Kekaisaran Romawi Suci
Kekaisaran Romawi Suci,[e] yang juga dikenal dengan nama Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman selepas tahun 1512, adalah negara dengan wilayah yang membentang dari Eropa Tengah ke Eropa Barat dan lazimnya dikepalai oleh Kaisar Romawi Suci.[19] Negara ini terbentuk pada Awal Abad Pertengahan dan berdiri selama hampir 1.000 tahun, sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1806 di tengah hiruk-pikuk perang-perang Napoleon.[20] Pada tanggal 25 Desember 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Eropa Barat selang tiga abad lebih sesudah Kekaisaran Romawi Barat tumbang pada tahun 476.[21] Meskipun sudah ditanggalkan pada tahun 924, gelar itu kembali disandang Otto Agung saat dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII pada tahun 962, dengan maksud untuk mencitrakan dirinya sebagai penerus Karel Agung dan raja-raja kulawangsa Karling.[22] Penobatan Otto Agung menjadi tonggak sejarah yang mengawali kurun waktu tegaknya kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci secara berkesinambungan selama delapan abad lebih.[23][24][f] Dari tahun 962 hingga abad ke-12, Kekaisaran Romawi Suci tampil sebagai negara monarki terkuat di bumi Eropa.[25] Kelancaran penyelenggaraan negara bergantung kepada kerjasama yang rukun di antara kaisar dan para pangeran praja.[26] Kerukunan tersebut sempat terusik pada zaman kulawangsa Sali.[27] Ketangguhan negara dan keluasan wilayah Kekaisaran Romawi Suci mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-13 di bawah pemerintahan raja-raja kulawangsa Hohenstaufen, tetapi justru bentang wilayah yang kelewat luaslah yang kemudian hari mengeroposkan kedaulatannya.[28][29] Para sarjana pada umumnya menjabarkan evolusi lembaga-lembaga dan asas-asas yang membentuk negara ini, serta perkembangan berangsur dari peran kaisar.[30][31] Jabatan kaisar sudah lama terlembagakan sebelum negara ini dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13,[32] tetapi keabsahan kaisar sejak semula selalu ditumpukan pada konsep translatio imperii, yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30] Terlepas dari semua itu, sudah menjadi adat di Kekaisaran Romawi Suci bahwa seseorang menjadi kaisar karena dipilih oleh para pangeran-pemilih yang berkebangsaan Jerman. Secara teori dan diplomasi, Kaisar Romawi Suci dipandang sebagai tokoh yang dituakan di antara seluruh kepala negara monarki Katolik Eropa.[33] Ikhtiar Pembaharuan Negara pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mengubah wajah Kekaisaran Romawi Suci. Ikhtiar tersebut melahirkan berbagai lembaga pemerintahan yang terus bertahan sampai negara ini bubar pada abad ke-19.[34][35] Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kekaisaran Romawi Suci selepas Pembaharuan Negara merupakan badan politik dengan keberlanjutan dan kemapanan yang luar biasa, serta "dalam beberapa segi mencerminkan pemerintahan-pemerintahan monarki di kawasan barat Eropa, dan dalam beberapa segi yang lain mencerminkan pemerintahan-pemerintahan elektif dengan persatuan yang renggang di kawasan tengah Eropa." Di negara bangsa Jerman yang sudah diperbaharui itu, alih-alih patuh begitu saja kepada kaisar, orang justru berunding dengan kaisar.[36][37] Pada tanggal 6 Agustus 1806, Kaisar Frans II meletakkan jabatan dan secara resmi membubarkan Kekaisaran Romawi Suci, menyusul pembentukan Konfederasi Rhein oleh Napoleon sebulan sebelumnya, yakni perserikatan negara-negara Jerman yang berkhidmat kepada Prancis, alih-alih bertuan kepada Kaisar Romawi Suci. Nama negaraDari zaman Karel Agung, negara ini hanya disebut Kekaisaran Romawi.[38] Embel-embel Suci (dalam arti "dikuduskan") mulai dipakai pada tahun 1157, masa pemerintahan Kaisar Friedrich Si Janggut Merah, sehingga negara ini mulai dikenal dengan nama Kekaisaran Suci, nama yang mencerminkan hasrat Friedrich untuk menguasai Italia dan lembaga kepausan.[39] Nama "Kekaisaran Romawi Suci" dapat dipastikan sudah dipakai sejak tahun 1254.[40] Sebelum dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, negara ini dikenal dengan beragam sebutan, antara lain universum regnum (kerajaan sejagat, kebalikan dari kerajaan kedaerahan), imperium christianum (kekaisaran Kristen), dan Romanum imperium (kekaisaran Romawi),[32] tetapi keabsahan kaisar selamanya ditumpukan pada konsep translatio imperii,[g] yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30] Di dalam lembaran maklumat yang terbit menyusul sidang Permusyawaratan Negara di Koln pada tahun 1512, nama negara ini berubah menjadi "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" (bahasa Jerman: Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation, bahasa Latin: Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae),[38] yakni nama yang pertama kali dipakai pada tahun 1474 di dalam sebuah dokumen.[39] Nama baru ini diadopsi bertepatan dengan hilangnya kedaulatan atas Italia dan Burgundia,[41] tetapi juga dimaksudkan untuk menonjolkan peran penting dalam penyelenggaraan negara yang baru diberikan kepada praja-praja negara di Jerman selepas Pembaharuan Negara.[42] Istilah "Kekaisaran Romawi Jerman" (bahasa Hungaria: Német-római Birodalom) yang lazim digunakan di Hungaria adalah bentuk ringkas dari nama baru tersebut.[43] Pada akhir abad ke-18, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak lagi dipakai secara resmi. Bertolak belakang dengan pandangan-pandangan tradisional terkait nama tersebut, Hermann Weisert memaparkan di dalam sebuah hasil penelitian khazanah titulatur kekaisaran bahwa, meskipun digembar-gemborkan sebagai nama resmi negara di dalam banyak buku pelajaran, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak pernah diberi status resmi. Ia bahkan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang memuat nama "Kekaisaran Romawi Suci" tanpa menyertakan embel-embel "Bangsa Jerman" berjumlah tiga puluh kali lipat lebih banyak daripada dokumen-dokumen yang menyertakannya.[44] Di dalam sebuah pembahasan terkenal mengenai nama negara ini, filsuf politis Voltaire berseloroh bahwa "negara yang dulu disebut dan masih saja menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci itu sama sekali tidak ada suci-sucinya, tidak ada romawi-romawinya, malah bukan sebuah kekaisaran."[45] Pada zaman modern, negara ini secara tidak resmi kerap disebut Kekaisaran Jerman (bahasa Jerman: Deutsches Reich) atau Kekaisaran Jerman-Romawi (bahasa Jerman: Römisch-Deutsches Reich).[46] Sejak dibubarkan sampai dengan tamatnya riwayat Kekaisaran Jerman, negara ini kerap disebut "kekaisaran lawas" (bahasa Jerman: das alte Reich). Mulai dari tahun 1923, kaum nasionalis Jerman awal abad ke-20 dan propaganda partai Nazi menyebut Kekaisaran Romawi Suci sebagai sebagai Reich "Pertama" (Erstes Reich, Reich berarti kekaisaran), disejajarkan dengan Kekaisaran Jerman sebagai Reich "Kedua", dan negara Jerman di bawah pemerintahan partai Nazi sebagai Reich "Ketiga".[47] David S. Bachrach berpendapat bahwa raja-raja kulawangsa Otto sesungguhnya membangun kemaharajaan mereka lewat pemanfaatan perangkat militer dan birokrasi maupun kekayaan budaya yang mereka warisi dari kulawangsa Karling, yang juga diwarisi kulawangsa Karling dari Kekaisaran Romawi menjelang keruntuhannya. Menurut David S. Bachrach, kemaharajaan kulawangsa Otto bukanlah suatu kerajaan purba binaan bangsa Jerman primitif, yang semata-mata dilanggengkan oleh ikatan-ikatan hubungan pribadi dan dijalankan oleh nafsu serakah orang-orang besar untuk menjarah lalu membagi-bagi hasil jarahan di antara mereka sendiri, melainkan sebuah negara yang tampil mengemuka berkat kemampuannya untuk menimbun sumber-sumber daya ekonomi, administratif, dan kebudayaan yang maju, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin perangnya yang sangat besar.[48][49] Sampai dengan akhir abad ke-15, negara ini pada teorinya terdiri atas tiga kubu utama, yaitu Italia, Jerman, dan Burgundia. Kemudian hari yang tersisa hanyalah praja-praja Kerajaan Jerman dan Bohemia, karena praja-praja di Burgundia sudah jatuh ke tangan Prancis. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, Italia diabaikan dalam ikhtiar Pembaharuan Negara dan terpecah-belah menjadi banyak praja kedaerahan yang secara de facto merdeka.[50][30][37][51] Status Italia pada khususnya berubah-ubah dalam rentang waktu abad ke-16 sampai abad ke-18. Beberapa praja semisal Piemonte-Savoye kian lama kian merdeka, sementara praja-praja lain kian lama kian pudar kemerdekaannya akibat kepunahan garis keturunan pangeran prajanya, sehingga sering kali bertuan kepada kulawangsa Habsburg dan cabang-cabangnya. Selain lepasnya praja Franche-Comté pada tahun 1678, batas-batas wilayah Kekaisaran Romawi Suci tidak banyak berubah sejak Perjanjian Damai Westfalen ditandatangani (mengakui lepasnya Swiss dan Belanda Utara, serta perlindungan Prancis atas Elzas) sampai negara ini dibubarkan. Sesudah perang-perang Napoleon berakhir pada tahun 1815, hampir semua praja Kekaisaran Romawi Suci menjadi anggota Konfederasi Jerman, kecuali praja-praja di Italia. Sejarah
Awal Abad PertengahanKemaharajaan kulawangsa KarlingSurutnya kekuasaan Romawi di Galia pada abad ke-5 dimanfaatkan oleh suku-suku Jermani setempat untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[52] Pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6, kulawangsa Merowing di bawah pimpinan Klovis I dan para penggantinya, mempersatukan suku-suku Franka dan menundukkan suku-suku lain demi menguasai kawasan utara Galia dan kawasan tengah daerah lembah sungai Rhein.[53][54] Meskipun demikian, pada pertengahan abad ke-8, raja-raja Merowing hanya memerintah sebagai raja-raja boneka, karena kendali pemerintahan sesungguhnya berada dalam cengkeraman kulawangsa Karling di bawah pimpinan Karel Martel.[55] Pada tahun 751, anak Karel Martel yang bernama Pipin naik takhta menjadi Raja orang Franka, bahkan kemudian hari berhasil mendapatkan restu Sri Paus.[56][57] Sejak saat itu kulawangsa Karling menjalin persekutuan yang erat dengan lembaga kepausan.[58] Pada tahun 768, anak Pipin yang bernama Karel Agung naik takhta menjadi Raja orang Franka. Ia memprakarsai usaha perluasan wilayah, dan pada akhirnya berhasil mendaulat wilayah luas yang dewasa ini menjadi wilayah negara Prancis, wilayah negara Jerman, kawasan utara wilayah Italia, wilayah Negeri-Negeri Tanah Rendah, malah lebih luas lagi, sampai wilayah kedaulatan orang Franka berdempet dengan wilayah kedaulatan Sri Paus.[59][60] Meskipun masyarakat Italia sudah lama mendongkol lantaran merasa kurang sejahtera hidup di bawah kekuasaan Romawi Timur, gejolak politik baru timbul pada tahun 726, dipicu oleh kebijakan ikonoklasme Kaisar Leo orang Isauria, yang dipandang Paus Gregorius II sebagai penyimpangan akidah termutakhir dari rentetan penyimpangan akidah yang dilakukan oleh kepala negara Kekaisaran Romawi.[61] Pada tahun 797, Ibu Suri Irene memakzulkan Kaisar Konstantinus VI, kemudian menyatakan diri sebagai penguasa tunggal. Lantaran hanya kepala negara berjenis kelamin laki-laki yang diakui Gereja Latin sebagai pemimpin Dunia Kristen, Paus Leo III pun berikhtiar mencari orang lain yang layak menyandang kehormatan itu tanpa bertukar pikiran lebih dulu dengan Batrik Konstantinopel.[62][63] Jasa Karel Agung bagi Gereja, karena membela kedaulatan Sri Paus dari rongrongan orang Lombardi, menjadikannya calon yang ideal. Pada hari Natal tahun 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Dunia Barat sesudah lebih dari tiga abad lamanya menghilang.[62][63] Langkah Sri Paus ini dapat dianggap sebagai perpalingan simbolis lembaga kepausan dari Kekaisaran Romawi Timur yang sedang terpuruk kepada kekuatan baru, yakni kerajaan bangsa Franka di bawah pemerintahan kulawangsa Karling. Karel Agung mengadopsi semboyan Renovatio imperii Romanorum (pembaharuan Kekaisaran Romawi). Pada tahun 802, Irene digulingkan dan diasingkan oleh Kaisar Nikeforos I. Sejak saat itulah ada dua kepala negara yang sama-sama bergelar Kaisar Bangsa Romawi. Sesudah Karel Agung mangkat pada tahun 814, mahkota kekaisaran turun kepada anaknya, Ludwig Warak. Sesudah Ludwig Warak mangkat pada tahun 840, mahkota kerajaan turun kepada anaknya, Lothar. Pada waktu itulah seantero wilayah yang pernah dikuasai mendiang Karel Agung dibagi-bagi menjadi beberapa wilayah kedaulatan (bdk. Perjanjian Verdun, Perjanjian Prüm, Perjanjian Meerssen, dan Perjanjian Ribemont), dan sepanjang sisa abad ke-9 gelar kaisar diperebutkan oleh para kepala negara Kerajaan Franka Barat (Francia Barat) dan Kerajaan Franka Timur (Francia Timur) yang sama-sama berasal dari kulawangsa Karling. Mula-mula gelar itu jatuh ke pundak Raja Franka Barat (Karel Gundul), tetapi kemudian beralih ke pundak Raja Franka Timur (Karel Gemuk), tokoh yang berhasil mempersatukan kembali kemaharajaan bangsa Franka, kendati tidak bertahan lama.[64] Pada abad ke-9, Karel Agung dan para penggantinya berikhtiar memajukan taraf pendidikan dan kebudayaan di negaranya, ikhtiar yang dikenal dengan sebutan Renainsans Karling. Beberapa sarjana, misalnya Mortimer Chambers,[65] berpandangan bahwa Renaisans Karling dapat terwujud berkat adanya renaisans-renainsans susulan (kendati pada awal abad ke-10, tidak ada lagi ikhtiar semacam itu).[66] Sesudah Karel Gemuk mangkat pada tahun 888, kemaharajaan wangsa Karling terpecah-belah dan tidak kunjung dapat dipersatukan kembali. Petawarikh Regino dari Prüm meriwayatkan bahwa bagian-bagian dari kemaharajaan itu "memuntahkan empat orang raja kecil", dan masing-masing bagian memilih seorang raja kecil "dari isi perutnya sendiri".[64] Salah seorang kaisar semacam itu adalah Berengarius, Kaisar di Italia, yang mangkat pada tahun 924. Kerajaan Franka Timur pasca-KarlingSekitar tahun 900, praja-praja kadipaten kesukuan swatantra di Kerajaan Franka Timur (Franken, Bayern, Swaben, Saksen, dan Lotharingen) kembali berani unjuk gigi. Sesudah Raja Ludwig Bocah dari kulawangsa Karling mangkat tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 911, Kerajaan Franka Timur tidak diam saja menunggu negaranya didaulat Raja Franka Barat yang juga berasal dari kulawangsa Karling, tetapi memilih salah seorang pangeran praja Franka Timur, yakni Adipati Konrad, pangeran praja Franken, menjadi Rex Francorum Orientalium.[67] Menjelang tutup usia, Konrad merelakan mahkota kerajaan diambil alih saingan utamanya, Adipati Heinrich Penjerat Burung, pangeran praja Saksen yang terpilih menjadi raja dalam sidang Permusyarawatan Negara di Fritzlar pada tahun 919.[68] Heinrich berhasil menyepakati gencatan senjata dengan bangsa Magyar yang merongrong wilayah Franka Timur, dan untuk pertama kalinya berhasil mengalahkan mereka pada tahun 933 dalam Pertempuran Riade.[69] Heinrich mangkat pada tahun 936, tetapi anak cucunya, yakni kulawangsa Liudolfing atau kulawangsa Otto, terus memerintah Kerajaan Franka Timur atau Kerajaan Jerman selama kurang lebih satu abad. Sepeninggal Heinrich Penjerat Burung, Otto, anak yang ia tetapkan menjadi penggantinya,[70] terpilih menjadi raja di Aachen pada tahun 936.[71] Otto harus berjuang menghadapi serangkaian pemberontakan yang dikobarkan adiknya sendiri dan beberapa orang adipati. Sesudah berhasil memadamkan pemberontakan, Otto mampu mengendalikan pengangkatan adipati dan kerap mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan pemerintahan.[72] Ia mengganti hampir semua pangeran praja terkemuka di Franka Timur dengan sanak saudaranya, tetapi juga menutup peluang bagi sanak saudara untuk merongrong kedaulatannya.[73][74] Pembentukan Kekaisaran Romawi SuciPada tahun 951, Otto maju berperang membela Tuan Putri Adelheid di Italia, mengalahkan musuh-musuhnya, kemudian menikahinya, dan mengambil alih kekuasaan atas Italia.[75] Pada tahun 955, Otto dengan telak mengalahkan bangsa Magyar dalam Pertempuran Lechfeld.[76] Pada tahun 962, Otto dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII,[76] sehingga urusan-urusan pemerintahan Kerajaan Jerman pun tersangkutpautkan dengan urusan-urusan pemerintahan Italia dan lembaga kepausan. Penobatan Otto menjadi kaisar membuat raja-raja Jerman tercitrakan sebagai ahli-ahli waris kemaharajaan Karel Agung, dan karena keabsahan kaisar ditumpukan pada konsep translatio imperii, raja-jara Jerman pun memandang diri mereka sebagai para penerus kepemimpinan negara Roma Kuno. Perkembangan seni budaya yang bermula pada masa pemerintahan Otto dikenal dengan sebutan Renaisans Otto. Perkembangan ini berpusat di Jerman, tetapi juga melanda Italia Utara dan Prancis.[77][78] Otto menciptakan sistem jemaat kekaisaran, yang kerap disebut "sistem Reich jemaat Otto". Sistem ini mengikat jemaat-jemaat Gereja yang besar berikut wakil-wakilnya kepada tugas-tugas kenegaraan, sehingga terwujudlah "suatu pranata yang kukuh dan langgeng bagi negeri Jerman".[79][80] Pada zaman kulawangsa Otto, kaum wanita memainkan peran penting di bidang politik dan keagamaan, seringkali dengan memadukan peran mereka selaku tokoh agama dengan peran selaku penasihat raja, wali raja, atau kepala pemerintahan bersama raja. Tokoh-tokoh perempuan yang terkemuka adalah Permaisuri Mathilde, Permaisuri Edgitha, Permaisuri Adelheid, Permaisuri Teofanu, dan Putri Pemangku Mathilde.[81][82][83][84] Pada tahun 963, Otto memakzulkan Paus Yohanes XII dan menetapkan Leo VIII sebagai paus yang baru (kendati Paus Yohanes XII dan Paus Leo VIII sama-sama mendaku sebagai paus yang sah sampai Paus Yohanes XII wafat pada tahun 964). Tindakan tersebut membuka kembali sengketa lama dengan Kaisar Romawi Timur, lebih-lebih sesudah anak Otto, yakni Kaisar Otto II (memerintah tahun 967-983), memakai gelar imperator Romanorum (kaisar bangsa Romawi). Meskipun demikian, Otto II menjalin hubungan kekerabatan dengan kaum ningrat Romawi Timur dengan memperistri Putri Teofanu.[85] Anak mereka, yakni Kaisar Otto III, naik takhta ketika baru berumur tiga tahun, sehingga tidak berdaya mengatasi persaingan kaum ningrat yang haus kekuasaan, dan harus pasrah diwakili oleh para pemangku yang silih berganti menjalankan pemerintahan sampai dia cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 994. Sampai dengan saat itu, Otto III hanya bermastautin di Jerman, sementara Kresensius II, seorang pecatan adipati, bersimaharajalela memerintah Roma dan sebagian wilayah Italia, mungkin dengan mencatut namanya. Pada tahun 996, Otto III menetapkan saudara sepupunya menjadi paus pertama yang berkebangsaan Jerman, yakni Paus Gregorius V.[86] Paus dari bangsa asing dan para petinggi kepausan dari bangsa asing dilirik dengan penuh kecurigaan oleh kaum ningrat Roma, yang akhirnya memberontak di bawah pimpinan Kresensius II. Mantan guru pembimbing Otto III, Antipaus Yohanes XVI, sempat menguasai Roma sampai kota itu direbut Kaisar Romawi Suci.[87] Otto III mangkat dalam usia yang masih terbilang muda pada tahun 1002. Ia digantikan oleh saudara sepupunya, Kaisar Heinrich II, yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada negeri Jerman.[88] Usaha-usaha diplomatik Otto III (dan guru pembimbingnya, Paus Silvester) dilancarkan bertepatan dengan, dan mempermulus jalan bagi, usaha kristenisasi dan penyebarluasan budaya Latin di berbagai pelosok Eropa.[89][90] Otto III dan Paus Silvester berhasil menggiring masuk serumpun bangsa baru (bangsa Slav) ke dalam lingkup pranata Eropa, dan menjadikan Kekaisaran Romawi Suci, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana, sebagai "ketua himpunan kekeluargaan bangsa-bangsa menyerupai Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat pada paus dan kaisar di Roma". Langkah ini terbukti merupakan capaian yang berumur panjang.[91][92][93][94] Kemangkatan Otto III saat masih muda membuat masa pemerintahannya menjadi "kisah tentang sekian banyak daya berkarya yang tidak sempat mewujud nyata".[95][96] Heinrich II mangkat pada tahun 1024, dan digantikan oleh Konrad II, penguasa pertama dari kulawangsa Sali. Konrad II terpilih menjadi raja sesudah melewati perdebatan para adipati dan kaum ningrat. Kalangan adipati dan kaum ningrat inilah yang kemudian hari menjadi majelis pangeran-pemilih. Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menjadi sebuah negara besar yang terdiri atas empat kerajaan, yaitu:
Puncak Abad PertengahanSengketa investiturRaja-raja acap kali mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan kenegaraan, dan kerap menentukan orang-orang yang akan diangkat menjadi petinggi Gereja.[97] Selepas pembaharuan Kluni, campur tangan raja dalam urusan pengangkatan petinggi Gereja dinilai tidak patut oleh lembaga kepausan. Paus Gregorius VII yang berwawasan pembaharuan bertekad untuk melawan amalan-amalan semacam itu, sehingga menimbulkan sengketa investitur dengan Raja Heinrich IV (memerintah tahun 1056-1106, dinobatkan menjadi kaisar tahun 1084).[97] Heinrich IV menjegal langkah Sri Paus, dan membujuk para uskup untuk mengekskomunikasi Sri Paus, yang suka ia sebut dengan nama lahirnya saja, yaitu Hildebrand, alih-alih dengan nama kepausannya, Gregorius.[98] Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich, menafikan keabsahan jabatannya, dan membatalkan semua sumpah prasetia yang diikrarkan orang kepadanya.[23][98] Ketika sadar sudah kehilangan hampir semua dukungan politik, Heinrich pun merendahkan dirinya dengan menanggung malu berjalan kaki ke Kanosa pada tahun 1077,[99] dan berhasil meluluhkan hati Sri Paus untuk mencabut hukuman ekskomunikasi yang ditimpakan kepada dirinya. Sementara itu, para pangeran praja di Jeman sudah memilih Adipati Rudolf, pangeran praja Swaben, menjadi raja menggantikan Heinrich.[100] Heinrich berhasil mengalahkan Rudolf, tetapi sebagai konsekuensinya harus menghadapi lebih banyak lagi pemberontakan, hukuman ekskomunikasi yang sekali lagi ditimpakan kepada dirinya, bahkan harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya sendiri. Sesudah Heinrich mangkat, anaknya, Heinrich V, berhasil mencapai kata mufakat dengan Sri Paus dan para uskup yang dituangkan ke dalam Konkordat Worms tahun 1122.[101] Kuasa politik Kekaisaran Romawi Suci dapat dipertahankan, tetapi sengketa investitur telah menyingkap batas-batas kedaulatan raja, teristimewa dalam kaitannya dengan Gereja, dan telah melucuti status keramat yang sebelumnya melekat pada diri raja. Sri Paus dan para pangeran praja Jerman pun tampil mengemuka sebagai pemain-pemain utama di gelanggang politik Kekaisaran Romawi Suci. OstsiedlungSebagai akibat dari Ostsiedlung, daerah-daerah jarang penduduk di Eropa Tengah (daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk, dewasa ini termasuk wilayah negara Polandia dan Ceko) dimasuki pendatang penutur bahasa Jerman dalam jumlah yang cukup signifikan. Daerah Silesia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sebagai akibat dari usaha para adipati kulawangsa Piast untuk berswatantra, lepas dari campur tangan pemerintah Kerajaan Polandia.[102] Sejak abad ke-12, praja kadipaten Pomerania bernaung di bawah nama besar Kekaisaran Romawi Suci,[103] dan aksi penaklukan yang dilancarkan Tarekat Kesatria Teuton mengubah daerah itu menjadi praja penutur bahasa Jerman.[104] Zaman kulawangsa HohenstaufenKemangkatan Heinrich V pada tahun 1125 mengakhiri zaman kulawangsa Sali, karena para pangeran praja tidak lagi memilih kepala negara dari kaum keluarga Heinrich, tetapi memilih Lothar III, Adipati Saksen pemilik kekuatan tempur yang lumayan besar tetapi sudah lanjut usia. Sepeninggal Lothar III pada tahun 1137, para pangeran praja sekali lagi berusaha mengimbangi kekuasaan kepala negara, sehingga alih-alih memilih ahli waris kesayangan Lothar, yaitu menantunya, Heinrich Jumawa dari keluarga ningrat Welf, mereka memilih Konrad III dari keluarga ningrat Hohenstaufen yang masih terhitung cucu Kaisar Heinrich IV dan kemenakan Kaisar Heinrich V. Keputusan ini menimbulkan sengketa satu abad di antara dua keluarga ningrat itu. Konrad mengusir keluarga Welf dari tanah-tanah pusaka mereka, tetapi sesudah ia mangkat pada tahun 1152, kemenakannya, Friedrich Si Janggut Merah, naik takhta menggantikannya dan berdamai dengan keluarga Welf dengan mengangkat Heinrich Si Singa, yang masih terhitung saudara sepupunya, menjadi pangeran praja atas tanah-tanah pusaka peninggalan keluarga Welf, meskipun tidak lagi seluas dulu. Para penguasa dari kulawangsa Hohenstaufen kian lama kian sering menganugerahkan tanah perdikan kepada para ministerialis, yakni para mantan hamba sahaya, yang diharapkan Friedrich dapat menjadi orang-orang yang lebih dapat diandalkan daripada para adipati. Golongan yang mula-mula diberdayakan untuk berperang inilah yang merupakan cikal-bakal dari kaum kesatria negara, salah satu basis kekuatan Kekaisaran Romawi Suci. Langkah konstitusional penting berikutnya adalah penciptaan mekanisme perdamaian baru di Roncaglia bagi seantero Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Landfrieden, yang pertama kali dipermaklumkan oleh Kaisar Heinrich IV di Mainz pada tahun 1103.[105][106] Landfrieden merupakan ikhtiar untuk menghapus perseteruan pribadi di antara para adipati maupun pihak-pihak lain, dan untuk mengikat segenap kawula kaisar kepada suatu sistem yurisdiksi hukum dan kejaksaan agung bagi penegakan hukum pidana, salah satu pendahulu dari konsep modern "kedaulatan hukum". Konsep baru lain yang muncul pada masa itu adalah pendirian kota-kota baru secara sistematis oleh kaisar maupun oleh adipati-adipati setempat. Selain untuk menanggulangi masalah ledakan populasi, pendirian kota-kota baru juga memusatkan kekuatan ekonomi di lokasi-lokasi yang strategis. Sebelumnya, kota-kota hanya wujud dalam bentuk kota-kota tua peninggalan bangsa Romawi atau kota-kota keuskupan yang lebih tua lagi. Kota-kota yang didirikan pada abad ke-12 antara lain adalah kota Freiburg, yang mungkin sekali menjadi percontohan bagi banyak kota baru berikutnya, dan kota München. Friedrich Si Janggut Merah dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1155. Ia menitikberakan sifat "keromawian" negaranya, dengan maksud antara lain untuk dijadikan pembenaran bagi kemandirian kedaulatan kaisar dari Sri Paus yang ketika itu sudah sangat berkuasa. Sidang negara yang digelar di padang Roncaglia pada tahun 1158 menyerukan penegakan kembali hak-hak kaisar dengan merujuk kepada Corpus Iuris Civilis peninggalan Kaisar Yustinianus I. Hak-hak kaisar sudah diwacanakan sebagai tanda kebesaran raja saat terjadinya sengketa investitur, tetapi baru diperinci satu demi satu untuk pertama kalinya di Roncaglia. Daftar lengkapnya mencakup hak atas jalan-jalan raya umum, hak mengutip cukai, hak mencetak uang, hak mengutip denda, dan hak menaikturunkan pejabat negara. Dengan jelas diungkapkan bahwa hak-hak itu berakar pada peraturan perundang-undangan Romawi. Langkah tersebut merupakan tindakan konstitusional yang berdampak panjang. Friedrich lebih banyak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pemerintahan di Italia, tempat ia bersengketa dengan kota-kota Italia Utara yang berwawasan merdeka, khususnya praja kadipaten Milan. Ia juga membuat gusar lembaga kepausan dengan mendukung paus tandingan, yang dipilih oleh sekelompok kecil kardinal, melawan Paus Aleksander III (menjabat tahun 1159–1181). Friedrich bahkan mendukung suksesi paus-paus tandingan sebelum akhirnya berdamai dengan Paus Aleksander pada tahun 1177. Di negeri Jerman, Friedrich berulang kali membela Adipati Heinrich Si Singa dari berbagai kecaman yang dilontarkan para pangeran praja maupun pemerintah kota praja (terutama dalam kasus kota München dan kota Lübeck) yang menjadi saingannya. Heinrich sebaliknya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan-kebijakan Friedrich, malah menolak mengirim bala bantuan di saat-saat Friedrich sedang kewalahan berperang di Italia. Sepulangnya ke Jerman, Friedrich yang sudah kepalang sakit hati pun menggelar sidang untuk mengadili Heinrich Si Singa. Sang adipati akhirnya diharamkan menunjukkan batang hidungnya di muka umum, dan seluruh tanah miliknya disita negara. Pada tahun 1190, Friedrich ikut maju ke palagan Perang Salib ke-3, dan mangkat di Kerajaan Kilikia bangsa Armenia.[107] Pada zaman kulawangsa Hohenstaufen, para pangeran praja Jerman memprakarsai usaha pembukaan permukiman-permukiman baru dengan jalan damai ke sebelah timur wilayah Jerman, yakni di daerah-daerah tak berpenghuni atau yang hanya dihuni segelintir masyarakat Slav Barat. Kaum tani, pedagang, dan pengrajin penutur bahasa Jerman, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Yahudi, berpindah dari kawasan barat Kekaisaran Romawi Suci ke daerah-daerah tersebut. Jermanisasi berangsur atas daerah-daerah itu merupakan suatu fenomena rumit yang tidak boleh ditafsirkan dengan menggunakan sudut pandang nasionalisme abad ke-19 yang cenderung menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Pembukaan permukiman-permukiman baru ke arah timur ini memperlebar mandala pengaruh Kekaisaran Romawi Suci sampai ke Pomerania dan Silesia, demikian pula ikatan perkawinan yang dijalin para penguasa setempat, yang rata-rata berkebangsaan Slav, dengan pasangan-pasangan mereka yang berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1226, Adipati Konrad, pangeran praja Masovia, mengundang Tarekat Kesatria Teuton ke Prusia untuk mengkristenkan penduduk daerah itu. Praja Tarekat Teuton (bahasa Jerman: Deutschordensstaat), yang kemudian hari berubah menjadi praja Kadipaten Prusia, tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Pada masa pemerintahan anak sekaligus pengganti Friedrich Si Janggut Merah, yakni Kaisar Heinrich VI, kulawangsa Hohenstaufen mencapai puncak kegemilangannya, dengan masuknya Kerajaan Sisilia ke dalam daftar tanah pusaka kulawangsa itu melalui perkawinan Heinrich VI dengan Konstanze, Ratu Sisilia. Bohemia dan Polandia menjadi negara-negara pengabdi Kekaisaran Romawi Suci, bahkan Siprus dan Armenia Kecil turut mengaturkan sembah bakti ke hadapan kaisar. Khalifah berkebangsaan Maroko yang berkuasa di Jazirah Iberia ketika itu pun tidak berdaya membantah kewenangan Heinrich untuk menuntut pembayaran upeti dari Tunis dan Tripolitania, malah mempersembahkan upeti kepadanya. Lantaran takut melihat besarnya kekuasaan Heinrich, pemimpin terkuat di Eropa sejak kemangkatan Karel Agung, raja-raja lain di Eropa pun sepakat menjalin persekutuan. Heinrich membuyarkan upaya mereka dengan cara mengirimkan surat ancaman kepada Raja Inggris, Richard Si Hati Singa. Kaisar Romawi Timur khawatir negaranya akan menjadi bulan-bulanan dalam Perang Salib yang sedang direncanakan Heinrich, sehingga mulai menjalankan pemungutan alamanikon (pajak Jerman) sebagai langkah penanggulangan bahaya invasi. Heinrich juga berencana mengubah bentuk pemerintahan Kekaisaran Romawi Suci dari monarki elektif menjadi monarki turun-temurun, tetapi ditentang keras oleh Sri Paus dan beberapa pangeran praja. Kemangkatan Heinrich yang tidak disangka-sangka pada tahun 1197 mengguncang keutuhan Kekaisaran Romawi Suci.[108][109][110] Sekalipun sudah terpilih menjadi raja, Friederich II, anak Heinrich, masih kanak-kanak dan bermastautin di Sisilia, sehingga para pangeran praja Jerman memutuskan untuk memilih seorang raja yang sudah dewasa. Sidang majelis pangeran-pemilih terbelah, sebagian memilih Filips, putra bungsu Friedrich Si Janggut Merah, dan sebagian lagi memilih Otto, putra ketiga Adipati Heinrich Si Singa. Sesudah Filips mangkat terbunuh dalam suatu pertengkaran terkait urusan pribadi pada tahun 1208, Otto pun tampil sebagai pemimpin yang disegani, sampai ia mulai berusaha mendaulat Sisilia.[butuh klarifikasi] Lantaran khawatir terhadap ancaman bahaya yang mungkin timbul akibat bersatunya Kekaisaran Romawi Suci dengan Kerajaan Sisilia, Paus Inosensius III berbalik memihak Friedrich II. Friedrich bersama angkatan perangnya berkirab ke Jerman dan mengalahkan Otto. Sesudah berhasil mengalahkan Otto, Friedrich malah mengkhianati janjinya untuk melanggengkan keterpisahan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci. Meskipun sudah mengangkat anaknya, Heinrich, menjadi Raja Sisilia sebelum berkirab ke Jerman, kendali pemerintahan Sisilia sesungguhnya masih berada di dalam genggamannya. Situasi ini berlanjut sesudah Friedrich dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1220. Lantaran khawatir melihat pemusatan kekuasaan pada diri Friedrich, Sri Paus mengekskomunikasinya. Perkara lain yang juga menggusarkan hati Sri Paus adalah sikap Friedrich yang berulang kali menangguhkan janjinya untuk melancarkan Perang Salib. Friedrich akhirnya melancarkan Perang Salib ke-6 pada tahun 1228, sekalipun sudah telanjur diekskomunikasi. Perang Salib ke-6 bermuara pada perundingan-perundingan, dan berhasil menegakkan kembali kedaulatan Kerajaan Yerusalem, meskipun tidak bertahan lama. Di luar dari sepak terjangnya selaku kaisar, masa pemerintahan Friedrich II merupakan titik balik menuju ambruknya tatanan pemerintahan terpusat di Kekaisaran Romawi Suci. Lantaran sibuk membentuk pemerintahan yang lebih terpusat di Sisilia, Friedrich jarang sekali melawat ke Jerman, dan menganugerahkan hak-hak istimewa yang terlampau besar kepada para pangeran praja maupun petinggi Gereja di Jerman. Di dalam piagam Confoederatio cum principibus ecclesiasticis tahun 1220, Friederich merelakan sejumlah tanda kebesaran raja demi kepentingan para uskup, antara lain hak mengutip cukai, hak mencetak uang, dan hak mendirikan benteng. Piagam Statutum in favorem principum tahun 1232 menganugerahkan pula hak-hak tersebut kepada para pangeran praja. Meskipun sebelumnya banyak dari hak-hak istimewa itu sudah pernah dianugerahkan kepada pangeran praja tertentu, piagam tersebut menganugerahkannya kepada semua pangeran praja, sekali untuk selamanya, demi memampukan mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban wilayah di sebelah utara pegunungan Alpen selagi Friedrich berkutat dengan kesibukannya di Italia. Piagam tahun 1232 itu merupakan dokumen pertama yang menyifatkan para adipati di negeri Jerman dengan sebutan domini terræ (tuan tanah), yaitu pemilik dari tanah pusaka mereka masing-masing. Pemakaian sebutan domini terræ juga menunjukkan adanya perubahan besar di bidang peristilahan. Kerajaan BohemiaKerajaan Bohemia adalah negara kedaerahan yang cukup disegani pada Abad Pertengahan. Pada tahun 1212, Raja Ottokar I (menyandang gelar "raja" mulai tahun 1198) berhasil mendapatkan Bula Kencana Sisilia (semacam surat keputusan resmi) dari Kaisar Friedrich II, yang mengesahkan hak Ottokar dan keturunannya untuk menyandang gelar "raja", sekaligus meningkatkan status praja Bohemia dari kadipaten menjadi kerajaan.[111] Kewajiban-kewajiban politik dan keuangan Bohemia terhadap Kekaisaran Romawi Suci sedikit demi sedikit dikurangi.[112] Kaisar Karel IV bahkan menjadikan kota Praha sebagai pusat pemerintahannya. Masa interregnumSesudah Kaisar Friedrich II mangkat pada tahun 1250, wilayah Kerajaan Jerman pecah menjadi wilayah kekuasaan anaknya, Raja Konrad IV (mangkat tahun 1254), dan wilayah kekuasaan si raja tandingan, Willem, Adipati Holland (mangkat tahun 1256). Sepeninggal Konrad IV, negeri Jerman memasuki masa interregnum, karena tidak ada calon raja yang mampu mendapatkan persetujuan dari semua pihak. Lantaran tidak ada raja, para pangeran praja pun lebih banyak mencurahkan pikiran dan tenaga untuk memperkuat prajanya masing-masing, bahkan mampu tampil sebagai sosok-sosok pemimpin yang mandiri. Selepas tahun 1257, ada dua orang bangsawan yang digadang-gadangkan menjadi Raja Jerman, yakni Richard, bangsawan Cornwall yang didukung golongan Guelfi, dan Alfonso, Raja Kastila yang mendapatkan pengakuan dari golongan pendukung kulawangsa Hohenstaufen tetapi tidak pernah menjejakkan kakinya di bumi Jerman. Sesudah Richard mangkat pada tahun 1273, Rudolf, seorang bupati pendukung kulawangsa Hohenstaufen, terpilih menjadi raja. Rudolf adalah bangsawan pertama dari keluarga Habsburg yang bergelar raja, tetapi ia tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Sesudah Rudolf mangkat pada tahun 1291, Adolf dan Albert berturut-turut menduduki singgasana Kerajaan Jerman dengan gelar "Raja bangsa Romawi". Sama seperti Rudolf, Adolf dan Albert adalah raja-raja lemah yang tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Begitu Albert mangkat terbunuh pada tahun 1308, Raja Prancis, Filips IV, mulai gencar menggalang dukungan bagi adiknya, Karel, Bupati Valois, supaya terpilih menjadi Raja Bangsa Romawi berikutnya. Raja Filips II menyangka akan didukung penuh oleh Paus Klemens V yang berkebangsaan Prancis (memindahkan markas kepausan ke Avignon pada tahun 1309), dan merasa berpeluang besar dapat memasukkan Kekaisaran Romawi Suci ke dalam cakupan mandala kekuasaan raja-raja Prancis. Tidak tanggung-tanggung ia hamburkan duit negaranya demi menyogok para pangeran-pemilih di Jerman. Sekalipun Bupati Valois didukung oleh Heinrich, Uskup Agung Koln yang pro-Prancis, banyak pihak enggan melihat Prancis berjaya melebarkan sayap kekuasaannya, lebih-lebih Paus Klemens V. Agaknya saingan utama Karel, Bupati Valois, adalah Rudolf II, Bupati Istana di Rhein. Meskipun demikian, para pangeran-pemilih, yang sudah beberapa dasawarsa lamanya tidak memiliki seorang kaisar yang dipertuan, tidak menyukai Karel maupun Rudolf. Justru Heinrich, Bupati Luksemburg, dengan bantuan adiknya, Balduin, Uskup Agung Trier, yang dipilih menjadi kaisar oleh para pangeran praja (enam suara mendukung) di Frankfurt pada tanggal 27 November 1308. Meskipun bertuan kepada Raja Prancis, Heinrich tidak memiliki banyak ikatan kebangsaan dengan Prancis, sehingga menjadikannya calon yang tidak banyak ditentang. Ia dinobatkan menjadi raja di Aachen pada tanggal 6 Januari 1309, dan dinobatkan menjadi Kaisar Heinrich VII oleh Paus Klemens V di Roma pada tanggal 29 Juni 1312. Penobatannya menjadi Kaisar mengakhiri masa interregnum di Kekaisaran Romawi Suci. Perubahan di dalam kehidupan bernegaraPada abad ke-13, perubahan struktural umum di bidang tata kelola tanah membuka jalan bagi peralihan kuasa politik ke kaum borjuis dengan mengorbankan feodalisme kaum ningrat, yang akhirnya menjadi ciri khas kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Kebangkitan kota-kota dan kemunculan golongan masyarakat baru, yaitu kalangan Bürger (orang kota), menggerus tatanan kemasyarakatan, tatanan hukum, maupun tatanan ekonomi ala feodalisme.[113] Kaum tani kian lama kian diwajibkan untuk menyetorkan upeti kepada tuan-tuan tanah mereka. Konsep "harta-milik" mulai menggeser bentuk-bentuk kewenangan hukum yang lebih kuno, kendati keduanya masih tetap berkaitan erat satu sama lain. Di wilayah-wilayah praja (bukan di tingkat negara), kewenangan kian lama kian memusat. Barang siapa memiliki tanah, dia jualah yang empunya kewenangan hukum, kewenangan yang menjadi sumber dari segala kewenangan lainnya. Meskipun demikian, kewenangan hukum pemilik tanah pada masa itu tidak mencakup kewenangan membuat undang-undang, yakni jenis kewenangan yang nyaris tidak dikenal sebelum abad ke-15. Praktik peradilan sangat bergantung kepada adat-istiadat atau aturan-aturan yang sudah teradat. Pada kurun waktu inilah wilayah-wilayah praja mulai bertransformasi menjadi cikal-bakal negara-negara modern. Proses transformasi tersebut tidak berjalan serentak dan seragam di semua praja. Kemajuannya lebih terlihat di praja-praja yang wilayahnya nyaris identik dengan tanah-tanah pusaka suku-suku Jermani tempo dulu, misalnya praja Bayern, tetapi berjalan lebih lamban di praja-praja yang terlahir dari pelaksanaan hak-hak istimewa kaisar. Pada abad ke-12, Liga Hansa mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antarserikat usaha kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan Laut Baltik, Laut Utara, dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangeran prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali kota-kota merdeka milik negara). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.[h][114][115] Akhir Abad PertengahanKebangkitan praja-praja pasca-HohenstaufenKesulitan-kesulitan dalam memilih raja pada akhirnya mendorong dibentuknya suatu dewan tetap pangeran-pemilih (Kurfürsten). Keanggotaan maupun tata acara persidangannya ditetapkan di dalam Bula Kencana tahun 1356 yang dikeluarkan oleh Kaisar Karel IV (memerintah tahun 1355–1378, menjadi Raja Bangsa Romawi sejak tahun 1346) dan berlaku sampai tahun 1806. Perkembangan ini mungkin sekali merupakan tanda yang paling nyata dari munculnya dualitas kaisar dan negara (Kaiser und Reich), karena kaisar tidak lagi dianggap identik dengan negara. Bula Kencana tahun 1356 juga menetapkan tata cara pemilihan Kaisar Romawi Suci. Kaisar tidak lagi terpilih karena memenangkan suara mayoritas, tetapi terpilih karena mendapatkan persetujuan dari ketujuh-tujuh pangeran-pemilih. Gelar pangeran-pemilih pun menjadi gelar turun-temurun, bahkan pangeran-pemilih dianugerahi hak untuk mencetak uang dan menjalankan kewenangan hukum. Putra-putra mereka dianjurkan untuk belajar menguasai bahasa-bahasa negara, yaitu bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[i][16] Kebijakan Kaisar Karel IV ini menjadi pokok perdebatan. Di satu pihak kebijakan ini membantu memulihkan kedamaian di seantero wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang terus-menerus dilanda perang saudara sejak berakhirnya zaman kulawangsa Hohenstaufen, tetapi di lain pihak kebijakan ini "tidak pelak lagi menghantam kewenangan pemerintah pusat".[116] Menurut Thomas Brady Jr., Kaisar Karel IV sesungguhnya berniat mengakhiri pertentangan dalam pemilihan raja (jika dilihat dari sudut pandang kulawangsa Luksemburg, mereka turut diuntungkan karena Raja Bohemia mendapatkan kedudukan yang mulia dan bersifat tetap selaku salah seorang pangeran-pemilih).[117][118] Pada waktu yang sama, Kaisar Karel IV membangun Bohemia sebagai tanah pusaka utama kulawangsa Luksemburg di dalam wilayah Kekaisaran Romawi Suci dan sebagai basis kekuatan kulawangsa Luksemburg. Di Bohemia, masa pemerintahannya kerap diagung-agungkan sebagai zaman kegemilangan Bohemia. Meskipun demikian, menurut Thomas Brady Jr., di balik segala kegemerlapan itu, muncul satu permasalahan, yaitu pemerintah telah menyingkap ketidakberdayaannya dalam membendung arus pendatang Jerman ke Bohemia, yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan aniaya. Proyek negara yang diprakarsai kulawangsa Luksemburg mangkrak pada masa pemerintahan anak Karel, Wenzel (memerintah sebagai Raja Bohemia dari tahun 1378 sampai 1419, memerintah sebagai Raja Bangsa Romawi dari tahun 1376 sampai 1400), yang juga menghadapi penentangan dari 150 keluarga ningrat setempat.[119] Kian susutnya kewenangan kaisar juga terungkap dari cara raja-raja pasca-Hohenstaufen mempertahankan kekuasaan mereka. Pada masa-masa sebelumnya, Kekuatan tempur (maupun kekuatan dana) Kekaisaran Romawi Suci sangat bergantung kepada tata kelola bumi narawita kaisar yang disebut Reichsgut, yakni tanah-tanah yang akan selalu menjadi milik siapa saja yang terpilih menduduki singgasana Raja Jerman, dan mencakup banyak kota milik negara. Selepas abad ke-13, hak milik atas Reichsgut semakin tidak ada artinya, kendati masih tersisa satu dua bidang tanah Reichsgut ketika Kekaisaran Romawi Suci dibubarkan pada tahun 1806. Kian hari kian banyak Reichsgut yang digadaikan kepada adipati-adipati setempat, kadang-kadang demi mengisi pundi-pundi negara, tetapi lebih sering sebagai ganjaran darmabakti atau sebagai upaya mencucuk hidung adipati-adipati tersebut. Mengelola Reichsgut secara langsung tidak lagi sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan raja maupun para adipati. Raja-raja Jerman mulai dari Raja Rudolf I kian lama kian bergantung kepada tanah pusaka wangsanya masing-masing demi menopang kekuasaan mereka. Tidak seperti tanah-tanah Reichsgut yang kebanyakan terserak di berbagai pelosok negeri dan sukar untuk dikelola dengan baik, tanah-tanah pusaka wangsa relatif menyatu sehingga lebih mudah dikelola. Pada tahun 1282, Raja Rudolf I meminjamkan daerah Austria dan Stiria kepada putra-putranya sendiri. Pada tahun 1312, Heinrich VII, putra keluarga ningrat Luksemburg, dinobatkan sebagai Kaisar Romawi Suci yang pertama semenjak mangkatnya Kaisar Friedrich II. Semua Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci sesudah dirinya bergantung kepada tanah-tanah pusaka wangsanya (Hausmacht) masing-masing, misalnya Kaisar Ludwig IV dari keluarga ningrat Wittelsbach (menjadi raja tahun 1314, menjabat sebagai kaisar tahun 1328–1347) yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bayern, dan Kaisar Karel IV dari keluarga ningrat Lukesemburg, cucu Kaisar Heinrich VII, yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bohemia. Dengan demikian, demi kepentingan pribadinya, raja perlu memperkuat praja-praja, karena raja jualah yang akan memetik manfaatnya, mengingat di antara praja-praja tersebut terdapat pula praja-praja milik pusaka keluarganya sendiri. Pembaharuan NegaraPada permulaan abad ke-15, "undang-undang dasar" Kekaisaran Romawi Suci belum terbentuk dengan sempurna. Kerap timbul perseteruan antarpangeran praja. Kaum "kesatria garong" (Raubritter) merajalela di mana-mana.[120] Pada waktu yang sama, Gereja Katolik sedang berkutat dengan masalahnya sendiri, yang juga berdampak terhadap kehidupan bernegara. Konflik di antara orang-orang yang sama-sama mendaku sebagai paus yang sah (satu orang paus yang "sah" dan dua orang paus tandingan) baru tuntas sesudah Konsili Konstanz terselenggara (tahun 1414–1418). Selepas tahun 1419, lembaga kepausan lebih banyak mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk memberantas kaum Husite. Cita-cita luhur yang mengemuka pada Abad Pertengahan untuk mempersatukan seluruh Dunia Kristen menjadi satu negara saja, yang dituntun Gereja dan dipimpin Kekaisaran Romawi Suci, mulai kehilangan gaungnya. Semua perubahan tersebut memuculkan banyak perbincangan pada abad ke-15 mengenai Kekaisaran Romawi Suci itu sendiri. Aturan-aturan dari masa lampau tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman, dan Landfrieden warisan masa lampau dirasa sangat perlu ditegakkan kembali.[121] Cita-cita pembaharuan negara dan Gereja yang berjalan serentak di tingkat negara terlahir dari gagasan Kaisar Sigismund (memerintah tahun 1433–1437, menjadi Raja Bangsa Romawi dari tahun 1411). Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kaisar Sigismund "memiliki kewaskitaan dan keluhuran budi yang tidak kunjung dijumpai di dalam diri seorang kepala negara monarki Jerman sejak abad ketiga belas". Meskipun demikian, tantangan dari luar, kekeliruan-kekeliruan yang dilakukannya sendiri, dan punahnya garis keturunan laki-laki kulawangsa Luksemburg, membuat cita-cita itu tidak kunjung tercapai.[122] Pada tahun 1452, Friedrich III menjadi penguasa pertama dari kulawangsa Habsburg yang dinobatkan menjadi Kaisar Romawi Suci.[123] Ia sangat berhati-hati dalam menyikapi gerakan pembaharuan di Kekaisaran Romawi Suci. Hampir sepanjang masa pemerintahannya, ia menganggap pembaharuan sebagai ancaman terhadap hak-hak prerogatifnya selaku kaisar. Ia mengindari konfrontasi-konfrontasi langsung, yang bisa saja berujung nista jika para pangeran praja tidak mau menurut.[124] Selepas tahun 1440, pembaharuan Kekaisaran Romawi Suci dan Gereja diusung dan dipimpin oleh tokoh-tokoh di tingkat lokal dan regional, teristimewa para pangeran praja.[125] Meskipun demikian, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, ada lebih banyak tekanan dari tingkat yang lebih tinggi untuk mengambil tindakan. Berthold von Henneberg, Uskup Agung Mainz, atas nama para pangeran praja yang menghendaki pembaharuan (ingin memperbaharui Kekaisaran Romawi Suci tanpa menguatkan kewenangan kaisar), mendesak kaisar untuk melakukan pembaharuan dengan memanfaatkan keinginan Friedrich III untuk melapangkan jalan bagi anaknya, Maximilian, supaya terpilih menjadi kaisar sesudah ia mangkat. Oleh karena itu, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, Kaisar Friedrich III memprakarsai ikhtiar perdana pembaharuan negara, yang kemudian hari meluas pada masa pemerintahan Maximilian. Kaisar Maximilian sendiri bersikap terbuka terhadap pembaharuan, meskipun pada hakikatnya ia juga ingin melanggengkan dan memperbesar hak-hak prerogatif kaisar. Sesudah Friedrich meninggalkan kesibukan penyelenggaraan negara dan beristirahat di Linz pada tahun 1488, sebagai suatu langkah kompromi, Maximilian bertindak sebagai perantara yang menghubungkan para pangeran praja dengan ayahandanya. Sesudah menjadi penguasa tunggal sepeninggal ayahandanya, Maximilian meneruskan kebijakan perantara ini, dengan menempatkan dirinya selaku wasit yang tidak berpihak di tengah berbagai pilihan yang diusulkan para pangeran praja.[126][35] Pembentukan lembaga-lembaga negaraLangkah-langkah besar Pembaharuan Negara ditetapkan di dalam sidang Permusyawaratan Negara di Worms pada tahun 1495. Di dalam sidang tersebut, diperkenalkan sebuah lembaga baru, yaitu Reichskammergericht (Mahkamah Negara), yang diharapkan menjadi lembaga yang tidak banyak bergantung kepada kaisar. Ditetapkan pula suatu pajak baru, khusus untuk mendanai lembaga tersebut, yakni Gemeine Pfennig, kendati baru dikutip pada masa pemerintahan Kaisar Karel V dan Kaisar Ferdinand I, itu pun tidak dipungut sepenuhnya.[127][128][129] Dengan maksud untuk menciptakan sebuah lembaga tandingan bagi Reichskammergericht, pada tahun 1497, Kaisar Maximilian membentuk Reichshofrat (Majelis Istana Negara) yang berkedudukan di kota Wina. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Kaisar Maximilian, Reichshofrat tidak populer. Dalam jangka panjang, Reichskammergericht maupun Reichshofrat sama-sama berfungsi, bahkan kadang-kadang saling tumpang tindih.[130][131] Pada tahun 1500, Kaisar Maximilian menyetujui pembentukan lembaga yang dinamakan Reichsregiment (Pemerintah Negara), beranggotakan dua puluh orang petinggi negara termasuk para pangeran-pemilih, diketuai oleh kaisar atau pejabat yang mewakilinya. Reichsregiment pertama kali dibentuk pada tahun 1501 di Nürnberg. Meskipun demikian, Kaisar Maximilian tidak menyukai keberadaannya, dan praja-praja pun gagal mendukung kiprahnya. Lembaga baru ini terbukti tidak mampu berbuat banyak di gelanggang politik, sehingga kewenangannya dikembalikan kepada Kaisar Maximilian pada tahun 1502.[132][131][133] Perubahan terpenting di bidang pemerintahan menyasar jantung rezim ini, yaitu lembaga ketatausahaan. Pada permulaan masa pemerintahan Maximilian, Tata Usaha Istana di Innsbruck bersaing dengan Tata Usaha Negara yang diketuai Uskup Agung pangeran Praja Mainz, penata usaha kawakan Kekaisaran Romawi Suci. Dengan melimpahkan urusan-urusan politik di Tyrol, Austria maupun masalah-masalah negara kepada Tata Usaha Istana, Maximilian sedikit demi sedikit memusatkan kewenangan ketatausahaan pada lembaga tersebut. Tata Usaha Istana dan Tata Usaha Negara akhirnya disatukan pada tahun 1502.[7] Pada tahun 1496, Kaisar Maximilian membentuk suatu lembaga perbendaharaan umum (Hofkammer) di Innsbruck, yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan terkait semua tanah pusaka turun-temurun. Badan pemeriksa keuangan (Raitkammer) di Wina ditempatkan di bawah naungan lembaga ini.[134] Di bawah pimpinan Paul von Liechtenstein , Hofkammer tidak saja dipercaya untuk menangani urusan-urusan tanah pusaka turun-temurun, tetapi juga menangani urusan-urusan Maximilian selaku Raja Jerman.[135] Pemberlakuan hukum RomawiPada sidang Permusyawaratan Negara tahun 1495 di Worms, pemberlakuan hukum Romawi dipercepat dan diundangkan. Hukum Romawi dijadikan ketentuan yang bersifat mengikat di pengadilan-pengadilan Jerman, kecuali jika bertentangan dengan anggaran dasar praja.[137] Pada praktiknya, hukum Romawi menjadi hukum asasi di seluruh negeri Jerman, menggeser banyak sekali hukum asli Jermani, meskipun hukum Jermani masih dipakai di pengadilan-pengadilan tingkat bawah.[138][139][140][141] Selain demi mewujudkan niat untuk mencapai kesatuan hukum dan berbagai faktor lain, pemberlakuan hukum Romawi juga dilakukan demi menonjolkan kesinambungan Kekaisaran Romawi Suci dengan kemaharajaan bangsa Romawi tempo dulu.[142] Guna mewujudnyatakan keputusannya untuk merombak dan menyatukan tatanan hukum, Kaisar Maximilian kerap langsung turun tangan menuntaskan perkara-perkara hukum di tingkat praja, dengan melangkahi piagam-piagam maupun adat-istiadat praja. Sikap semacam itu tidak jarang menuai sindiran maupun kecaman dari dewan-dewan pemerintahan praja yang hendak menjaga kelanggengan undang-undang asli praja.[143] Perombakan tatanan hukum benar-benar melemahkan mahkamah Feme warisan masa lampau (Vehmgericht, atau Mahkamah Rahasia Westfalen, yang turun-temurun diyakini sebagai lembaga bentukan Karel Agung, meskipun sudah diragukan kebenarannya dewasa ini[144][145]), meskipun mahkamah ini baru benar-benar bubar pada tahun 1811 (dihapuskan atas perintah Jérôme Bonaparte).[146][147] Budaya politik kebangsaanMaximilian maupun Karel V (meskipun pada hakikatnya kedua kaisar ini berjiwa internasionalis[151][152]) adalah tokoh-tokoh yang pertama kali mengangkat wacana bangsa, yang disamakan dengan Reich oleh kaum humanis pada masa itu.[120] Dengan dorongan dari Maximilian dan para humanisnya, sosok-sosok nirjasad terkenal kembali diketengahkan atau kembali memasyarakat. Para humanis menemukan kembali risalah Jermania karya pujangga Tacitus. Menurut Peter H. Wilson, sosok perempuan yang dinamakan Jermania adalah sosok yang direka ulang Kaisar Maximilian menjadi Bunda Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman yang berbudi luhur lagi cinta damai.[153] Whaley menduga bahwa, meskipun kemudian hari timbul perpecahan akibat perbedaan agama, "motif-motif kecintaan kepada tanah air ditumbuhsuburkan pada masa pemerintahan Maximilian, baik oleh Maximilian sendiri maupun oleh para sastrawan humanis yang tanggap terhadap kebijakannya tersebut, melahirkan inti sari sebuah budaya politik kebangsaan."[154] Pada masa pemerintahan Maximilian pula ragam umum bahasa Jerman berangsur-angsur tampil menonjol, terutama berkat jasa jawatan tata usaha negara dan jawatan tata usaha praja Kadipaten Saksen, daerah kekuasaan Friedrich Bijaksana, pangeran-pemilih dari wangsa Wettin.[155][156] Perkembangan industri percetakan beserta kemunculan sistem pos (sistem pos modern pertama di dunia[157]), yang diprakarsai sendiri oleh Maximilian dengan sokongan dari Adipati Friedrich Bijaksana dan Adipati Karel Nekat, menuntun kepada revolusi di bidang komunikasi dan membuka jalan bagi penyebarluasan gagasan-gagasan. Berbeda dari situasi di negara-negara yang lebih tersentralisasi pemerintahannya, sifat keterdesentralisasian Kekaisaran Romawi Suci membuat membuat penyensoran menjadi perkara yang sukar dilaksanakan.[158][159][160][161] Terence McIntosh berpendapat bahwa kebijakan agresif ekspansionis yang dijalankan Kaisar Maximilian I dan Kaisar Karel V pada masa-masa pembentukan negara Jerman modern perdana (kendati tidak memajukan sasaran-sasarannya menjadi spesifik bagi bangsa Jerman per se), yang mengandalkan sumber daya manusia Jerman maupun pemanfaatan tenaga Landsknechte dan tentara upahan yang terkenal garang, berdampak kepada cara negara-negara tetangga memandang politas Jerman tersebut, kendati Jerman dalam jangka panjang cenderung aman sentosa.[162] Kuasa kaisarMaximilian adalah "Kaisar Romawi Suci yang pertama dalam 250 tahun yang memimpin sekaligus meraja". Pada permulaan dasawarsa 1500-an, ia adalah majikan sejati Kekaisaran Romawi Suci, meskipun kekuasaanya melemah pada dasawarsa terakhir menjelang kemangkatannya.[163][164] Whaley mencermati bahwa, meskipun penuh dengan pergumulan, yang muncul pada akhir masa pemerintahan Maximilian adalah monarki yang sudah kukuh, dan bukan oligarki pangeran-pangeran praja.[165] Benjamin Curtis berpendapat bahwa sekalipun tidak mampu sepenuhnya menciptakan suatu pemerintahan umum yang menaungi seluruh praja (meskipun tata usaha negara dan sidang majelis istana mampu menangani berbagai urusan di seluruh wilayah kedaulatan negara), Maximilian memperkuat fungsi-fungsi administratif penting di Austria dan membentuk jawatan-jawatan pusat untuk menangani urusan-urusan keuangan, politik, dan peradilan – jawatan-jawatan ini menggantikan sistem feodal dan merepresentasikan suatu sistem yang lebih modern yang dikelola oleh pejabat-pejabat yang diprofesionalkan. Sesudah dua dasawarsa mereformasi negara, kaisar mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh yang dituakan di antara rekan-rekan yang sederajat, sementara negara mendapatkan lembaga-lembaga umum yang menjadi sarana kaisar untuk berbagi kekuasaan dengan berbagai golongan warga negara.[166] Pada awal abad ke-16, para penguasa Habsburg menjadi kepala-kepala negara terkuat di Eropa, tetapi kekuatan mereka bertumpu pada keseluruhan percabangan monarki yang mereka bentuk, bukan hanya pada Kekaisaran Romawi Suci (baca juga Masa pemerintahan Kaisar Karel V).[167][168] Maximilian sempat serius mempertimbangkan untuk menyatukan tanah-tanah lungguh Burgundia (warisan istinya, Maria dari Burgundia) dengan tanah-tanah lungguh Austria miliknya untuk membentuk suatu wilayah inti yang kukuh (sembari meluaskan wilayah ke timur).[169] Sesudah masuknya Spanyol ke dalam lingkup kemaharajaan wangsa Habsburg yang terjadi tanpa disangka-sangka, ia pernah berniat meninggalkan Austria (ditingkatkan statusnya menjadi kerajaan) kepada cucunya yang lebih muda, Ferdinand.[170] Cucunya yang lebih tua, Karel V, kelak menyerahkan Spanyol dan hampir semua tanah lungguh Burgundia kepada purtanya, Felipe, pendiri wangsa Habsburg cabang Spanyol, dan menyerahkan tanah-tanah pusaka Habsburg kepada adiknya, Ferdinand, pendiri wangsa Habsburg cabang Austria.[171] Di Prancis dan Inggris, mulai dari abad ke-13, kediaman tetap raja mulai berkembang menjadi ibu kota yang tumbuh pesat dan diperlengkapi dengan prasarana-prasarana yang dibutuhkannya. Palais de la Cité di Prancis dan Istana Westminster di Inggris menjadi kediaman utama raja. Perkembangan seperti ini mustahil terjadi di Kekaisaran Romawi Suci lantaran tidak adanya pemerintahan monarki yang sungguh-sungguh herediter. Kapitalisme perdanaMeskipun menghambat sentralisasi kekuasaan di Kekaisaran Romawi Suci, partikularisme melahirkan perkembangan-perkembangan awal kapitalisme. Di kota-kota Italia seperti Genova dan Pisa maupun kota-kota Liga Hansa seperti Hamburg dan Lübeck, muncul kaum saudagar-petarung yang merintis kemaharajaan-kemaharajaan kelautan rompak-dan-dagang. Praktik-praktik semacam ini meredup sebelum tahun 1500, tetapi telanjur menyebar sampai ke persekitaran maritim di Portugal, Spanyol, Belanda, serta Inggris, dan "menumbuhkan semangat bersaing dalam skala yang lebih besar, yang bertaraf samudra" di negara-negara itu.[172] William Thompson sependapat dengan M.N.Pearson bahwa fenomena yang khas Eropa ini terjadi lantaran di kota-kota Italia dan kota-kota Liga Hansa yang tidak memiliki sumber daya dan "kecil ukuran maupun populasinya" para penguasa (yang status sosialnya tidak jauh lebih tinggi daripada status sosial para saudagar) harus mencurahkan perhatiannya pada perdagangan. Dengan demikian para saudagar-pejuang mendapatkan kuasa negara untuk memaksa, yang mustahil mereka dapatkan di negeri Mughal maupun negeri-negeri lain di Asia, tempat kepala negara tidak begitu berkepentingan untuk membantu golongan saudagar, lantaran menguasai sumber-sumber daya yang lumayan besar dan berpenghasilan yang erat terkait dengan tanah.[173] Pada dasawarsa 1450-an, perkembangan ekonomi di kawasan selatan Jerman menumbuhkan kemaharajaan-kemaharajaan perbankan, kartel-kartel, dan monopoli-monopoli di kota-kota seperti Ulm, Regensburg, dan Augsburg. Pada khususnya Augsburg, kota yang dikait-kaitkan dengan reputasi keluarga Fugger, keluarga Welser, dan keluarga Baumgartner ini dianggap sebagai ibu kota kapitalisme perdana.[174][175] Augsburg sangat diuntungkan oleh pembentukan dan perluasan Kaiserliche Reichspost pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.[158][157] Bahkan ketika kemaharajaan wangsa Habsburg mulai melebarkan sayapnya ke negeri-negeri lain di Eropa, kesetiaan Maximilian kepada Augsburg, tempat pelaksanaan sebagian besar kebijakannya, membuat kota kekaisaran itu menjadi "pusat utama kapitalisme perdana" pada abad abad ke-16, dan "lokasi kantor pos yang paling penting di wilayah Kekaisaran Romawi Suci". Dari zaman Maximilian, manakala "titik-titik perhentian akhir jalur-jalur pos lintas benua yang pertama" mulai bergeser dari Innsbruck ke Venesia dan dari Brussels ke Antwerpen, sistem komunikasi dan pasaran warta berita di kota-kota tersebut mulai mapan. Karena perusahaan keluarga Fuggers maupun perusahaan-perusahaan dagang lainnya menempatkan cabang-cabang utamanya di kota-kota itu, mereka juga mendapatkan akses ke sistem-sistem tersebut.[176] Bagaimanapun juga, kebangkrutan wangsa Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1557, 1575, dan 1607 sangat merugikan perusahaan keluarga Fugger. Selain itu, "penemuan jalur laut menuju India dan Dunia Baru menggeser fokus perkembangan ekonomi Eropa dari Laut Tengah ke Samudra Atlantik – kota-kota yang diutamakan bukan lagi Venesia dan Genova, melainkan Lisboa dan Antwerpen. Pada akhirnya perkembangan usaha tambang mineral Amerika membuat kekayaan mineral Hongaria dan Tirol menjadi tidak begitu penting lagi. Jaringan benua Eropa terus terkurung daratan sampai tiba masa pengupayaan angkutan barang lewat darat terutama dalam bentuk sistem rel dan sistem terusan, yang terbatas potensi pertumbuhannya; di lain pihak, di benua baru, ada banyak sekali pelabuhan untuk menggelontorkan limpahan barang yang diperoleh dari negeri-negeri baru itu." Puncak kejayaan ekonomi yang dicapai di Jerman pada kurun waktu antara tahun 1450 sampai 1550 tidak pernah terlihat lagi sampai akhir abad ke-19.[177] Di praja-praja Kekaisaran Romawi Suci yang terletak di Negeri Tanah Rendah, pusat-pusat finansial tumbuh bersama pasar-pasar komoditas. Perkembangan topografis pada abad ke-15 mengubah Antwerpen menjadi sebuah kota pelabuhan.[178] Bermodalkan hak-hak istimewa yang diterimanya selaku kota yang setia kepada kaisar seusai pemberontakan orang Flandria melawan Maximilian, Antwerpen menjadi kota pelabuhan laut utama di Eropa Utara dan tampil sebagai "penyalur 40% perdagangan dunia".[179][180][181] Meskipun demikian, konflik dengan pemerintah Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1576 dan 1585 membuat para sardaugar berpindah ke Amsterdam, yang akhirnya menggantikan Antwerpen sebagai kota pelabuhan utama.[182][178] Lihat pula
RujukanKeterangan
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Milan" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.Kutipan
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Thelocalgermancapitals" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.Sumber
Bahan bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Kekaisaran Romawi Suci.
Peta
|