dan hukum menggambarkan seluruh masa Kepausan Avignon, dan akibatnya masa ini kehilangan rasa hormat dari kalangan bawah dan rakyat umum yang lebih simpatik pada organisasi-organisasi keagamaan yang menegakkan kaul kemiskinan daripada pada hierarki gereja yang para kardinalnya hidup bak para pangeran. Lihat pula
Bacaan lanjutan
Pranala luar |