Dalam agama Kristen, ekskomunikasi (pengucilan) adalah hukuman yang dijatuhkan oleh Gereja kepada umatnya yang dianggap melakukan pelanggaran berat. Anggota yang dikenai ekskomunikasi dilarang mengikuti perjamuan kudus dan (komuni) sampai ia bersedia menunjukkan penyesalan dengan cara bertobat.
Gereja Katolik
Ekskomunikasi adalah hukuman terberat yang dijatuhkan Gereja kepada seseorang yang melakukan dosa tertentu yang sangat berat.[1] Seorang Pujangga Gereja ternama, SantoThomas Aquinas menjelaskan mengenai salah satu kerugian seseorang yang berada dalam sanksi ekskomunikasi:[2]
Orang yang di-ekskomunikasi, karena mereka berada di luar Gereja, kehilangan keuntungan-keuntungan yang terkandung di dalamnya. Ada pula bahaya tambahan: doa-doa Gereja membuat Iblis kurang berdaya untuk mencobai kita; maka ketika seseorang tidak lagi termasuk di dalam Gereja, ia akan dengan mudah dikalahkan oleh Iblis. Demikianlah yang terjadi di Gereja perdana, ketika seseorang di-ekskomunikasi, maka umumnya ia mengalami penyiksaan secara fisik oleh Iblis.
Tujuan utama ekskomunikasi sebenarnya bukan menghukum, tetapi menyembuhkan; pelanggar peraturan diharapkan memeriksa, memperbaiki diri, dan bertobat melalui SakramenRekonsiliasi yang dilayankan oleh otoritas Gereja yang berwenang. Normalnya sanksi ekskomunikasi hanya dikenakan ketika usaha persuasi telah gagal, peringatan atau pemberitahuan secara damai tidak berhasil; sehingga diperlukan hukuman secara publik, mengeluarkan pelanggar peraturan dari komunitas Gereja, untuk melindungi umat agar tidak bingung dan tersesat akibat pengaruh dari orang yang melanggar tersebut. Selama ini biasa dikenakan atas pelanggaran berat seperti menyebarkan ajaran sesat, tidak patuh kepada otoritas Magisterium Gereja, dan lainnya.[2]
Sesuai Kitab Hukum Kanonik (KHK) #1314, sanksi ekskomunikasi dikenakan melalui salah satu dari kedua cara berikut:[3]
Masih harus diputuskan (ferendae sententiae) Orang yang melakukan pelanggaran terkena sanksi hanya setelah dijatuhkan dengan suatu dekret oleh otoritasGereja (uskup, patriark, atau paus).
Terkena secara langsung atau otomatis (latae sententiae) Orang yang melakukan pelanggaran terkena sanksi secara otomatis setelah melakukan pelanggaran. Contohnya adalah aborsi langsung yang dikehendaki baik sebagai tujuan maupun sarana, pelaku dan semua pihak yang terlibat terkena sanksi ekskomunikasi secara otomatis.[4][5]
Beberapa hal, selain aborsi, yang terkena sanksi ekskomunikasi otomatis misalnya:[3]
Membuang Hosti Kudus, membawa atau menyimpannya dengan maksud sakrilegi (KHK #1367)
Kekerasan fisik terhadap paus (KHK #1370)
Imam yang memberikan absolusi terhadap rekan berdosa—kecuali dalam bahaya maut (KHK #1378)
Uskup yang tanpa mandat kepausan mentahbiskan seseorang menjadi uskup—sanksi juga dikenakan kepada yang ditahbiskan (KHK #1382)
Seseorang yang terkena sanksi ekskomunikasi dilarang menerima sakramen-sakramen dan pelaksanaan kegiatan Gereja tertentu. Pengampunan atau pelepasan sanksi ekskomunikasi hanya dapat diberikan oleh paus, uskup setempat, atau seorang pastor yang diberikan kuasa untuk itu. Tetapi jika orang yang terkena sanksi ekskomunikasi berada dalam bahaya kematian, semua pastor dapat melepaskan sanksi ekskomunikasi baginya.[1][5]
Gereja Katolik Timur
Dalam Gereja Katolik Ritus Timur, ekskomunikasi dikenakan melalui suatu dekret atau keputusan; tidak ada sanksi ekskomunikasi otomatis (latae sententiae). Namun menurut Kitab Hukum Kanonik Gereja Timur (Codex Canonum Ecclesiarum Orientalum) #1431 dan #1434, ada klasifikasi atas ekskomunikasi yang dikenakan:[6]
Ekskomunikasi minor Seseorang yang terkena ekskomunikasi minor tidak dapat menerima Hosti Kudus, dapat juga tidak diikutsertakan dalam Liturgi Suci; dilarang masuk ke dalam gereja (gedung) jika ibadah suci sedang diselenggarakan. Jika diperlukan, diberlakukan jangka waktu penerapannya.
Ekskomunikasi mayor Seseorang yang terkena ekskomunikasi mayor dilarang menerima ataupun melayankan semua sakramen, sakramentali, doa ofisi, dan segala bentuk pelayanan gerejani; dilarang berpartisipasi dalam Liturgi Suci maupun ibadah suci. Bahkan semua fasilitas dan hak istimewanya dicabut, tidak dapat menerima uang pensiun atau pembayaran terkait jabatannya, dan juga kehilangan hak untuk memilih ataupun dipilih.
^ abYohanes Paulus II Uskup (1983). Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) - Edisi Resmi Bahasa Indonesia (edisi ke-2006). Konferensi Waligereja Indonesia.