Zaman Klasik adalah kurun waktu abad ke-8 Pra-Masehi sampai abad ke-5 Tarikh Masehi dalam sejarah peradaban kawasan Laut Tengah,[note 1] teristimewa peradaban Yunani Kuno dan peradaban Romawi Kuno, dua serangkai yang lazim disebut Dunia Yunani-Romawi. Pada kurun waktu inilah masyarakat Yunani-Romawi berkembang dan meluaskan pengaruhnya ke seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Asia Barat.
Zaman Klasik sudah jamak dianggap bermula pada masa penulisan naskah tertua yang memuat syair-syair gubahan Homeros dalam bahasa Yunani langgam wiracarita (abad ke-8 sampai abad ke-7 SM), masih berlangsung sewaktu agama Kristen naik marak dan Wilayah Barat Kekaisaran Romawi jatuh terpuruk (abad ke-5 M), lantas berakhir manakala kebudayaan Yunani-Romawi meluntur pada penghujung Akhir Abad Kuno (tahun 300–600 M). Rentang sejarah dan bentang wilayah yang sedemikian luas merangkum banyak sekali peradaban dan kurun waktu yang istimewa tiada bandingnya. Istilah "Zaman Klasik" juga mengacu kepada visi muluk orang-orang zaman kemudian tentang apa yang disebut Edgar Allan Poe sebagai "kegemilangan nan dahulu Gerika, dan kemegahan nan dahulu Roma".[1] Istilah lain untuk Zaman Klasik adalah Era Klasik, Abad Klasik, dan Abad Kuno Klasik.
Kebudayaan bangsa Yunani Kuno serta beberapa unsur kebudayaan masyarakat Timur Dekat Kuno mendasari tolok-tolok ukur kesempurnaan di bidang seni rupa,[2] filsafat, tata kemasyarakatan, dan pendidikan Dunia Yunani-Romawi sampai dengan Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Romawi melestarikan, meniru, dan menyebarluaskan tolok-tolok ukur kesempurnaan ini ke seluruh Eropa sampai mereka mampu bersaing dengan kebudayaan Yunani, yakni ketika penggunaan bahasa Latin sudah meluas ke mana-mana, dan Dunia Yunani-Romawi sudah terbiasa bertutur dalam bahasa Yunani sekaligus bahasa Latin.[3][4]
Asas kebudayaan Yunani-Romawi ini sangat besar pengaruhnya terhadap bahasa, politik, hukum, sistem pendidikan, filsafat, ilmu pengetahuan, hal ihwal berperang, seni puisi, historiografi, etika, retorika, seni rupa, dan arsitektur Zaman Modern. Semenjak abad ke-14, suatu gerakan kebangunan kembali berangsur tumbuh di atas sisa-sisa warisan peninggalan Zaman Klasik, yakni gerakan yang kelak disebut Renaisans di Eropa. Gerakan ini kembali mencuat ketika gerakan-gerakan neoklasik marak bermunculan pada abad ke-18 dan ke-19.
Kurun waktu terawal pada Zaman Klasik adalah kurun waktu sebelum kemunculan kembali sumber-sumber sejarah secara perlahan-lahan selepas kemerosotan Akhir Zaman Perunggu. Sebagian besar dari kurun waktu abad ke-8 dan ke-7 SM masih merupakan Zaman Protosejarah, manakala piagam-piagam beraksara Yunani ragam tertua mulai marak bermunculan pada paruh pertama abad ke-8 SM. Homeros sudah jamak dianggap hidup pada abad ke-8 atau ke-7 SM, dan tarikh masa hidupnya sering kali digunakan sebagai tarikh permulaan Zaman Klasik. Pada kurun waktu ini pula Olimpiade Kuno mulai diselenggarakan, yakni pada tahun 776 SM.
Orang Fenisia mula-mula menyebar dari bandar-bandarKanaan, dan pada abad ke-8 SM telah mendominasi kegiatan niaga di kawasan Laut Tengah. Kota Kartago didirikan oleh para perantau Fenisia pada tahun 814 SM. Pada tahun 700 SM, orang Kartago telah berhasil mendirikan pangkalan-pangkalan pertahanan di Sisilia, Semenanjung Italia, dan Sardinia, sehingga menimbulkan konflik kepentingan dengan Etruria. Sebuah prasasti yang ditemukan di Kition, Siprus, mengabadikan warta kemenangan Raja Sargon II atas tujuh orang raja di Pulau Siprus pada tahun 709 SM, yang menandai salah satu langkah penting dalam usaha pembebasan Siprus dari cengkeraman orang Tirus oleh bala tentara Asyur.[5][6][7][8]
Zaman Yunani Arkais bermula selepas Abad Kegelapan Yunani. Pada zaman inilah teori politik mengalami kemajuan-kemajuan penting, muncul demokrasi, filsafat, teater, serta puisi, dan terjadi revitalisasi bahasa tulis yang sempat menghilang pada Abad Kegelapan Yunani.
Di bidang pembuatan tembikar, pada zaman ini berkembang langgam Orientalisasi, yang mengisyaratkan peralihan dari langgam Geometris khas Abad Kegelapan Yunani serta akumulasi pengaruh dari Mesir, Fenisia, dan Suriah.
Langgam-langgam dalam seni kriya tembikar yang dikaitkan dengan bagian akhir dari Zaman Yunani Arkais adalah langgam sosok hitam yang mula-mula muncul di Korintus pada abad ke-7 SM, beserta penggantinya, langgam langgam sosok merah yang dipelopori oleh Si Pelukis Andokides sekitar tahun 530 SM.
Orang Etruski sudah mengukuhkan cengkeraman politiknya atas Semenanjung Italia pada penghujung abad ke-7 SM, dan menjadi golongan ningrat serta penguasa di kawasan itu. Kekuasaan orang Etruski agaknya meredup pada penghujung abad ke-6 SM. Ketika itulah suku-suku Italik menegakkan kembali kedaulatan mereka dengan mengasaskan sebuah negara republik, yang menghalangi penguasa untuk berlaku sewenang-wenang.[9]
Menurut legenda, kota Roma didirikan pada tanggal 21 April 753 SM oleh Romulus dan Remus, anak kembar keturunan Aeneas, kesatria ningrat asal Troya.[10] Konon kelangkaan perempuan di kota Roma memaksa orang Latini untuk menggunakan tipu daya demi mendapatkan istri. Mereka mengundang orang Sabini ke sebuah perayaan, lalu melarikan anak-anak gadis mereka, sehingga orang Latini dan orang Sabini akhirnya hidup berbaur.[11]
Bukti-bukti arkeologi memang menunjukkan tanda-tanda keberadaan sebuah permukiman perdana di lingkungan Forum Romanum pada pertengahan abad ke-8 SM, kendati permukiman-permukiman di Bukit Palatinus mungkin saja sudah didirikan pada abad ke 10 SM.[12][13]
Raja Roma yang ke-7 sekaligus yang terakhir adalah Tarquinius Superbus. Selaku anak dari Tarquinius Priscus dan menantu dari Servius Tullius, Tarquinius Superbus adalah orang Etruski. Pada masa pemerintahannyalah kekuasaan orang Etruski mencapai titik zenit.
Tarquinius Superbus menyingkirkan dan menghancurkan semua punden dan mazbah orang Sabini di Cadas Tarpeius sehingga mengobarkan kemarahan warga Roma. Rakyat akhirnya bangkit menentang kekuasaan Tarquinius Superbus ketika ia menutup mata terhadap perbuatan bejat putranya menggagahi Lucretia, seorang bangsawati Romawi. Sanak Lucretia, Lucius Iunius Brutus (leluhur Marcus Brutus), mengumpulkan para anggota Senat dan berjuang mengusir Tarquinius Superbus sekaligus mengenyahkan monarki dari Roma pada tahun 510 SM. Selepas pengusiran Tarquinius Superbus, Senat memutuskan untuk tidak lagi tunduk di bawah pemerintahan seorang raja, dan mengubah bentuk pemerintahan kota Roma dari kerajaan menjadi republik pada tahun 509 SM. Kata "raja" (bahasa Latin: rex) pun menjadi istilah yang keji dan dibenci bangsa Romawi sepanjang zaman republik, bahkan sampai ke zaman kekaisaran.
Kurun waktu klasik pada Zaman Yunani Kuno berlangsung antara abad ke-5 dan ke-4 SM, khususnya sejak tumbangnya tirani di Athena pada tahun 510 SM sampai dengan mangkatnya Aleksander Agung pada tahun 323 SM. Pada tahun 510 SM, bala tentara Sparta membantu warga Athena menumbangkan Tiran Hipias putra Peisistratos. Kleomenes I, Raja Sparta, mengisi kekosongan pemerintahan dengan membentuk pemerintahan oligarki Athena pro-Sparta yang diketuai oleh Isagoras.
Memasuki abad ke-4 SM, Yunani berada di bawah hegemoni Sparta. Akan tetapi pada tahun 395 SM, para penguasa Sparta menggulingkan Lisandros dari kedudukannya, dan Sparta pun kehilangan supremasi baharinya. Athena, Argos, Tebai dan Korintus (Tebai dan Korintus adalah mantan sekutu Sparta) menentang dominasi Sparta dalam Perang Korintus, yang usai tanpa hasil pada tahun 387 SM. Kemudian hari, pada tahun 371 SM, Epaminondas dan Pelopidas, panglima-panglima bala tentara Tebai, berjaya dalam Pertempuran Leuktra. Pertempuran ini menumbangkan supremasi Sparta sekaligus menjadi pangkal dari hegemoni Tebai. Tebai pun akhirnya digeser dari posisi puncak oleh Makedonia pada tahun 346 SM.
Di bawah pimpinan Raja Filipos II (359–336 SM), Makedonia mencaplok tanah air orang Paionia, orang Trakia, dan orang Iliria. Aleksander Agung (356–323 SM), putra Raja Filipos II, sempat pula memperluas wilayah kedaulatan Makedonia melampaui batas-batas negeri Yunani sampai ke Persia dan Mesir, bahkan sampai ke India. Kurun waktu klasik sudah lumrah dianggap berakhir ketika Aleksander Agung mangkat pada tahun 323 SM. Pada waktu ini pula wilayah luas yang susah payah ia rampas dari bangsa-bangsa asing akhirnya dipecah belah oleh para diadokoi.
Kurun waktu klasik pada Zaman Yunani Kuno mulai beralih ke kurun waktu helenistik ketika Makedonia berjaya dan Aleksander Agung melancarkan aksi-aksi penaklukannya. Bahasa Yunani tersebar keluar dari batas-batas negeri Yunani dan menjadi lingua franca di negeri-negeri asing, sementara kebudayaan Yunani berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di Persia, Kerajaan Israel, Kerajaan Yehuda, Asia Tengah, dan Mesir. Pada kurun waktu ini pula bangsa Yunani, khususnya para pengikutAristoteles (penganut paham Aristotelianisme), mencapai kemajuan-kemajuan penting di bidang ilmu pengetahuan, yakni di bidang ilmu bumi, ilmu falak, matematika, dan lain-lain.
Zaman Helenistik berakhir ketika Republik Romawi bangkit menjadi negara adidaya di kawasan Laut Tengah pada abad ke-2 SM, dan menaklukkan Yunani pada tahun 146 SM.
Kurun waktu republik pada Zaman Romawi Kuno bermula sejak pemerintah monarki digulingkan sekitar tahun 509 SM dan berlangsung selama lebih dari 450 tahun sampai pemerintah republik digulingkan melalui serangkaian perang saudara. Manakala kurun waktu republik beralih ke kurun waktu kekaisaran, bentuk pemerintahan pun berubah menjadi principatus (keketuaan) dan kemudian dominatus (ketuanan). Selama setengah milenium kurun waktu republik, status Roma meningkat dari negara jago kandang di daerah Latium menjadi negara adidaya jago tandang di dalam maupun di luar Semenanjung Italia. Proses penyatuan wilayah Semenanjung Italia di bawah hegemoni Romawi berlangsung sedikit demi sedikit sebagai hasil dari serangkaian konflik yang terjadi pada abad ke-4 dan abad ke-3 SM, yakni perang beruntun melawan orang Samniti, perang melawan orang-orang Latini, dan perang melawan Piros. Kemenangan romawi dalam perang beruntun melawan orang Kartago dan perang beruntun melawan orang Makedonia, yang melambungkan Roma menjadi negara adidaya di luar kandang pada abad ke-2 SM, diikuti oleh pencaplokan negeri Yunani dan Asia Kecil. Malangnya, peningkatan kekuasaan yang sedemikian besar terjadi berbarengan dengan peningkatan kerawanan ekonomi dan ketidakpuasan masyarakat, yang berbuntut pada upaya makar Katilina, Perang Sekutu, pembentukan triumviratus yang pertama, dan transformasi menjadi Kekaisaran Romawi pada separuh akhir abad pertama SM.
Penentuan tarikh pasti berakhirnya kurun waktu republik masih menjadi pokok perdebatan di kalangan sejarawan Zaman Modern.[note 2] Masyarakat Romawi ketika itu belum sadar kalau negara Republik Romawi sudah tamat riwayatnya. "Kaisar-kaisar" Romawi terdahulu yang berasal dari wangsa Iulia-Claudia masih berusaha mempertahankan keberadaan res publica (pemerintahan demi kemaslahatan rakyat), kendati di bawah perlindungan kewenangan luar biasa mereka, and would eventually kembali ke bentuk republik to its full Republican form. Negara bangsa Romawi tunak menyebut diri negara res publica selama masih menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resmi negara.
Negara bangsa Romawi mulai bersifat kekaisaran secara de facto semenjak tahun 130 SM, dengan pencaplokan wilayah Galia Cisalpina, Iliria, Yunani, dan Hispania. Sifat kekaisaran negara ini akhirnya paripurna dengan pencaplokan wilayah Yudea, Asia Kecil, dan Galia pada abad pertama SM. Saat keluasan wilayah mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kaisar Trayanus (117 M), negara bangsa Romawi menguasai seluruh kawasan sekitar Laut Tengah, Galia, sejumlah daerah di Germania dan Britania, Semenanjung Balkan, Dacia, Asia Kecil, kawasan Pegunungan Kaukasus, serta Mesopotamia.
Kendati terkadang disama-samakan, hal ihwal rumah tangga dalam masyarakat Romawi Klasik sesungguhnya jauh berbeda dari yang ada dalam masyarakat Yunani Klasik. Dalam masyarakat Romawi Klasik, para ayah berkuasa penuh atas anak-anak mereka, demikian pula para suami atas istri-istri mereka. Kekuasaan ayah atas anak maupun kekuasaan suami atas istri bahkan lazim disama-samakan dengan kekuasaan majikan atas budak belian. Makna asli kata "famiglia" dalam bahasa Italia sesungguhnya sama dengan makna kata "kulawarga", cikal bakal kata "keluarga" dalam bahasa Indonesia. Baik istilah "famiglia" maupun "kulawarga" mengacu kepada orang-orang yang tunduk di bawah kewenangan seorang bapak kepala rumah tangga, termasuk orang-orang yang tidak berkerabat dengannya, misalnya budak-budak belian dan pelayan-pelayan upahan. Dalam ikatan perkawinan, baik suami maupun istri saling bersetia dan saling berbagi harta kekayaan. Perceraian diperbolehkan untuk pertama kalinya pada abad pertama SM, dan dapat dilakukan atas kehendak suami maupun istri.[14]
Banyak penulis sudah mencoba menetapkan tarikh pasti dari "akhir" simbolis Abad Kuno. Tarikh-tarikh yang paling mengemuka adalah tarikh pemakzulan Kaisar Romawi untuk Wilayah Barat (tahun 476),[15][16] tarikh penutupan Perguruan Plato di Athena oleh KaisarYustinianus I (tahun 529),[17] dan tarikh penaklukan sebagian besar kawasan Laut Tengah oleh bala tentara Muslim (tahun 634–718).[18] Penaklukan Suriah (tahun 637), Mesir (tahun 639), Siprus (tahun 654), Afrika Utara (tahun 665), Hispania (tahun 718), kawasan selatan Galia (tahun 720), Kreta (tahun 820), Sisilia (tahun 827), dan Malta (tahun 870), maupun aksi-aksi pengepungan ibu kota Wilayah Timur Kekaisaran Romawi (aksi pengepungan Konstantinopel tahun 674–678) dan aksi pengepungan Konstantinopel tahun 717–718) yang dilakukan bala tentara Muslim merusak sendi-sendi ekonomi, kebudayaan, dan politik yang menyatukan kebudayaan-kebudayaan klasik di kawasan sekitar Laut Tengah dari generasi ke generasi, dan menamatkan Abad Kuno (baca artikel Tesis Pirenne).[18]
Senat Romawi masih terus menerbitkan maklumat sampai menjelang akhir abad ke-6, dan Kaisar Romawi Timur terakhir yang menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa sidang majelis istana di Konstantinopel adalah Kaisar Maurisius, yang bertakhta sampai tahun 602. Pemakzulan Kaisar Maurisius melalui dahagi yang dilakukan angkatan bersenjata Satuan Donau di bawah pimpinan panglima Fokas memicu invasi orang Slav atas Semenanjung Balkan, memundurkan budaya perkotaan Balkan dan Yunani (yang memaksa masyarakat penutur bahasa Latin di Semenanjung Balkan untuk mengungsi ke daerah pegunungan, baca artikel asal-usul orang Rumania), serta memancing timbulnya Perang Romawi-Sasani 602–628 yang berbuntut pada pencaplokan semua kota besar Wilayah Timur selain Konstantinopel. Kekisruhan yang diakibatkannya baru reda sesudah aksi-aksi penaklukan yang dilancarkan kaum Muslim pada abad ke-7 menuntaskan hilangnya kedaulatan Kekaisaran Romawi Timur atas semua kota besar selain ibu kota. Kaisar Heraklius di Konstantinopel, yang memerintah pada kurun waktu ini, menggunakan bahasa Yunani alih-alih bahasa Latin sebagai bahasa sidang majelis istana, kendati bahasa Yunani memang sudah sejak semula menjadi bahasa ketatausahaan di daerah-daerah Wilayah Timur Kekaisaran Romawi. Sendi-sendi pemersatu Timur-Barat pun melemah dengan berakhirnya Zaman Kepausan Bizantin.
Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, menjadi satu-satunya kota besar peninggalan Kekaisaran Romawi terdahulu yang masih dikuasai bangsa Romawi, sekaligus menjadi kota terbesar di Eropa. Sepanjang milenium berikutnya, budaya Romawi kota Konstantinopel lambat laun mengalami perubahan, sehingga para sejarawan Zaman Modern merasa perlu mengubah sebutan "Romawi" menjadi "Romawi Timur" atau "Bizantin", kendati banyak buku, arca, dan teknologi Zaman Klasik maupun khazanah boga dan tradisi-tradisi keilmuan Romawi Klasik masih tetap lestari di negara Kekaisaran Romawi Timur sampai "ditemukan kembali" pada Abad Pertengahan oleh Laskar Salib dari Barat. Warga Konstantinopel bahkan masih menyebut diri "orang Romawi", demikian pula pihak yang menaklukkan mereka pada tahun 1453, yakni orang Turki Utsmaniyah (baca artikel Rûm). Budaya dan ilmu pengetahuan Zaman Klasik yang masih lestari di Konstantinopel dibawa serta oleh warganya yang mengungsi ke Barat pada tahun 1453 dan turut berjasa mencetuskan Renaisans (baca artikel Cendekiawan Yunani dalam Renaisans).
Perubahan struktur sosial ekonomi yang berlangsung perlahan, ruwet, dan bertahap dalam perjalanan sejarah Eropalah yang akhirnya bermuara pada peralihan dari Zaman Klasik ke Abad Pertengahan, dan tidak ada tarikh tertentu yang dapat ditetapkan sebagai tarikh terjadinya peralihan tersebut.
Di bidang politik, gagasan dari penghujung Zaman Romawi Kuno tentang kekaisaran sebagai sebuah negara sejagat, yang dikepalai satu orang pemimpin tertinggi pilihan Tuhan, bergandengan dengan agama Kristen sebagai satu agama sejagat, yang juga dikepalai oleh satu orang batrik tertinggi, terbukti sangat berpengaruh, bahkan sesudah pemerintahan kekaisaran sirna dari Wilayah Barat. Kecenderungan berpola pikir seperti ini memuncak ketika Karel Agungdinobatkan menjadi "Kaisar Romawi" pada tahun 800, yang bermuara pada pembentukan Kekaisaran Romawi Suci. Gagasan bahwa kaisar adalah kepala monarki yang mengatasi raja muncul untuk pertama kalinya pada kurun waktu ini. Menurut gagasan politis ini, akan selalu ada negara semacam Kekaisaran Romawi, yakni negara dengan yurisdiksi seluas dunia beradab.
Pola pemerintahan semacam ini tetap lestari di Konstantinopel sepanjang Abad Pertengahan. Kaisar Romawi Timur dipandang sebagai penguasa tertinggi seluruh Dunia Kristen. Batrik Konstantinopel adalah rohaniwan tertinggi di Kekaisaran Romawi Timur, tetapi ia tetap kawula kaisar, "Wakil Tuhan di muka bumi". Rakyat Kekaisaran Romawi Timur dari generasi ke generasi tetap menyebut diri "orang Romawi" sampai dengan berdirinya negara baru bangsa Yunani pada tahun 1832.
Sekalipun kekuasaan sekuler Romawi Barat sudah sepenuhnya sirna di Eropa, jejak-jejaknya masih tertinggal. Lembaga Kepausan dan Gereja Katolik masih melestarikan bahasa, budaya, dan kepandaian baca-tulis Latin selama berabad-abad. Sampai sekarang pun paus masih digelari Pontifex Maximus (Imam Besar), salah satu gelar kaisar pada Zaman Klasik, dan Dunia Kristen menjadi penerus peradaban Eropa bersatu, bahkan sesudah kesatuan politiknya sirna.
Gagasan politis tentang kaisar di Barat yang sederajat dengan kaisar di Timur masih tersimpan dalam ingatan orang kendati Wilayah Barat Kekaisaran Romawi sudah runtuh. Gagasan ini dihidupkan kembali dengan penobatan Karel Agung pada tahun 800, dan negara yang menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci pun merajai kawasan tengah Eropa sampai tahun 1806.
Gagasan Renaisans tentang nilai-nilai luhur Romawi Klasik yang hilang dilamun Abad Pertengahan masih kuat mengakar dalam ranah politik Eropa pada abad ke-18 dan abad ke-19. Para pengasas negara Amerika Serikat maupun tokoh-tokoh revolusi Amerika Latin sangat mengagumi tatanan republik ciptaan bangsa Romawi. Alih-alih menggunakan istilah-istilah Inggris yang sudah lazim seperti commonwealth (persemakmuran) dan parliament (parlemen), Amerika Serikat justru menggunakan istilah-istilah Latin. Sistem pemerintahannya diberi nama republik (dari frasa res publica), lembaga legislatifnya diberi nama Senat (dari kata senatus), dan lembaga eksekutifnya diberi nama Presiden (dari kata praesidens).
Semangat yang sama juga melanda Prancis pada Zaman Revolusi dan Zaman Napoleon, manakala tatanan republik dan nilai-nilai kewiraan Romawi dijunjung tinggi oleh negara, tercermin pada arsitektur Panthéon dan Arc de Triomphe maupun lukisan-lukisan Jacques-Louis David. Pada Zaman Revolusi, Prancis mengulangi proses peralihan dari tatanan kerajaan ke tatanan kediktatoran, lantas berlanjut ke tatanan kekaisaran (lengkap dengan pemakaian lambang rajawali kekaisaran), sebagaimana yang pernah terjadi di Roma berabad-abad silam.
^Peristiwa-peristiwa tertentu yang mengisyaratkan perubahan Republik Romawi menjadi Kekaisaran Romawi sesungguhnya merupakan hasil penafsiran sejarawan. Para sejarawan sudah mengemukakan tarikh pengangkatan Yulius Kaisar menjadi diktator abadi (44 SM), tarikh Pertempuran Aktion (2 September 31 BC), maupun tarikh penganugerahan kewenangan luar bisa kepada Oktavianus oleh Senat Romawi berdasarkan hasil mufakat pertama (16 Januari 27 SM), sebagai tarikh peristiwa yang dapat ditetapkan sebagai tonggak sejarah perubahan republik menjadi kekaisaran.
^Helga von Heintze [de]: Römische Kunst (Seni Rupa Romawi). Dalam: Walter-Herwig Schuchhardt (1960): Bildende Kunst I (Archäologie) (Visual arts I – archaeology). Das Fischer Lexikon [de]. S. Fischer Verlag. Hlm. 192. "Bestimmend blieb (...) der italisch-römische Geist, der sich der entlehnten Formen nur bediente. (...) Ohne [die] Begegnung [mit der griechischen Formenwelt, author's note] hätte der italisch-römische Geist sich wohl kaum in künstlerischen Schöpfungen ausdrücken können und wäre nicht über die Ansätze, die wir in den Kanopen von Chiusi (...), der kapitolinischen Wölfin (...), dem Krieger von Capestrano (...) erhalten haben, hinausgekommen. Auch die gleichermaßen realistische wie unkünstlerische Auffassung der Porträts im 2. und 1. J[ahr]h[undert] v[or] Chr[istus] konnte sich nur unter dem Einfluß griechischer Formen ändern." ("Faktor penentunya tetap saja semangat Romawi-Italik, yang hanya memanfaatkan bentuk-bentuk pinjaman. (...) Tanpa perjumpaan dengan [khazanah bentuk-bentuk Yunani], semangat Romawi-Italik mustahil mampu mengungkapkan dirinya melalui karya-karya seni rupa, dan mustahil melangkah lebih jauh dari bentuk-bentuk tahap awal yang terlestarikan dalam tempayan-tempayan bertutup dari Chiusi, patung Serigala Kapitolina, dan arca Pejuang Capestrano. Demikian pula konsepsi dan produksi yang realistis dan inartistik dari potret-potret pada abad kedua dan abad pertama pra-Masehi hanya dapat mengalami perubahan berkat pengaruh bentuk-bentuk Yunani.")
^Der Große Brockhaus. Jld. 1.: A-Beo. Eberhard Brockhaus, Wiesbaden 1953, hlmn. 315. "Ihre dankbarsten und verständnisvollsten Schüler aber fand die hellenistische Kultur in den Römern; sie wurden Mäzene, Nachahmer und schließlich Konkurrenten, indem sie die eigene Sprache wetteifernd neben die griechische setzten: so wurde die antike Kultur zweisprachig, griechisch und lateinisch. Das System dieser griechisch-hellenistisch-römischen Kultur, das sich in der römischen Kaiserzeit abschließend gestaltete, enthielt, neben Elementen des Orients, die griechische Wissenschaft und Philosophie, Dichtung, Geschichtsschreibung, Rhetorik und bildende Kunst." ("Orang-orang Romawi menjadi murid-murid kebudayaan helenistik yang sangat bersyukur dan penuh pengertian; mereka menjadi pengayom, peniru, dan akhirnya pesaing, ketika bahasa bangsa sendiri mereka entaskan menjadi saingan bahasa Yunani, sehingga kebudayaan kuno pun menjadi dwibahasa, Yunani dan Latin. Sistem kebudayaan Gerika-Latin yang mengejawantah secara definitif pada kurun waktu Kekaisaran Romawi ini berisi unsur-unsur dari Dunia Timur, antara lain ilmu pengetahuan, filsafat, puisi, historiografi, retorika, dan seni rupa Yunani.")
^Veit Valentin: Weltgeschichte – Völker, Männer, Ideen (Sejarah dunia – bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, gagasan-gagasan). Allert de Lange [de], Amsterdam 1939, hlm. 113. "Es ist ein merkwürdiges Schauspiel – dieser Kampf eines bewussten Römertums gegen die geriebene Gewandtheit des Hellenismus: der römische Geschmack wehrt sich und verbohrt sich trotzig in sich selbst, aber es fällt ihm nicht genug ein, er kann nicht über seine Grenzen weg; was die Griechen bieten, hat soviel Reiz und Bequemlichkeit. In der bildenden Kunst und in der Philosophie gab das Römertum zuerst den Kampf um seine Selbständigkeit auf – Bilden um des Bildes willen, Forschen und Grübeln, theoretische Wahrheitssuche und Spekulation lagen ihm durchaus nicht." ("Usaha kesadaran Romawi yang ulet melawan kecerdasan Helenisme yang lihai merupakan suatu tontonan yang ganjil. Cita rasa Romawi menyiapkan resistensi, dengan keras kepala menggilai diri sendiri, tetapi tidak cukup tertanam di dalam benaknya, ia tak kuasa mengatasi batasan-batasannya; ada terlalu banyak pesona dan terlalu banyak kenyamanan dalam apa yang disuguhkan bangsa Yunani. Di bidang seni rupa dan filsafatlah Romanisme pertama-tama meninggalkan perjuangannya mencapai kemandirian – merupa semata-mata demi rupa itu sendiri, tafakur dan menyelidik, spekulasi teoretis, serta memburu kebenaran sama sekali bukanlah minatnya.")
^Yon, M., Malbran-Labat, F. 1995: “La stèle de Sargon II à Chypre”, in A. Caubet (penyunting), Khorsabad, le palais de Sargon II, roi d’Assyrie, Paris, 159–179.
^Radner, K. 2010: “The Stele of Sargon II of Assyria at Kition: A focus for an emerging Cypriot identity?”, in R. Rollinger, B. Gufler, M. Lang, I. Madreiter (penyunting), Interkulturalität in der Alten Welt: Vorderasien, Hellas, Ägypten und die vielfältigen Ebenen des Kontakts, Wiesbaden, 429–449.
^Wiesner-Hanks, Merry E. (2010-07-06). Gender in History Global Perspectives (edisi ke-2). Wiley-Blackwell. ISBN978-1-4051-8995-8.
^Clare, I. S. (1906). Library of universal history: containing a record of the human race from the earliest historical period to the present time; embracing a general survey of the progress of mankind in national and social life, civil government, religion, literature, science and art. New York: Union Book. hlm. 1519 (bdk., Ancient history, as we have already seen, ended with the fall of the
Western Roman Empire; [...])
^United Center for Research and Training in History. (1973). Bulgarian historical review. Sofia: Pub. House of the Bulgarian Academy of Sciences]. hlm. 43. (bdk. ... in the history of Europe, which marks both the end of ancient history and the beginning of the Middle Ages, is the fall of the Western Roman Empire.)
Grinin L. E. Early State in the Classical World: Statehood and Ancient Democracy. Dalam Grinin L. E. et al. (penyunting) Hierarchy and Power in the History of civilizations: Ancient and Medieval Cultures hlmn. 31–84). Moscow: URSS, 2008.Early State in the Classical World
Boatwright, Mary T., Daniel J. Gargola, dan Richard J. A. Talbert. 2004. The Romans: From village to empire. New York dan Oxford: Oxford Univ. Press
Bugh, Glenn. R. (penyunting), 2006. The Cambridge companion to the Hellenistic world. Cambridge, Inggris Raya: Cambridge Univ. Press.
Burkert, Walter. 1992. The Orientalizing revolution: The Near Eastern influence on Greek culture in the early Archaic age. Diterjemahkan oleh Margaret E. Pinder dan Walter Burkert. Cambridge, Massachusetts: Harvard Univ. Press.
Erskine, Andrew (penyunting), 2003. A companion to the Hellenistic world. Malden, Massachusetts, dan Oxford: Blackwell.
Flower, Harriet I. 2004. The Cambridge companion to the Roman Republic. Cambridge, Inggris Raya: Cambridge Univ. Press.
Green, Peter. 1990. Alexander to Actium: The historical evolution of the Hellenistic age. Berkeley: Univ. of California Press.
Hornblower, Simon. 1983. The Greek world 479–323 BC. London dan New York: Methuen.
Kallendorf, Craig W. (penyunting), 2007. A Companion to the Classical Tradition. Malden, Massachusetts: Blackwell.
Kinzl, Konrad (penyunting), 2006. A companion to the Classical Greek world. Oxford dan Malden, Massachusetts: Blackwell.
Potter, David S. 2006. A companion to the Roman Empire. Malden, Massachusetts: Blackwell
Rhodes, Peter J. 2006. A history of the Classical Greek world: 478–323 BC. Blackwell History of the Ancient World. Malden, Massachusetts: Blackwell.
Rosenstein, Nathan S., and Robert Morstein-Marx (penyunting), 2006. A companion to the Roman Republic. Oxford: Blackwell.
Shapiro, H. Alan (penyunting), 2007. The Cambridge Companion to Archaic Greece. Cambridge Companions to the Ancient World. Cambridge, Inggris Raya, dan New York: Cambridge Univ. Press.
Shipley, Graham. 2000. The Greek world after Alexander 323–30 BC. London: Routledge.
Walbank, Frank W. 1993. The Hellenistic world. Edisi revisi. Cambridge, Massachusetts: Harvard Univ. Press.