Meterai Pengakuan (Gereja Katolik)

Dalam Gereja Katolik, Meterai Pengakuan (bahasa Inggris: Seal of Confession) adalah kewajiban mutlak semua imam untuk tidak mengungkapkan apa pun yang mereka ketahui dari para peniten (orang yang mengaku dosa) selama berlangsungnya Sakramen Tobat.

Sejarah

Gratianus, yang menyusun maklumat-maklumat Konsili Ekumenis Katolik terdahulu dan prinsip-prinsip hukum gereja, mempublikasikan Decretum Gratiani sekitar tahun 1151. Buku teks hukum tersebut mencakup deklarasi hukum mengenai meterai pengakuan: "Baiklah imam yang berani mengungkapkan dosa-dosa penitennya diturunkan dari jabatannya." Gratianus selanjutnya mengatakan bahwa pelanggar hukum ini semestinya dijadikan seorang pengelana yang tidak terhormat seumur hidupnya.[1]

Kanon 21 dari Konsili Lateran IV (1215), yang mengikat seluruh jemaat, menetapkan kewajiban kerahasiaan ini dengan kata-kata berikut:

Baiklah imam sungguh berhati-hati agar ia tidak dengan perkataan atau tanda ataupun dengan cara apapun mengkhianati orang yang berdosa: tetapi apabila ia memerlukan nasihat bijaksana hendaknya ia dengan hati-hati mengupayakannya tanpa ada penyebutan seorang pribadi. Sebab barangsiapa berani mengungkapkan suatu dosa yang diungkapkan kepadanya dalam tribunal pengakuan, kami menetapkan bahwa ia tidak akan sekadar diturunkan dari jabatan keimaman, ia juga akan dimasukkan ke dalam penahanan suatu biara untuk melakukan penitensi terus-menerus.[2]

Baik kanon tersebut ataupun hukum dari Decretum tidak dimaksudkan untuk memberlakukan kerahasiaan pengakuan untuk pertama kalinya.[butuh rujukan] William Lyndwood, kanonis Inggris dari abad ke-15, berbicara tentang dua alasan mengapa seorang imam terikat untuk menjaga rahasia suatu pengakuan: yang pertama-tama adalah disebabkan oleh hakikat sakramen tersebut yang hampir-hampir (kuasi) merupakan esensi sakramen tersebut untuk menjaga rahasia pengakuan. (lihat pula: Jos. Mascardus, De probationibus, Frankfort, 1703, arg. 378.)[butuh klarifikasi]

Praktik

Menurut hukum kanonik Katolik Roma, "Rahasia sakramental tidak dapat diganggu gugat; oleh karenanya benar-benar dilarang bagi seorang bapa pengakuan dengan cara apapun mengkhianati seorang peniten dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain dan untuk alasan apapun."[3] Bapa pengakuan (imam yang mendengar pengakuan peniten) adalah selalu seorang imam tertahbis, karena dalam Gereja Katolik hanya imam-imam tertahbis yang dapat memberikan absolusi atas dosa; pengakuan dosa awam tidak diakui. Setiap umat awam yang bukan karena kehendaknya mendengar suatu pengakuan (misalnya seorang penerjemah) juga terikat oleh meterai ini.[4]

Para imam tidak dapat mengungkapkan apa saja yang mereka ketahui selama pengakuan dosa kepada siapa pun, meski mereka berada di bawah ancaman kematian mereka sendiri ataupun kematian orang lain. Seorang imam yang melanggar kerahasiaan sakramental akan terkena ekskomunikasi latae sententiae (otomatis), yang hanya dapat dilepaskan oleh Takhta Suci—pada kenyataannya oleh Sri Paus sendiri.[5] Pada zaman Modern Awal, beberapa kasuis (Thomas Sanchez, dll.) menjustifikasikan reservasi mental, suatu bentuk pengelabuan yang tidak melibatkan pendustaan secara langsung, dalam keadaan tertentu seperti ketika suatu tindakan diperlukan untuk melindungi kerahasiaan di bawah meterai pengakuan. Kasuis lainnya memandang sebagai "wilayah abu-abu" ketidakjelasan seputar apakah meterai ini dilanggar atau tidak.[6] Seorang imam yang mengatakan "Saya tidak tahu" karenanya harus dipahami sebagai "Saya tidak tahu dengan pengetahuan di luar Meterai Pengakuan"; St. Thomas Aquinas lebih jauh lagi mengatakan bahwa imam mengetahui pengakuan dosa tersebut "bukan sebagai seorang manusia, tetapi sebagaimana Allah mengetahuinya".[7] Terdapat kasus-kasus tertentu di mana bagian dari suatu pengakuan dapat diungkapkan kepada orang lain, tetapi selalu dengan izin peniten dan selalu tanpa sama sekali mengungkapkan identitas sang peniten.

Hal ini terjadi, umpamanya, pada pelanggaran-pelanggaran yang lebih serius, karena beberapa pelanggaran yang mengakibatkan ekskomunikasi hanya dapat dicabut oleh Takhta Suci dan izin mereka harus didapatkan untuk memberikan absolusi.[butuh rujukan] Dalam kasus seperti ini, imam yang mendengarkan pengakuan meminta izin peniten untuk menulis suatu petisi, dengan menggunakan nama samaran dan berisi informasi minimum yang mutlak diperlukan, kepada uskupnya atau kepada Penitensiaria Apostolik, kardinal yang didelegasikan oleh Sri Paus untuk menangani permintaan demikian. Permintaan tersebut dapat diteruskan, disegel, melalui delegasi apostolik atau nuncio di suatu negara (duta besar Sri Paus), yang akan dijaga oleh privilese suatu kantong diplomatik.[butuh rujukan] Beberapa pelanggaran sedemikian yang memperoleh absolusi melalui Takhta Suci misalnya: peniruan identitas seorang imam, penodaan terhadap Ekaristi, pemberian absolusi kepada rekan berdosa (misalnya, seorang imam menjalin hubungan terlarang dan memberikan absolusi kepada kekasihnya sendiri), penyerangan terhadap Sri Paus, heresi atau bidah, dan keterlibatan dalam aborsi.[8]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Secunda pars, dist. VI, c. II
  2. ^ Hefele-Leclercq, Histoire des Conciles at the year 1215; Mansi or Harduin, "Coll. conciliorum"
  3. ^ KHK 983 §1
  4. ^ KHK 983 §2
  5. ^ KHK 1388 §1
  6. ^ For examples, see here [1].
  7. ^ Supp. 11 I ad 2.
  8. ^ Seven Offenses Bringing Automatic Excommunication

Sumber