Sejarah Iran atau Sejarah Persia bertalian erat dengan sejarah kawasan luas yang disebut Iran Raya, yakni kawasan yang membentang dari Anatolia, Bosforus, serta Mesir di sebelah barat sampai ke tapal-tapal batas India Kuno serta Sir Darya di sebelah timur, dan dari Kaukasus serta Stepa Erasia di sebelah utara sampai ke Teluk Persia dan Teluk Oman di sebelah selatan.
Iran adalah tempat berkembangnya salah satu peradaban besar dunia yang tertua dan berkesinambungan. Peradaban ini sudah membangun permukiman-permukiman urban semenjak tahun 4000 SM.[1] Bagian barat dan barat daya dataran tinggi Iran turut berperan dalam sejarah Timur Dekat Kuno sejak permulaan Zaman Perunggu, dimulai dari bangsa Elam dan kemudian bangsa-bangsa lain seperti Kass, Mannea, dan Guti. Georg Wilhelm Friedrich Hegel menjuluki bangsa Persia sebagai Bangsa bersejarah yang pertama.[2]Bangsa Mede mempersatukan seluruh Iran menjadi satu bangsa dan satu kekaisaran pada 625 SM.[3]Kekaisaran Akhaimenia (550–330 SM) yang didirikan oleh Koresy Agung adalah kekaisaran pertama bangsa Persia, membentang dari Balkan sampai ke Afrika Utara dan Asia Tengah, meliputi tiga benua, dan berpusat di Persis (Persepolis). Inilah kekaisaran terbesar pertama sekaligus kekaisaran pertama di dunia.[4] Kekaisaran Persia yang pertama ini adalah satu-satunya peradaban sepanjang sejarah dunia yang merangkum lebih dari 40% populasi global, yakni sekitar 49,4 juta jiwa dari keseluruhan populasi dunia yang berjumlah 112,4 juta jiwa sekitar tahun 480 SM.[5] Kekaisaran Akhaimenia kelak digantikan oleh Kekaisaran Seleukia, Parthia, dan Sasania, yang berturut-turut menguasai Iran hampir 1000 tahun lamanya dan menjadikan Iran sekali lagi bangkit sebagai sebuah negara adikuasa di dunia. Seteru utama Persia adalah Kekaisaran Romawi serta penggantinya, Kekaisaran Bizantium.
Meskipun suatu ketika menjadi kekaisaran besar yang adikuasa[6][7] setelah menaklukkan wilayah yang sangat luas, Iran pun pernah mengalami invasi, yakni oleh bangsa Yunani, bangsa Arab, bangsa Turk, dan bangsa Mongol. Iran terus-menerus menegaskan kembali jati diri bangsanya dari abad ke abad dan telah berkembang menjadi sebuah entitas politik dan budaya yang khas.
Penaklukan kaum Muslim atas Persia (633–656) merupakan akhir bagi Kekaisaran Sasania sekaligus menjadi titik balik dalam sejarah bangsa Iran. Islamisasi Iran yang berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-10 Masehi pada akhirnya meredupkan Ajaran Zoroaster di Iran dan daerah-daerah bawahannya. Sekalipun demikian, pencapaian-pencapaian peradaban Persia sebelumnya tidak punah begitu saja, tetapi hampir sepenuhnya diserap oleh peradaban dan pemerintahan Islam yang baru.
Iran, dengan sejarah panjang peradaban dan kekaisarannya, mengalami penderitaan besar di akhir Abad Pertengahan dan permulaan zaman modern. Banyaknya invasi suku-suku pengembara, yang pemimpin-pemimpinnya berhasil menjadi penguasa Iran, telah berdampak negatif pada negeri ini.[8]
Iran sekali lagi dipersatukan menjadi sebuah negara pada 1501 oleh wangsa Safawi, yang mengalihkan mazhab agama Islam di Iran dari Sunni ke Syi'ah[9] sebagai agama resmi kekaisaran. Keputusan ini merupakan salah satu titik balik terpenting dalam sejarah Islam.[10] Kembali menjadi sebuah negara adikuasa, yang kali ini berdampingan dengan negara adikuasa lain yakni Kekaisaran Utsmaniyah, seteru utama mereka selama berabad-abad, Iran menjadi sebuah negara monarki dipimpin seorang kaisar yang nyaris tak terputus sejak 1501 sampai Revolusi Iran pada 1979, ketika Iran secara resmi menjadi sebuah Republik Islam pada 1 April 1979.[11][12]
Sepanjang paruh pertama abad ke-19 Iran kehilangan wilayah luas di Kaukasus (silih-berganti lepas dan kembali ke dalam kekuasaan Iran dalam rentang waktu ribuan tahun),[13] meliputi kawasan timur Georgia, Dagestan, Azerbaijan, dan Armenia sekarang ini, yang jatuh ke tangan Kekaisaran Rusia, tetangga sekaligus saingannya yang dengan pesat bertumbuh dan berekspansi, setelah Perang Rusia-Persia pada 1804–1813 dan 1826–1828.[14]
Di antara artefak-artefak purbakala dari Tepe Sarab di Provinsi Kermanshah, terdapat pula patung-patung mini manusia dan hewan berumur 10.000 tahun.[16] Komunitas-komunitas pertanian seperti Chogha Golan pada 10.000 SM[19][20] serta pemukiman-pemukiman seperti Chogha Bonut (desa terawal di Elam) pada 8000 SM,[21][22] mulai berkembang di daerah Pegunungan Zagros dan sekitarnya di kawasan barat Iran.[23] Sekitar waktu yang sama, di Ganj Dareh, masih di kawasan barat Iran, diproduksi bejana-bejana lempung dan patung-patung mini manusia dan hewan dari terakota terawal yang diketahui.[23]
Kawasan barat daya Iran adalah bagian dari Hilal subur tempat sebagian besar tanaman pangan perdana umat manusia dibudidayakan, di desa-desa seperti Susa (tempat sebuah pemukiman mungkin pertama kali didirikan seawal 4395 cal SM)[24] dan pemukiman-pemukiman seperti Chogha Mish, semenjak 6800 SM;[1][25] berbuyung-buyung tuak anggur berumur 7.000 tahun yang ditemukan pada penggalian arkeologi di Pegunungan Zagros[26] (kini dipajang di University of Pennsylvania) serta reruntuhan pemukiman-pemukiman berumur 7000 tahun seperti Tepe Sialk merupakan buktinya. Dua pemukiman bangsa Iran dari Zaman Batu Muda adalah Peradaban Sungai Zayandeh dan Ganj Dareh.
Beberapa tempat yang sekarang ini merupakan bagian dari kawasan barat laut Iran adalah bagian dari peradaban Kura–Aras (ca. 3400 SM — ca. 2000 SM), yang membentang sampai ke wilayah-wilayah terdekat yakni Kaukasus dan Anatolia.[27][28]
Susa adalah salah satu pemukiman tertua yang diketahui baik di Iran maupun di dunia. Berdasarkan penentuan umur dengan uji C14, kota ini mulai ditempati semenjak 4395 SM,[29] mendahului zaman peradaban di Mesopotamia. Sudah menjadi persepsi umum di kalangan arkeolog bahwa Susa merupakan bagian dari Uruk, negara kota bangsa Sumeria.[30][31] Dalam perjalanan sejarahnya, Susa kemudian menjadi ibu kota Elam, yang muncul sebagai sebuah negara pada 4000 SM.[29] Ada pula lusinan situs prasejarah di seluruh dataran tinggi Iran yang menunjukkan tanda-tanda keberadaan peradaban-peradaban dan pemukiman-pemukiman perkotaan kuno pada milenium ke-4 SM.[1]
Salah satu peradaban terawal di dataran tinggi Iran adalah peradaban Jiroft di kawasan tenggara Iran, dalam wilayah Provinsi Kerman. Situs Jiroft adalah salah satu situs arkeologi yang paling kaya akan artefak di Timur Tengah. Penggalian-penggalian arkeologi di Jiroft berhasil menemukan beberapa benda yang berasal dari milenium ke-4 SM.[32] Terdapat sejumlah besar benda berhiaskan ukiran-ukiran hewan, makhluk-makhluk mitologi, dan motif-motif arsitektur yang memiliki ciri khas tersendiri. Benda-benda beserta hiasan-hiasan yang terdapat padanya itu tidak memiliki kemiripan dengan apa pun yang pernah dilihat para arkeolog. Banyak di antaranya yang terbuat dari klorit, sejenis batu lunak berwarna kelabu kehijauan; benda-benda lain terbuat dari tembaga, perunggu, terakota, dan bahkan lapis lazuli. Penggalian-penggalian yang belum lama ini dilakukan di situs-situs itu berhasil menemukan peninggalan tertulis terawal yang mendahului prasasti-prasasti Mesopotamia.[33][34]
Terdapat keterangan-keterangan tertulis tentang banyak peradaban kuno lain di dataran tinggi Iran sebelum kemunculan bangsa Iran pada permulaan Zaman Besi. Pada permulaan Zaman Perunggu terjadi kenaikan urbanisasi ke negara-negara kota terorganisir, dan penemuan tulisan (Zaman Uruk) di Timur Dekat. Meskipun Elam di Zaman Perunggu mempergunakan tulisan dari masa-masa sebelumnya, aksara Proto-Elam masih belum terpahami, dan keterangan-keterangan tertulis dari Sumer mengenai Elam pun langka.
Sejarawan Rusia, Igor M. Diakonoff, berpendapat bahwa populasi dataran tinggi Iran sekarang ini kebanyakan adalah keturunan dari puak-puak non-Persia: "Bahwasanya pribumi dataran tinggi Iranlah, bukannya suku-suku Proto-Indo-Eropa dari Eropa, yang merupakan nenek moyang utama, dalam arti fisik, dari bangsa Iran yang ada sekarang ini."[35]
Keterangan-keterangan tertulis bertambah banyak seiring bangkitnya Kekaisaran Asiria Baru yang mencatat mengenai tindakan-tindakan penerobosan dari dataran tinggi Iran.
Seawal abad ke-20 SM, suku-suku berdatangan ke dataran tinggi Iran dari Stepa Pontus–Kaspia. Kedatangan bangsa Iran ke dataran tinggi Iran memaksa bangsa Elam melepas satu demi satu daerah-daerah kekuasaannya dan berlindung di Elam, Khuzestan dan sekitarnya, yang baru semenjak itu bertumpang-tindih wilayah dengan Elam.[36] Bahman Firuzmandi berpendapat bahwa bangsa Iran selatan mungkin saja berbaur dengan bangsa Elam yang mendiami dataran tinggi Iran.[37]
Menjelang pertengahan milenium pertama SM, bangsa Media, Persia, dan Parthia meramaikan dataran tinggi Iran. Sampai dengan bangkitnya bangsa Media, kesemuanya tunduk di bawah ketuanan Asiria, sebagaimana halnya dengan seluruh Timur Dekat. Pada paruh pertama dari milenium pertama SM, wilayah-wilayah yang kini menjadi Azerbaijan Iran dipersatukan dengan Urartu.
Pada 646 SM, Asyurbanipal, Raja Asiria, menyerbu Susa dan mengakhiri supremasi bangsa Elam di wilayah itu.[38] Selama lebih dari 150 tahun raja-raja Asiria dari kawasan utara Mesopotamia berusaha menaklukkan suku-suku Media di kawasan barat Iran.[39] Di bawah tekanan Asiria, kerajaan-kerajaan kecil di dataran tinggi Iran pun bersatu membentuk negara-negara yang lama-kelamaan semakin membesar dan semakin terpusat.[38]
Pada paruh kedua dari abad ke-7 SM, bangsa Media mencapai kemerdekaannya dan dipersatukan oleh Deiokes. Pada 612 SM, Kiaksares, cucu laki-laki Deiokes, bersama-sama dengan Nabopolassar, Raja Babel, menyerbu Asiria. Mereka mengepung dan akhirnya berhasil menghancurkan Niniwe, ibu kota Asiria. Kehancuran Niniwe mengakibatkan tumbangnya Kekaisaran Asiria Baru.[40] Urartu kelak juga ditaklukkan dan dihancurkan oleh bangsa Media.[41][42] Bangsa Media dianggap berjasa membangun Iran sebagai sebuah bangsa dan kekaisaran, serta mendirikan kekaisaran Iran yang pertama, kekaisaran terbesar pada zamannya sampai Koresy Agung mendirikan sebuah kekaisaran perpaduan Media dan Persia, yang kelak menjadi Akhaimenia (ca.550–330 SM).
Koresy Agung menumbangkan kekaisaran Media, Lydia, serta Babilonia Baru, dan menciptakan sebuah kekaisaran yang jauh lebih besar daripada Asiria. Dengan kebijakan-kebijakannya yang lebih santun, ia mampu menggiring rakyatnya untuk patuh pada pemerintahan Persia; umur kekaisarannya yang panjang merupakan salah satu hasilnya. Raja Persia, sebagaimana halnya raja-raja Asiria, juga bergelar "Raja Diraja", xšāyaθiya xšāyaθiyānām (syāhansyāh dalam bahasa Persia modern) – "raja agung," Megas Basileus dalam istilah bangsa Yunani.
Putera Koresy, Kambisus II, menaklukkan Mesir Kuno, negara kuat yang tersisa di kawasan itu, yang berakibat runtuhnya wangsa Mesir yang kedua puluh enam. Karena jatuh sakit dan mangkat sebelum, atau ketika, meninggalkan Mesir, merebaklah khabar, sebagaimana diriwayatkan oleh Herodotus, bahwa ia putus nyawa tegal durhaka pada dewa-dewi Mesir Kuno. Sang pemenang, Darius I, melandaskan haknya sebagai pewaris takta Persia pada silsilahnya yang merupakan salah satu cabang dari silsilah lurus para penguasa Kekaisaran Akhaimenia.
Darius mula-mula menetapkan Susa sebagai ibu kota pertamanya, dan memulai pelaksanaan pembangunan Persepolis. Ia membangun sebuah terusan yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, cikal-bakal Terusan Suez modern. Ia memperbaiki jaringan jalan yang sangat luas, dan pada masa pemerintahannyalah pertama kali disebut-sebut tentang Jalan Kerajaan (terlihat pada peta), yakni sebentang jalan raya dari Susa sampai ke Sardis diperlengkapi pos-pos jaga dengan jarak antara yang teratur. Perubahan-perubahan besar juga dilakukan pada masa pemerintahan Darius. Uang logam, dalam satuan darik (keping emas) dan syikal (keping perak) dibakukan (uang logam telah ditemukan lebih dari seabad sebelumnya di Lydia ca. 660 SM tetapi belum dibakukan),[43] dan efisiensi administrasi ditingkatkan.
Bahasa Persia tua digunakan pada prasasti-prasasti kerajaan, ditulis dengan aksara paku yang khusus disesuaikan untuk keperluan itu. Di bawah kekuasaan Koresy Agung dan Darius I, Kekaisaran Persia tumbuh menjadi kekaisaran terbesar dalam sejarah umat manusia sampai saat itu, memerintah dan mengatur sebagian besar dunia yang dikenal pada masa itu,[44] dengan wilayah yang membentang di tiga benua, yakni Eropa, Asia, dan Africa. Pencapaian terbesar mereka adalah kekaisaran itu sendiri. Kekaisaran Persia merupakan negara adikuasa pertama di dunia[45] yang berlandaskan toleransi dan hormat terhadap budaya dan agama lain.[46]
Pada penghujung abad ke-6 SM, Darius memaklumkan perang terhadap Eropa. Ia mengalahkan bangsa Paeonia, menaklukkan Trakia, dan menundukkan seluruh kota-kota pesisir Yunani. Ia juga mengalahkan bangsa Saka Eropa di sekitar Sungai Donau.[47] Pada 512/511, Makedonia menjadi kerajaan bawahan dari Kekaisaran Persia.[47]
Pada 499 SM, Athena turun-tangan membantu pemberontakan di Miletus yang mengakibatkan Sardis habis dijarah-rayah. Keikutsertaan Athena memicu pemakluman perang dari Kekaisaran Akhaimenia terhadap Yunani daratan. Peperangan ini dikenal sebagai Perang Yunani-Persia yang berlangsung sepanjang paruh pertama dari abad ke-5 SM, dan dikenang sebagai salah satu perang terpenting dalam sejarah Eropa. Pada invasi pertama Persia atas Yunani, Mardonius, Panglima Persia, berhasil menggiring Trakia dan Makedonia kembali ke dalam keutuhan wilayah Persia.[47] Meskipun demikian perang ini mengakibatkan pihak Persia menderita kekalahan. Penerus Darius, Ahasyweros I melancarkan invasi kedua Persia atas Yunani. Pada saat genting dalam perang ini, hampir seluruh wilayah Yunani daratan telah dikuasai Persia, termasuk seluruh daerah kekuasaan Yunani di tanah genting Korintus,[48] Meskipun demikian perang ini juga menghasilkan kemenangan di pihak Yunani, setelah melewati pertempuran di Plataia dan Salamis yang mengakibatkan Persia kehilangan landasan pijaknya di Eropa, dan akhirnya mundur dari benua itu.[49] Dalam perang Yunani-Persia, pihak Persia yang berhasil mendapatkan begitu banyak wilayah kekuasaan menggempur dan menjarah Athena pada 480 SM. Akan tetapi, setelah serangkaian kemenangan diraih Yunani, pihak Persia terpaksa mundur dan dengan demikian kehilangan kendali atas Makedonia, Trakia, dan Ionia. Peperangan berlanjut selama beberapa dasawarsa sesudah invasi kedua yang dilancarkan pihak Persia berhasil dihalau oleh negara-negara kota Yunani yang bersatu di bawah pimpinan Athena dalam Persekutuan Delos, dan berujung pada perjanjian damai Kallias pada 449 SM yang mengakhiri Perang Yunani-Persia. Pada 404 SM, begitu Darius II mangkat, Mesir memberontak di bawah pimpinan Amyrtaeus. Para firaun sesudahnya berhasil mempertahankan diri terhadap upaya-upaya Persia untuk menaklukkan kembali Mesir sampai pada 343 SM, tatkala Mesir ditaklukkan kembali oleh Artahsasta III.
Penaklukan Yunani dan Kekaisaran Seleukia (312 SM – 248 SM)
Bahasa, filsafat, dan seni rupa Yunani dibawa masuk oleh kaum penjajah. Di era Seleukia, bahasa Yunani menjadi bahasa diplomasi dan sastra di seluruh wilayah kekaisaran itu.
Kekaisaran Parthia adalah wilayah kekuasaan wangsa Arsasi, yang mempersatukan kembali dan memerintah atas dataran tinggi Iran setelah Penaklukan Parni atas Parthia dan mengalahkan Kekaisaran Seleukia pada penghujung abad ke-3 SM, dan beberapa kali juga menguasai Mesopotamia antara ca. 150 SM dan 224 Masehi. Kekaisaran Parthia sempat pula menguasai Arab Timur.
Parthia adalah musuh besar Kekaisaran Romawi di timur; kekaisaran ini menghalangi ekspansi Romawi melampaui Kapadokia (Anatolia Tengah). Bala tentara Parthia memiliki dua macam pasukan berkuda: pasukan berkuda berbaju zirah yang berpelindung dan bersenjata berat, serta pasukan pemanah berkuda yang bersenjata ringan namun lincah pergerakannya.
Bagi bangsa Romawi, yang mengandalkan pasukan-pasukan prajurit berjalan kaki, bangsa Parthia terlampau sukar untuk dikalahkan, karena kedua macam pasukan berkuda yang dimilikinya jauh lebih cepat dan lincah dibanding prajurit-prajurit yang berjalan kaki. Pemanahan Parthia yang digunakan pasukan berkuda Parthia sangat ditakuti prajurit-prajurit Romawi. Teknik memanah ini terbukti menjadi penyebab utama kekalahan Romawi dalam Pertempuran Carrhae. Di lain pihak, bangsa Parthia mengalami kesukaran dalam menduduki daerah-daerah taklukannya karena mereka tidak memiliki keterampilan berperang dengan cara pengepungan. Karena kelemahan-kelemahan inilah, baik pihak Romawi maupun pihak Parthia tidak mampu sepenuhnya menganeksasi wilayah taklukan di daerah lawan.
Kekaisaran Parthia bertahan selama lima abad, lebih lama dari kebanyakan kekaisaran di timur. Akhir kekaisaran ini akhirnya tiba pada 224 Masehi, ketika keteraturan kekaisaran merenggang dan raja terakhirnya dikalahkan oleh salah satu bangsa jajahan kekaisaran, yakni bangsa Persia yang di bawah pimpinan wangsa Sasani. Meskipun demikian, wangsa Arsasi terus bertahan hidup sampai berabad-abad kemudian di Armenia, Iberia, dan Albania Kaukasia, yang kesemuanya merupakan cabang-cabang lain dari wangsa ini.
Hampir sepanjang umurnya Kekaisaran Sasania dibayang-bayangi bahaya akibat berulang kali pecah peperangan Bizantium - Sasania, kelanjutan dari peperangan Romawi–Parthia dan peperangan Romawi–Persia yang mencakup semuanya; yang terakhir adalah pertikaian terlama dalam sejarah umat manusia. Dimulai pada abad pertama SM oleh para pendahulu mereka, bangsa Parthia dan bangsa Romawi, perang Romawi-Persia terakhir berlangsung pada abad ketujuh Masehi. Bangsa Persia mengalahkan bangsa Romawi dalam Pertempuran Edessa pada 260 dan menawan Kaisar Valerianus sampai akhir hayatnya.
Arab Timur lebih dahulu ditaklukkan. Pada masa pemerintahan Khosrau II antara 590–628, Mesir, Yordania, Palestina, dan Libanon juga berhasil dianeksasi ke dalam wilayah kekaisarannya. Wangsa Sasani menjuluki kekaisaran mereka Erânsyahr ("Ranah Arya", yakni wilayah kekuasaan bangsa Iran).[52]
Sebuah babak baru dalam sejarah Iran dimulai sesudah kurang lebih enam ratus tahun bertikai dengan Kekaisaran Romawi. Pada babak ini, bala tentara Sasania dan Romawi-Bizantium bertarung memperebutkan kekuasaan atas Anatolia, kawasan barat Kaukasus (terutama Lazica dan Kerajaan Iberia; Georgia dan Abkhazia sekarang ini), Mesopotamia, Armenia dan Levant. Di bawah pimpinan Yustinianus I, perang ini berakhir dengan perjanjian damai dengan syarat pihak Romawi membayar upeti kepada pihak Sasania.
Sekalipun demikian, pihak Sasania menggunakan peristiwa pelengseran Kaisar Bizantium Mauricius sebagai casus belli untuk menyerang kekaisaran itu. Setelah banyak kali menang, pihak Sasania mengalami kekalahan di Issus, Konstantinopel, dan akhirnya di Nineveh, yang menghasilkan perdamaian. Seusai perang Romawi-Persia yan berlangsung lebih dari 700 tahun yang mencapai puncaknya pada Perang Bizantium–Sasania 602–628, termasuk di dalamnya pengepungan ibu kota Bizantium, bangsa Persia yang lelah berperang itu kalah dalam Pertempuran al-Qādisiyyah (632) di Al-Hillah (sekarang termasuk wilayah Irak) melawan invasi pasukan Muslim.
Zaman Sasania yang berlangsung sepanjang penghujung Zaman Kuno dianggap sebagai zaman salah satu zaman paling penting dan paling berpengaruh di Iran yang juga besar dampaknya terhadap dunia. Pada zaman Sasania, bangsa Persia mencapai titik puncak peradabannya dalam berbagai bidang, dan menjadi Kekaisaran Iran Raya terakhir sebelum masuknya Islam. Persia banyak mempengaruhi peradaban Romawi selama zaman Sasania,[53] pengaruh budaya mereka menyebar melampaui batas-batas kekaisarannya, sampai jauh ke Eropa Barat,[54] Africa,[55] Tiongkok, dan India[56] serta berperan penting pula dalam pembentukan seni rupa abad pertengahan baik di Eropa maupun di Asia.[57]
Pengaruh ini terbawa-bawa sampai ke dunia Muslim. Budaya wangsa Sasani yang khas dan keningrat-ningratan mentransformasi penaklukan Islam dan kehancuran Iran menjadi Zaman Pencerahan Persia.[54] Banyak dari apa yang kelak dikenal sebagai budaya Islam, arsitektur Islam, karya tulis Islam, dan kontribusi-kontribusi lain dari Islam bagi peradaban dunia, diambil dari khazanah bangsa Persia Sasania dan disebarluaskan ke seluruh dunia Muslim.[58]
Pada 633, sewaktu Yazdegerd III Raja Sasania memerintah atas Iran, kaum Muslim di bawah pimpinan Umar menginvasi negeri itu ketika pertumpahan darah akibat perang saudara baru saja usai. Sejumlah bangsawan dan puak Iran seperti Raja Dinar dari Keluarga Karen, dan kelak kaum Kanarangiyan dari Khorasan, memberontak terhadap para atasan Sasania mereka. Meskipun Keluarga Mihran pernah menuntut haknya atas tahta Sasania di bawah pimpinan dua panglima terkemuka Bahrām Chōbin dan Syahrbaraz, keluarga ini tetap bersetia mendukung perjuangan Sasania melawan bangsa Arab, namun ujung-ujungnya keluarga ini dikhianati dan dikalahkan kerabat sendiri, Keluarga Ispahbudhan di bawah pimpinan Farrukhzad, yang telah memberontak melawan Yazdegerd III.
Yazdegerd III, meloloskan diri dari satu daerah ke daerah lainnya sampai ia dibunuh seorang juru pengilingan demi mendapatkan pundi-pundinya di Merv pada 651.[59] Menjelang 674, kaum Muslim telah menaklukkan Khorasan Raya (yang meliputi wilayah Provinsi Khorazan di Iran sekarang, wilayah Afganistan sekarang, dan beberapa daerah di wilayah Transoxiana).
Penaklukan kaum Muslim atas Persia menumbangkan Kekaisaran Sasania dan pada akhirnya mengakibatkan kemerosotan agama Majusi di Persia. Seiring waktu berlalu, mayoritas rakyat Iran berpindah keyakinan ke agama Islam. Banyak aspek dari peradaban Persia sebelumnya tidak dibuang, akan tetapi diserap oleh pemerintahan Islam yang baru. Bernard Lewis pernah berkata:
Peristiwa-peristiwa ini dilihat secara berbeda di Iran: oleh sebagian orang sebagai suatu berkah, datangnya agama sejati, akhir dari zaman jahiliyah dan kekafiran; oleh yang lain sebagai suatu kekalahan bangsa yang memalukan, penaklukan dan penundukan negeri itu oleh para penyerbu asing. Kedua persepsi ini sah-sah saja, tergantung sudut pandangnya.[60]
Kekhalifahan Umayyah dan penyerbuannya ke pesisir Kaspia
Dinasti-dinasti yang memerintah Persia selepas ini adalah keturunan bangsa Turki dari Asia Tengah. Pada mulanya, mereka ini hanyalah tentara budak pada zaman Abbasiyah. Namun begitu, mereka menguasai administrasi khilafah Abbasiyah menyusul kelemahan khalifahnya. Setelah kejatuhan Abbasiyah, pemerintahan-pemerintahan kecil mulai naik di seluruh Iran. Antara lain yang utama ialah Thahiriyah dari Khorasan (820-872), Saffariyah di Sistan (867-903), dan Samaniyah di Bukhara (875-1005). Pada 962, seorang pegawai pasukan budak Samaniyah, Aluptigin, menaklukkan Ghazna dan mendirikan pemerintahan Ghaznawiyah.
Persia kemudian diserang dan ditaklukkan oleh pasukan Turki Utsmani yaitu tentara SeljukOghuz dari Amu Darya. Pimpinan mereka Tughril Beg kemudian dianugerahi sebuah jubah, hadiah dan juga gelar Raja di Timur. Ketika Iran di bawah pemerintahan Shah Malik (pengganti Tughril) (1072–1092), Iran menyaksikan penyuburan kembali kebudayaan dan kegemilangan sains mereka dan ini merupakan jasa raja muda Shah Malik yaitu Nizam al Mulk. Pada zaman ini juga, sebuah observatorium dibangun di mana Omar Khayyám, seorang ahli astrologi membuat eksperimen kalender baru. Selain itu, sekolah-sekolah agama turut dibangun di kota-kota utama. Abu Hamid Ghazali, seorang pakar teologi Islam, dan juga beberapa cendekiawan Islam di Baghdad turut dijemput meneruskan penyelidikan mereka di Iran.
Setelah kematian Shah Malik, Iran terpecah kembali pada pemerintahan-pemerintahan kecil. Pada masa inilah Genghis Khan dari Mongolia memasuki Persia dan memusnahkan kota-kotanya. Sebelum matinya, tentera Mongol telah menaklukkan Azarbaijan dan memusnahkan kota itu.
Penaklukan ini menyebabkan kehancuran yang besar bagi rakyat Iran. Sistem irigasi dimusnahkan menyebabkan beberapa permukiman terpaksa diubah. Mereka terpaksa mencari wahah sebagai sumber air. Sebagian besar penduduk Iran, terutama elaki dibunuh dan populasi Iran jatuh mendadak. Pemerintah Mongol hanya berbuat sedikit untuk memperbaiki Iran. Cucu Genghis, Hulagu Khan, menaklukkan Baghdad pada tahun 1258 dan membunuh khalifah terakhir Abbasiyah. Merajalelanya Hulagu Khan di TimTeng dijepit oleh tentara Mamluk (dari Mesir) di Palestina. Hulagu Khan kemudian kembali ke Iran dan menetap di Azerbaijan hingga kematiannya.
Pemerintah Mongol selepas ini, Ghazan Khan (1295-1304) dan juga wazirnya Rashid ad Din memulihkan kembali ekonomi Iran. Cukai untuk pekerja diturunkan, pertanian digalakkan, membangun kembali sisten irigasi dan memperbaiki keselamatan jalur perdagangan. Hasilnya, perdagangan meningkat dengan pantas dan barang dari India dan China dapat dibawa masuk ke Iran dengan senang. Ghazan kemudian diganti oleh kemenakannya Abu Said dan selepas meninggalnya Abu Said, Iran sekali lagi terpecah pada beberapa pemerintahan kecil seperti Salghuriyah, Muzaffariyah, Inju, dan Jalayiridah.
Peninggalan tentara Mongolia di bawah pimpinan Timur Lenk, seorang Mongol bangsa Turki, kemudian masuk dan menaklukkan Persia. Ia menaklukkan Transoxiana dan menjadi sultan di sana. Tidak seperti Genghis Khan, serangan Timur Lenk tejadi pelan-pelan dan tidak membawa banyak kerusakan. Ini karena tentaranya tidak sebesar tentera Genghis Khan. Namun begitu, Isfahan dan Shiraz tetap mengalami kehancuran parah. Selepas kematiannya, kesultanan ini terpecah belah tetapi kelompok-kelompok Mongolia yaitu Uzbek dan Bayundur Turkmen masih memerintah kawasan Iran hinggal bangkitnya kesultanan Safavid.
Permulaan zaman modern (1502–1925)
Persia kembali bangkit di masa kekuasaan wangsa Safawi (1502–1736), tokoh terkemuka dari wangsa ini adalah Syah Abbas I. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa wangsa Safawi yang berjasa terhadap berdirinya negara-bangsa Iran modern. Mazhab Syi'ah yang dianut rakyat Iran, dan bagian-bagian penting dari perbatasan wilayah Iran sebagaimana yang ada sekarang ditetapkan pada zaman ini (misalnya Perjanjian Zuhab). Pada masa ini Iran dikenal dengan nama Negara Agung Iran, setidaknya ada tiga dinasti yang memerintah selama periode ini.
Wangsa Safawi adalah salah satu wangsa penguasa terpenting di Persia, dan zaman kekuasaan wangsa ini "kerap dianggap sebagai permulaan sejarah Persia modern".[61] Wangsa Safawi memerintah salah satu dari kekaisaran Persia terbesar sesudah Persia ditaklukkan kaum Muslim[62][63][64][65] dan menetapkan mazhab Dua Belas Imam dari firqahSyi'ah[9] sebagai agama resmi kekaisaran. Peristiwa ini menjadi salah satu titik balik terpenting dalam Sejarah Islam. Wangsa Safawi berkuasa semenjak 1501 hingga 1722 (sempat pula mengalami restorasi singkat sejak 1729 sampai 1736) dan pada puncak kekuasaannya, mereka memerintah atas wilayah yang meliputi seluruh wilayah Iran, Azerbaijan dan Armenia, sebagian besar wilayah Georgia, Kaukasus Utara, Irak, Kuwait dan Afganistan, serta beberapa daerah di Turki, Suriah, Pakistan, Turkmenistan dan Uzbekistan sekarang ini. Iran di bawah kekuasaan wangsa Safawi tumbuh menjadi salah satu "kekaisaran bubuk mesiu" Islam, bersama-sama dengan jiran-jiran sekaligus saingan dan seteru utamanya, Kesultanan Utsmaniyah dan Kesultanan Mughal.
Dinasti Afshariyah, Zand dan Qajar (1796-1925)
Selepas era Safawi, Iran kemudian diperintah oleh Dinasti Afshariyah, wangsa Zand, Qajar dan akhirnya Pahlavi. Pada kurun ke-17, negara-negara Eropa mulai menjelajahi Iran dan menapakkan pengaruh mereka di sana. Akibatnya Iran mulai kehilangan beberapa wilayahnya kepada negara-negara ini menyusul beberapa perjanjian perdamaian seperti perjanjian Turkmanchai dan perjanjian Gulistan.
Pada lewat abad ke-19, Iran memasuki sebuah era baru ketika terjadinya Revolusi Konstitusi Iran, yang merupakan sebuah revolusi yang memperkenalkan sistem monarki konstitusional. Tetapi Shah Iran atau raja Iran masih berjaya mempertahankan kekuasaan mereka. Sebuah parlemen yang dinamai Majles didirikan pada 7 Oktober1906.
Penemuan minyak mentah di wilayah Khuzestan menarik minat Inggris dan Rusia untuk meluaskan pengaruh mereka di Iran. Kedua adidaya ini bersaing untuk memonopoli minyak Iran dan akhirnya memecah belah Iran. Disebabkan kelemahan pemerintahan Iran saat itu (pemerintahan Qajar,) menangani kuasa-kuasa ini, maka terjadilah pemberontakan oleh Reza Pahlavi yang mana ia berhasil menobatkan dirinya sendiri menjadi Shah Iran yang baru dan mendirikan Dinasti Pahlavi.
Bagi para pendukungnya, masa pemerintahan Syah Reza menghadirkan "hukum dan ketertiban, disiplin, kewenangan terpusat, dan sarana-sarana modern – sekolah-sekolah, kereta api, bus, radio, gedung-gedung bioskop, dan jaringan telepon".[68] Akan tetapi usaha-usaha modernisasi yang dilakukannya dinilai "terlampau cepat"[69] dan juga sekadar "polesan" belaka,[70]
dan masa pemerintahannya dinilai sebagai zaman "penindasan, korupsi, beban pajak, kurangnya autentisitas" dengan "cara pengamanan ala negara polisi."[71]
Banyak hukum dan aturan baru menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan umat Muslim dan kaum ulama. Misalnya saja, mesjid-mesjid diwajibkan memasang kursi; kaum pria diwajibkan berpakaian ala barat, termasuk mengenakan topi bertepi datar; kaum wanita didorong untuk menanggalkan hijab; pria dan wanita diizinkan berkumpul dengan bebas, yang bertentangan dengan aturan batas antar jenis kelamin menurut agama Islam. Ketegangan akhirnya meluap pada 1935, tatkala para bazaari dan penduduk desa bangkit memberontak di dalam Mesjid Imam Reza di Masyhad, dengan menyerukan slogan-slogan seperti 'Syah adalah Yazid yang baru.' Lusinan orang terbunuh dan ratusan yang terluka ketika pasukan-pasukan tentara datang meredam kerusuhan.[72]
Perang Dunia
Ketika Perang Dunia I, Iran berada di bawah pengaruh Inggris dan Rusia walaupun kebijakan pemerintahannya netral. Pada 1919, Inggris mencoba menjadikan Iran sebagai negeri naungan mereka tetapi rencana macet saat Shah Reza menggulingkan Pemerintahan Qajar dan mendirikan Dinasti Pahlavi. Shah Reza Pahlavi memerintah Iran selama 16 tahun dan memulai proses pemodernan Iran serta mendirikan pemerintahan sekuler baru.
Sejak penemuan minyak, Iran menjadi sumber cadangan minyak utama bagi negara-negara Sekutu. Ketika Perang Dunia II, tentara Sekutu meminta agar Shah Reza menghalau keluar teknisi Jerman tetapi permintaan ini ditolak. Maka, tentara Sekutu melancarkan serangan atas Iran dan menyingkirkan Shah Reza dan melantik puteranya Shah Mohammad Reza menjadi pengganti Shah Iran. Namun begitu, Shah Mohammad hanyalah boneka Inggris dalam administrasi Iran dan pemerintahannya bersifat otokratis dan dibenci rakyat Iran.
Syah Mohammad Reza (1941–1979)
Awalnya diharapkan bahwa Iran pascapendudukan akan menjadi sebuah negara monarki konstitusional. Syah baru yang masih muda, Mohammad Reza Syah Pahlavi, mula-mula mengambil sikap tidak campur tangan dalam pemerintahan, dan membiarkan parlemen memegang kekuasaan besar. Beberapa kali pemilihan anggota parlemen diselenggarakan pada tahun-tahun permulaan, meskipun parlemen sebenarnya masih terus berkubang dalam korupsi. Parlemen terus-menerus tidak stabil, dan dalam rentang waktu antara 1947 sampai 1951 rakyat Iran menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan enam orang perdana menteri. Pahlavi memperbesar kekuasaan politiknya dengan menyelenggarakan Sidang Konstituante Iran, 1949, yang akhirnya membentuk Dewan Senat Iran, sebuah Majelis Tinggi legislatif yang pembentukannya diatur dalam konstitusi 1906 tetapi belum pernah diwujudkan. Para senator baru ini adalah orang-orang yang sangat mendukung Pahlavi, sebagaimana yang telah diniatkannya sejak semula.
Pada 1951 Perdana Menteri Mohammed Mosaddeq mendapatkan jumlah suara yang diperlukan dari parlemen untuk melakukan nasionalisasi atas industri perminyakan yang dimiliki Inggris, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Krisis Abadan. Kendati mendapat tekanan dari Inggris, yang juga mencakup blokade ekonomi, nationalisasi tetap dilaksanakan. Mosaddeq sempat untuk sementara waktu dilengserkan dari kekuasaan pada 1952 namun tak lama kemudian diangkat kembali oleh Syah sebagai perdana menteri, karena desakan rakyat yang mendukungnya. Sang perdana menteri pada gilirannya memaksa Syah untuk undur sementara waktu ke pengasingan pada Agustus 1953 setelah gagalnya sebuah kudeta militer yang dilakukan oleh Pengawal Kekaisaran, Kolonel Nematollah Nassiri.
Revolusi Iran, juga dikenal sebagai Revolusi Islam,[73] adalah revolusi yang mengubah Iran dari sebuah monarki absolut di bawah kepemimpinan SyahMohammad Reza Pahlawi, menjadi sebuah republik Islam di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, salah satu dari pemimpin-pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran.[12] Rentang waktu revolusi boleh dikata bermula sejak Januari 1978 dengan demonstrasi-demonstrasi besar yang pertama,[74] dan berakhir pada Desember 1979 dengan disetujuinya konstitusi baru yang teokratis—di mana Ayatollah Khomeini menjadi pemimpin besar negara itu.[75]
Sementara itu, Mohammad Reza Pahlawi meninggalkan Iran menuju pembuangan pada Januari 1979 setelah aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi melumpuhkan negara itu, dan pada 1 Februari 1979 Ayatollah Khomeini kembali ke Iran disambut oleh jutaan rakyat Iran.[75] Kejatuhan terakhir Wangsa Pahlawi terjadi tak lama berselang pada 11 Februari tatkala militer Iran menyatakan diri "netral" setelah pasukan-pasukan gerilyawan dan pemberontak mengalahkan pasukan-pasukan yang setia pada Syah dalam pertempuran bersenjata di jalanan. Iran secara resmi menjadi negara Republik Islam pada 1 April 1979, ketika sebagian besar rakyat Iran menyetujui pembentukannya melalui sebuah referendum nasional.[76]
Ideologi Revolusi Iran 1979
Ideologi pemerintahan revolusioner ini bersifat pro-rakyat, nasionalis, dan terutama Syi'ah. Konstitusinya yang unik dilandaskan pada konsep Wilayat-i faqih, gagasan yang dicetuskan Khomeini bahwasanya umat Muslim – nyatanya setiap orang – memerlukan "tuntunan", dalam bentuk aturan atau pengawasan dari ulama atau sekumpulan ulama Islam sebagai penuntun.[77] Khomeini menjalankan tugas sebagai ulama penuntun, atau pemimpin besar, sampai tutup usia pada 1989.
Perekonomian kapitalis Iran yang tumbuh pesat ditukar dengan sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat dan bersifat islami. Banyak industri dinasionalisasi, aturan-aturan hukum dan sekolah-sekolah diislamisasi, dan pengaruh-pengaruh dari Barat dilarang.
Revolusi Islam juga berdampak besar bagi dunia. Di negara-negara non-Muslim, revolusi ini telah mengubah citra Islam, menggugah ketertarikan orang ramai pada politik dan spiritualitas Islam,[78] sekaligus menimbulkan "kekhawatiran dan ketidakpercayaan terhadap Islam" khususnya terhadap Republik Islam beserta pendirinya.[79]
Pemerintahan Khomeini (1979 – 1989)
Khomeini menjabat sebagai pemimpin revolusi atau sebagai Pemimpin Besar Iran sejak 1979 hingga mangkat pada 3 Juni 1989. Era ini didominasi konsolidasi revolusi menjadi republik teokratis di bawah kepemimpinan Khomeini, dan perang dengan Irak yang banyak makan biaya dan korban jiwa.
Konsolidasi berlangsung sampai 1982–1983,[80][81] begitu Iran terbiasa menanggulangi kehancuran ekonomi, militer, serta aparat pemerintahnya, dan protes-protes serta pemberontakan-pemberontakan golongan sekuler, golongan kiri, juga golongan muslim yang lebih tradisional—tokoh-tokoh revolusi yang sebelumnya merupakan sekutu tetapi kini menjadi saingan—secara efektif ditekan. Banyak lawan politik dihukum mati oleh rezim baru ini. Menyusul rentetan peristiwa revolusi, para gerilyawan Marksis dan golongan-golongan federalis memberontak di beberapa daerah yang termasuk dalam wilayah Khuzistan, Kurdistan dan Gonbad-e Kavus, yang menimbulkan pertempuran sengit antara para pemberontak dan angkatan bersenjata revolusioner. Pemberontakan-pemberontakan ini bermula pada April 1979 dan berlangsung hingga beberapa bulan bahkan ada yang lebih dari setahun lamanya, berbeda-beda menurut daerahnya. pemberontakan suku Kurdi, dipimpin Partai Demokrasi Kurdistan Iran, adalah yang paling beringas, berlangsung hingga 1983 dan mengakibatkan 10.000 korban berjatuhan.
Pada musim panas 1979 sebuah konstitusi baru yang memberikan kedudukan dengan kekuasaan besar kepada Khomeini sebagai ulama penuntun atau pemimpin besar[82] serta kekuasaan atas penyusunan undang-undang dan pemilihan umum kepada sebuah Mejelis Penuntun yang beranggotakan para ulama, disusun oleh sebuah Sidang para pakar untuk Konstitusi. Konstitusi baru ini disetujui melalui referendum pada Desember 1979.
Salah satu peristiwa awal dalam sejarah republik Islam Iran yang berdampak panjang adalah krisis sandera Iran. Menyusul diterimanya mantan Syah Iran masuk ke Amerika Serikat untuk menjalani pengobatan kanker, pada 4 November 1979, para pelajar Iran menyandera para personil kedutaan AS, dan melabeli kedutaan tersebut sebagai "sarang mata-mata."[83] Lima puluh dua orang sandera ditawan selama 444 hari sampai pada Januari 1981.[84] Sebuah upaya penyelamatan sandera oleh militer Amerika berakhir dengan kegagalan.[85]
Peristiwa penyanderaan itu sangat populer di Iran, ribuan orang berkumpul mendukung para penyandera, dan diduga peristiwa itu telah memperkokoh ketenaran Ayatollah Khomeini dan menghimpun barisan anti-Amerikanisme. Kala itulah Khomeini mulai menjuluki Amerika sebagai "si setan besar." Di Amerika, tempat peristiwa itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip lama hukum internasional bahwasanya para diplomat boleh saja diusir tetapi pantang disandera, peristiwa itu menciptakan gerakan arus balik anti-Iran yang besar. Hubungan antara kedua negara itu masih tetap diwarnai permusuhan dan sanksi internasional Amerika telah menyulitkan perekonomian Iran.[86]
Kala krisis politik dan sosial tengah melanda Iran, pemimpin Irak, Saddam Hussein, mencoba mengail untung dari kekacauan akibat Revolusi Islam, kelemahan militer Iran, dan penentangan revolusi terhadap pemerintah Barat. Militer Iran yang pernah begitu kuat telah bubar selama revolusi, dan dengan lengsernya Syah, Hussein berambisi untuk menempatkan dirinya pada kedudukan sebagai orang kuat baru di Timur Tengah, dan berupaya memperluas akses Irak ke Teluk Persia dengan merebut wilayah-wilayah yang sebelumnya pernah dituntut Irak dari Iran pada masa pemerintahan Syah.
Wilayah terpenting bagi Irak adalah Khuzestan yang tidak saja membangga-banggakan populasi Arabnya yang substansial, melainkan juga ladang-ladang minyaknya yang kaya. Dengan mengatasnamakan kepentingan Uni Emirat Arab secara sepihak, pulau Abu Musa dan pulau-pulau Tunb pun turut disasarnya. Dengan ambisi-ambisi sedemikian dalam benaknya, Hussein merancang sebuah penyerbuan berskala besar atas Iran, membual bahwa angkatan bersenjatanya mampu mencapai ibu kota Iran dalam tiga hari. Pada 22 September 1980, angkatan darat Irak menginvasi wilayah Iran di Khuzestan, memicu pecahnya Perang Iran–Irak. Serangan mendadak itu benar-benar mengejutkan Iran yang tengah dilanda revolusi.
Sekalipun angkatan bersenjata Saddam Hussein beberapa kali berjaya di awal, angkatan bersenjata Iran mampu menghalau angkatan darat Irak mundur kembali ke Irak menjelang 1982. Khomeini berupaya mengekspor revolusi Islamnya ke arah barat menuju Irak, khususnya bagi mayoritas kaum Arab Syiah yang tinggal di negara itu. Perang terus berlanjut enam tahun lagi sampai pada 1988, tatkala Khomeini, dengan kata-katanya sendiri, "menelan racun" dan menyepakati sebuah gencatan senjata yang diperantarai Perserikatan Bangsa Bangsa.
Berlaksa-laksa warga sipil dan personil militer Iran yang tewas tatkala Irak menggunakan senjata kimia dalam peperangan. Irak didukung secara finansial oleh Mesir, negara-negara Arab di Teluk Persia, Uni Soviet dan negara-negara anggota Pakta Warsawa, Amerika Serikat (sejak 1983), Prancis, Inggris, Jerman, Brazil, serta Republik Rakyat Tiongkok (yang juga menjual persenjataan kepada Iran).
Ada lebih dari 100.000 korban yang jatuh di pihak Iran[87] akibat senjata kimia yang dipergunakan Irak selama perang delapan tahun itu. Total korban perang di pihak Iran diperkirakan mencapai jumlah antara 500.000 sampai 1.000.000. Hampir semua perwakilan internasional terkait membenarkan bahwa Saddam mempergunakan perang kimia untuk melumpuhkan serbuan lautan manusia dari Iran; perwakilan-perwakilan ini satu suara membenarkan bahwa Iran tidak pernah mempergunakan persenjataan kimia selama perang.[88][89][90][91]
Mulai dari 19 Juli 1988 dan bertahan sekitar lima bulan pemerintah secara sistematis menghukum mati ribuan tahanan politik di seluruh Iran. Peristiwa ini umumnya dikenal sebagai eksekusi tahanan politik Iran 1988 atau Pembantaian Iran 1988. Yang menjadi target utama adalah anggota-anggota Organisasi Mujahidin Rakyat Iran, walaupun sejumlah kecil tahanan politik dari kelompok-kelompok kiri lainnya semisal Partai Tudeh Iran (Partai Komunis) juga turut menjadi korban.[92][93] Perkiraan jumlah korban tereksekusi berkisar dari 1.400[94] hingga 30.000 jiwa.[95][96]
Pemerintahan Khamenei (1989 – sekarang)
Delapan tahun pertama (1989 – 1997)
Menjelang ajalnya pada 1989, Khomeini menunjuk 25 orang sebagai anggota Majelis Reformasi Konstitusi yang mengangkat Ali Khamenei yang saat itu menjabat sebagai Presiden Iran menjadi Pemimpin Besar Iran berikutnya, dan membuat sejumlah perubahan pada konstitusi Iran.[97] Alih kekuasaan berjalan mulus menyusul kematian Khomeini pada 3 Juni 1989. Meskipun Khamenei tidak memiliki "karisma dan kewibawaan" Khomeini, ia memiliki jaringan pendukung dalam angkatan bersenjata dan yayasan-yayasan amal Iran yang secara ekonomi sangat kuat.[98] Di bawah pemerintahannya rezim Iran dikhabarkan – oleh sekurang-kurangnya satu orang pengamat – lebih tampak sebagai "sebuah oligarki ulama ... dari pada sebuah otokrasi."[98]
Yang menggantikan Khamenei sebagai presiden adalah tokoh konservatif yang pragmatis, Ali-Akbar Hashemi Rafsanjani, yang menjabat selama dua kali masa jabatan atau dua kali empat tahun dan memusatkan perhatiannya pada upaya-upaya pembangunan kembali perekonomian serta infrastruktur Iran yang hancur akibat perang sekalipun dipersulit oleh rendahnya harga minyak. Rezimnya juga berjaya mempromosikan pengendalian kelahiran, memotong pengeluaran militer, dan menormalisasi hubungan dengan negara-negara tetangga semisal Arab Saudi.[99] Selama Perang Teluk Persia pada 1991 negara ini tetap netral, membatasi aksi-aksi pengutukannya terhadap Amerika Serikat, serta mengizinkan kapal-kapal terbang dan pengungsi Irak memasuki wilayahnya.
Reformasi dan konsekuensinya (1997–2005)
Rafsanjani digantikan pada 1997 oleh tokoh reformasi Iran, Mohammad Khatami. Masa jabatannya diwarnai ketegangan antara pemerintah yang berwawasan reformasi dan kaum ulama yang vokal dan makin lama makin konservatif. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada Juli 1999 tatkala protes besar-besaran anti pemerintah pecah di jalan-jalan kota Teheran. Kericuhan berlangsung sampai sepekan lamanya sebelum polisi dan pihak sipil yang pro pemerintah akhirnya membubarkan kerumunan massa.
Khatami terpilih kembali pada Juni 2001 tetapi upaya-upaya reformasinya berulang kali dihambat oleh kalangan konservatif di parlemen. Unsur-unsur konservatif dalam pemerintah Iran mengambil tindakan-tindakan yang melemahkan gerakan reformasi, membrendel surat-surat khabar liberal dan menggugurkan calon-calon yang mendaftarkan diri untuk pemilihan anggota parlemen. Hambatan terhadap perbedaan pendapat, ditambah kegagalan Khatami mereformasi pemerintahan, mengakibatkan meluasnya sikap tidak peduli terhadap politik di kalangan generasi muda Iran.
Pada Juni 2003, protes-protes anti pemerintah yang diikuti ribuan pelajar berlangsung di Teheran.[100][101] Beberapa protes terkait HAM juga terjadi pada 2006.
^Baten, Jörg (2016). A History of the Global Economy. From 1500 to the Present. (Sejarah Ekonomi Global. Sejak 1500 sampai sekarang.). Cambridge University Press. hlm. 214. ISBN9781107507180.
^J.D. Vigne, J. Peters dan D. Helmer, First Steps of Animal Domestication, Notulen Konferensi ke-9 International Council of Archaeozoology, Durham, Agustus 2002, ISBN 1-84217-121-6
^TRINKAUS, E.; BIGLARI, F. "Middle Paleolithic Human Remains from Bisitun Cave, Iran". www.academia.edu.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^Hole, Frank (20 Juli 2004). "NEOLITHIC AGE IN IRAN". Encyclopedia Iranica. Encyclopaedia Iranica Foundation. Diakses tanggal 9 Agustus 2012.
^ ab"Iran, 8000–2000 BC". The Timeline of Art History. The Metropolitan Museum of Art. Oktober 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-03-05. Diakses tanggal 2008-08-09.
^The Archaeology of Elam: Formation and Transformation of an Ancient Iranian State - oleh D. T. Potts, Cambridge University Press, 1999-07-29 - halaman 46–47 - ISBN 0-521-56358-5 hardback
^ abThe Archaeology of Elam: Formation and Transformation of an Ancient Iranian State - oleh D. T. Potts, Cambridge University Press, 29/07/1999 - pp. 45-46 - ISBN 0-521-56358-5 hardback
^Algaze, Guillermo. 2005. The Uruk World System: The Dynamics of Expansion of Early Mesopotamian Civilization
^ ab"Iran, 1000 BC–1 AD". The Timeline of Art History. The Metropolitan Museum of Art. Oktober 2000. Diakses tanggal 2008-08-09.
^Medvedskaya, I.N. (Januari 2002). "The rise and fall of Media". International Journal of Kurdish Studies. BNET. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-13. Diakses tanggal 2008-08-10.
^Sicker, Martin (2000). The pre-Islamic Middle East. Greenwood Publishing Group. hlm. 68/69. ISBN978-0-275-96890-8.
^Norman A. Stillman The Jews of Arab Lands halaman 22 Jewish Publication Society, 1979 ISBN 0-8276-1155-2
^International Congress of Byzantine Studies Proceedings of the 21st International Congress of Byzantine Studies, London, 21–26 Agustus 2006, Jilid 1-3 halaman 29. Ashgate Pub Co, 30 sep. 2006 ISBN 0-7546-5740-X
^Helen Chapin Metz. Iran, a Country study. 1989. University of Michigan, hal. 313.
^Emory C. Bogle. Islam: Origin and Belief. University of Texas Press. 1989, hal. 145.
^Stanford Jay Shaw. History of the Ottoman Empire. Cambridge University Press. 1977, hal. 77.
^Andrew J. Newman, Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire, IB Tauris (30 Maret 2006).
^Michael P. Zirinsky; "Imperial Power and Dictatorship: Britain and the Rise of Reza Shah, 1921–1926", International Journal of Middle East Studies 24 (1992), 639–663, Cambridge University Press
^The Origins of the Iranian Revolution oleh Roger Homan. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944–), Jilid 56, No. 4 (Autumn, 1980), hal. 673–677. JSTOR2618173
^Richard W. Cottam, Nationalism in Iran, University of Pittsburgh Press, ISBN o-8229-3396-7
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ervand, 2008 hal.91
^Bakhash, Shaul, Reign of the Ayatollahs: Iran and the Islamic Revolution oleh Shaul, Bakhash, Basic Books, c1984, hal.22
Van Gorde, A. Christian. Christianity in Persia and the Status of Non-Muslims in Iran (Lexington Books; 2010) 329 halaman. Menelusuri peranan bangsa Persia di Persia dan kemudian di Iran semenjak zaman kuno, dengan tambahan pembahasan kelompok-kelompok masyarakat non-Muslim.
Sabri Ateş. "Ottoman-Iranian Borderlands: Making a Boundary, 1843–1914" Cambridge University Press, 21 Oktober 2013. ISBN 1-107-24508-7.
Askolʹd Igorevich Ivanchik, Vaxtang Ličʻeli. "Achaemenid Culture and Local Traditions in Anatolia, Southern Caucasus and Iran". BRILL, 2007.
Benjamin Walker, Persian Pageant: A Cultural History of Iran, Arya Press, Calcutta, 1950.