PenyesalanDalam teologi Kristen, penyesalan atau sesal adalah perasaan sedih atau kesusahan dalam hati seseorang karena dosa-dosa yang dilakukannya, dengan disertai keinginan untuk tidak melakukannya lagi.[1] Kata Inggris contrition atau contriteness berasal dari kata Latin contritus 'dilumatkan hingga berkeping-keping', yang bermakna diremukkan oleh rasa bersalah.[2] Dalam bahasa Inggris, kata contrition Diarsipkan 2017-03-27 di Wayback Machine. atau remorse[pranala nonaktif permanen] sering diidentikkan dengan repentance Diarsipkan 2017-03-27 di Wayback Machine. yang umumnya diterjemahkan menjadi pertobatan dalam bahasa Indonesia. Sebagai suatu konsep sentral dalam sebagian besar Kekristenan, penyesalan dipandang sebagai langkah pertama, melalui Kristus, menuju rekonsiliasi dengan Allah. Konsep ini mencakup rasa sesal seseorang atas semua dosanya, suatu hasrat akan Allah daripada dosa, serta iman dalam penebusan Kristus di kayu salib dan kecukupannya untuk keselamatan (lih. regenerasi dan ordo salutis). Penyesalan banyak didapati pada berbagai bagian Alkitab, misalnya Yehezkiel 33:11, Mazmur 6:7dst., Mazmur 51:1-12, Lukas 13:5, Lukas 18:9-13, dan perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Dalam Gereja Katolik
HakikatKonsili Trente mendefinisikan penyesalan sebagai "dukacita jiwa, dan suatu kebencian atas dosa yang dilakukan, dengan suatu niat tegas untuk tidak berbuat dosa di kemudian hari". Kebencian akan dosa ini dapat timbul karena beragam motif, oleh beragam sebab.[3] Penyesalan dalam batin disertai dengan suatu kepiluan dan rasa sakit yang bermanfaat, yang para Bapa Gereja namakan animi cruciatus (kesusahan roh) dan compunctio cordis (penyesalan hati).[4] Kata penyesalan mengimplikasikan pemecahan atau penghancuran sesuatu yang telah mengeras. St. Thomas Aquinas dalam Komentar tentang Sententiarum karenanya menjelaskan penggunaan khususnya: "Karena disyaratkan untuk remisi dosa, bahwa seseorang mencampakkan seluruhnya kesukaan berdosa yang mengimplikasikan semacam kesinambungan dan kekukuhan dalam budinya, tindakan yang memperoleh pengampunan ini diistilahkan dengan kiasan 'penyesalan'".[5] Kesedihan atau dukacita jiwa ini bukan sekadar kesedihan spekulatif atas kesalahan yang dilakukan, sesalan hati nurani, ataupun suatu tekad untuk melakukan perubahan, namun merupakan suatu rasa sakit yang nyata dan kegetiran jiwa yang disertai dengan suatu rasa benci dan kengerian atas dosa yang dilakukan. Perasaan benci akan dosa tersebut menyebabkan seseorang bertekad untuk tidak berbuat dosa lagi. Para penulis Kristen awal, ketika berbicara mengenai hakikat penyesalan terkadang menegaskan pada perasaan kesedihan, terkadang kejijikan akan kesalahan yang dilakukan. St. Agustinus menyertakan keduanya ketika menulis: "Compunctus corde non solet dici nisi stimulus peccatorum in dolore pœnitendi".[5] Hampir semua teolog abad pertengahan berpandangan bahwa penyesalan utamanya didasarkan pada kejijikan atau kebencian akan dosa. Kebencian tersebut mengandaikan seseorang memiliki suatu pengetahuan mengenai kengerian dosa, dan pengetahuan ini menghasilkan kesedihan dan rasa sakit pada jiwa. "Suatu dosa dilakukan oleh persetujuan [kehendak], sehingga tertutupi oleh argumen kehendak rasional; maka penyesalan pada dasarnya adalah kesedihan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kesedihan memiliki makna ganda--argumen kehendak dan perasaan yang timbul; yang pertama disebutkan merupakan esensi dari penyesalan, yang terakhir disebutkan merupakan dampaknya".[5] Kebutuhan mendasarAjaran atau doktrin resmi Gereja, yang disampaikan dalam Konsili Trente, menyatakan bahwa penyesalan senantiasa diperlukan seseorang untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya. Penyesalan merupakan kondisi pertama dan keharusan untuk beroleh pengampunan. Seseorang dimungkinkan untuk menerima pengampunan ketika pengakuan dosa sakramental tidak memungkinkan, namun tidak mungkin seseorang dapat beroleh pengampunan atas dosanya tanpa adanya penyesalan.[6] Menurut Catholic Encyclopedia, para penulis Katolik selalu menekankan bahwa kebutuhan atau keharusan tersebut timbul: (a) dari hakikat penyesalan itu sendiri serta (b) dari perintah positif Allah. Dari segi hakikat penyesalan tersebut, mereka menekankan bahwa perkataan Kristus dalam Lukas 13:5 adalah mutlak: "... jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa ...", dan dari para Bapa Gereja mereka mengutip kalimat seperti berikut ini dari St. Siprianus, De Lapsis no.32: "Lakukan pertobatan sepenuhnya, berikan bukti atas dukacita yang berasal dari suatu jiwa yang berduka dan meratap ... mereka yang menyingkirkan penyesalan atas dosa, menutup pintu menuju pendamaian." Para doktor Skolastik meletakkan dasar dari prinsip pendamaian atau pemulihan, "Tidak ada seorang pun dapat memulai suatu kehidupan baru tanpa bertobat dari kehidupannya yang lama" (St. Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, dist. xvi, Pt. II, art. 1, Q. ii, juga ex professo, ibid., Pt. I, art. I, Q. iii), dan ketika ditanya apa alasannya, mereka menunjukkan ketidaksesuaian absolut berpaling kepada Allah dengan sekaligus melekat kepada dosa, yang berarti memusuhi hukum Allah. Konsili Trente, sadar akan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad, mendefinisikan (Sesi XlV. ch. iv de Contritione) bahwa "penyesalan senantiasa diperlukan untuk memperoleh pengampunan dosa". Perintah positif Allah juga memperlihatkan kejelasan dasar-dasar pemikiran ini. St. Yohanes Pembaptis menyerukan agar bersiap-siap untuk kedatangan Mesias: "Luruskanlah jalan bagi-Nya"; dan, akibatnya "maka datanglah [mereka] kepadanya ... sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan". Pewartaan pertama Yesus dideskripsikan dalam perkataan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!"; dan para Rasul, saat berkhotbah kepada orang-orang, memperingatkan mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis ... untuk pengampunan dosamu" (Kisah 2:38). Para Bapa Gereja menindaklanjuti dengan nasihat-nasihat serupa (Klemens dalam P.G., I, 341; Hermas iii P.G., II, 894; Tertulianus dalam P.L., II).[7] Penyesalan sempurna dan tidak sempurnaApabila kebencian atau kejijikan akan dosa timbul dari kasih akan Allah, yang telah disakiti secara menyedihkan, maka penyesalan sedemikian disebut "sempurna". Sementara jika timbul dari motif lainnya, seperti kehilangan surga, takut akan neraka, ataupun kengerian dari rasa bersalah, maka disebut "penyesalan tidak sempurna" atau 'atrisi' (bahasa Inggris: attrition, bahasa Latin: attritio).[3][8] Penyesalan sempurnaPenyesalan sempurna (dari kata Latin contero "menggiling, menghancurkan, menumbuk menjadi potongan-potongan"; juga disebut penyesalan kasih) adalah suatu penyesalan atas dosa yang digerakkan oleh iman dan kasih akan Allah.[9] Penyesalan semacam ini dikontraskan dengan penyesalan tidak sempurna, yang timbul dari suatu motif yang kurang murni seperti norma moral umum ataupun takut akan Neraka.[9] Kedua macam penyesalan tersebut dibedakan oleh motif atau alasan seseorang untuk bertobat, bukan kekuatan emosi atau perasaan seseorang. Dapat saja terjadi bahwa penyesalan sempurna maupun tidak sempurna dialami secara bersamaan. Dalam penyesalan sempurna, motifnya didasarkan pada kebaikan Allah sendiri dan bukan sekadar kebaikan-Nya pada orang berdosa atau pada perikemanusiaan. Tidak ada cara untuk mengetahui dengan kepastian mutlak apakah seseorang telah melakukan suatu tindakan penyesalan yang sempurna, tetapi yang dibutuhkan adalah patokan atau standar dari semua tindakan manusia, yakni kepastian moral. Apabila seseorang mendaraskan suatu doa tobat dengan niat yang tulus, maka sangat mungkin bahwa ia memiliki kepastian moral.[10] Penyesalan sempurna menghapus kebersalahan dan hukuman kekal yang disebabkan oleh dosa berat, bahkan sebelum peniten menerima absolusi dalam Sakramen Tobat, asalkan orang tersebut memiliki suatu ketetapan hati yang kuat untuk melakukan pengakuan dosa sakramental sesegera mungkin.[11] Salah satu contoh dari ajaran teologis tersebut diperlihatkan pada Kitab Hukum Kanonik dalam Kanon 916: "Seseorang yang sadar berdosa berat jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, kecuali terdapat suatu alasan berat serta tidak ada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat kewajibannya untuk membuat suatu tindakan penyesalan sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin."[12] Dalam kasus orang yang terancam bahaya kematian, sementara pengakuan dosa sakramental tidak memungkinkan untuk dilakukan, keinginan yang kuat untuk melakukan pengakuan sakramental, dengan sesegera mungkin seandainya ia bertahan hidup, juga menghapuskan kebersalahan dan hukuman kekal yang diakibatkan oleh dosa berat.[11] Penyesalan tidak sempurnaMenurut Mazmur 111:10, "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN." Dalam Filipi 2:12, Rasul Paulus mendesak umat Kristen untuk mengerjakan "keselamatan [kita] dengan takut dan gentar". Berbeda dengan penyesalan sempurna, penyesalan tidak sempurna (juga dikenal sebagai attritio) adalah suatu keinginan untuk tidak berbuat dosa lagi karena suatu alasan selain kasih akan Allah.[9] Attritio tidak menghasilkan pembenaran, namun menggerakkan jiwa untuk menerima rahmat ilahi di dalam Sakramen Rekonsiliasi yang tersedia dalam Gereja Katolik.[9] Konsili Trente (1545-1563) menyatakan bahwa, kendati dimotivasi oleh alasan-alasan seperti "pertimbangan kebobrokan dosa ataupun dari rasa takut akan Neraka dan hukuman", penyesalan tidak sempurna adalah juga suatu anugerah dari Allah. "Barang siapa menyatakan bahwa [penyesalan tidak sempurna] ... adalah bukan suatu dukacita yang benar dan menguntungkan; bahwa penyesalan tersebut tidak mempersiapkan jiwa untuk menerima rahmat, tetapi menjadikannya seorang munafik, bahkan seorang pendosa yang lebih besar, biarlah ia menjadi Anatema."[3] Hal yang juga menjadi bahan pertanyaan terkait penyesalan tidak sempurna adalah ketika seseorang yang melakukan suatu pengakuan sakramental atas dosa berat yang ia lakukan, apakah penyesalan tidak sempurna bersamaan dengan sakramen tersebut cukup untuk memperoleh pembenaran kendati ia masih memiliki dosa yang belum ia sadari? Jawabannya secara umum adalah ya.[3] Ayat-ayat dalam Kitab Suci yang digunakan untuk mendukung penyesalan tidak sempurna misalnya Amsal 13:13, Amsal 14:26-27, Amsal 19:23, Matius 10:28, dan Filipi 2:12. Kualitas-kualitasSesuai dengan tradisi Katolik, baik penyesalan sempurna maupun tidak sempurna harus bersifat batiniah, adikodrati, universal, dan absolut. [3] BatiniahPenyesalan harus merupakan dukacita atau kesedihan yang nyata dan tulus dari dalam hati.[5] AdikodratiSelaras dengan ajaran Katolik, penyesalan semestinya digerakkan oleh rahmat Allah dan dibangkitkan oleh alasan-alasan yang timbul dari iman, bukan sekadar alasan-alasan kodrati seperti hilangnya kehormatan, keberuntungan, dan sebagainya (Chemnitz, Exam. Concil. ., Pt. II, De Poenit.). Dalam Perjanjian Lama, adalah Allah yang memberikan "hati yang baru" dan yang menaruh "roh yang baru" pada anak-anak Israel (Yehezkiel 36:25-29); dan dengan hati yang baru Pemazmur dalam Mazmur 51 berdoa Miserere ("Kasihanilah"). Petrus mengatakan kepada orang-orang yang mendengarkan khotbahnya pada hari-hari pertama setelah Pentakosta bahwa Allah Bapa telah membangkitkan Yesus "supaya Israel dapat bertobat" (Kisah 5:30 dst.). Ketika menasihati Timotius, Paulus menekankan pada penanganan yang lembut dan ramah untuk menghadapi orang-orang yang menolak kebenaran, "sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran" (2 Timotius 2:24-25). Pada zaman heresi Pelagianisme, Agustinus dari Hippo menekankan pada aspek adikodrati dari penyesalan ketika ia menulis: "Bahwa kita berpaling dari Allah adalah perbuatan kita, dan hal ini adalah kehendak yang buruk; tetapi kita tidak mampu berpaling kembali kepada Allah kecuali Dia membangkitkan dan menolong kita, dan hal ini adalah kehendak yang baik." Beberapa doktor Skolastik, khususnya Scotus, Kayetanus, dan kemudian Suárez (De Poenit., Disp. iii, sect. vi), mengajukan pertanyaan spekulatif apakah upaya manusia semata dapat menimbulkan suatu tindakan penyesalan yang sejati, tetapi tidak ada teolog pernah mengajarkan bahwa menuju pengampunan dosa dalam ekonomi Allah saat ini dapat diilhami oleh alasan-alasan kodrati semata. Sebaliknya, kesemua doktor tersebut menekankan pada kebutuhan mutlak rahmat bagi penyesalan yang mengarah menuju pengampunan (Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, dist. xiv, Part I, art. II, Q. iii; juga dist. xvii, Part I, art. I, Q. iii; cf. Thomas, In Lib. Sent. IV). Sejalan dengan ajaran dari Kitab Suci dan para doktor tersebut, Konsili Trente menetapkan: "Barang siapa mengatakan bahwa tanpa inspirasi dari Roh Kudus dan tanpa bantuan-Nya seseorang dapat bertobat dengan cara yang semestinya untuk memperoleh rahmat pembenaran, biarlah ia menjadi anatema." UniversalPenyesalan sejati harus mencakup semua dosa berat yang dilakukan, dan bukan sekadar beberapa dosa yang dipilih demi kenyamanan.[6] Doktrin ini terikat erat dengan ajaran Katolik mengenai rahmat dan pertobatan. Tidak ada pengampunan tanpa dukacita jiwa, dan pengampunan selalu disertai oleh rahmat Allah; rahmat tidak dapat berdampingan dalam koeksistensi dengan dosa; dan, sebagai akibatnya, satu dosa tidak dapat diampuni sementara dosa-dosa lainnya masih ada tanpa adanya penyesalan. Nabi Yoel mendesak orang-orang untuk berbalik kepada Allah dengan segenap hati mereka (Yoel 2:12-19), dan Kristus mengatakan kepada sang ahli hukum bahwa orang perlu mengasihi Allah dengan segenap budinya, segenap kekuatannya (Lukas 10:27). Yehezkiel menegaskan bahwa orang harus berbalik dari cara hidupnya yang jahat apabila ia ingin hidup (Yehezkiel 33:11). Para Skolastik melakukan penelaahan ketika mereka ditanya apakah harus ada suatu tindakan penyesalan khusus untuk setiap dosa serius, dan apakah, agar dapat diampuni, orang harus ingat saat-saat terjadinya semua pelanggaran yang memilukan tersebut. Kedua pertanyaan itu dijawab negatif oleh mereka, menilai bahwa suatu tindakan kesedihan yang secara implisit mencakup semua dosa seseorang seharusnya sudah memadai. AbsolutMenurut Markus 8:35-37, Yesus menegur murid-murid-Nya: "Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" Penyesalan atas dosa harus didahulukan di atas kepentingan duniawi yang bersifat sementara. Ketika utusan-utusan dari Ratu Eudoxia mengancam Yohanes Krisostomus, ia menanggapi: "Pergilah beritahukan sang putri bahwa Krisostomus hanya takut akan satu hal, dan hal itu adalah dosa."[6] Sakramen TobatPenyesalan bukan suatu kebajikan moral semata, Konsili Trente menetapkan bahwa penyesalan merupakan suatu "bagian", bahkan lebih, quasi materia, dalam Sakramen Tobat. "(Kuasi) materi sakramen ini terdiri dari tindakan-tindakan peniten itu sendiri, yaitu penyesalan, pengakuan, dan penyilihan. Hal-hal ini, karena melalui institusi Allah diperlukan dalam diri peniten bagi keutuhan sakramen tersebut serta bagi pengampunan dosa yang sepenuhnya dan sempurna, untuk alasan ini dinamakan bagian-bagian dari pertobatan." Konsekuensi dari dekret Trente itu membuat para teolog mengajarkan bahwa kesedihan karena dosa harus sakramental dalam arti tertentu. La Croix melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kesedihan harus dibangkitkan dengan suatu pemikiran untuk melakukan pengakuan, tetapi ini tampaknya menuntut terlalu banyak; kebanyakan teolog sejalan dengan pandangan Schieler-Heuser (Teori dan Praktik Pengakuan, hlm. 113) bahwa adalah cukup apabila kesedihan tersebut terjadi seiring dengan pengakuan melalui cara apapun dan disebut demikian. Oleh karena itu, pedoman dalam Rituale Romanum menuliskan: "Setelah bapa pengakuan mendengarkan pengakuan, ia harus berupaya dengan nasihat sungguh-sungguh untuk menggerakkan peniten menuju penyesalan" (Schieler-Heuser, op. cit., p. 111 sqq.). Penyesalan sempurna tanpa Sakramen TobatMengenai motif kasih akan Allah yang terkandung dalam penyesalan, Konsili Trente menyatakan: "Konsili lebih lanjut mengajarkan bahwa, meski penyesalan terkadang dijadikan sempurna oleh kasih dan dapat mendamaikan orang dengan Allah sebelum penerimaan aktual sakramen ini, tetap saja rekonsiliasi tidak untuk dianggap berasal dari penyesalan dengan melepaskannya dari keinginan atas sakramen yang meliputinya ini." Proposisi Baius berikut ini (no. 32) dikutuk oleh Paus Gregorius XIII: "Kasih yang merupakan kepenuhan dari hukum tidaklah selalu terhubung dengan pengampunan dosa." Penyesalan sempurna, sekaligus dengan keinginan untuk menerima Sakramen Tobat, memulihkan orang berdosa ke dalam keadaan rahmat. Hal ini jelas merupakan ajaran para doktor Skolastik (Petrus Lombardus dalam P.L., CXCII, 885; St. Thomas, dalam Lib. Sent. IV, ibid.; St. Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, ibid.). Ajaran mereka ini bersumber dari Tulisan Suci. Kitab Suci menyebutkan kasih dan cinta akan Allah sebagai kuasa untuk menghapus dosa: "Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku" (Yohanes 14:21); "Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih" (Lukas 7:36-50). Karena laku tobat yang sempurna mengimplikasikan kasih akan Allah yang sama ini, para teolog menganggap penyesalan sempurna disebabkan oleh apa yang menurut Kitab Suci terkandung dalam kasih. Hal ini dipandang tidak aneh karena dalam 'Perjanjian Lama' terdapat beberapa cara untuk memulihkan kasih karunia atau rahmat Allah setelah manusia berbuat dosa. Allah tidak menghendaki "kematian orang fasik", melainkan agar ia bertobat dari kelakuannya dan hidup (Yehezkiel 33:11). Pembalikan sepenuhnya kepada Allah ini bersesuaian dengan gagasan tentang penyesalan sempurna; dan apabila, di bawah Hukum Lama, kasih mencukupi untuk pengampunan orang berdosa, maka kedatangan Kristus dan institusi Sakramen Tobat dipandang tidak meningkatkan kesulitan untuk memperoleh pengampunan. Para Bapa Gereja awal secara jelas mengajarkan keampuhan atau daya guna kesedihan untuk pengampunan dosa (Klemens dalam P.G., I, 341 sqq.; dan Hermas dalam P.G., II, 894 sqq.; Krisostomus dalam P.G., XLIX, 285 sqq.) dan hal ini utamanya terlihat dalam semua komentar tentang Lukas 7:47. Bede yang Mulia menulis (P.L., XCII, 425): "Adakah cinta kasih tanpa api; adakah dosa tanpa karat? Maka dikatakan, dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih, bagaikan mengatakan, ia telah sepenuhnya membakar habis karat dosa, karena ia dikobarkan oleh api cinta kasih." Para teolog menelaah dengan banyak belajar mengenai jenis cinta yang membenarkan seiring dengan Sakramen Tobat. Semuanya sepakat bahwa cinta yang murni dan tanpa mementingkan diri (amor benevolentiæ, amor amicitiæ) mencukupi; bila terdapat cinta yang egois dan mementingkan diri (amor concupiscentia), para teolog meyakini bahwa cinta yang murni egois tidak mencukupi. Apabila ditelusuri lebih lanjut apa yang harus menjadi alasan sah dalam cinta yang sempurna, tampaknya tidak ada kebulatan suara yang riil di antara para doktor tersebut. Beberapa mengatakan bahwa bila terdapat cinta yang sempurna, maka Allah dicintai semata-mata karena kebaikan-Nya yang luar biasa besar; yang lainnya, dengan mendasarkan argumen mereka pada Kitab Suci, berpikir bahwa cinta dari rasa syukur (amor gratitudinis) cukup memadai, karena kemurahan hati Allah dan cinta-Nya kepada manusia dipersatukan secara erat, bahkan tidak terpisahkan dari kesempurnaan Ilahi-Nya (Hurter, Theol. Dog., Thesis ccxlv, Scholion iii, no 3; Schieler-Heuser, op. cit., pp. 77 sq.). Kewajiban membangkitkan tindakan penyesalanPada hakikatnya, orang berdosa harus bertobat sebelum ia dapat didamaikan atau melakukan rekonsiliasi dengan Allah (Konsili Trente, Sesi XIV, ch. iv, de Contritione, Fuit quovis tempore, dll.). Oleh karena itu, orang yang telah jatuh ke dalam dosa berat perlu membuat suatu tindakan penyesalan sempurna ataupun melengkapi penyesalan tidak sempurna dengan menerima Sakramen Tobat; jika tidak demikian maka rekonsiliasi dengan Allah dipandang mustahil. Kewajiban tersebut bersifat mendesak dalam rasa sakit akibat dosa ketika terdapat ancaman maut atau bahaya kematian. Dengan demikian, dalam bahaya kematian, apabila tidak terdapat akses kepada seorang imam yang dapat melayankan sakramen tersebut, orang berdosa harus melakukan upaya untuk membangkitkan suatu tindakan penyesalan sempurna. Kewajiban tersebut juga mendesak saat setiap kali orang perlu melakukan suatu tindakan yang memerlukan keadaan rahmat dan Sakramen Tobat tidak dapat diakses. Para teolog bergumul dengan pertanyaan seputar berapa lama seseorang dapat tetap berada dalam keadaan dosa, tanpa melakukan upaya apapun untuk membangkitkan suatu tindakan penyesalan sempurna. Mereka tampaknya sepakat bahwa pengabaian sedemikian tentu telah terjadi beberapa waktu lamanya, tetapi mereka mendapati kesulitan untuk menentukan faktor yang membentuk suatu kurun waktu (Schieler-Hauser, op. cit., pp. 83 sqq.). Peraturan yang disusun oleh St. Alfonsus Liguori mungkin membantu memberikan solusinya: "Tugas membuat suatu tindakan penyesalan bersifat mendesak ketika seseorang diharuskan untuk membuat suatu tindakan kasih" (Sabetti, Theologia Moralis: de necess. contritionis, no. 731; Ballerine, Opus Morale: de contritione). Dalam teologi Kristen lainnya
Pengkhotbah Puritan Thomas Hooker mendefinisikan penyesalan sebagai: "..., tiada yang lain, yaitu, apabila pendosa ketika seorang berdosa oleh pandangan akan dosa dan kekejian dosa, serta hukuman karena hal yang sama, dijadikan dapat merasakan dosa, dan dijadikan membencinya, serta membuat hatinya terlepas dari hal yang sama..."[14] Rektor Anglo-Katolik dari Gereja Episkopal St. Markus di Philadelphia, Alfred Garnett Mortimer, mengemukakan bahwa "perasaan" bukan merupakan suatu tanda yang memadai untuk mengukur penyesalan. Tanda-tanda kondisi sejati penyesalan seseorang adalah kesiapannya untuk melakukan pengakuan dosa, kesiapannya untuk mengubah hidup dan menghindari godaan, serta kesiapannya untuk mengampuni kesalahan orang-orang lain.[15] Lihat pula
Referensi
Sumber
Pranala luar
|