Menyempurnakan tugas dari Konsili Vatikan I yang belum terselesaikan dan membahas pandangan secara oikumenis untuk menyikapi kebutuhan Gereja dalam dunia modern, oikumenisme
Konsili Oikumenis Vatikan Kedua (1962-1965) atau secara singkat disebut Konsili Vatikan II atau Vatikan II , adalah sebuah konsili oikumenis ke-21 dari Gereja Katolik Roma yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 Oktober1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember1965. Pembukaan Konsili ini dihadiri oleh hingga 2540 orang uskup Gereja Katolik Roma sedunia (atau juga disebut para Bapa Konsili), 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan Katolik.
Selama masa Konsili ini, diadakan empat periode sidang di mana jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara daripada konsili-konsili sebelumnya. Jumlah dokumen yang dihasilkannya pun lebih banyak dan dampak pengaruhnya atas kehidupan Gereja Katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah zaman reformasi pada abad XVI.
Latar Belakang
Pada era 1950an, studi teologi dan biblikal Roma Katolik mulai memasuki pembaharuan sejak setelah Konsili Vatikan Pertama hingga memasuki abad keduapuluh. Liberalisme ini muncul dari para teolog seperti Yves Congar, Karl Rahner, dan John Courtney Murray yang mencari cara untuk mengintegrasikan pengalaman manusia modern dengan dogma Kristiani, tokoh lainnya adalah Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) dan Henri de Lubac yang juga menginginkan pengertian yang lebih akurat mengenai Injil dan menganggap para Bapa Gereja mula-mula sebagai sumber pembaharuan.
Pada waktu yang sama, para uskup sedunia menghadapi tantangan yang sangat besar dari perubahan politik, sosial, ekonomi, dan teknik. Beberapa uskup mengusulkan perubahan dalam struktur dan praktik gerejawi untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Di antara pengusul ini yang paling terorganisasi adalah kelompok uskup Belanda dan Jerman yang dikenal sebagai para Uskup Rhine.
Konsili Vatikan Pertama telah berakhir hampir satu abad sebelumnya secara prematur akibat pecahnya perang Prancis-Prussia. Dalam konsili ini, isu-isu mengenai pastoral dan dogma tidak dapat dibahas akibat perang tersebut, dan hanya sempat menghasilkan suatu dogma mengenai Infalibilitas Paus.
Paus Yohanes XXIII kemudian secara tak terduga memutuskan untuk menghimpun Konsili hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah pengangkatannya pada 1959. Dalam sebuah dialog mengenai konsili, ia diwawancarai mengapa konsili ini perlu dilakukan. Paus dilaporkan membuka jendela dan berkata, "Saya ingin membuka jendela dari Gereja sehingga kita bisa melihat keluar dan mereka yang ada di luar bisa melihat ke dalam." Ia mengundang pula gereja-gereja Kristen lainnya untuk mengirimkan pengamat ke Konsili tersebut. Undangan ini disambut baik oleh kedua gereja Protestan dan Ortodoks. Gereja Ortodoks Rusia dengan kekhawatiran akan Pemerintahan Komunis Soviet, menyambut undangan tersebut hanya ketika telah diyakinkan bahwa Konsili ini akan bersifat apolitik.
Sidang-Sidang
Persiapan Konsili, yang memakan waktu lebih dari dua tahun, dilaksanakan oleh 10 Komisi Khusus, dibantu oleh orang-orang dari media massa dan Christian Unity, serta sebuah Komisi Sentral sebagai koordinator keseluruhan. Kelompok ini kebanyakan terdiri dari anggota Kuria Romawi. Komisi menghasilkan 987 proposal konstitusi dan dekret (dikenal sebagai schemata atau Skema) yang ditujukan untuk dimintakan persetujuan Konsili. Pada awalnya diharapkan bahwa kelak pada saat Konsili terlaksana, akan dibentuk suatu komisi baru yang akan melanjutkan pekerjaan Komisi Persiapan ini. Namun, keseluruhan Skema yang telah dipersiapkan itu tidak disetujui sama sekali oleh anggota Konsili sehingga mereka membuat Skema yang baru.
Sidang-sidang Umum Konsili dilaksanakan pada musim gugur selama empat tahun kemudian (dalam 4 sidang) pada 1962 hingga 1965. Di luar masa sidang, Komisi-Komisi Khusus Konsili dibentuk untuk membicarakan dan memeriksa hasil-hasil kerja para uskup dan mempersiapkan sidang berikutnya. Sidang dilaksanakan dalam Bahasa Latin di Basilika Santo Petrus, di mana diskusi dan pendapat dinyatakan sebagai "rahasia". Hasil Konsili sesungguhnya dikerjakan dalam pertemuan-pertemuan komisi lainnya (mungkin dilaksanakan dalam bahasa lain), serta dalam pertemuan informal dan pertemuan sosial lainnya di luar konsili yang sesungguhnya.
Sebanyak 2.908 pria (dianggap sebagai para Bapa Konsili) tercatat memiliki hak suara dalam Konsili tersebut. Mereka ini termasuk seluruh Uskup dan para Superior dari Ordo-Ordo Religius pria. Sebanyak 2.540 orang mengambil bagian dalam Sidang Pembukaan, sehingga menjadikannya sebagai pertemuan terbesar Konsili di sepanjang sejarah gereja. Jumlah yang hadir bervariasi di setiap sidangnya, antara 2.100 hingga lebih dari 2.300 orang. Sebagai tambahan, sejumlah periti (Latin untuk para "ahli") juga hadir sebagai konsultan teologi. Kelompok periti ini kemudian memiliki pengaruh yang sangat besar seiring dengan perjalanan Konsili. Sebanyak 17 gereja-gereja Ortodoks dan denominasi Protestan juga mengirimkan pengamat-pengamat mereka.
Sidang Pertama (Musim Gugur 1962)
Paus Yohanes membuka Konsili pada 11 Oktober1962 dalam sebuah Sidang Umum yang dihadiri oleh para Bapa Konsili dan wakil-wakil dari 86 negara dan badan-badan internasional. Setelah Misa, Paus memberikan amanatnya kepada para Uskup yang berkumpul dengan judul Gaudet Mater Ecclesia (Latin untuk "Bunda Gereja Bersuka cita"). Dalam pidatonya, ia menolak pemikiran mengenai para "nabi-nabi akhir zaman yang selalu meramalkan akan bencana" di dunia dan pada masa depan Gereja tersebut. Paus juga menekankan bahwa sifat Konsili adalah Pastoral ("Penggembalaan"), bukan Doktrinal. Ia juga memperingatkan bahwa Gereja tidak perlu mengulang maupun merumuskan kembali doktrin-doktrin dan dogmata yang telah ada, tetapi Gereja harus mengajarkan pesan-pesan Kristus dalam tren dunia modern yang cepat berubah. Ia mendesak para Bapa Gereja untuk "menunjukan belas kasih, bukan kecaman" dalam dokumen-dokumen yang akan mereka buat.
Dalam lokakarya pertama mereka, dalam waktu kurang dari 15 menit, para uskup telah mengadakan pemungutan suara atas permintaan Para UskupRhine mengenai agenda Sidang, apakah akan mengikuti agenda yang telah dipersiapkan oleh Komisi Persiapan ataukah akan membuat sebuah agenda yang baru yang akan dibicarakan di antara para anggota Sidang terlebih dahulu, baik dalam kelompok-kelompok nasional dan regional, maupun dalam pertemuan informal. Usulan ini tampaknya cukup wajar, namun mayoritas delegasi tidak menyadari bahwa para uskup Rhine telah mempersiapkan suatu rencana mengenai bagaimana mereka menginginkan jalannya Konsiil. Dalam struktur Komisi Konsili yang baru kemudian atas usulan para Uskup Rhine, prioritas dari isu-isu yang akan dibicarakan menjadi berubah.
Isu-isu yang dibicarakan selama sesi-sesi Sidang adalah termasuk mengenai liturgi, komunikasi misa, gereja-gereja Ritus Timur, serta sumber-sumber Wahyu Ilahi. Skema mengenai Wahyu Ilahi kemudian ditolak oleh sebagian besar uskup, dan Paus Yohanes terpaksa harus campur tangan untuk memerintahkan penulisan kembali mengenai skema ini.
Setelah penundaan sidang pada 8 Desember1962, sidang berikutnya tahun 1963 mulai dipersiapkan. Namun, persiapan-persiapan ini diwarnai dengan wafatnya Paus Yohanes XXIII pada 3 Juni1963. Paus Paulus VI yang terpilih pada 21 Juni1963 segera mengumumkan bahwa Konsili harus berlanjut, dan dalam haluan yang telah ditetapkan pada Sidang sebelumnya oleh Paus Yohanes.
Sidang Kedua (Musim Gugur 1963)
Dalam bulan-bulan sebelum Sidang Umum Kedua, Paus Paulus melakukan sejumlah perbaikan untuk memecahkan masalah organisasi dan prosedur yang telah ditemukan selama periode pertama. Hal ini termasuk mengundang pengamat tambahan dari kaum awam Katolik dan Non-Katolik, serta mengurangi jumlah skema yang diusulkan menjadi 17 saja; dengan demikian keseluruhan Skema menjadi lebih umum, sehingga dapat mempertahankan sifat Pastoral Konsili. Akhirnya, Paus juga menghapuskan ketentuan kerahasiaan Sidang Umum.
Amanat pembukaan Paus Paulus pada 29 September1963 menekankan kembali sifat Pastoral Konsili, dan menetapkan empat tujuan Konsili:
untuk lebih mendefinisikan sifat dasar gereja dan tugas pelayanan para uskup;
untuk memperbaharui gereja;
untuk mengembalikan kesatuan di antara kaum Kristiani, termasuk meminta maaf akan kontribusi Gereja Katolik pada masa lampau terhadap perpecahan itu; serta
Di antara periode Sidang Kedua dan Ketiga, proposal Skema direvisi kembali berdasarkan komentar-komentar dari para Bapa Konsili. Sejumlah topik dikurangi menjadi usulan pernyataan fundamental untuk disetujui dalam Sidang Ketiga, dengan Komisi Paskakonsili yang akan menangani implementasi peraturan-peraturan tersebut. Delapan pengamat religius wanita dan tujuh wanita awam diundang dalam Sidang Ketiga, bersama-sama dengan undangan tambahan pria awam.
Selama Sidang yang dimulai pada 14 September1964 ini, para Bapa Konsili mengerjakan sejumlah besar proposal. Skema mengenai Oikumenisma (Unitatis Redintegratio), gereja-gereja Katolik Ritus Timur (Orientalium Ecclesiarum), serta konstitusi tentang Gereja (Lumen Gentium) disetujui dan diumumkan secara resmi oleh Paus.
Sebuah votum atau pernyataan mengenai sakramen pernikahan dimunculkan sebagai pedoman bagi komisi untuk merevisi Hukum Kanonik tentang isu-isu beragam akan yurisdiksi, seremonial, dan pastoral. Para uskup mengusulkan skema ini dan meminta persetujuan yang cepat, namun tidak segera diputuskan oleh Paus pada Konsili tersebut. Paus Paulus memerintahkan para Uskup untuk menunda topik kontrasepsi artifisial (keluarga berencana) yang akan dibahas sebuah komisi ahli kepastoran dan awam yang telah ditunjuknya.
Skema mengenai tugas dan pelayanan para pastor serta tugas misi Gereja ditolak dan dikembalikan kepada komisi-komisi untuk ditulis ulang sama sekali. Pekerjaan dilanjutkan untuk sisa Skema lainnya, terutama sekali untuk masalah Gereja di dunia masa kini dan kebebasan beragama. Terjadi kontroversi mengenai revisi dekret kebebasan beragama dan mengakibatkan kegagalan pengambilan suara akan dekret ini pada Sidang Ketiga. Paus Paulus menjanjikan untuk segera meninjau skema ini pada masa Sidang berikutnya.
Paus Paulus menutup Sidang Ketiga pada 21 November dengan mengumumkan perubahan tata cara Ekaristi dan secara resmi mengumumkan Maria sebagai "Bunda Gereja" seperti yang telah sering diajarkan.
Sidang Keempat (Musim Gugur 1965)
Sebelas Skema masih belum selesai pada akhir Sidang Ketiga dan komisi-komisi bekerja untuk melakukan finalisasi. Skema 13, mengenai Gereja di Dunia Modern (Gereja di Dunia Dewasa Ini) direvisi oleh sebuah komisi yang dengan dibantu oleh orang-orang awam.
Paus Paulus membuka Sidang terakhir ini pada 14 September1965 dengan mendirikan sebuah Konferensi Para Uskup. Struktur yang lebih permanen ini ditujukan untuk mempertahankan kerja sama yang erat antara para uskup dengan Paus setelah Konsili berakhir.
Urusan pertama dalam Sidang Keempat adalah pertimbangan mengenai dekret kebebasan beragama, merupakan yang paling kontroversial di antara semua dokumen konsili. Hasil pemungutan suara dalah 1.997 yang menyetujui dan 224 menolak (selisihnya kemudian semakin melebar ketika para uskup menyetujui dekret kebebasan beragama Dignitatis Humanae tersebut). Pekerjaan utama selama sisa periode Sidang adalah untuk 3 dokumen, yang seluruhnya disetujui oleh para Bapa Konsili. Dokumen Konstitusi Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) dengan revisi-revisi pastoral dan menghasilkan dokumen lebih meluas, diikuti oleh Dekret tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes) dan Dekret tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam (Presbyterorum Ordinis).
Konsili juga menyetujui dokumen-dokumen lainnya yang telah dibicarakan dalam Sidang-Sidang sebelumnya; termasuk Dekret tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja (Christus Dominus), Dekret tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius (Perfectae Caritatis), Dekret tentang Pembinaan Imam (Optatam Totius), Pernyataan Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis), serta Dekret Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem).
Salah satu dokumen yang paling kontroversial adalah Nostra Ætate, yang menegaskan kembali dokumen Konsili Trente abad keenambelas, bahwa para Yahupada masa Kristus (tanpa pandang bulu) dan para Yahupada masa kini tidak memikul tanggung jawab akan pembunuhan Kristus lebih besar daripada kaum Kristen (lihat Catechism of the Council of Trent, Article IV).
"Meskipun para pemuka bangsa Yahudi pada masa itu beserta para penganut mereka mendesakkan kematian Kristus, namun penderitaanNya tidak dapat begitu saja dibebankan sebagai kesalahan semua orang Yahudi pada masa itu tanpa pandang bulu, maupun orang Yahudi zaman sekarang.
Sekalipun Gereja adalah umat Allah yang baru, namun jangan sekali-kali menyimpulkan bahwa Kitab Suci menggambarkan bahwa orang Yahudi itu dibuang atau dikutuk oleh Allah.
Gereja mendorong agar semua berusaha supaya dalam berkatakese dan mewartakan Sabda Allah jangan mengajarkan apa pun yang tidak selaras dengan kebenaran Injil dan semangat Kristus.
Selain itu, Gereja juga menolak setiap penganiayaan terhadap siapapun juga. Gereja mengingat pusaka warisannya bersama-sama dengan bangsa Yahudi, dan tergerak bukan oleh alasan-alasan politik melainkan tergerak oleh cinta kasih Injil, Gereja menyatakan menentang segala kebencian, penganiayaan, sikap anti-Semit, yang dilakukan terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun."
Peristiwa penting pada hari-hari terakhir Konsili adalah tindakan Paus Paulus dan Patriark Athenagoras dari Ortodoks yang mengekspresikan penyesalan akan hal-hal yang telah lalu yang menyebabkan Skisma Besar gereja barat-timur. Deklarasi ini dikenal sebagai Pernyataan Bersama Katolik-Ortodoks 1965.
Pada 8 Desember, Konsili Vatikan Kedua secara resmi ditutup, dengan para uskup menyatakan ketaatan mereka terhadap segala dekret Konsili. Untuk memperlancar pelaksanaan hasil karya Konsili, Paus Paulus:
telah membentuk sebelumnya Komisi Kepausan untuk Media Komunikasi Sosial, yang akan membantu para uskup dan penggunaan pastoral akan media-media ini;
mendeklarasikan hari peringatan selama 1 Januari hingga 26 Mei1966 untuk mendorong kaum Katolik mempelajari dan menerima keputusan-keputusan konsili dan mempergunakannya sebagai pembaharuan spiritual mereka;
mengubah pada 1965 nama dan prosedur untuk Holy Office, menggantinya dengan nama Kongregasi Doktrin Iman (CDF), dan nama-nama dan wewenang dari departemen lainnya pada Kuria Romawi.
membuat permanen lembaga sekretariat Promotion of Christian Unity bagi agama non-Kristen dan bagi mereka yang belum percaya.
Hasil Konsili
Ikhtisar Dokumen Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menghasilkan 16 Dokumen, terdiri dari 4 Konstitusi, 9 Dekret, dan 3 Pernyataan:
Mungkin hasil Konsili yang paling terkenal dan paling berpengaruh adalah Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium.
Pada bab pertama berjudul "Misteri Gereja", terdapat sebuah pernyataan terkenal:
"Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat Iman kita akui sebagai gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Sesudah kebangkitanNya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan, dan ia bersama para rasul lainnya dipercayakan untuk memperluas dan membimbing Gereja dengan otoritas, dan Gereja itu didirikan untuk selama-lamanya sebagai "tiang penopang dan dasar kebenaran". Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai sebuah perhimpunan hidup dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Santo Petrus dan oleh para Uskup yang berada dalam satu persekutuan dengan dia, walaupun, di luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsur-unsur yang kudus dan kebenaran, yang sesungguhnya merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik".
Pada bab kedua berjudul "Umat Allah", Konsili mengajarkan bahwa kehendak Allah untuk menyelamatkan bukan sekadar individu (atau satu demi satu) tetapi juga dalam suatu kesatuan jemaat. Dalam hal ini, Allah telah memilih bangsa Israel sebagai umatNya, mengadakan perjanjian dengan bangsa ini, sebagai persiapan dan gambaran akan suatu perjanjian dalam Kristus yang akan membentuk suatu Umat Allah yang baru, yang satu, bukan dalam daging, tetapi dalam Roh, yang disebut sebagai Gereja Kristus (Lumen Gentium, 9). Semua orang dipanggil sebagai milik Gereja. Tidak semua orang sepenuhnya tergabung dalam Gereja, tetap "Gereja mengerti bahwa ia terhubung dalam berbagai cara dengan semua orang yang dibaptiskan, semua yang diterima di dalam nama Kristus, namun demikian tidak menyatakan iman Katolik dalam keseluruhannya atau tidak berada dalam satu kesatuan atau persekutuan di bawah penerus Santo Petrus" (Lumen Gentium, 15). Bahkan, hubungan dengan "semua yang belum menerima Injil" di antara kaum Yahudi dan Muslim juga disebutkan secara eksplisit (Lumen Gentium, 16). Gagasan membuka diri kepada kaum Protestan telah menyebabkan kontroversi besar di antara kelompok Tradisionalis Katolik.
Judul bab ketiga "Susunan Hirarkis Gereja" secara tegas menggambarkan isinya yang menguraikan peranan para uskup dan Paus di Roma.
Pada bab-bab berikutnya mengenai kaum awam: ajakan akan hidup kudus, religius, peziarahan iman, dan Bunda Gereja. Bab mengenai ajakan akan hidup kudus merupakan bab yang signifikan karena mengindikasikan bahwa kekudusan bukanlah hanya menjadi bagian dari para imam tetapi bahwa semua oran Kristen dipanggil untuk hidup kudus. Tentu saja masalah ini selalu menjadi topik ajaran Gereja, tetapi banyak dari para Bapa Konsili merasa bahwa hal ini telah semakin hilang di kalangan jemaat.
Bab mengenai Maria adalah subjek yang menjadi sumber perdebatan. Pada awalnya subjek ini akan dipisahkan dari dokumen konsili, mempertahankan sifat oikumenis dari dokumen Gereja - dalam pengertian "non-ofensif" bagi kaum Protestan, yang tidak menyetujui pemujaan kepada Maria. Namun, para Bapa Konsili tetap bersikukuh, dengan dukungan Paus, bahwa tempat Maria adalah di dalam Gereja, dan perlakuan terhadap Maria harus dimunculkan dalam Konsitusi Gerejawi.
Liturgi
Salah satu isu pertama yang dipertimbangkan dalam konsili dan masalah yang segera memiliki efek terhadap kehidupan individu Katholik adalah revisi atas liturgi/tata cara ibadah. Gagasan umumnya adalah (dari Konstitusi mengenai Liturgi Suci):
"Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang percaya dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikutsertaan seperti ini sesungguhnya dituntut oleh liturgi sendiri. Kaum Kristiani yang telah dibaptiskan adalah bangsa yang terpilih, imamat yang rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1 Pet 2:9; 2:4-5); dan oleh karenanya keikutsertaan dalam liturgi adalah menjadi hak dan kewajiban mereka."
"Keikutsertaan aktif" yang diinginkan Vatikan II ini melebihi apa yang pernah diijinkan ataupun direkomendasikan para Paus sebelumnya. Para Bapa Konsili menetapkan pedoman untuk mengarahkan jalannya revisi terhadap liturgi tersebut, termasuk mengizinkan dengan sangat terbatas penggunaan bahasa lokal/daerah/pribumi ketimbang bahasa Latin. Para uskup kemudian menetapkan bahwa adat istiadat lokal dapat secara hati-hati dimasukkan sebagai bagian dari liturgi.
Implementasi dari perintah Konsili mengenai liturgi dilaksanakan melalui sebuah Komisi Kepausan Khusus di bawah otoritas Paus Paulus VI (yang kemudian menjadi satu dalam Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Ketertiban Sakramen) dan oleh konferensi nasional masing-masing keuskupan, yang diharapkan untuk berkolaborasi membentuk sebuah penerjemahan bersama.
Konsili menghendaki pemulihan kembali peranan sentral Injil dalam kehidupan keagamaan dan devosi dari Gereja, yang dibangun atas dasar hasil karya para Paus sebelumnya dalam usaha membentuk suatu pendekatan modern atas analisis dan interpretasi Injil. Sebuah pendekatan baru untuk interpretasi Injil disetujui oleh para Uskup. Gereja secara berkelanjutan harus menyediakan terjemahan Kitab Suci dalam bahasa ibu para kaum percaya. Lebih jauh, kaum imam dan awam harus menjadikan studi Kitab Suci sebagai gaya hidup mereka. Hal ini menegaskan kembali pentingnya Kitab Suci seperti diperlihatkan dalam Providentissimus Deus oleh Paus Leo XIII dan tulisan-tulisan para Santo, Pujangga Gereja, dan para Paus selama sejarah Gereja; sekaligus menyetujui interpretasi Injil yang dipelajari secara historis sebagaimana ensiklik Paus Pius XII pada 1943, Divino Afflante Spiritu.
Para Uskup
Peranan para Uskup di Gereja juga diperbaharui maknanya, khususnya sebagai kumpulan Dewan, yang meneruskan pengajaran oleh para Rasul dan memimpin Gereja. Eksistensi Dewan ini hanyalah jika berada di bawah penerus Santo Petrus. Dengan demikian, konsili memberikan kepada gereja, dua sifat kepemimpinan yang terpisah, yaitu Dewan Para Uskup dan Paus. Hal ini diperjelas dalam Catatan Penjelasan Pendahuluan yang ditambahkan kepada Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) dan dicetak pada akhir naskah tersebut. Catatan ini menerangkan: "Tentang Dewan ("Collegium"), yang tidak dapat tanpa kepala, ... dan di dalam Dewan itu Kepalanya tetap menjalankan tugas seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala Gereja Semesta. Dengan kata lain cara pandang atas pembedaan bukanlah antara Paus (di satu pihak) dengan Dewan Para Uskup (di lain pihak), melainkan antara Paus (sebagai dirinya sendiri) dengan Paus bersama-sama para Uskup."
Di berbagai negara, para Uskup telah memiliki konferensi regular untuk mendiskusikan masalah-masalah bersama. Konsili mewajibkan penetapan konferensi episkopal seperti itu dan mempercayakan kepada mereka tanggung jawab untuk melaksanakan adaptasi yang diperlukan terhadap norma-norma umum kondisi setempat (lihat juga Dekret tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja Christus Dominus, 18). Keputusan-keputusan konferensi tersebut akan mengikat bagi para Uskup dan Keuskupan mereka hanya jika diterima oleh dua pertiga suara dan diperkuat oleh Tahta Suci.
Konferensi Regional, seperti Konferensi Waligereja Amerika Latin (CELAM), muncul untuk membantu mempromosikan pada tingkatan regional atau kontinental, tetapi tidak memiliki kekuatan suara.
Kritikan akan Konsili dari dalam tubuh Gereja Katolik
Banyak dari kaum Katolik yang sangat konservatif (atau sering disebut Katolik Tradisionalis) berpendapat bahwa Konsili Vatikan II atau interpretasi apapun akan dokumen-dokumen konsili tersebut, menjauhkan Gereja dari prinsip-prinsip penting dari iman Katolik historis; termasuk:
kepercayaan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja Kristiani yang dibangun oleh Yesus sendiri;
kepercayaan bahwa gagasan modern akan kebebasan beragama adalah kesalahan;
tekanan yang pantas untuk "Empat Hal Terakhir" (Kematian, Pengadilan, Surga, dan Neraka);
kepercayaan bahwa setiap kitab dari Kitab Suci adalah sempurna;
Dalam kontradiksi terhadap pendapat kebanyakan orang Katolik bahwa Vatikan II adalah sebuah "musim semi yang baru" bagi Gereja, para pengritik memandang bahwa Konsili adalah penyebab utama berkurangnya iman kepercayaan Katolik dan hilangnya pengaruh Gereja di dunia barat. Mereka berpendapat lebih lanjut bahwa Vatikan II mengubah fokus gereja dari menyebarkan kabar keselamatan jiwa menjadi memperbaiki situasi keduniawian umat manusia (lihat Teologi Kebebasan).
Salah satu respon yang berasal dari para Katolik konservatif arus utama terhadap kritikan tersebut adalah bahwa pengajaran sesungguhnya dari Konsili dan interpretasi resmi dari dokumen-dokumennya hars dipisahkan dari perubahan yang lebih radikal yang telah dilakukan atau diajukan oleh para anggota gereja yang liberal selama 40 tahun dalam "semangat Vatikan II". Mereka menyetujui bahwa perubahan-perubahan tersebut adalah bertentangan dengan hukum kanon dan tradisi Gereja. Sebagai contoh, seorang Katolik konservatif arus utama kemungkinan setuju bahwa para imam liberal yang memperkenalkan elemen-elemen baru non-Katolik pantas dikutuk, tetapi mereka juga akan sekaligus memberi catatan bahwa penyalahgunaan ini adalah pelanggaran terhadap Dekret tentang Liturgi Suci dan dokumen resmi Gereja akan perayaan Misa.
Pada 22 Desember2005, Paus Benediktus XVI dalam kotbahnya di hadapan Kuria Romawi menentang mereka yang menginterpretasikan dokumen-dokumen Konsili sebagai "tidak berkelanjutan dan rapuh". Interpretasi yang benar, menurutnya, adalah bahwa sebagaimana dinyatakan pada awal dan akhir Konsili oleh Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI. Pada awal konsili, Paus Yohanes XXIII menyatakan bahwa Konsili dimaksudkan untuk "menyebarkan doktrin-doktrin secara murni dan menyeluruh, tanpa pengurangan maupun penyimpangan", dan ia juga menambahkan "Adalah tugas kita untuk tidak hanya menjaga harta yang berharga ini, seakan-akan ini adalah barang kuno, tetapi juga kita harus setia, siap sedia, dan tanpa takut berkarya sesuai dengan kebutuhan zaman kita. Doktrin yang pastinya tidak perlu diubah ini, yang harus dihormati dengan setia, harus dipelajari secara mendalam dan dihadirkan dalam bentuk yang cocok dengan zaman kita. Kebenaran doktrin yang mulia adalah satu hal, dan bagaimana caranya doktrin itu dilaksanakan supaya tetap utuh dan sama-adalah hal lainnya." Setelah mengutip pendahulunya ini, Paus Benediktus kemudian menyatakan: "Di manapun interpretasi ini telah menjadi pedoman yang disambut oleh Konsili, hidup baru telah bertumbuh dan buah-buah telah menjadi matang. ... Hari ini kita melihat bahwa benih yang baik, walaupun tumbuh perlahan-lahan, tetaplah bertumbuh, dan biarlah syukur kita yang amat besar bagi karya kerja Konsili juga tetap bertumbuh demikian."