Kekhalifahan Rasyidin menjadi negara terbesar dalam sejarah pada masa tersebut.[3] Kekhalifahan Rasyidin dicirikan oleh periode ekspansi militer yang cepat selama dua puluh lima tahun diikuti oleh periode perselisihan internal selama lima tahun. Tentara Rasyidin berjumlah lebih dari 100.000 orang pada puncaknya. Pada tahun 650-an, selain Semenanjung Arab, kekhalifahan telah menaklukkan Levant (saat ini Suriah) ke Transkaukasus di utara; Afrika Utara dari Mesir hingga Tunisia di barat; dan Dataran Tinggi Iran ke bagian Asia Tengah dan Asia Selatan di Timur. Keempat khalifah Rasyidin dipilih oleh sebuah badan pemilihan kecil yang terdiri dari anggota terkemuka dari konfederasi Suku Quraisy yang disebut sebagai Syūrā (bahasa Arab: الشورى, translit. asy-syūrā, har.'perundingan').[4]
Abu Bakar (m. 632–634) terpilih menjadi khalifah pertama setelah kematian Muhammad. Pada awal masa pemerintahannya, terjadi banyak kemurtadan dan pemberontakan terhadap Islam di wilayah Jazirah Arab yang kemudian berhasil diatasi melalui Perang Riddah. Setelah kemurtadan berhasil diatasi, ia mengadakan kodifikasi Al-Qur'an dan memulai ekspedisi militer Islam pertama ke wilayah Persia dan Suriah. Masa pemerintahan Abu Bakar sangat singkat karena kematiannya. Posisinya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab (m. 634–644) yang melanjutkan ekspansi militer hingga wilayah Kekhalifahan Rasyidin meluas. Perluasan wilayah membuat Umar menetapkan kebijakan pembangunan negara, meliputi reformasi administrasi, pemindahan penduduk Kristen dan Yahudi ke Suriah dan Irak, pembentukan diwan, penetapan kalender hijriah, pembangunan kota-kota garnisun dan pembentukan pasukan tetap serta penetapan sistem moneter Islam. Masa pemerintahan Umar berakhir setelah dirinya dibunuh. Posisinya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh Utsman bin Affan (m. 644–656) yang terpilih melalui komite pemilihan khalifah. Utsman menjadi khalifah pertama yang membentuk angkatan laut yang membuat wilayah Kekhalifahan Rasyidin mencapai puncak terluasnya. Utsman juga dikenang karena perannya dalam kanonisasi Al-Qur'an. Kebijakan-kebijakan Utsman mencirikan nepotisme yang membuatnya mendapatkan penentangan dari masyarakat. Masa pemerintahan Utsman berakhir setelah dirinya dibunuh oleh pemberontak dan posisinya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib (m. 656–661), seorang anggota klan Bani Hasyim dan sepupu Muhammad, yang memindahkan ibu kota dari Madinah ke kota garnisun Kufah. Ali mengadakan perubahan kebijakan fiskal dalam penunjukan pejabat serta pembagian pajak dan harta rampasan perang. Karena kebijakannya, ia kurang disukai oleh para sahabat Muhammad dari suku Quraisy tetapi di saat yang bersamaan mendapat dukungan dari kaum Anshar dan masyarakat yang kurang mampu. Akhirnya terjadi pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Unta yang melibatkan pemuka Quraisy terutama Aisyah, Thalhah dan Zubair. Ali dapat mengatasi pertempuran ini, tetapi ia juga mengalami penentangan dari Gubernur Suriah yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang berujung pada Pertempuran Siffin dan memunculkan kelompok penentang lainnya yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij berhasil dibubarkan oleh Ali pada Pertempuran Nahrawan, namun Ali dibunuh oleh seorang loyalis Khawarij pada bulan Januari 661 sebagai bentuk balas dendam atas kekalahan Khawarij di Nahrawan.
Putra tertua Ali, Hasan, diangkat menjadi khalifah oleh sebagian Muslim sebagai pengganti ayahnya. Hasan memilih untuk berdamai dan menyerahkan jabatannya sebagai khalifah kepada Mu'awiyah. Hal ini menyebabkan keruntuhan Kekhalifahan Rasyidin dan memungkinkan Mu'awiyah untuk mendirikan Kekhalifahan dinasti Umayyah. Perang saudara pertama ini memulai perpecahan antara Muslim Sunni dan Syiah, dengan Muslim Syiah percaya Ali sebagai khalifah dan Imam pertama yang sah setelah Muhammad, mendukung hubungan garis keturunannya dengan Muhammad.[5]
Muslim Sunni percaya bahwa semasa hidupnya, Muhammad tidak pernah menitipkan pesan dan menunjuk siapa kelak yang akan menjadi penggantinya. Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan ketika pengangkatan khalifah setelah kematiannya.[6][7]
Khalifah pertama, Abu Bakar, terpilih melalui sebuah pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah. Aksesinya ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad dan ia diperangi oleh para pemberontak, namun ia berhasil menundukkan mereka. Sebagai seorang khalifah, Abu Bakar bukanlah seorang raja dan tidak pernah mengeklaim gelar seperti itu; begitu pula dengan ketiga penerusnya.[8] Sebaliknya, pemilihan dan kepemimpinan mereka didasarkan pada prestasi.[9][10]
Menurut definisi Sunni, keempat khalifah Rasyidin terhubung dengan Muhammad melalui pernikahan dan termasuk golongan yang pertama masuk Islam.[11] Keempat khalifah ini juga termasuk di antara sepuluh orang yang dijanjikan surga dan sangat sering dipuji oleh Muhammad. Para khalifah ini dikenal oleh Sunni dengan istilah Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: اَلْخُلَفَاءُ لرَّاشِدُونَ, translit. al-Khulafāʾ ar-Rāšidūn, har.'para khalifah yang dibimbing dengan benar').[12][13] Menurut Muslim Sunni, istilah Khilafah Rasyidin berasal dari sebuah Hadis Muhammad, yang memprediksi bahwa kekhalifahan setelah dia akan berlangsung selama 30 tahun (Kekhalifahan Rasyidin) dan kemudian akan diikuti oleh kerajaan (Kekhalifahan Umayyah adalah monarki turun-temurun).[14][15] Namun, istilah ini tidak digunakan dalam Islam Syiah, karena sebagian besar Muslim Syiah tidak menganggap aturan tiga khalifah pertama sah.[16] Di sisi lain, Syiah Zaidiyah percaya tiga khalifah pertama sebagai pemimpin yang sah.[17][18]
Setelah kematian Muhammad pada bulan Juni 632, kaum Anshar, penduduk asli Madinah, melangsungkan pertemuan di Saqifah (halaman) klan Bani Sa'idah. Sementara itu, rumah tangga Muhammad masih sibuk dengan pemakamannya.[19] Kepercayaan umum pada saat itu meyakini bahwa pertemuan tersebut diadakan agar kaum Anshar memutuskan pemimpin baru komunitas Muslim di antara mereka sendiri, dengan mengesampingkan Muhajirin (pendatang dari Makkah), meskipun ini kemudian menjadi topik perdebatan.[6]
Ketika Abu Bakar dan Umar mengetahui adanya pertemuan tersebut, mereka menjadi khawatir tentang kemungkinan kudeta dan segera pergi menuju pertemuan itu. Setelah tiba, Abu Bakar berbicara kepada orang-orang yang berkumpul dan memperingatkan mereka bahwa setiap upaya untuk memilih seorang pemimpin di luar suku Muhammad sendiri (yaitu Quraisy) kemungkinan akan mengakibatkan perselisihan karena Quraisy lebih terhormat di mata sebagian besar masyarakat Arab. Dia kemudian membawa Umar dan sahabat lainnya, Abu Ubaidah bin Jarrah, dengan mengangkat tangan mereka berdua dan menawarkannya kepada Anshar sebagai pilihan potensial. Usulannya ditentang oleh Habbab bin Mundzir yang menyarankan bahwa Quraisy dan Anshar dapat memilih seorang pemimpin masing-masing di antara mereka sendiri. Kedua pemimpin ini kemudian akan memerintah bersama.[20] Orang-orang Anshar yang hadir menjadi panas setelah mendengar usulan ini dan mulai berdebat. Umar buru-buru menjabat tangan Abu Bakar dan bersumpah setia kepadanya, sebuah contoh yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang berkumpul.[21] Setelah aksesi, Abu Bakar mengadopsi gelar Khalīfaṫur Rasūl Allāh (خَـلِـيْـفَـةُ رَسُـوْلِ اللهِ) yang berarti "Penerus Utusan Allah" atau hanya khalifah.[22]
Abu Bakar hampir diterima secara universal sebagai kepala komunitas Muslim (di bawah gelar Khalifah) sebagai hasil dari Saqifah, meskipun ia menghadapi pertentangan sebagai akibat dari pertemuan tersebut. Beberapa sahabat, yang paling menonjol di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, pada awalnya menolak untuk mengakui otoritasnya.[23][24] Ali mungkin diharapkan untuk mengambil alih kepemimpinan sebagai sepupu dan menantu Muhammad.[25][26] Seorang teolog bernama Ibrahim an-Nakha'i menyatakan bahwa Ali juga mendapat dukungan dari kalangan Anshar untuk jabatan Khalifah, dikarenakan hubungan silsilahnya dengan Muhammad, dan pidato Muhammad di Ghadir Khum.[27] Abu Bakar kemudian mengirim Umar untuk menghadapi Ali serta mendapatkan kesetiaannya,[28] yang mengakibatkan pertengkaran dan mungkin juga melibatkan kekerasan.[a] Akan tetapi, setelah enam bulan, kelompok itu berdamai dengan Abu Bakar dan Ali menawarkan kesetiaannya.[33]
Menaklukan Jazirah Arab
Masalah muncul segera setelah kematian Muhammad, mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara baru. Kemurtadan menyebar ke setiap suku di Jazirah Arab kecuali orang-orang di Makkah dan Madinah, Bani Tsaqif di Tha'if dan Bani Abdul Qais dari Oman. Beberapa suku menyatakan dengan jelas kemurtadannya. Sementara suku-suku yang lain tidak secara formal menentang Islam dan hanya menolak membayar zakat.[34] Banyak pemimpin suku mengeklaim mendapat wahyu kenabian, dan beberapa di antara mereka melakukannya menjelang kematian Muhammad. Insiden pertama kemurtadan dilakukan oleh Aswad al-Ansi yang mengeklaim kenabian di Yaman. Ia bangkit dan menyerbu Arab bagian Selatan. Kemurtadannya diperangi dan diakhiri saat Muhammad masih hidup.[35] Aswad dibunuh pada tanggal 30 Mei 632 (6 Rabi' al-Awwal, 11 Hijriah) oleh Gubernur Yaman, Fairuz ad-Dailami, seorang Muslim Persia. Berita kematiannya sampai ke Madinah tidak lama sebelum kematian Muhammad.[36] Kemurtadan lain yang terjadi sebelum kematian Muhammad dilakukan oleh Musailamah al-Kazzab. Ia mengeklaim kenabiannya di al-Yamamah.[37] Suku-suku yang berada di Najd, Arabia Timur (saat itu dikenal sebagai al-Bahrain) dan Arabia Selatan (dikenal sebagai al-Yaman dan termasuk Mahra) hanya mengeklaim kesetiaan mereka kepada Muhammad. Sehingga dengan kematian Muhammad, kesetiaan mereka berakhir dan mereka mulai mengadakan pemberontakan.[38] Abu Bakar bersikeras bahwa mereka tidak hanya tunduk kepada seorang pemimpin tetapi juga bergabung dengan sebuah ummah (أُمَّـة, terj. har.'komunitas') di mana dia adalah ketua yang baru.[38] Akibat dari konflik ini adalah Perang Riddah, di mana Abu Bakar memerangi sejumlah pemimpin suku yang mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang memberontak.[39]
Abu Bakar merencanakan strateginya dengan tepat. Dia membagi tentara Muslim menjadi sebelas pasukan. Kesebelas pasukan ini dipimpin oleh beberapa jenderal Muslim terkemuka, antara lain Ikrimah bin Abu Jahal, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Syurahbil bin Hassanah.[40] Pasukan terkuat dan kekuatan utama umat Islam adalah pasukan Khalid bin Walid. Pasukan ini digunakan untuk melawan pasukan pemberontak yang paling kuat. Pasukan lain diberi bidang-bidang dengan kepentingan sekunder untuk menundukkan suku-suku murtad yang dinilai tidak terlalu berbahaya.[34] Rencana Abu Bakar adalah memerangi pemberontak di wilayah Najd dan Arab Barat di dekat Madinah, kemudian menangani Malik bin Nuwairah dan pasukannya antara Najd dan al-Bahrain, dan akhirnya berkonsentrasi melawan musuh paling berbahaya, Musailamah dan sekutunya di al-Yamamah. Setelah serangkaian kampanye militer berhasil, Khalid bin Walid mengalahkan Musailamah dalam Pertempuran Yamamah.[41][42]
Abu Bakar berperan penting dalam melestarikan teks Al-Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang diraih dengan susah payah atas Musailamah dalam Pertempuran Yamamah, Umar bin Khattab melihat bahwa sekitar lima ratus orang Muslim yang hafal Al-Qur'an telah terbunuh.[43][44] Khawatir akan hilang atau rusak, Umar meminta agar Abu Bakar membuat kebijakan untuk melestarikan kitab suci dalam bentuk tertulis.[45] Khalifah awalnya ragu-ragu, dengan mengatakan, "Bagaimana mungkin kita melakukan apa yang bahkan tidak [pernah] dilakukan oleh Nabi [Muhammad]?". Namun dia akhirnya mengalah dan mengangkat Zaid bin Tsabit yang sebelumnya menjabat sebagai salah satu juru tulis Muhammad untuk mengumpulkan ayat-ayat yang tersebar. Ayat-ayat itu ditemukan dari setiap penjuru, mulai dari tulang, cabang palem, potongan kulit, batu, dan dari hafalan para sahabat. Tulisan yang dikumpulkan ditranskripsikan ke lembaran dan diverifikasi melalui perbandingan dengan hafalan para penghafal Al-Qur'an.[46][47] Kodeks yang telah selesai, disebut Mushaf, dipersembahkan kepada Abu Bakar.[48]
Ekspedisi ke Persia dan Suriah
Setelah Abu Bakar menyatukan Arab di bawah Islam, ia memulai serangan ke Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sasaniyah. Tidak jelas apakah dia menginginkan ekspansi skala penuh atau hanya untuk mengamankan zona perbatasan negara Islam dengan Bizantium dan Sasaniyah.[49] Bagaimanapun, dia telah menggerakkan lintasan sejarah yang hanya dalam beberapa dekade singkat akan membuat kekhalifahan menjadi salah satu negara terbesar dalam sejarah. Abu Bakar memulai perluasan wilayah dengan menaklukan Irak, provinsi terkaya di Kekaisaran Sasaniyah. Dia mengirim Jenderal Khalid bin Walid untuk menyerang wilayah tersebut pada tahun 633.[42] Dia juga mengirim empat korps tentara untuk menyerang provinsi Suriah milik Bizantium, tetapi operasi yang menentukan hanya dilakukan ketika Khalid telah menyelesaikan penaklukan Irak dan dipindahkan ke front Suriah pada tahun 634.[50][51]
Sebelum meninggal pada Agustus 634 karena sakit,[52]Abu Bakar mendiktekan wasiat kepada Utsman yang isinya menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya.[53] Abu Bakar juga mewariskan kodeks Al-Qur'an yang telah selesai sebelumya kepada Umar.[48] Setelah aksesi, Umar mengadopsi gelar Amirul mukminin, yang kemudian menjadi gelar standar khalifah.[54][55] Khalifah yang baru melanjutkan ekspansi militer yang dimulai oleh pendahulunya, menaklukan Kekaisaran Sassaniyah di timur, Bizantium di utara, dan menaklukan Mesir, Mesopotamia, dan Irak.[56] Ketiga wilayah ini memiliki kekayaan besar yang telah dikendalikan oleh negara-negara kuat sejak lama, tetapi konflik panjang antara Bizantium dan Persia telah membuat kedua belah pihak kelelahan secara militer, dan pasukan Muslim dengan mudah menang melawan mereka. Pada 640, seluruh Mesopotamia, Suriah dan Palestina telah berada di bawah kendali Kekhalifahan Rasyidin, disusul oleh Mesir ditaklukkan pada 642, dan seluruh Kekaisaran Sassaniyah pada 643.[57]
Di bawah kepemimpinan Umar, ekonomi dan perluasan wilayah kekhalifahan terus berkembang. Karenanya, dia mulai membangun struktur politik yang akan menyatukan wilayah yang luas. Dia melakukan banyak reformasi administrasi dan mengawasi kebijakan publik dengan cermat, mendirikan administrasi lanjutan termasuk beberapa kementerian dan birokrasi baru, dan memerintahkan sensus di seluruh wilayah kekhalifahan.[58] Selama pemerintahannya, kota garnisun (amṣar) Basra dan Kufah didirikan lalu diperluas. Pada 638, ia memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.[58]
Umar juga memerintahkan pemindahan sipil komunitas Kristen dan Yahudi yang menetap di Najran dan Khaibar ke wilayah Suriah dan Irak. Dia juga mengizinkan keluarga Yahudi untuk bermukim kembali di Yerusalem, yang sebelumnya dilarang dari semua orang Yahudi.[59] Dia mengeluarkan perintah agar orang Kristen dan Yahudi ini diperlakukan dengan baik dan memberi mereka tanah yang setara di pemukiman baru mereka. Umar juga melarang non-Muslim berada di Hijaz lebih dari tiga hari.[60]
Umar pertama kali mendirikan departemen khusus untuk penyelidikan pengaduan terhadap para pejabat Negara. Departemen ini bertindak sebagai pengadilan administrasi yang proses hukumnya dipimpin langsung oleh Umar.[61] Departemen itu berada di bawah tanggung jawab Muhammad bin Maslamah, salah satu orang paling tepercaya Umar. Dalam kasus-kasus penting Muhammad bin Maslamah diutus oleh Umar untuk pergi ke tempat itu, menyelidiki tuduhan itu dan mengambil tindakan. Kadang-kadang Komisi Penyelidik dibentuk untuk menyelidiki tuduhan itu. Kadang-kadang, para petugas yang menerima pengaduan dipanggil ke Madinah, dan diadili di pengadilan tata usaha Umar. Umar dikenal karena dinas intelijen ini di mana dia meminta pertanggungjawaban para pejabatnya.[62] Layanan ini juga dikatakan telah menginspirasi ketakutan pada rakyatnya.[63] Umar juga mendistribusikan pendapatan negara sesuai dengan manfaat dan prioritas Islam,[64] yang kemudian membuatnya menyesal karena mengganti prinsip Al-Qur'an tentang kesetaraan umat.[65]
Dengan karunia yang dijamin dari penaklukan, Umar mampu mendukung kehidupan rakyatnya menjadi lebih mapan. Para sahabat Muhammad juga diberi pensiun untuk hidup, memungkinkan mereka untuk melanjutkan studi agama dan menjalankan kepemimpinan spiritual di dalam komunitas mereka dan di luar kota.[66] Umar juga dikenang karena menetapkan kalender islam Hijriyah;[b] kalender Arab dengan sistem bulan (dalam penulisan lain: Qamariyah),[69] tetapi asalnya ditetapkan pada tahun 622, tahun Hijrah ketika Muhammad beremigrasi ke Madinah.[70]
Ketika Umar memimpin shalat subuh pada tahun 644, dia diserang oleh budak Persia Abu Lu'lu'ah dengan tiga atau enam kali tusukan menggunakan belati bermata dua.[71][72] Sebelum kematiannya, Umar menitipkan kodeks Al-Qur'an yang diwariskan oleh Abu Bakar kepada Hafshah yang merupakan putrinya dan salah satu istri Muhammad. Hafshah menyimpan kodeks tersebut di rumahnya.[47] Para sejarawan mencatat bahwa Umar juga sempat bimbang pada suksesi dan penggantinya.[73] Meskipun begitu, telah dilaporkan bahwa dia menunjuk sebuah komite yang terdiri dari enam orang untuk memilih seorang khalifah baru di antara mereka: Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam.[74][75]
Setelah kematian Umar, komite yang telah ditunjuk sebelumnya mengadakan rapat.[76][71] Abdurrahman bin Auf dipercaya menjadi ketua komite.[77] Proses pemilihan mengalami kesulitan karena Sa'ad bin Abi Waqqash mendukung sepupunya yaitu Abdurrahman bin Auf, yang juga cenderung mendukung saudara iparnya yaitu Utsman.[78][79] Blok suara yang terdiri dari tiga orang ini akan menjadi mayoritas dalam komite jika Thalhah tidak hadir dan Sa'ad memberikan dua suara. Mahmoud M. Ayoub dan Husain M. Jafri menulis bahwa susunan panitia ini menghalangi peluang Ali dan mengatakan bahwa Umar mungkin melakukannya tanpa disadari.[80][81]
Lebih lanjut, Jafri menyatakan bahwa Umar mungkin menghalangi peluang Ali dengan memberikan jabatan ketua komite kepada Abdurrahman karena takut akan munculnya perselisihan dan kerusuhan sipil.[82] Dalam pandangan Jafri, masuknya Ali ke dalam komite sekaligus mengakui klaimnya,[83] menghalangi peluangnya,[83] dan menghilangkan kebebasannya untuk mencari cara menjadi khalifah secara mandiri.[82] Pada akhirnya, Utsman memenangkan pemilihan dan diangkat menjadi khalifah pada usia tujuh puluh tahun.[84][85][86] Utsman dilantik sebagai khalifah ketiga sehari setelah rapat komite selesai dan empat hari setelah kematian Umar.[87]
Kebijakan
Ekspansi militer yang telah dilakukan oleh Umar kembali dilanjutkan oleh Utsman. Dia memperluas wilayah kekhalifahan Rasyidin ke beberapa daerah yang belum dicapai pada masa pemerintahan Umar. Perbedaan karakter antara Utsman dengan Umar menimbulkan model kepemimpinan yang berbeda.[88] Karakter Utsman yang lembut berbeda dengan karakter Umar yang tegas dan keras.[89] Disamping itu, Utsman diangkat menjadi khalifah pada usia 70 tahun; sehingga dia memimpin kekhalifahan dalam keadaan sudah tua dan sedikit lemah. Kebijakan yang paling disorot adalah kebijakannya pada pengangkatan kerabat dan keluarganya untuk menduduki jabatan penting.[90] Seperti gubernur-gubernur di daerah kekuasaan Islam berasal dari kerabat dan keluarganya.[91] Selain perluasan Islam, Utsman juga memerhatikan pembangunan dalam negeri seperti membangun bendungan pencegah banjir, jalan-jalan, jembatan, masjid, dan perluasan masjid Nabawi.[92]
Utsman adalah seorang pengusaha yang lihai dan pedagang yang sukses sejak masa mudanya. Keterampilannya telah memberikan kontribusi yang besar bagi Kekhalifahan Rasyidin. Sebelumya, Umar telah menetapkan tunjangan publik dan Utsman meningkatkannya sekitar 25%. Umar juga telah melarang penjualan tanah dan pembelian tanah pertanian di wilayah taklukan. Utsman kemudian mencabut larangan ini, mengingat fakta bahwa perdagangan tidak dapat berkembang. Utsman juga mengizinkan orang untuk menarik pinjaman dari kas negara.[93]
Sekitar tahun 650 M, Utsman mulai memerhatikan bahwa terdapat sedikit perbedaan dalam pengucapan Al-Qur'an saat Islam telah berkembang melampaui Jazirah Arab ke Persia, Suriah, dan Afrika Utara. Untuk menjaga kesucian teks, dia memerintahkan sebuah komite yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk meminjam kodeks yang sebelumnya disimpan oleh Hafshah dan mendeklarasikannya sebagai salinan standar Al-Qur'an.[94][95] Mushaf ini kemudian menjadi model dari salinan yang dibuat setelahnya dan disebarkan di seluruh pusat kota dunia Muslim, sedangkan versi lain diyakini telah dihancurkan atau dibakar.[94][96][97][98]
Meskipun Syi'ah menggunakan Al-Qur'an yang sama dengan Muslim Sunni, namun mereka tidak percaya bahwa itu pertama kali disusun oleh Utsman.[99] Syiah percaya bahwa Al-Qur'an dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad selama hidupnya.[100][101]
Utsman memusatkan kekuasaan dengan mengandalkan kerabat Umayyahnya, dengan mengesampingkan kabilah-kabilah Quraisy lainnya dan kaum Anshar yang telah menikmati otoritas signifikan selama masa pemerintahan dua khalifah sebelumnya. Utsman menunjuk kerabatnya untuk semua jabatan gubernur provinsi,[102][103] dan memberikan sejumlah tanah dan hibah uang kepada kerabatnya termasuk Marwan bin al-Hakam dan Sa'id bin al-Ash.[88] Sekitar tahun 650, kira-kira dimulai pada paruh kedua masa pemerintahannya, pendapat umum berbalik melawan Utsman.[104] Dia dituduh melakukan nepotisme dan menunjuk orang yang terlalu muda untuk jabatan penting.[89] Utsman juga banyak dituduh telah melakukan tindak korupsi.[105][106] Campur tangan Utsman dalam urusan provinsi yang terdiri dari pernyataannya atas tanah mahkota Irak sebagai aset negara dan tuntutannya agar surplus provinsi diteruskan ke khalifah di Madinah. Hal ini telah menimbulkan penentangan yang meluas terhadap pemerintahannya, terutama dari kalangan Irak dan Mesir, tempat sebagian besar tentara penaklukan menetap.[107] Para pemukim tua juga melihat status mereka terancam oleh hibah tanah di wilayah taklukan untuk Quraisy terkemuka seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sementara itu, Khalifah memungkinkan kepala suku yang masih muda, seperti Asy'ats bin Qais untuk memperoleh tanah di sana sebagai ganti tanah mereka di Arab.[90][108]
Wilferd Madelung menulis bahwa selama masa pemerintahan Utsman masyarakat banyak mengajukan keluhan terhadap tindakan sewenang-wenangnya. Sumber-sumber sejarah juga banyak menyebutkan catatan panjang tentang kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Madelung juga mencatat bahwa "hanya kematiannya yang kejam yang datang untuk membebaskannya dari ahdats mana pun dan menjadikannya sebagai syahid dan Khalifah ketiga yang benar".[109] Sejarawan modern cenderung menulis bahwa Utsman sebagai seorang khalifah hanya mengandalkan kemauannya sendiri dalam memilih kabinetnya, yang berujung pada keputusan yang menimbulkan perlawanan di dalam komunitas Muslim. Gaya pemerintahan Utsman menjadikannya sebagai salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah Islam.[110] Madelung juga menentang dugaan peran Abdullah bin Saba dalam pemberontakan melawan Utsman dan mengamati bahwa "hanya sedikit sejarawan modern yang mau menerima legenda tentang Ibnu Saba."[111]
Karena berbagai kebijakan kontroversial Utsman, sebagian masyarakatnya menjadi kecewa dan hasutan untuk menentangnya dimulai di Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah kekhalifahan.[112] Pada 17 Juni 656, masyarakat yang sudah dihasut mengepung rumahnya selama empat puluh hari dan membunuhnya ketika sedang membaca Al-Qur'an. Mereka memukul kepalanya dan menusuk perutnya. Kejadian ini semakin memperburuk keadaan dan membuat konflik semakin menyebar.[113]
Ketika Utsman dibunuh pada tahun 656 M oleh para pemberontak Mesir,[114] calon khalifah yang potensial adalah Ali dan Thalhah. Bani Umayyah telah melarikan diri dari Madinah, dan pemberontak provinsi serta Anshar menguasai kota. Di wilayah Mesir, Thalhah mendapatkan dukungan yang lumayan besar. Sementara penduduk Basra dan Kufah, juga sebagian besar Anshar memberikan dukungan kepada Ali.[115] Beberapa penulis menambahkan mayoritas Muhajirin ke dalam daftar pendukung Ali.[116][117][118][119] Para kepala suku utama juga menyukai Ali pada saat itu.[120] Menurut beberapa catatan, Ali dibai'at tiga hari setelah kematian Utsman di Masjid Nabawi.[121][118]
Ali menghadapi situasi yang berbeda dengan masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Pada masa kedua khalifah sebelumnya, umat Islam masih bersatu. Mereka juga memiliki banyak permasalahan yang harus diselesaikan seperti perluasan wilayah Islam, pembangunan negara, dan penunjukan para pejabat.[114] Selain itu, kehidupan sosial mereka masih sangat sederhana dan belum banyak terpengaruh oleh kekayaan dan kedudukan. Ali menghadapi kelompok penentang yang sangat kuat ketika memberlakukan kebijakan pemecatan pada pejabat-pejabat. Hal ini dianggap sebagai penyebab munculnya pemberontakan.[115]
Ali menentang kontrol terpusat atas pendapatan provinsi.[120][122] Dia juga membagikan pajak dan harta rampasan secara merata di antara umat Islam,[120] mengikuti preseden Muhammad dan Abu Bakar.[123][124] Praktek ini mungkin menunjukkan pandangan egaliter Ali,[116] yang dengan demikian berusaha untuk mengurai tatanan sosial yang didirikan di bawah pendahulunya,[64] Umar dan Utsman.[125][65] Kebijakan Ali yang egaliter membuatnya mendapatkan dukungan dari hampir semua kelompok yang kurang mampu, termasuk Anshar, dan para imigran akhir ke Irak.[126] Sebaliknya, Thalhah dan Zubair, keduanya adalah sahabat Quraisy Muhammad yang telah mengumpulkan kekayaan yang sangat besar di bawah Utsman.[127] Mereka berdua memberontak melawan Ali setelah khalifah menolak memberi mereka bantuan.[128][124] Beberapa tokoh lain di kalangan Quraisy juga menentang Ali karena alasan yang sama.[129][130]
Disebutkan bahwa Ali bahkan menolak permintaan dana publik dari saudaranya, Aqil.[131][132] Mengenai perpajakan, Ali menginstruksikan pejabatnya untuk memungut pembayaran secara sukarela, tanpa pelecehan, dan memprioritaskan orang miskin saat mendistribusikan dana.[133] Dia mengarahkan Malik al-Asytar dalam sebuah surat untuk lebih memperhatikan pengembangan tanah daripada perpajakan jangka pendek.[130][134][135]
Ketika aksesi Ali di Madinah diketahui oleh Aisyah yang merupakan janda Muhammad, dia menempatkan dirinya di Makkah dan secara terbuka menyalahkan pembunuhan Utsman kepada Ali.[122][136] Ia segera bergabung dengan kerabat dekatnya, Thalhah dan Zubair,[137] dan mendeklarasikan perlawanan terhadap Ali.[138][139]
Pendukung Aisyah menuntut agar Ali menghukum mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman.[116] Mereka juga menyerukan pencopotan Ali dari jabatannya dan dewan Syura untuk menunjuk penggantinya.[139][140] Kekhalifahan Ali mungkin telah menggagalkan ambisi politik Thalhah dan Zubair,[141] juga suku Quraisy pada umumnya.[142] Khawatir bahwa Ali akan mengakhiri status istimewa mereka sebagai kelas penguasa Islam,[143][142] kaum Quraisy kemudian menantang Ali untuk melindungi hak-hak mereka.[142] Kaum Quraisy bersikeras ingin mengembalikan kekhalifahan yang berdasarkan prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Abu Bakar dan Umar.[144] Pada akhirnya, Thalhah dan Zubair memberontak setelah Ali menolak memberi mereka bantuan.[128][145]
Ketika para pemberontak gagal mendapatkan daya tarik di Hijaz, mereka berangkat ke Basra dengan beberapa ratus tentara.[146] Ali telah berangkat mengejar tetapi gagal mencegat mereka. Di al-Rabadha, dia kemudian mengubah arah ke Kufah dan mengirim delegasi untuk mengumpulkan pasukan di sana.[147][148] Namun, Abu Musa al-Asy'ari, Gubernur Kufah, meminta Kufah untuk tetap netral.[149][150] Dengan demikian, para pendukung Ali membentuk pasukan yang terdiri dari enam hingga dua belas ribu orang atau menurut versi lain, sepuluh ribu orang.[149][150][151] Pasukan inilah yang menjadi inti pasukan Ali dalam pertempuran yang akan datang.[150] Kedua pasukan segera berkemah di luar Basra dengan posisi saling berseberangan.[152][116] Negosiasi kemudian dimulai antara Ali, Thalhah, dan Zubair untuk menghindari perang yang akan datang.[153] Negosiasi itu rupanya mematahkan tekad Zubair, yang mungkin telah menyadari peluang kecilnya untuk menjadi khalifah dan mulai meragukan keadilan yang sedang ia perjuangkan.[154] Dalam negosiasi, pihak Aisyah menuntut agar Ali mundur dari jabatannya dan menuntut dewan Syura untuk memilih khalifah yang baru, tetapi Ali membalas bahwa dia adalah khalifah yang sah.[154] Kedua belah pihak juga saling menuduh bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman.[154][155] Negosiasi gagal setelah tiga hari[c] dan kedua belah pihak bersiap untuk berperang.[154][116][160]
Pertempuran itu terjadi pada suatu hari di bulan Desember tahun 656, berlangsung dari siang hingga matahari terbenam.[161][162] Dikatakan bahwa Ali melarang orang-orangnya untuk memulai permusuhan.[149] Ia memerintahkan pasukannya untuk maju ketika para pemberontak membunuh utusan Ali, sehingga menghalangi usaha terakhirnya untuk menghindari perang.[163] Aisyah juga dibawa ke medan perang, mengendarai tandu lapis baja di atas unta merah, yang kemudian menjadi asal dari nama pertempuran itu.[164][155] Thalhah segera dibunuh oleh seorang anggota Bani Umayyah, yang mungkin menganggap Thalhah adalah dalang utama di balik pembunuhan Utsman.[165][166][167] Zubair yang merupakan seorang pejuang berpengalaman, pergi tak lama setelah pertempuran dimulai,[163] tetapi kemudian dikejar dan dibunuh.[163]Madelung berpendapat bahwa Zubair sangat meragukan keadilan dari tujuan mereka yang menyebabkan Zubair terpaksa mengikuti peperangan tersebut.[168] Kematian Thalhah dan Zubair menentukan nasib pertempuran,[169][170] meskipun pertempuran sengit mungkin berlanjut selama berjam-jam di sekitar unta Aisyah.[168] Pertempuran berhenti hanya ketika pasukan Ali berhasil membunuh unta Aisyah.[169] Namun, Aisyah tetap diperlakukan dengan hormat, dan kemudian diantar kembali ke Hijaz.[171][172][149][161] Ali kemudian mengumumkan pengampunan publik,[173] membebaskan para tawanan perang dan melarang perbudakan wanita dan anak-anak mereka.[174]
Begitu sampai di Kufah, Ali mengirim utusan ke Suriah dengan membawa surat untuk gubernurnya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Surat itu menuntut bai'atnya dan menambahkan bahwa dia akan diberhentikan dari jabatannya,[175][176][177] sementara Mu'awiyah telah menjabat sebagai gubernur sejak masa kekhalifahan Umar.[175] Ali berargumen dalam suratnya bahwa pemilihannya di Madinah mengikat Mu'awiyah di Suriah karena dia dipilih oleh orang yang sama yang telah berjanji kepada para pendahulunya.[175] Surat itu melanjutkan bahwa pemilihan khalifah adalah hak Muhajirin dan Anshar, secara eksplisit mengecualikan Mu'awiyah, sebagai mualaf terakhir (taliq), dari Syura mana pun dan dari kekhalifahan itu sendiri.[175][128] Surat tersebut juga mendesak Mu'awiyah untuk menyerahkan keadilan bagi Utsman kepada Ali, berjanji bahwa dia akan menangani masalah tersebut pada waktunya.[175][128] Menanggapi surat Ali, Mu'awiyah melancarkan kampanye propaganda di seluruh Suriah, menuntut Ali atas kematian Utsman dan menyerukan balas dendam.[178][179][180] Mu'awiyah segera bergabung dengan Amr bin Ash,[181] seorang ahli strategi militer,[182] yang berjanji untuk mendukung Bani Umayyah melawan Ali dengan imbalan jabatan gubernur Mesir seumur hidup.[183][180][184] penulis modern cenderung menganggap seruan balas dendam Mu'awiyah sebagai dalih untuk merebut kekuasaan,[185][186][187][188][184] sebagai bukti dengan tawaran rahasianya untuk mengakui Ali dengan imbalan Suriah dan Mesir.[189]
Pertempuran dimulai pada musim panas tahun 657 di Siffin, salah satu wilayah di tepi Sungai Eufrat.[190] Jumlah pasukan Ali sekitar seratus ribu orang, sedangkan pasukan Mu'awiyah berjumlah seratus tiga puluh ribu. Muslim di era modern mempercayai bahwa sebagian besar sahabat Muhammad bergabung dengan pasukan Ali dan hanya sedikit yang bergabung dengan pasukan Mu'awiyah.[191] Orang-orang Suriah sampai di sana lebih dulu,[190] dan mencegah orang Irak mengakses tempat pengairan itu.[190] Namun tak lama kemudian, orang-orang Irak mengusir orang-orang Suriah, meskipun Ali mengizinkan musuh untuk mengakses sumber air dengan bebas.[192][193][194] Kedua belah pihak di Siffin terlibat dalam pertempuran dan negosiasi yang berlangsung selama sekitar tiga bulan.[195][196] Kondisi ini mungkin mencerminkan keengganan untuk berperang.[196][189] Meskipun demikian, negosiasi gagal dan pada tanggal 18 Juli 657,[197] beberapa tokoh terkemuka bertempur dengan pasukan kecil sebelum pertempuran utama dimulai pada hari Rabu, 26 Juli 657 dan berlangsung hingga Jumat atau Sabtu pagi.[198][199]
Pertempuran berakhir ketika Mu'awiyah mengajukan perdamaian. Mu'awiyah sekarang menyampaikan usulannya bahwa perwakilan dari kedua belah pihak harus bersama-sama mencapai solusi yang mengikat berdasarkan Al-Qur'an.[200] Abu Musa al-Asy'ari menjadi perwakilan pasukan Ali, dan Amr bin Ash menjadi perwakilan untuk kubu Mu'awiyah.[201] Perjanjian arbitrase direncanakan akan diselenggarakan pada tanggal 15 Safar 37 H (2 Agustus 657 M).[202] Berdasarkan proposal perjanjian, kedua perwakilan harus bertemu di wilayah netral serta mematuhi Al-Qur'an dan Sunnah untuk menyelamatkan masyarakat dari perang dan perpecahan.[202][185] Namun menurut sejumlah sumber, perjanjian damai gagal[d] dan setelah kedua pasukan meninggalkan lokasi pertempuran,[206] Ali masih harus menyiapkan pasukan untuk persiapan perang yang kedua kalinya dengan Mu'awiyah.[204][207][191][116][208]
Sebelum Pertempuran Shiffin berakhir dengan perjanjian damai, dari pihak Ali sudah ada beberapa orang yang merasa keberatan dengan perjanjian damai. Mereka memisahkan diri dari pasukan Ali kemudian berkumpul di luar kufah untuk memprotes Ali.[206][170] Setelah perjajian damai gagal dan Ali memulai persiapan untuk perang yang akan datang,[204][207] Ali kemudian mengunjungi mereka untuk menenangkan mereka dan secara khusus mengajak mereka untuk kembali bergabung dengannya.[209][210] Beberapa di antara mereka kembali bergabung dengan Ali,[211] sementara sisanya berangkat ke Nahrawan, sebuah kota dekat al-Mada'in. Kelompok ini menunjuk Abdullah bin Wahb al-Rasibi sebagai pemimpin mereka.[170] Kelompok baru ini disebut sebagai Khawarij (terj. har.'memisahkan diri'), yang kemudian memberontak dan diperangi oleh Ali pada Pertempuran Nahrawan (ca 658).[185][212][116] Pertempuran inilah yang akan berujung pada Pembunuhan Ali.[156]
Ali dibunuh oleh seorang loyalis Khawarij yang bernama Ibnu Muljam pada usia 62 atau 63 tahun. Pembunuhannya sebagai bentuk balas dendam atas Pertempuran Nahrawan.[156][213] Laporan lain menunjukkan bahwa Ibnu Muljam bersama dengan dua orang Khawarij lainnya berdiskusi dan memutuskan untuk membunuh Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash secara bersamaan, yang menurut pandangan mereka bertanggung jawab atas perang saudara. Namun dari ketiga orang yang ditargetkan, hanya Ali yang berhasil dibunuh.[156] Menurut Syekh al-Mufid, Ali dipukul dengan pedang beracun pada tanggal 19 Ramadan 40 H (26 Januari 661 M) dan meninggal dua hari kemudian.[214] Seluruh sumber, baik Syiah maupun Sunni sepakat bahwa Ali melarang putra-putranya membalas dendam kepada sekte Khawarij dan malah menetapkan apabila dia selamat, Ibnu Muljam akan diampuni. Sedangkan jika dia meninggal, Ibnu Muljam harus diberikan hanya satu pukulan yang sama, terlepas dari apakah dia mati atau tidak karena pukulan itu.[215] Instruksi ini diikuti oleh putra tertua Ali, Hasan dan Ibnu Muljam dieksekusi sebagai pembalasan.[216]
Setelah Ali dibunuh di Kufah, Hasan bin Ali (putra pertama Ali dan cucu Muhammad) ditunjuk sebagai pengganti Ali dan menjadi khalifah sementara.[217][218] Pada saat yang sama, terdengar kabar bahwa Mu'awiyah telah berbaris bersama pasukannya untuk memerangi Hasan.[219] Untuk mencegah pertempuran sesama Muslim, Hasan memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah perjanjian yang isinya menyatakan bahwa Hasan bersedia menyerahkan kekhalifahan dan Mu'awiyah tidak akan menunjuk seorang penerus selama masa pemerintahannya. Dia akan membiarkan dunia Islam sendiri yang memilih pemimpin berikutnya.[220] Setelah perjanjian disepakati oleh kedua kubu, Hasan bersedia menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah dan mengundurkan diri dari jabatan khalifah.[221][222]
Pensiun
Antara pengunduran dirinya pada 661 dan kematiannya, Hasan hidup dengan tenang di Madinah dan tidak terlibat dalam politik.[223][224] Sesuai dengan perjanjian damai, Hasan menolak permintaan dari beberapa kelompok kecil Syiah untuk memimpin mereka melawan Mu'awiyah.[157] Meskipun begitu, ia tetap dianggap sebagai kepala keluarga Muhammad oleh Bani Hasyim dan pendukung Ali, yang mungkin telah membuat mereka berharap bahwa dialah yang akan menjadi penerus Mu'awiyah kelak. Sejarawan Sunni al-Baladzuri dalam al-Ansab-nya menulis bahwa Hasan mengirim pemungut pajak ke provinsi Fasah dan Darabjird di Iran sesuai dengan perjanjian; tetapi gubernur Basrah, yang diinstruksikan oleh Mu'awiyah, menghasut rakyat melawan Hasan dan pemungut pajaknya diusir dari kedua provinsi tersebut. Madelung menganggap kisah ini palsu karena Hasan baru saja bergabung dengan Mu'awiyah untuk memerangi kaum Khawarij. Dia menambahkan bahwa Hasan tidak membuat ketentuan ekonomi dalam proposal perdamaiannya dan akibatnya Mu'awiyah tidak memberikan pembayaran kepadanya.[225] Madelung menyatakan bahwa hubungan antara keduanya memburuk ketika Mu'awiyah menyadari bahwa Hasan tidak akan secara aktif mendukung rezimnya.[225]
Kematian
Hasan kemungkinan besar meninggal pada tanggal 2 April 670 (5 Rabiul Awwal 50 H),[225] meskipun terdapat beberapa kemungkinan di antara tahun 49, 50, 48, 58 dan 59 H.[226]Veccia Vaglieri menyatakan bahwa Hasan meninggal karena penyakit atau keracunan,[226] sedangkan sumber awal hampir sepakat bahwa Hasan diracun.[227][228]
Mu'awiyah biasanya diidentifikasi sebagai penghasut pembunuhan Hasan.[229] Selain dari sumber-sumber Syiah,[230] ini juga merupakan pandangan beberapa sejarawan Sunni terkemuka, termasuk al-Waqidi, al-Mada'ini, Umar bin Syabbah, al-Baladzuri, al-Haitsam bin Adi, dan Abu Bakar bin Hafsh.[230] Namun demikian, laporan-laporan ini dibantah oleh ath-Thabari, mungkin karena dia menganggapnya tidak penting atau karena dia lebih memedulikan keimanan orang awam dalam kasus ini. Pendapat serupa juga yang dikemukakan oleh Madelung dan Donaldson.[231] Beberapa sumber Sunni awal lainnya menyangkal keracunan tersebut, dengan mengatakan bahwa Hasan meninggal karena "konsumsi".[232][e]
Militer
Ekspansi Militer
Ekspansi militer yang dilakukan sejak masa pemerintahan Abu Bakar dengan mengirim Jenderal Khalid bin Walid dan Amr bin Ash ke Suriah (Levant), Mesir, dan Khorasan telah membuat wilayah kekhalifahan meluas hingga ke Afrika Utara dan dataran tinggi Iran.[234] Menurut sejarawan Skotlandia, James Buchan: "Dalam kecepatan dan luasnya, penaklukan Arab pertama hanya dapat ditandingi oleh penaklukan Aleksander Agung, dan penaklukan itu lebih bertahan lama."[235]
Penaklukan Suriah
Provinsi Suriah (atau Syam) adalah yang pertama direbut dari kendali Bizantium. Serangan Arab-Muslim yang mengikuti perang Riddah mendorong Bizantium untuk mengirim ekspedisi besar ke Palestina selatan, yang dikalahkan oleh pasukan Arab di bawah komando Khalid bin Walid pada Pertempuran Ajnadain (634).[236] Khalid bin Walid, telah masuk Islam sekitar tahun 627, menjadi salah satu jenderal Muhammad yang paling sukses.[237] Khalid telah berperang di Irak melawan Persia ketika dia memimpin pasukannya dalam perjalanan melintasi padang pasir ke Suriah untuk menyerang Romawi dari belakang.[238] Dalam "Pertempuran Lumpur" yang terjadi di luar Pella di lembah Sungai Yordan pada bulan Januari 635, orang Arab kembali meraih kemenangan.[239] Setelah pengepungan selama enam bulan, orang Arab merebut Damaskus, tetapi Kaisar Heraklius kemudian merebutnya kembali.[240] Pada Pertempuran Yarmuk antara 16-20 Agustus 636, bangsa Arab menang dengan mengalahkan Heraklius.[237] Khalid tampaknya adalah "pemimpin militer sejati" di Yarmuk.[240] Setelah kemenangan Arab di Yarmuk; Baalbek, Homs, dan Hamah segera menyusul.[241] Namun, kota-kota berbenteng lainnya terus melawan meskipun pasukan Kekaisaran dikalahkan dan harus ditaklukkan secara individual.[236]
Setelah pengepungan selama dua tahun, garnisun Yerusalem menyerah karena banyak di antara mereka yang mati kelaparan. Di bawah ketentuan penyerahan, Khalifah Umar berjanji untuk mentolerir orang-orang Kristen di Yerusalem dan tidak mengubah gereja menjadi masjid.[241] Sesuai dengan janjinya, Umar mengizinkan Gereja Makam Suci tetap ada, sedangkan khalifah berdoa di atas sajadah di luar gereja.[242] Penaklukan Muslim atas Yerusalem yang merupakan kota tersuci bagi orang Kristen, terbukti menjadi sumber banyak kebencian dalam susunan Kristen. Kota Kaisarea Maritima terus bertahan dari pengepungan Muslim (karena dapat disuplai melalui laut) hingga direbut oleh muslim setelah diserang pada 640.[242] Sementara itu, kota-kota lain disekitarnya tetap bertahan hingga tahun 641.[241]
Di pegunungan Asia Kecil, orang-orang Romawi mengadopsi taktik "peperangan membayangi" serta pasukan Romawi yang mundur ke kastil dan kota-kota berbenteng ketika kaum Muslim menyerbu. Pasukan Romawi juga menyergap para penakluk Muslim saat mereka kembali ke Suriah membawa rampasan dan orang-orang yang telah mereka perbudak.[242] Di daerah perbatasan di mana Anatolia bertemu Suriah, negara Romawi mengevakuasi seluruh penduduk dan membuang sampah ke pedesaan, menciptakan "tanah tak bertuan" di mana tentara penyerang tidak akan menemukan makanan.[242] Selama beberapa dekade setelah itu, perang gerilya dilakukan oleh orang-orang Kristen di pedesaan berbukit di Suriah barat laut yang didukung oleh Romawi. Pada saat yang sama, Romawi memulai kebijakan melancarkan serangan melalui laut di pantai kekhalifahan dengan tujuan memaksa kaum Muslim untuk mempertahankan setidaknya beberapa pasukan mereka untuk mempertahankan garis pantai mereka, sehingga membatasi jumlah pasukan yang tersedia untuk satu tahun invasi Anatolia.[242] Tidak seperti Suriah, dataran dan gurun serta daerah pegunungan Anatolia lebih mendukung pertahanan di wilayah utara. Sebagai akibatnya, garis antara tanah Kristen dan Muslim membentang di sepanjang perbatasan antara Anatolia dan Suriah.[242]
Penaklukan Mesir
Provinsi Bizantium Mesir memiliki kepentingan strategis untuk produksi biji-bijian, pangkalan angkatan laut, dan sebagai pangkalan untuk penaklukan lebih lanjut di Afrika. Jenderal Muslim Amr bin Ash memulai penaklukan provinsi atas inisiatifnya sendiri pada tahun 639.[236] Mayoritas pasukan Romawi di Mesir adalah pasukan Koptik yang dikembangkan secara lokal, dimaksudkan sebagai pasukan polisi; karena sebagian besar orang Mesir tinggal di lembah Sungai Nil, yang dikelilingi oleh gurun di sisi timur dan barat, Mesir dirasa sebagai provinsi yang relatif aman.[243][236] Pada bulan Desember 639, Amr memasuki Sinai dengan kekuatan besar dan merebut Pelusium, di tepi lembah Sungai Nil, dan kemudian mengalahkan serangan balik Romawi di Bibays.[244] Namun, orang-orang Arab tidak menuju Aleksandria, ibu kota Mesir, melainkan ke benteng besar yang dikenal sebagai Babilonia (sekarang disebut sebagai Kairo).[245] Amr berencana membagi lembah Sungai Nil menjadi dua.[246][236] Pasukan Arab telah memenangkan Pertempuran Heliopolis (640), tetapi mereka merasa sulit untuk maju lebih jauh karena kota-kota besar di Delta Nil dilindungi oleh air dan karena Amr kekurangan peralatan untuk menghancurkan benteng kota.[244] Orang-orang Arab mengepung Babilonia, dan menutup seluruh akses makanan hingga membuat pasukan Bizantium di dalamnya kelaparan. Hal ini membuat Bizantium menyerah pada tanggal 9 April 641.[247] Meskipun demikian, provinsi ini hampir tidak mengalami urbanisasi dan pasukan Bizantium di Mesir kehilangan harapan untuk menerima bala bantuan dari Konstantinopel ketika kaisar Heraklius meninggal pada tahun 641.[246][236] Setelah itu, orang Arab berbelok ke utara ke delta Nil dan mengepung Aleksandria.[f]Aleksandria merupakan kota besar terakhir yang berhasil ditaklukkan oleh pasukan Arab. Garnisun Aleksandria menyerah pada September 642.[248][249][250]
Pada tahun 644, orang-orang Arab mengalami kekalahan besar di Laut Kaspia ketika tentara Muslim yang menyerang hampir musnah oleh kavaleri bangsa Khazar. Ketika melihat kesempatan untuk merebut kembali Mesir, Romawi melancarkan serangan amfibi yang mengambil kembali Aleksandria untuk waktu yang singkat.[247] Meskipun sebagian besar Mesir adalah gurun, lembah Sungai Nil memiliki beberapa tanah pertanian paling produktif dan subur di seluruh dunia, yang menjadikan Mesir sebagai "lumbung" Kekaisaran Romawi.[247] Dengan mengontrol Mesir, kekhalifahan dapat mengatasi kekeringan tanpa rasa takut akan kelaparan, meletakkan dasar bagi kemakmuran negara Islam di masa depan.[247]
Penaklukan Mesopotamia dan Persia
Setelah serangan Arab ke wilayah Sasaniyah, SyahYazdegerd III yang baru saja naik takhta, mengumpulkan pasukan untuk melawan para penakluk.[251] Banyak marzban (pasukan) keluar untuk membantu pertempuran demi raja.[252] Namun, meskipun memiliki persenjataan dan pasukan yang lengkap, Persia menderita kekalahan telak dalam Pertempuran al-Qadisiyyah pada tahun 636.[253] Sedikit sekali yang diketahui menenai Pertempuran al-Qadisiyah selain berlangsung selama beberapa hari di tepi Sungai Eufrat (sekarang termasuk wilayah Irak) dan berakhir dengan pasukan Persia dimusnahkan. Pembubaran negara penyangga Persia, Lakhmid Arab telah memaksa Persia untuk mengambil alih pertahanan gurun itu sendiri, membuat mereka kewalahan.[252]
Sebagai hasil dari kemenangan di al-Qadisiyyah, Muslim menguasai seluruh Irak, termasuk Tisfon, ibu kota Sasaniyah.[251] Pasukan Persia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memanfaatkan Pegunungan Zagros dan menghentikan pasukan Arab setelah kehilangan pasukan utama mereka di al-Qadisiyyah.[252] Pasukan Persia mundur melewati Pegunungan Zagros dan tentara Arab mengejar mereka melintasi dataran tinggi Iran, di mana nasib Kekaisaran Sasaniyah berakhir pada Pertempuran Nahawand (642).[251]
Setelah Pertempuran Nahawand, negara Persia runtuh dengan Yazdegerd melarikan diri jauh ke timur dan mayoritas marzban menyerah kepada orang Arab.[253] Saat para penakluk perlahan-lahan menempuh jarak yang sangat jauh di Iran diselingi oleh kota dan benteng yang bermusuhan, Yazdegerd III memilih untuk mundur dan akhirnya berlindung di Khorasan, di mana dia dibunuh oleh satrap lokal pada tahun 651.[251] Setelah kemenangan mereka atas tentara Kekaisaran, kaum Muslim masih harus bersaing dengan kumpulan kerajaan Persia yang lemah secara militer tetapi secara geografis tidak dapat diakses.[236] Butuh puluhan tahun untuk membawa mereka semua di bawah kendali kekhalifahan.[236] Di tempat yang sekarang disebut Afghanistan (wilayah di mana otoritas Syah selalu diperdebatkan), Muslim menghadapi perlawanan gerilya yang sengit dari suku-suku Buddha yang militan di wilayah tersebut.[254]
Persia, bagaimanapun, telah menerima kekalahan yang pahit. Meskipun telah memiliki persenjataan dan pasukan yang lengkap, mereka telah kalah dari Kekhalifahan.[255]
Pertempuran di Laut
Kekaisaran Romawi secara tradisional mendominasi Mediterania dan Laut Hitam dengan pangkalan angkatan laut utama di Konstantinopel, Akka, Aleksandria, dan Kartago.[247] Pada tahun 652, orang-orang Arab memenangkan kemenangan pertama mereka di laut lepas Aleksandria, yang diikuti oleh penaklukan Muslim sementara atas Siprus.[247] Karena Yaman telah menjadi pusat perdagangan laut, para pelaut Yaman dibawa ke Aleksandria untuk mulai membangun armada Islam menuju Mediterania.[256] Armada Muslim berpangkalan di Aleksandria dan menggunakan Akko, Tirus, dan Beirut sebagai pangkalan depan.[256] Inti dari pelaut armada adalah orang Yaman, tetapi pembuat kapal yang membangun kapal adalah orang Iran dan Irak.[256] Dalam "Pertempuran Tiang" di lepas pantai Tanjung Gelidonya di Anatolia pada tahun 655, kaum Muslim mengalahkan armada Romawi dalam serangkaian aksi menggunakan kapal.[256] Akibatnya, orang Romawi memulai ekspansi besar-besaran angkatan laut mereka, yang diimbangi oleh orang Arab dan mengarah ke perlombaan senjata angkatan laut.[256]
Sebagai bagian dari perlombaan senjata, kedua belah pihak mencari teknologi baru untuk meningkatkan kapal perang mereka. Kapal perang Muslim memiliki agil yang lebih besar, yang digunakan untuk memasang mesin pelempar batu.[256] Bangsa Romawi menemukan "api Yunani", sebuah senjata pembakar yang membuat armada Muslim menutupi kapal mereka dengan kapas yang dibasahi air.[252] Masalah utama armada Muslim adalah kekurangan kayu, yang menyebabkan Muslim mencari keunggulan kualitatif daripada kuantitatif dengan membangun kapal perang yang lebih besar.[252] Untuk menghemat uang, para pembuat kapal Muslim beralih dari metode pembuatan kapal pertama lambung ke metode kerangka pertama.[252]
Administrasi kemiliteran
Para khalifah Rasyidin, terutama Umar bin Khattab, menganggap bahwa tentara adalah salah satu unsur paling penting bagi negara.[257] Karena itu pula dibentuk sebuah diwan ketentaraan yang disebut sebagai Diwan al-Jund. Diwan ini berfungsi untuk mencatat identitas, mengatur gaji dan menyiapkan perbekalan untuk para tentara.[258][259][260] Pasukan darat telah ada sejak masa kepemimpinan Muhammad, namun mereka baru digaji pada masa pemerintahan Umar.[259] Menurut salah satu sumber, masing-masing tentara digaji setiap bulan Muharram.[261][262]
Umar juga menjadi khalifah pertama yang membangun kota-kota garnisun (amṣār), seperti Mosul dan Basra.[263]Mosul didirikan oleh Arfajah al-Bariqi atas instruksi Umar. Wilayah Mosul ini pada mulanya hanya memiliki sedikit penduduk, namun lama kelamaan menjadi semakin ramai setelah proyek pembangunan amṣār.[264] Atas instruksi Umar juga, Arfajah ditunjuk menjadi wali (gubernur) Mosul yang bertugas untuk mengelola pendapatan militer. Di Mosul, Arfajah mendirikan rumah-rumah, masjid, gereja, dan sebuah pemukiman untuk orang Yahudi.[265] Secara militer, struktur dan fungsi amṣār mirip dengan Kolonia Romawi Kuno, yaitu sebagai perbatasan, benteng, dan suplai militer untuk keperluan penaklukan ke wilayah-wilayah sekitarnya.[266]
Umar bin Khattab adalah khalifah pertama yang mengatur tentara Islam secara modern setelah ia menyadari pentingnya hal tersebut. Hal itu dikarenakan luasnya area penyebaran Islam serta pentingnya peranan tentara untuk menyebarkan agama ke tempat-tempat terjauh yang telah diketahui masyarakat Muslim. Umar membentuk pasukan tetap (reguler) angkatan darat yang berjumlah kira-kira tiga puluh dua ribu pasukan kavaleri sebagai penjamin keamanan negara. Jumlah tersebut tidak termasuk pasukan infanteri dan pasukan sukarelawan. Susunan kepangkatan diatur berdasarkan desimal jumlah pasukan; yaitu Amir al-Jaisy (أمير الجيش) memimpin sepuluh ribu orang pasukan atau lebih sedikit,[267]Amir al-Kardus (أمير الكردوس) memimpin seribu orang,[267] dan al-Qa'id (القائد) yang memimpin seratus orang.[267] Bagian utama pasukan infanteri adalah para tentara berpedang,[268] yang sering kali terdiri dari orang-orang yang tergagah dan terkuat. Tugas utama tentara ini adalah untuk melemahkan moral musuh.[269] Mereka akan maju untuk menantang berduel para pemimpin pasukan lawan, serta membunuh lawan-lawan mereka tersebut sebelum dimulainya pertempuran.[269][270]
Pasukan kavaleri Islam adalah salah satu pasukan tersukses pada masa itu, dan terkenal sebagai pasukan cepat yang diandalkan umat Islam dalam memerangi Romawi dan Persia, misalnya di Yarmuk dan Qadisiyah.[271] Kavaleri menjadi keunggulan pasukan Islam, terbukti dari setiap pertempuran yang berhasil dimenangkan oleh mereka.[271][272] Pasukan kavaleri Islam terbagi menjadi pasukan berkuda yang terdiri dari para bangsawan Arab yang menunggang kuda, serta pasukan lainnya yang menunggang unta yang digunakan dalam pertempuran ataupun untuk mengangkut air dan bahan persediaan lainnya.[271][272][273] Selain kavaleri dan infanteri, Khalid bin Walid juga menggunakan mata-mata, yang tugas utamanya memantau intelijen, gerakan, dan aktivitas musuh.[274] Banyak mata-mata merupakan anak-anak bangsa Arab atau orang asing tawanan perang, dari daerah yang baru ditaklukkan.[274][275]
Persenjataan utama yang digunakan oleh pasukan Kekhalifahan Rasyidin yaitu pedang pendek Arab, pedang panjang Persia, tombak, busur dan panah.[276][277] Orang Arab memperoleh sebagian dari persenjataan tersebut melalui perdagangan dengan Syam, Irak, Persia, Bizantium dan Mesir, serta ada pula yang merupakan rampasan perang dari orang Romawi dan Persia.[278] Pasukan infanteri adalah pasukan yang paling akomodatif; pada awal era mereka menggunakan kulit kasar buatan lokal Jazirah Arab, dan kemudian beralih ke baju zirah rantai yang mungkin berasal dari rampasan perang.[278][279] Para ksatria bangsawan dan pasukan pejalan kaki membawa perisai yang terbuat dari kulit yang diperkuat, sebagai pelindung dari hantaman pedang dan serbuan panah.[279] Ketika pasukan Muslim memasuki peperangan di wilayah perbatasan Jazirah Arab dan Syam, mereka lalu meniru Persia dan Romawi dalam penggunaan senjata pengepungan; seperti manjanik, menara kepung, dabbabah (pelindung pasukan penggali lubang), serta pelantak tubruk.[278][280][281]
Umar bin Khattab tidak suka laut. Ia tidak suka merisikokan nyawa kaum muslimin di atas laut dan melarang para pemimpin pasukannya untuk bertempur di laut.[282] Ia bahkan memecat al-Ala' bin al-Hadhrami, gubernur Bahrain, karena ia memimpin penyerangan laut dengan dua belas ribu tentara ke Persia.[282] Gubernur Syam Mu'awiyah bin Abi Sufyan mengirim surat permintaan izin kepada Umar bin Khattab untuk membentuk armada angkatan laut Islam dalam menghadapi Romawi, dan membantu pengepungan Tripoli yang masih bertahan dari serangan tentara Islam, serta untuk meminta bantuan jika serangan mendadak terjadi; namun Umar menolak permintaan itu.[282]
Setelah kematian Umar, Mu'awiyah kembali menulis surat kepada Utsman bin Affan, meminta izin untuk menaklukkan pulau Siprus.[282] Utsman awalnya mengulangi perintah untuk mematuhi kebijakan pertahanan yang telah ditetapkan, namun setelah ancaman Romawi ke pantai-pantai Syam meningkat, khalifah setuju untuk membangun armada Islam, asalkan gubernur tidak memaksa umat Islam untuk berperang di laut kecuali atas keinginan mereka sendiri; sehingga kemudian armada yang kuat mulai dibangun.[282] Antara 653-654 Mu'awiyah dengan armadanya menaklukkan pulau-pulau Siprus, Rhodes, Kos, dan Kreta.[283][284] Ketika terjadi bentrok armada Islam dengan armada Romawi dalam Pertempuran Tiang Kapal pada 654 di perairan Aleksandria, armada Islam mampu menimbulkan kekalahan besar atas lawannya, serta menjadi Angkatan laut tak tertandingi di perairan Mediterania.[283][284]
Tata kelola pemerintahan
Para khalifah mengelola pemerintahannya dengan mengikuti sistem pemerintahan dalam Islam. Setiap prinsip politik dan perundang-undangan didasarkan kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Kegiatan yang wajib dalam pemerintahan Khalifah adalah musyawarah yang mengikuti contoh dari Muhammad. Model musyawarah untuk pembangunan politik pada masa Kekhalifahan Rasyidin adalah melalui syura.[285]
Khalifah, gubernur, dan pekerja
Kekhalifahan Rasyidin adalah negara yang mengikuti prinsip-prinsip hukum Islam. Negara memiliki beberapa organisasi administrasi yang terdiri atas otoritas pusat yang dipimpin langsung oleh Khalifah. Selain itu, terdapat pula cabang-cabang dari masing-masing administrasi daerah untuk mengelola setiap provinsi.[286] Negara berfungsi seperti administrasi lokal di era modern dan Khalifah bekerja di administrasi negara. Negara dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap provinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang ditunjuk oleh Khalifah.[287]
Khilafah dicapai dengan kesetiaan; orang-orang berba'iat (berjanji setia) kepada Khalifah dengan syarat mereka mengikuti tradisi (sunnah) Allah dan Rasul (Muhammad) dalam setiap keputusannya.[288] Jika Khalifah taat, maka kekuasaannya akan berlangsung seumur hidup, dan khalifah menguasai negara secara penuh.[289] Di era Kekhalifahan Rasyidin, tidak ada kepemimpinan kolektif negara dan Khalifah tidak memiliki wakil, wali, atau agen kecuali ketika dia terpaksa absen. Maka wakilnya akan menggantikannya hingga ia kembali. Negara Kekhalifahan Rasyidin adalah sistem pemerintahan Islam yang ideal dalam suksesi Muhammad, terutama di era Abu Bakar dan Umar, dan model itulah yang dicita-citakan oleh para pendukung Khilafah Islam di era modern.[290] Beberapa sejarawan (terutama yang berasal dari Barat) menganggap Kekhalifahan Rasyidin sebagai negara teokratis, tetapi sejumlah peneliti Muslim, menyangkal hal ini.[291][292]
Para Khalifah Rasyidin memiliki variasi tersendiri dalam pendekatan mereka terhadap penerapan Syura dan politik. Abu Bakar dan Umar biasa bermusyawarah sebelum menetapkan suatu kebijakan. Dewan Syura di era Kekhalifahan Rasyidin tidak terdiri dari sejumlah orang tertentu, dan pendapat orang-orang Syura tidak mengikat khalifah. Namun, keputusan di dalamnya tidak diambil melalui pemungutan suara[288] melainkan diserahkan kepada Khalifah itu sendiri. Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sangat bergantung pada Syura.[293] Situasi menjadi berbeda pada masa kekuasaan Ali. Pada awal pemerintahannya, ia berkonsultasi dengan para sahabat Madinah seperti para khalifah lainnya dan masalah Syura berjalan dengan baik. Tetapi setelah ia memindahkan ibukota ke Kufah, tidak ada seorang pun di sekitarnya yang dapat diandalkan dari antara mereka.[92] Hal ini dikarenakan sebagian besar dari orang-orang di sekitarnya berasal dari klan yang memiliki status lebih rendah, pada masa ini Syura kehilangan eksistensinya.[294][76][295]
Syura di era Khalifah Rasyidin memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah pengiriman ekspedisi Usamah bin Zaid pada awal masa pemerintahan Abu Bakar. Sebelum kematiannya, Muhammad telah mempersiapkan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid untuk menyerang negara Bizantium,[288] dan pasukan tersebut berkemah di luar kota menunggu para tentara berkumpul. Namun Muhammad telah meninggal dunia saat itu, dan gerakan kemurtadan dimulai.[296] Abu Bakar memerintahkan Usamah untuk berbaris dengan pasukannya, tetapi sejumlah sahabat Anshar khawatir tentang serangan pasukan murtad ke Madinah sementara semua tentara sedang menyerang Romawi. Mereka meminta Abu Bakar untuk menunda pengiriman Pasukan sampai gerakan murtad telah dilenyapkan, sehingga mereka dapat melanjutkan ekspedisi dengan aman.[297] Abu Bakar mengadakan pertemuan dengan Umar, Utsman, Ali, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Sa'id bin Zaid.[296] Umar menyampaikan usulan Anshar untuk menunda pengiriman pasukan,[297] sementara Abu Bakar kembali meyakinkan mereka setelah berbicara mengenai rekomendasi Muhammad untuk mengirim pasukan Usamah saat Muhammad sedang sakit menjelang kematiannya.[298]
Sistem Diwan muncul di negara Islam selama era Umar bin Khattab, namun para sejarawan berbeda pendapat mengenai waktu didirikannya. Ath-Thabari mengatakan bahwa Diwan didirikan pada tahun 15 H (636 M), sedangkan al-Mawardi menyatakan bahwa mereka didirikan pada tahun 20 H.[292] Diriwayatkan bahwa pada saat itu gubernur Bahrain, Abu Hurairah berkunjung ke Madinah dengan membawa uang setengah juta Dirham, maka Umar menggelar pertemuan Syura untuk mendiskusikan cara mendistribusikannya. Walid bin Hisyam mengusulkan agar dibentuk sebuah badan di mana upah para pegawai akan dicatat. Kebutuhan untuk mengatur distribusi dan pengoperasian dana muncul dengan meningkatnya aliran uang rampasan dari penaklukan Persia dan Syam. maka Umar mendirikan Diwan Baitul Mal untuk itu, dan ini adalah awal mula kerja biro dalam sejarah Islam.[301] Umar kemudian memperluas Diwan dengan membentuk beberapa cabang lainnya. Beberapa di antaranya adalah Diwan Pemberian untuk mengatur pemberian tunjangan kepada ḍuʿafa (terj. har.'orang-orang miskin'; dan Umar termasuk di antara ḍuʿafa, namun dia lebih mengutamakan Ahlul Bait); Diwan Angkatan Darat untuk mencatat nama-nama prajurit dan mengatur pencairan gaji mereka, dan Diwan Penyelesaian untuk mencatat dan menghitung pengeluaran negara.[302]
Pada masa Muhammad, tidak ada kas negara atau perbendaharaan umum yang permanen. Harta rampasan perang atau pendapatan lain yang diterima segera dibagi-bagikan kepada orang-orang. Keberadaan kas negara tidak diperlukan karena tidak ada gaji yang harus dibayar dan tidak ada pengeluaran negara.[303]
Namun pada masa pemerintahan Umar, keadaan berubah. Dari setiap penaklukan wilayah baru, pendapatan meningkat. Hal ini menyebabkan Umar memutuskan untuk memberikan gaji tetap kepada pada tentara. Dalam sebuah sumber awal, dikisahkan bahwa gubernur Bahrain, Abu Hurairah, mengirimkan pendapatannya kepada Umar sebesar lima ratus ribu dirham. Umar menyelenggarakan pertemuan Syura dan meminta pendapat para sahabat tentang penggunaan uang itu. Utsman bin Affan mengusulkan agar uang tersebut disimpan untuk kebutuhan masa depan. Sementara Walid bin Hisyam menyarankan agar Umar membentuk sebuah departemen perbendaharaan yang menyimpan dan mendistribusikan kas negara.[304] Setelah berkonsultasi dengan sahabat lainnya, Umar memutuskan untuk mendirikan pusat perbendaharaan di Madinah yang disebut sebagai Baitul Māl. Abdullah bin Arqam diangkat sebagai Bendahara, ia dibantu oleh Abdurrahman bin Auf dan Muiqib. Sebuah departemen terpisah juga dibentuk untuk memelihara catatan pengeluaran. Kemudian, perbendaharaan negara didirikan di setiap provinsi, kas provinsi diminta untuk menyetorkan kelebihan pendapatan ke kas pusat di Madinah. Menurut al-Ya'qubi, gaji dan tunjangan yang disetorkan ke kas pusat setiap tahunnya berjumlah lebih dari 30 juta dirham.[304][305]
Kesejahteraan sosial dan sistem pensiun juga diperkenalkan pada masa Umar, mengikuti hukum awal Islam dalam bentuk zakat. Pajak (termasuk zakat dan jizyah) yang dikumpulkan dalam perbendaharaan pemerintahan Islam digunakan untuk memberikan pendapatan bagi yang membutuhkan, termasuk orang miskin, orang tua, anak yatim, janda, dan orang cacat. Menurut ahli hukum Islam al-Ghazali, pemerintah setempat juga diminta untuk menyimpan persediaan makanan di setiap daerah jika terjadi bencana atau kelaparan. Dengan demikian, Kekhalifahan disebut sebagai salah satu negara kesejahteraan paling awal.[306][307]
Zakat (زكاة translit.zakāh) adalah padanan Islam dari pajak barang mewah.[308][309] Zakat diambil dari umat Islam dalam jumlah 2,5% dari kekayaan mereka yang tidak aktif (yang lebih dari jumlah tertentu yang tidak digunakan selama satu tahun) untuk diberikan kepada orang miskin.[310][311] Semua dan hanya orang-orang yang kekayaan tahunannya melebihi tingkat minimum (nisab) yang dikumpulkan. Nisab tidak termasuk tempat tinggal utama, transportasi utama, perhiasan tenun dalam jumlah sedang, dan lain-lain. Zakat adalah salah satu rukun Islam.[312]
Jizyah atau jizya (Turki Utsmaniyah: cizye) adalah pajak per kapita yang dikenakan pada pria non-Muslim yang berbadan sehat dalam usia militer karena non-Muslim tidak perlu membayar zakat.[313] Budak, wanita, anak-anak, pendeta, orang tua, orang sakit dan orang miskin semuanya dibebaskan dari pajak Jizyah. Namun, beberapa non-Muslim yang membutuhkan diberi tunjangan oleh negara.[314]
Ghanimah atau Khums adalah harta rampasan perang, empat perlimanya dibagikan kepada tentara yang bertugas, sementara seperlima dialokasikan untuk negara.[315] Setelah membayar 20% pajak khumus, sisa 80% rampasan perang, rampasan perang dan harta yang ditemukan dibagikan kepada para komandan dan tentara sebagai hadiah atas usaha mereka yang telah berpartisipasi dalam perang penaklukan.[316][317]
Kharaj adalah pajak atas tanah pertanian.[318] Pada awalnya, setelah penaklukan Muslim pertama pada abad ketujuh, kharaj biasanya didefinisikan sebagai pajak yang dipungut oleh otoritas pusat atas provinsi-provinsi yang ditaklukkan dan dikumpulkan oleh pejabat bekas Kekaisaran Bizantium dan Sasaniyah. Lebih luasnya, kharaj adalah segala jenis pajak yang dipungut oleh aparat gubernur provinsi dari dzimmi (non-Muslim). Saat itu, kharaj identik dengan jizyah, yang kemudian muncul sebagai pajak pemungutan suara yang dibayarkan oleh para dzimmi. Di sisi lain, pemilik tanah yang Muslim hanya membayar uṣr, pajak dengan tarif yang jauh lebih rendah.[319]
Mata uang
Sistem keuangan yang ada pada awal era Kekhalifahan Rasyidin adalah sistem yang sama yang berlaku pada masa Islam awal,[292] dan sistem yang sama yang berlaku pada masa Jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Dalam sistem ini, Dinar Bizantium memiliki perbandingan satu banding sepuluh dengan Dirham Sasaniyah.[321] Sistem ini disetujui oleh Muhammad dan Abu Bakar. Umar juga mengikuti sistem ini pada awal masa pemerintahannya. Namun, pada saat itu terjadi perbedaan bobot antara dinar dan dirham yang membuat masyarakat menjadi kebingungan.[322] Hal ini membuat Umar merasa bahwa negara Islam memerlukan sistem moneter tetap sendiri.[305] Umar menetapkan bahwa tujuh Dinar Islam memiliki bobot yang sama dengan sepuluh Dirham Islam berdasarkan standar kemurnian emas dan peraknya.[323][324] Mengenai desain koin, Umar hanya mencetak ulang koin Dinar dan Dirham yang beredar dengan menambahkan kalimat Basmalah (بِسْمِ ٱللَّٰهِ terj. har.'dengan menyebut nama Tuhan') untuk membedakannya dari koin palsu.[320] Pada masa setelahnya, keadaan memaksa negara Islam untuk memiliki mata uang yang dicetak sendiri.[292]
Demografi
Muslim
Komunitas Muslim sangat kohesif pada awal era Kekhalifahan Rasyidin, dan masyarakat puas dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh khalifah.[92] Negara pada periode ini masih sederhana secara ekonomi, dan penduduknya lebih disibukkan oleh pertempuran dan penaklukkan daripada memperbaiki kondisi kehidupan mereka. Namun, setelah kondisi keuangan negara mulai meningkat, terutama setelah berbagai penaklukan selama masa pemerintahan Utsman, mata pencaharian masyarakat juga semakin meningkat.[325] Masyarakat yang sebelumnya hidup secara sederhana mulai menuntut tunjangan dari khalifah mereka.[326] Dengan perluasan negara dan peningkatan laju penaklukan, demografi juga mulai berubah.[327] Hal itu dikarenakan banyak orang Arab dan Muslim penakluk menetap di negara-negara yang baru ditaklukkan dan bercampur dengan penduduknya.[326] Di sisi lain, hanya ada sedikit orang Arab di Hijaz karena banyak dari mereka yang pergi ke kota-kota garnisun baru untuk berperang. Perbudakan menyebar ke wilayah tersebut dari wilayah yang ditaklukkan, dan akibatnya komposisinya berubah menjadi wilayah dengan demografi heterogen (campuran). Beberapa kelompok kelas terbentuk dalam masyarakat karena perubahan ini, tidak seperti di masa lalu.[327] Masyarakat Islam mulai berselisih pada akhir masa pemerintahan Utsman, karena beberapa orang mulai keberatan dengan sejumlah kebijakan yang dia tempuh dalam pemerintahan dan hasutan untuk menentangnya dimulai di berbagai provinsi, hingga masalah tersebut berakhir dengan pengepungan rumah Utsman dan pembunuhannya.[328] Perselisihan ini berlanjut selama masa Ali, terutama di kalangan Bani Umayyah, di mana banyak di antara mereka meninggalkan Madinah menuju Makkah atau Suriah.[329] Setelahnya, umat Islam terbagi menjadi dua kelompok: pendukung Ali yang tunduk pada kekhalifahannya, dan para pendukung Utsman yang menuntut hukuman mati untuk pembunuh Utsman. Di antara para pendukung Utsman terdapat dua kubu yang paling menonjol yaitu Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Aisyah, istri Muhammad.[329] Perselisihan ini berkembang menjadi perang saudara dan melibatkan sejumlah pertempuran, yang menjadi semakin intensif dengan kemunculan Khawarij. Perang saudara baru berakhir setelah pembunuhan Ali dengan Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah.[330][331][332]
Para Khalifah Rasyidin menunaikan hak-hak para non-Muslim dan mawālī (non-Arab) dari penduduk Jazirah Arab dan wilayah yang ditaklukan serta menjamin kebebasan mereka. Metode ini dianut dari ajaran Muhammad. Hal ini didukung oleh banyak peneliti Muslim dan sejumlah orientalis dan peneliti asal Eropa seperti Thomas Arnold dan Gustave Le Bon.[333][334] Di kota-kota garnisun, non-Muslim yang sudah lanjut usia dan miskin dibebaskan dari jizyah, dan kadang-kadang mereka dibantu oleh tunjangan dari perbendaharaan Muslim. Abu Bakar biasa memerintahkan para pemimpin penaklukan untuk tidak menyerang tempat ibadah non-Muslim dan tidak melecehkan mereka.[334] Dia juga memberikan beberapa rekomendasi lain kepada komandan militernya untuk memperlakukan orang-orang non-Muslim di Levant dengan baik walaupun saat berperang. Hal ini diikuti oleh Umar, dengan pidatonya pada saat mengunjungi Yerusalem. Dalam pidatonya, Umar memberikan keamanan kepada rakyatnya dan menjamin kebebasan beragama mereka.[333] Setelah penaklukan Mesir, jenderal Muslim Amr bin Ash menulis dalam perjanjiannya kepada orang-orang Mesir untuk memberikan kebebasan beribadah dan tidak menghancurkan gereja-gereja mereka.[333]
Para sejarawan berbeda pendapat tentang pemberian tunjangan yang diberikan kepada mawālī yang sudah dewasa. Mayoritas di antara mereka mengatakan bahwa seluruh mawālī mendapatkan tunjangan yang setara, namun sejarawan lainnya mengatakan bahwa ada beberapa diskriminasi antara mawālī dan orang Arab.[335] Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa Abu Bakar memberlakukan kebijakan untuk memberikan kesetaraan penuh antara orang-orang Arab dan para loyalis. Non-Muslim diizinkan untuk bergabung dengan tentara untuk berpartisipasi dalam pertempuran, mereka menerima hadiah yang sama seperti orang Arab Muslim, dan mereka memiliki partisipasi penting dalam banyak penaklukan.[336] Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Abu Bakar memberikan kesetaraan untuk mawālī maupun orang Arab.[337] Adapun Umar, disebutkan dalam banyak sumber bahwa dia lebih mengutamakan rakyat jelata dan keluarga para pejuang yang sedang berperang, tetapi kriteria ini diterapkan untuk semua orang secara setara dan tidak ada yang khusus.[333][338]
Warisan
Beberapa cendekiawan sekuler mempertanyakan pandangan tradisional Sunni tentang para Khalifah Rasyidin. Robert G. Hoyland menyatakan "Penulis yang hidup pada waktu yang sama dengan empat khalifah pertama ... tidak mencatat apa-apa tentang mereka, dan nama mereka tidak muncul pada koin, prasasti, atau dokumen. Hanya khalifah Umayyah pertama, Mu'awiyah I (661–680), yang memiliki bukti pemerintahan Arab yang konkrit, karena namanya muncul di semua media resmi pemerintah."[339] Memang terdapat prasasti yang berasal dari periode Kekhalifahan Rasyidin. Salah satu prasasti menyebutkan Umar lengkap dengan nama dan tanggal kematiannya. Ada pula koin yang dicetak selama pemerintahan Umar (walaupun seperti yang dicatat Hoyland, mereka tidak menyandang namanya, hanya "dengan nama Tuhan").[340] Hoyland juga mempertanyakan dugaan superioritas moral Rasyidin (atau setidaknya Utsman dan Ali) kepada penerus Umayyah mereka. Mengingat bahwa Ali terlibat dalam perang saudara pertama dan Utsman yang telah "meresmikan gaya pemerintahan nepotistik" di mana para khalifah kemudian dikutuk.[341]
Dalam Islam Sunni, para khalifah Rasyidin disebut sebagai khalifah "yang dibimbing dengan benar" dan menganggap mereka sebagai sumber hukum Islam yang paling terpercaya. Sebagai akibatnya, para khalifah Rasyidin diberikan predikat sebagai "model kesalehan tanpa cela".[341] Sementara Islam Syiah yang meyakini doktrin Imamah, mempercayai bahwa pengganti Muhammad ditentukan oleh Tuhan dan diwariskan kepada kerabat terdekatnya.[342] Dalam hal ini, berarti imamah diwariskan kepada Ali dan keturunannya, di mana Muhammad diklaim telah menetapkan Ali sebagai pewaris dan penggantinya secara sah.[343] Hal ini membuat Syiah tidak menerima legitimasi tiga khalifah pertama yang dianggap telah merampas status khalifah dari Ali. Meskipun begitu, Syiah Zaidiyah tetap mengakui legitimasi tiga khalifah pertama.[18]
Para pendukung kekhalifahan kontemporer sendiri menganggap Kekhalifahan Rasyidin sebagai "dasar negara Islam" dan telah berusaha untuk mendirikan negara Islam yang serupa dengannya.[290] Akibatnya, muncul berbagai pergerakan Jihadisme dengan tujuan untuk mencapai cita-cita "negara khilafah terpimpin" yang berujung pada anggapan terorisme dan berbagai pemberontakan.[290] Meskipun begitu, kekhalifaan yang dicita-citakan kaum Jihadis umumnya ditentang oleh para ulama modern.[350][351] Sejarawan asal Prancis, Nabil Mouline, menganggap bahwa terdapat perbedaan antara kekhalifahan kontemporer dengan kekhalifahan Islam awal.[352]
^Tuduhan kekerasan dengan tegas ditolak oleh Muslim Sunni,[29] yang juga menyatakan bahwa Muhsin meninggal saat masih bayi karena sebab alamiah, bukan karena kekerasan.[30][31] Sunni beralasan, bahwa Ali menolak berbaiat karena dia merasa kecewa tidak dilibatkan dalam otoritas Abu Bakar. Kemudian, karena Fatimah sedih karena tidak mendapatkan warisan dari ayahnya, Ali ingin menghibur Fatimah dengan tidak memihak kepada orang yang membuatnya sedih.[32]
^Sejak masa Muhammad, sudah ada kalender lunar Arab yang setiap bulannya memiliki nama masing-masing. Namun, alih-alih menggunakan angka untuk penamaan setiap tahun, kalender lunar ini lebih sering menggunakan nama konvensional.[67] Misalnya, tahun kelahiran Muhammad dan Ammar bin Yasir (570 M) lebih dikenal sebagai "Tahun Gajah".[68]
^Veccia Vaglieri menulis bahwa perjanjian damai gagal karena disabotase oleh kelompok "ekstremis" di dalam pasukan Ali, yang beberapa orang di antara mereka terlibat pembunuhan Utsman.[156][157] Madelung dan sejumlah sejarawan modern lainnya menentang keterlibatan Abdullah bin Saba' dalam sabotase negosiasi karena legenda ini tidak didukung oleh bukti apapun dan tidak disebutkan di sumber manapun,[158] mengingat tidak adanya catatan mengenai Ibnu Saba' di Pertempuran Siffin yang terjadi setelah Pertempuran Jamal.[159]
^Pandangan umum pada saat itu meyakini bahwa perjanjian damai gagal atau tidak mencapai konsensus.[203] Sejarawan Islam awal, Khalifah bin Khayyath mengemukakan bahwa "para arbiter tidak menyepakati apapun".[204][205][191]
^Menurut Edward Hulmes, yang dimaksud dengan "konsumsi" di dalam konteks Sunni adalah penyakit paru-paru, karena kematian Hasan dianggap alami. Sedangkan pendapat lain menyatakan kematiannya akibat diracuni (kematian tidak alami, dan mayoritas Muslim menggunakan pendapat ini).[233]
^Hal ini mungkin dikarenakan orang-orang Arab di Ḥijāz telah menggunakan dirham perak Kekaisaran Persia Sasaniyah sejak lama. Dirham sendiri merupakan satu-satunya mata uang perak di dunia pada saat itu. Maka wajar bagi mereka untuk membiarkan banyak koin Sasaniyah tetap beroperasi. Mereka hanya perlu mencetak koin seperti milik kaisar di setiap detail dan menambahkan tulisan Arab pendek seperti bismillāh di pinggirnya.[320]
^Nasution, Syamruddin (2013). Sejarah Peradaban Islam (dalam bahasa Inggris). Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. hlm. 63. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-05. Diakses tanggal 2023-03-05.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^C. T. R. Hewer; Allan Anderson (2006). Understanding Islam: The First Ten Steps (edisi ke-illustrated). Hymns Ancient and Modern Ltd. hlm. 37. ISBN9780334040323.
^Heather N. Keaney (2013). Medieval Islamic Historiography: Remembering Rebellion. Sira: Companion- versus Caliph-Oriented History: Routledge. ISBN9781134081066. He also foretold that there would be a caliphate for thirty years (the length of the Rashidun Caliphate) that would be followed by kingship.
^Hamilton Alexander Rosskeen Gibb; Johannes Hendrik Kramers; Bernard Lewis; Charles Pellat; Joseph Schacht (1970). "The Encyclopaedia of Islam". The Encyclopaedia of Islam. Brill. 3 (Parts 57–58): 1164.
^Valerie J. Hoffman, The Essentials of Ibadi Islam (2012), p. 6
^Bainbridge, Beryl (1985). Women and the Family in the Middle East. University of Texas Press. hlm. 256. ISBN9780292755291. Ali was expected to succeed Muhammad in the leadership of the Muslim community (ummah) following the Prophet's death in 632. [Ali diharapkan untuk menggantikan Muhammad dalam kepemimpinan komunitas Muslim (ummah) setelah kematian Nabi pada tahun 632.]
^Yilmaz, Omer (2015). The Age of Bliss: Khalid ibn Al-Walid. Clifton, NJ: Tughra Books. hlm. 54. ISBN978-1-59784-379-9.
^ ab'Abd Al-Husein Zarrinkub, The Arab Conquest of Iran and Its Aftermath, The Cambridge History of Iran, Volume 4, ed. William Bayne Fisher, Richard Nelson Frye (Cambridge University Press, 1999), 5–9.
^Hasan, Sayyid Siddiq; Nadwi, Abul Hasan Ali (2000). The collection of the Qur'an. Diterjemahkan oleh Kidwai, A.R. Karachi: Qur'anic Arabic Foundation. hlm. 34–5.
^Vidani, Peter (19 November 2012). ""Ameer al-Mu'mineen"". Umar ibn Al-Khattab (radiAllahu anhu) (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-15. Diakses tanggal 2021-08-17.
^ abشبارو, عصام محمد (1995). First Islamic Arab State (1–41 AH/ 623–661 CE). 3. Arab Renaissance House – Beirut, Lebanon. hlm. 370.
^راغب, السرجاني. "فتوحات إفريقية" (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-21. Diakses tanggal 2023-1-14.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Lock, Henry Osmond (2003). Conquerors of Palestine Through Forty Centuries. Introduction by Edmund Allenby, 1st Viscount Allenby. Kessinger Publishing. ISBN0-7661-3984-0.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^A Restatement of the History of Islam and Muslims on Al-Islam.org referencing Al-Fitna Al-Kubra (The Great Upheaval), published by Dar-ul-Ma'arif, Cairo, 1959, p. 47
^Shirazi, Muhammad (2004). The Qur'an made simple. 10. London,UK: Fountain Books. hlm. xxi, xxiv, xxv. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-11. Diakses tanggal 2023-03-12.
^Keaney, Heather (2011). "Confronting the Caliph: ʻUthmân b. ʼAffân in Three ʻAbbasid Chronicles". Studia Islamica. 106 (1). doi:10.1163/19585705-12341251.
^فريد, أحمد. من أعلام السلف – ج 1 [Min A'lam As-Salaf - jilid 1]. IslamKotob. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-05-09. Diakses tanggal 2021-09-28 – via Google Books.
^ abVeccia Vaglieri, L. (1991). "Al-Djamal". Dalam Bearman, p. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). E. J. Brill. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2023-01-15.
^Grant, Reg G. (2011). "Yarmuk". 1001 Battles That Changed the Course of World History. hlm. 108. ISBN978-0-7893-2233-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-15. Diakses tanggal 2023-01-15.
^Hillenbrand, Robert (1999). G. P. Brogiolo and B. Ward-Perkins, ed. Anjar and Early Islamic Urbanism. The Idea and Ideal of the Town Between Late Antiquity and the Early Middle Ages. Leiden: BRILL. hlm. 59–98 [59–60]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-28. Diakses tanggal 9 May 2021.
^ abMirwaisi, Hamma (2020-07-07). Abdullah Ocalan (dalam bahasa Inggris). Hamma Mirwaisi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-25. Diakses tanggal 2022-07-25.
^Zubaidah, Siti (2016). Daulay, Nurika Khalila, ed. Sejarah Peradaban Islam(PDF). Medan: Perdana Publishing. hlm. 26. ISBN978-602-6462-15-2. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-06. Diakses tanggal 2022-07-06.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"8- الخلفاء الراشدون" (dalam bahasa Arab). 2016-03-04. Archived from the original on 2016-03-04. Diakses tanggal 2022-07-05.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^"قصة الإسلام". islamstory.com (dalam bahasa Arab). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-26. Diakses tanggal 2022-07-05.
^ abcHelmy, Mustafa (2006). الخلافة [Al-Khilafah] (dalam bahasa Arab). Kotobarabia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-07. Diakses tanggal 2022-07-05.
^Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 165–166. ISBN978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Shadi Hamid (Agustus 2003), "An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the Welfare State in the Caliphate of Umar", Renaissance: Monthly Islamic Journal, 13 (8) (see online)
^Muḥammad ibn al-Ḥasan Ṭūsī (2010), Concise Description of Islamic Law and Legal Opinions, ISBN978-1904063292, hlm. 131–135.
^Hefner R.W. (2006). "Islamic economics and global capitalism". Society. 44 (1): 16–22. doi:10.1007/bf02690463. Zakat is a tax levied on income and wealth for the purpose of their purification.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Sarwar, Muhammad (2015). al-Kafi Volume 1 of 8 (edisi ke-Second). New York: The Islamic Seminary Inc. hlm. 345. ISBN978-0-9914308-6-4.
^Tritton, A. S. (2008). Caliphs and their non-Muslim subjects : a critical study of the covenant of ʻUmar. London New York: Routledge. ISBN978-0-415-61181-7.
^Abdel-Haleem, Muhammad (2012). "The jizya Verse (Q. 9:29): Tax Enforcement on Non-Muslims in the First Muslim State". Journal of Qur'anic Studies. 14 (2): 72–89. doi:10.3366/jqs.2012.0056. ISSN1465-3591.
^Ibrahim, Nazarsyah; Amelia, Erika; Akbar, Nashr; Kholis, Nur; Utami, Suci Aprilliani; Nofrianto (2021). Islam, Rifki; Sakti, Ali; Nurzaman, M. Soleh; Tamanni, Luqyan, ed. Pengantar Ekonomi Islam(PDF). Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia. hlm. 156. ISBN978-602-60042-9-1. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2023-09-19. Diakses tanggal 2023-06-07.
^Daulay, Aqwa Naser; Syahbudi, Muhammad; Lubis, Fauzi Arif (2019). Ekonomi Makro Islam(PDF). FEBI UIN-SU Press. hlm. 108–109. ISBN978-602-6903-29-7. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2023-09-19. Diakses tanggal 2023-06-07.
^Fromherz, Allen. "Islam and the Sea". Oxford Islamic studies. Oxford. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-21. Diakses tanggal 31 October 2021.
^Vasiliev, Alexander A. (1935). Byzance et les Arabes, Tome I: La dynastie d'Amorium (820–867). Corpus Bruxellense Historiae Byzantinae (in French). French ed.: Henri Grégoire, Marius Canard. Brussels: Éditions de l'Institut de philologie et d'histoire orientales. hlm. 90. OCLC181731396.
^ abSaritoprak, Zeki. "Abu Bakr Al-Siddiq". Oxford Bibliographies. Oxford University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-19. Diakses tanggal 12 December 2018.
^Muhammad, Muhammad Hamid (7 May 2018). سيرة ومناقب عثمان بن عفان. Dar al-Taqwa. ISBN9789776603585. استشهد في أوسط أيام التشريق (12 ذي الحجة) لصحة نقله عن أبي عثمان النهدي، المعاصر للحادثة. وما سواه من أقوال لم يصح إسناد شيء منها، وكل ما جاء به من أسانيد فهي ضعيفة، وبعض منها صدر ممن لم يعاصر الحادثة. [Ia terbunuh di tengah hari Tasyriq, karena diriwayatkan oleh Abu Utsman an-Nahdi, sezaman dengan kejadian tersebut. Adapun hadis-hadis lainnya, tidak ada satupun yang sahih, dan semua rangkaian perawi yang dibawa para ulama adalah lemah, dan sebagiannya dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak sezaman dengan kejadian tersebut.][pranala nonaktif permanen]
^Buehler, Arthur F. (2014). "FATIMA (d. 632)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopaedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 182–7. ISBN9781610691772.
Anthony, Sean W. (2013). "Ali b. Abi Talib". Dalam Bowering, Gerhard. The Princeton encyclopedia of Islamic political thought. Princeton University Press.
Cappucci, John (2014). "'A'ISHA (614-678)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 18–20. ISBN9781610691789.
Cohen, Mark (2008). Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle Ages. Princeton: Princeton University Press. ISBN978-0-691-13931-9.
Daniel, Elton L. (2010). "The Islamic East". Dalam Robinson, Chase F.The New Cambridge History of Islam, Volume 1: The Formation of the Islamic World, Sixth to Eleventh Centuries. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-83823-8.
Poonawala, Ismail (2011). "ʿAlī b. Abī Ṭāleb". Encyclopædia Iranica. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 29, 2011.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Vaglieri, Laura Veccia (1977). "The Patriarchal and Umayyad caliphates". Dalam Holt, P. M.; Lambton, Ann K. S.; Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam Volume 1A: The Central Islamic Lands from Pre-Islamic Times to the First World War. Cambridge University Press. hlm. 57–103. doi:10.1017/CHOL9780521219464.005. ISBN9780521219464.