Kitab Hukum Kanonik saat ini merupakan kodifikasi komprehensif kedua dari hukum non-liturgi Gereja Latin, menggantikan Kitab Hukum Pio-Benediktin yang telah diumumkan secara resmi oleh Benediktus XV pada tahun 1917.[4][5]
Pontificia Commissio Codici iuris canonici recognoscendo, yang didirikan pada tahun 1963, melanjutkan pekerjaan merevisi Kitab Hukum Kanonik melalui masa kepausan dari Paus Paulus VI, menyelesaikan pekerjaan pada tahun-tahun pertama kepausan dari Paus Yohanes Paulus II.
Sacræ disciplinæ leges
Pada tanggal 25 Januari 1983,[2] melalui Konstitusi ApostolikSacrae disciplinae leges (bahasa Indonesia: Undang-Undang Disiplin Suci),[6]Paus Yohanes Paulus II mengumumkan dan mengeluarkan Kitab Hukum Kanonik 1983 untuk semua anggota Gereja Katolik yang tergabung dalam Gereja Latin. Konstitusi apostolik tersebut meresmikan Kitab Hukum Kanonik 1983 berlaku untuk Gereja Latin.[2] Kitab Hukum Kanonik 1983 mulai berlaku pada hari Minggu pertama Adven,[2] tanggal 27 November 1983.[3]
Dalam sebuah pidato yang diberikan pada tanggal 21 November 1983 kepada para peserta kursus di Universitas Kepausan Gregoriana tentang Kitab Hukum Kanonik yang baru, Paus menjelaskan bahwa kitab hukum yang baru tersebut sebagai "dokumen terakhir dari Vatikan II".[7]
Bahasa resmi
Meskipun terdapat banyak terjemahan dalam bahasa lain dari Kitab Hukum Kanonik 1983, hanya teks asli dalam bahasa Latin yang memiliki kekuatan hukum.[1]
Struktur isi
Kitab Hukum Kanonik 1983 memuat 1752 kanon,[8] atau hukum, sebagian besar terbagi dalam paragraf-paragraf (ditandai dengan "§") dan/atau nomor (ditandai dengan "°"). Oleh karenanya sebuah kutipan dari kitab ini biasa ditulis dengan Kan. (atau Kanon) 934, §2, 1°.[9]
Subdivisi
KHK terbagi menjadi tujuh Buku, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi Bagian, Seksi, Judul, Bab, dan Artikel. Tidak semua buku terdiri dari kelima subdivisi. Jika diurutkan secara hierarkis, maka susunan subdivisi dalam KHK sebagai berikut:
Buku
Bagian
Seksi
Judul
Bab
Artikel
Sebagian besar KHK tidak menggunakan semua subdivisi tersebut, tetapi salah satu bentuk contohnya sebagai berikut:
"Buku II. Umat Allah;
Bagian II. Susunan Hirarkis Gereja;
Seksi II. Gereja Partikular dan Himpunan-Himpunannya;
Judul III. Susunan Intern Gereja Partikular;
Bab II. Kuria Diosesan;
Artikel II. Kanselarius, Notarius Lain dan Arsip."
Unit dasar KHK adalah kanon. Subdivisinya sebagai berikut:
Kanon (Kan.)
Paragraf (§, contoh: §2)
Nomor (°, contoh: 3°)
Beberapa kanon berisikan "nomor" tanpa "paragraf", sementara sebagian besar kanon berisikan "paragraf" saja, dan sebagian besar "paragraf" tidak berisikan "nomor".
Garis besar
Berikut ini merupakan garis besar dari ketujuh buku Kitab Hukum Kanonik 1983:
BUKU I. NORMA-NORMA UMUM (Kan. 1–203)
Menjelaskan tentang penerapan umum dari undang-undang kanonik.
BUKU II. UMAT ALLAH (Kan. 204–746)
Mengenai hak dan kewajiban kaum awam dan klerus, dan menguraikan struktur hierarkis Gereja.
BUKU III. TUGAS GEREJA MENGAJAR (Kan. 747–833)
Pelayanan Kristiani, kegiatan misioner, pendidikan, dan komunikasi sosial.
BUKU IV. TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN (Kan. 834–1253)
Sakramen dan tindakan ibadah lainnya; tempat-tempat ibadat dan hari-hari raya.
BUKU V. HARTA BENDA GEREJA (Kan. 1254–1310)
Kepemilikan, kontrak perjanjian, dan warisan; serupa dengan Hukum Bisnis sipil.
BUKU VI. SANKSI DALAM GEREJA (Kan. 1311–1399)
Tindak pidana dan hukumannya.
BUKU VII. HUKUM ACARA (Kan. 1400–1752)
Peradilan dan Hakim Tribunal; sidang khusus; acara pidana; acara administratif.
Perubahan
Setelah dikeluarkannya Kitab Hukum Kanonik 1983, para Paus telah melakukan beberapa kali perubahan.
Ad tuendam fidem
Pada tanggal 18 Mei 1998, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan motu propioAd tuendam fidem (bahasa Indonesia: Untuk melindungi iman) yang mengubah dua kanon (750 dan 1371) dari Kitab Hukum Kanonik 1983 dan juga dua kanon (598 dan 1436) dari Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur 1990, untuk menambahkan "norma-norma baru yang secara tegas memaksakan kewajiban menegakkan kebenaran yang diajukan secara definitif oleh Magisterium Gereja, dan yang juga menetapkan sanksi kanonik terkait."[10]
Omnium in mentem
Pada tanggal 26 Oktober 2009, Paus Benediktus XVI mengeluarkan motu propio Omnium in mentem (bahasa Indonesia: Untuk menjadi perhatian semua orang) yang mengubah lima kanon (1008, 1009, 1086, 1117, dan 1124) Kitab Hukum Kanonik 1983 yang menjelaskan bahwa, bagi yang telah menerima Tahbisan Suci, hanya uskup dan imam yang menerima kuasa dan misi untuk bertindak dalam pribadi Kristus Kepala sementara diakon memperoleh kemampuan untuk melaksanakan diakonia pelayanan liturgi, Sabda, dan amal kasih. Perubahan tersebut juga menghapus pengeluaran diri secara resmi dari iman Katolik karena membebaskan umat Katolik dari bentuk perkawinan kanonik.[11][12]
Pada tanggal 31 Mei 2016, Paus Fransiskus mengeluarkan motu propio Dei concordia inter codices (bahasa Indonesia: Keselarasan antar kitab hukum) yang mengubah sepuluh kanon (111, 112, 535, 868, 1108, 1109, 1111, 1112, 1116, dan 1127) untuk menyelaraskan norma-norma Kitab Hukum Kanonik Latin dengan norma-norma Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur. Ia melakukannya setelah berkonsultasi dengan komite ahli hukum kanonik Timur dan Latin yang diselenggarakan oleh Dewan Kepausan untuk Naskah Legislatif.[15]
Magnum principium
Pada tanggal 3 September 2017, Paus Fransiskus mengeluarkan motu propio Magnum principium (bahasa Indonesia: Prinsip yang agung) yang mengubah satu kanon (838) untuk memberikan otoritas kepada konferensi para uskup atas terjemahan liturgis[16]
Communis vita
Pada tanggal 19 Maret 2019, Paus Fransiskus mengeluarkan motu propio Communis vita (bahasa Indonesia: Hidup dalam komunitas).[17] Dokumen tersebut mengesahkan pemberhentian ipso facto terhadap para religius yang absen selama setahun penuh secara tidak sah dari rumah religiusnya. Perubahan tersebut menggantikan kanon 694 dan 729 secara keseluruhan dan mulai berlaku pada tanggal 10 April 2019.
Authenticum charismatis
Pada tanggal 1 November 2020,[18] Paus Fransiskus mengeluarkan motu propio Authenticum charismatis (bahasa Indonesia: Karisma yang otentik) yang mengubah kanon 579 untuk mencerminkan fakta bahwa para uskup diosesan dari Gereja Latin diharuskan, untuk validitas, mendapatkan izin terlebih dahulu dari Takhta Apostolik sebelum mengeluarkan dekret pendirian tarekat religius baru dengan hak keuskupan. Perubahan tersebut mulai berlaku pada tanggal 10 November 2020.[19]
Spiritus Domini
Motu propio Spiritus Domini (bahasa Indonesia: Roh Tuhan) dikeluarkan pada tanggal 10 Januari 2021; Dokumen tersebut mengubah kanon 230 §1 untuk menyatakan bahwa jabatan pelayanan akolit dan lektor terbuka untuk "orang awam", yaitu laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya "laki-laki awam". Perubahan tersebut, menurut Paus Fransiskus, mengakui sebuah "perkembangan doktrinal" yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.[20][21][22]
Pada tanggal 26 April 2022[27], Paus Fransiskus mengeluarkan motu proprio Recognitum librum VI (bahasa Indonesia: Mengingat bab VI) yang mengubah isi kanon 695 §1.
Beberapa kanon terkenal
Kanon 97 menurunkan usia dewasa seseorang secara kanonik dari 21 menjadi 18 tahun, menurut konsensus hukum sipil.
Kanon 823–824 menyatakan bahwa para uskup berkewajiban untuk melakukan sensor terhadap semua materi terkait iman ataupun moral.
Kanon 916 menetapkan bahwa para imam yang dalam keadaan dosa berat tidak diperbolehkan untuk mempersembahkan Misa, dan kaum awam yang dalam keadaan dosa berat tidak diperbolehkan untuk menerima Ekaristi, kecuali ada alasan yang sangat mendesak dan tidak ada kesempatan untuk melakukan pengakuan dosa; dalam hal ini mereka harus melakukan suatu Tindakan Penyesalan Sempurna dan mengakukan dosa beratnya secara sakramental sesegera mungkin.
Kanon 919 §1 memberlakukan puasa (tidak termasuk minum air putih dan obat) setidaknya satu jam sebelum penerimaan Ekaristi
(Inggris)Code of Canon Law with the 1998 modification of canons 750 and 1371 (English translation by the Canon Law Society of America)
(Inggris)Code of Canon Law (English translation by the Canon Law Society of Great Britain and Ireland, assisted by the Canon Law Society of Australia and New Zealand and the Canadian Canon Law Society)