Paus Yohanes Paulus II
Paus Yohanes Paulus II[a] (18 Mei 1920 – 2 April 2005), yang bernama asli Karol Józef Wojtyła, adalah Paus, Uskup Roma, dan kepala Gereja Katolik Roma sejak 16 Oktober 1978 hingga kematiannya pada 2 April 2005. Ia terpilih sebagai paus pada usia 58 tahun melalui Konklaf Kepausan Oktober 1978, yang diadakan setelah Paus Yohanes Paulus I, yang terpilih pada konklaf bulan Agustus, meninggal dunia 33 hari setelahnya. Ia terpilih pada hari ketiga konklaf dan memilih nama kepausan seperti pendahulunya untuk menghormatinya.[1] Dia adalah Paus non-Italia pertama sejak Paus Adrianus VI, yang menjabat untuk sesaat antara tahun 1522-1523. Paus Yohanes Paulus II selama masa kepausannya memerangi komunisme, kapitalisme yang tak terkendali dan penindasan politik. Ia secara signifikan meningkatkan hubungan Gereja Katolik dengan Yahudi, Islam, dan Gereja Ortodoks Timur. Ia juga menjunjung tinggi ajaran Gereja berkenaan dengan hal-hal seperti hak untuk hidup, pengaturan kelahiran, penahbisan imamat, dan imam yang hidup selibat, serta dengan tegas melawan aborsi dan membela pendekatan Gereja Katolik Roma yang lebih tradisional terhadap seksualitas manusia. Meskipun ia medukung reformasi Gereja yang terjadi setelah Konsili Vatikan II, ia dianggap sebagai seorang yang konservatif dalam kepausannya menurut orang banyak.[2][3] Paus Yohanes Paulus II telah melakukan lawatan ke 129 negara, termasuk Indonesia, selama menjadi Paus dan menjadi pemimpin dunia yang paling banyak melawat dalam sejarah.[4][5] Pada tahun 1989, ia mengunjungi Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan (Sumatera Utara), Yogyakarta (Jawa Tengah, dan DIY) dan Dili (Timor Timur). Setelah berkunjung ke Indonesia, komentarnya ialah: "Tidak ada negara yang begitu toleran seperti Indonesia di muka bumi." [sic] Ia berbicara dalam bahasa-bahasa Italia, Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Portugis, Ukraina, Rusia, Kroasia, Esperanto, Yunani Kuno dan Latin selain bahasa ibunya, bahasa Polandia.[6] Sebagai bagian dari wewenang panggilan sucinya yang universal, ia telah melakukan beatifikasi terhadap 1.340 orang dan melakukan kanonisasi 483 santo/santa,[7][8][9] lebih banyak dari gabungan beatifikasi dan kanonisasi yang dilakukan pendahulunya selama lima abad terakhir.[9][10][11][12][13][14] Paus Yohanes Paulus II memiliki masa tugas ketiga terlama dalam sejarah, setelah Paus Pius IX dan Santo Petrus. Ia meninggal pada tanggal 2 April 2005, dan dikebumikan di pemakaman di bawah Basilika Santo Petrus. Pada 19 Desember 2009, Yohanes Paulus II telah mendapat gelar venerabilis dari penerusnya Paus Benediktus XVI.[15][16][17][18] Ia dibeatifikasi pada tanggal 1 Mei 2011,[19] setelah Kongregasi bagi Penyebab Penganugerahan Gelar Santo-Santa mengonfirmasi mukjizat pertama yang terjadi dengan perantaraan doanya, yaitu sembuhnya seorang biarawati Prancis bernama Marie Simon Pierre dari penyakit Parkinson. Mukjizat kedua disetujui pada tanggal 2 Juli 2013, dan dikonfirmasi oleh Paus Fransiskus dua hari kemudian. Paus Yohanes Paulus II dikanonisasi pada tanggal 27 April 2014 bersama dengan Paus Yohanes XXIII.[20] Pada 11 September 2014, Paus Fransiskus menambahkan peringatan fakultatif untuk kedua paus tersebut ke dalam Kalender Gereja Roma bagi Santo-Santa. Khusus untuk Paus Yohanes Paulus II, hari perayaannya sebagai seorang santo pada tanggal 22 Oktober tidak berdasarkan pada hari kematiannya melainkan pada hari pelantikannya sebagai paus.[21][22] Setelah meninggal, banyak umat Katolik yang menjulukinya sebagai "Santo Yohanes Paulus Agung", meskipun gelar tersebut tidak diakui secara resmi, sama seperti paus-paus lainnya yang mendapat julukan "Agung".[23][24][25][26] BiografiKelahiran dan masa mudaKarol Józef Wojtyła (dilafalkan sebagai: voi-TI-wa; IPA: /ˈkarɔl ˈjuzef vɔjˈtɨwa/) lahir pada 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan,[27][28][29] sebagai seorang anak ketiga dari opsir pada Tentara Austria-Hungaria, yang juga bernama Karol Wojtyła[30] dan Emilia Kaczorowska, yang seorang keturunan Lituania.[29][30] Ibunya meninggal pada 13 April 1929,[31] ketika ia berusia 8 tahun 11 bulan.[32] Kakak perempuan Karol, Olga, meninggal pada waktu bayi sebelum kelahiran Karol; dengan demikian dia tumbuh dan dekat dengan kakaknya Edmund yang lebih tua 14 tahun, dan punya panggilan Mundek. Namun, pekerjaan Edmund sebagai dokter mengakibatkan kematiannya karena skarlatina (scarlet fever). Hal ini sangat mempengaruhi Karol.[30][32] Sebagai remaja, Wojtyła adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga gawang.[33][34] Masa kecilnya terpengaruh kontak intensif dengan komunitas Yahudi. Pertandingan sepak bola sering diadakan antara tim Yahudi dan Katolik, dan Wojtyła biasanya secara sukarela akan menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain.[30][33] Pada pertengahan 1938, Karol Wojtyła dan ayahnya meninggalkan Wadowice dan pindah ke Kraków, di mana dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai bahasa di universitas, dia menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke-36 Polandia, namun dia penganut pasifisme dan menolak menembakkan senjata. Dia juga tampil di beberapa grup teater dan menjadi penulis naskah drama.[35] Selama masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang dan dia belajar 12 bahasa asing, sembilan diantaranya kemudian dipakai terus ketika menjadi Paus (Bahasa Polandia, Slowakia, Rusia, Italia, Prancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi).[28] Pada tahun 1939, terjadi pendudukan Nazi dan menutup universitas tempatnya belajar setelah invasi terhadap Polandia.[28] Semua warga yang sehat diwajibkan bekerja, dari tahun 1940 sampai 1944, Wojtyła bekerja berbagai macam mulai dari pencatat menu di restoran, pekerja kasar tambang batu kapur, dan di pabrik kimia Solvay untuk menghindari dideportasi ke Jerman.[29][35] Ayahnya, seorang bintara di Angkatan Darat Polandia, meninggal karena serangan jantung pada 1941, meninggalkan Karol seorang diri dari sisa keluarga.[30][31][36] "Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya" katanya, menceritakan masa-masa kehidupannya ketika itu, hampir 40 tahun kemudian, "Pada usia 20, saya sudah kehilangan semua orang yang saya cintai"[36] Dia kemudian mulai berpikir serius untuk menjadi pastor setelah kematian ayahnya, kemudian panggilan imamatnya perlahan menjadi ‘sesuatu yang mutlak dan tak terbantahkan.’[37] Pada Oktober 1942, dengan meningkatnya keinginan untuk menjadi pastor, dia mengetuk pintu Wisma Uskup Agung di Kraków, dan menyatakan bahwa dia ingin belajar menjadi pastor.[37] Tidak lama kemudian, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung Kraków Kardinal Adam Stefan Sapieha. Pada 29 Februari 1944, Wojtyła tertabrak oleh truk Nazi Jerman. Tak diduga, perwira Wehrmacht Jerman kasihan padanya dan mengirimkannya ke rumah sakit. Dia menghabiskan waktu dua minggu untuk pulih dari gegar otak dan luka bahu. Kecelakaan ini dan penyelamatannya membuatnya makin yakin dengan panggilan imamatnya. Pada 6 Agustus 1944, ‘Minggu Hitam’,[38] Gestapo mengumpulkan para pria muda di Kraków untuk menghindari demonstrasi yang serupa dengan demonstrasi di Warsawa.[38][39][40] Wojtyła selamat dengan bersembunyi di ruang bawah tanah rumah pamannya di 10 Tyniecka Street, ketika tentara Jerman mencari di lantai atas.[37][39][40] Lebih dari 8000 pria dan pemuda ditangkap hari itu, namun dia kemudian bersembunyi di Wisma Uskup Agung,[37][38][39] di mana dia tetap bersembunyi sampai Jerman pergi.[30][37][41] Pada 17 Januari 1945 malam, Jerman meninggalkan kota, dan para pelajar mengambil kembali reruntuhan seminari. Wojtyła dan seminaris lainnya secara sukarela bertugas membersihkan tumpukan kotoran beku dari jamban.[42] Bulan itu, Wojtyła menolong seorang gadis pengungsi Yahudi berusia 14 tahun bernama Edith Zierer[43] yang melarikan diri dari perkampungan buruh di Częstochowa.[43] Setelah terjatuh dari peron stasiun kereta, Wojtyła membawanya ke kereta dan menemaninya hingga selamat sampai Kraków. Zierer sangat berterima kasih pada Wojtyła yang menyelamatkan hidupnya hari itu.[44][45][46] B'nai B'rith sebuah organisasi Yahudi dan beberapa otoritas lainnya menyatakan bahwa Wojtyła telah menolong dan melindungi banyak Yahudi Polandia lainnya dari Nazisme. Menjadi pastorSetelah menyelesaikan pendidikan seminari di Kraków, Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor pada Hari Raya Semua Orang Kudus tanggal 1 November 1946,[31] oleh uskup agung Kraków, Kardinal Adam Stefan Sapieha.[29][47][48] Dia kemudian berangkat untuk belajar teologi di Roma, di Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas (Pontifical International Athenaeum Angelicum),[47][48] di mana dia kemudian mendapat Diploma Teologi Suci dan kemudian Doktor Teologi Suci.[28] Gelar Doktorat ini yang pertama dari dua, didasarkan pada disertasi Latin "Doktrin Iman Menurut Santo Yohanes dari Salib Suci" Dia kembali ke Polandia pada musim panas 1948 dengan tugas pertama pastoral di desa Niegowić, lima belas mil dari Kraków. Setibanya di Niegowić pada musim panen, tindakan pertama yang dilakukannya adalah berlutut dan mencium lantai.[49] Tindakan ini diadaptasi dari kebiasaan santo Jean Marie Baptiste Vianney yang berasal dari Prancis,[49] yang kemudian menjadi ciri khasnya ketika menjadi Paus. Pada Maret 1949, dia dipindah ke paroki Santo Florian di Kraków, dia mengajar ilmu etika di Universitas Jagiellonian kemudian di Universitas Katolik Lublin (John Paul II Catholic University of Lublin). Sambil mengajar, Wojtyła bergabung dengan grup terdiri dari 20 pemuda, yang kemudian mereka juluki Rodzinka, atau "keluarga kecil". Mereka berkumpul untuk berdoa, diskusi filosofi, serta menolong orang buta dan sakit. Grup ini kemudian berkembang sampai sekitar 200 anggota, dan kegiatannya bertambah dengan bermain ski tahunan dan kayak.[7] Tahun 1954 dia memperoleh doktorat kedua, dalam bidang filosofi,[50] mengevaluasi kelayakan etika Katolik berdasarkan sistem etis dari fenomenologi Max Scheler. Namun, otoritas Komunis menghalanginya memperoleh gelar sampai 1957.[48] Selama periode ini, Wojtyła menulis seri artikel di koran Katolik Kraków Tygodnik Powszechny (Mingguan Umum) berkaitan dengan masalah kontemporer gereja.[51] Dia juga fokus pada pembuatan literatur asli selama dua belas tahun pertama menjadi pastor. Perang, hidup dalam Komunisme, dan tanggung jawab pastoralnya mempengaruhi puisi dan naskah dramanya. Namun, dia mempublikasikan karya-karyanya dalam dua nama samaran - Andrzej Jawień dan Stanisław Andrzej Gruda[35][51][52] - untuk memisahkan antara literatur dan tulisan religiusnya (yang diterbitkan dengan nama aslinya) dan agar karya literaturnya mendapat penghargaannya sendiri tanpa pengaruh masalah religi kepastorannya.[35][51][52] Pada 1960, Wojtyła menerbitkan buku teologis berpengaruh Cinta dan Tanggungjawab sebuah pembelaan terhadap ajaran-ajaran tradisional Gereja tentang pernikahan dari sudut pandang filosofis baru.[35][53] Menjadi uskup, uskup agung, dan kardinalPada 4 Juli 1958,[48] ketika Wojtyła sedang berlibur bermain kayak di sebuah danau di utara Polandia, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi uskup auksilier di Kraków. Dia dipanggil ke Warsawa, untuk bertemu Primat Polandia Kardinal Stefan Wyszyński, yang memberitahunya mengenai pengangkatannya.[54][55] Dia menyetujui untuk membantu uskup agung Eugeniusz Baziak sebagai uskup pembantu, dia ditahbiskan ke keuskupan menggunakan nama Uskup Ombi pada 28 September 1958.[48] Pada usia 38 tahun, dia menjadi uskup termuda di Polandia. Baziak wafat pada Juni 1962 dan pada 16 Juli 1962, Karol Wojtyła terpilih sebagai Vicar Capitular, atau administrator sementara keuskupan agung sampai uskup agung baru terpilih.[28][29] Mulai Oktober 1962, Uskup Wojtyła mengambil bagian pada Konsili Vatikan II (1962–1965),[27][28][29][48] dan memberikan kontribusi pada dokumen-dokumen penting yang kelak menjadi Pernyataan tentang Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes), dua hasil utama Konsili, ditilik dari sudut pandang historis dan pengaruhnya.[48] Uskup Wojtyła juga terlibat pada semua majelis sinode para uskup.[28][29] Kemudian pada 13 Januari 1963, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup agung Kraków.[56] Pada 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengumumkan promosi Uskup agung Wojtyła kepada Dewan Kardinal.[27][48][56] Dia ditetapkan menjadi Kardinal Imam dengan gelar titular San Caesareo de Appia.[57] Pada tahun 1967, dia berperan penting dalam perumusan ensiklik Humanae Vitae, yang berkaitan dengan masalah pelarangan aborsi dan pengaturan kelahiran dalam KB.[27][48][58][59] Menurut seorang saksi baru, Kardinal Wojtyla pada tahun 1970 melarang distribusi di keuskupan Kraków surat pastoral tentang keuskupan Polandia sedang mempersiapkan upacara ulang tahun ke-50 Perang Polandia-Soviet.[60] Menjadi PausAgustus 1978, pada wafatnya Paus Paulus VI, Kardinal Karol Wojtyła menghadiri konklaf Paus yang memilih Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Pada usia 65, Luciani bisa dikatakan masih muda sebagai Paus. Wojtyła pada usia 58 masih bisa mengharapkan untuk menghadiri sebuah konklaf Paus lainnya sebelum mencapai usia 80 tahun (usia maksimal dalam mengikuti konklaf). Namun tidak diduga bahwa konklaf berikutnya datang begitu cepat pada 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Pada Oktober 1978 Wojtyła kembali ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua dalam waktu kurang dari dua bulan.[29][48][61] Konklaf kedua pada tahun 1978 diadakan pada 14 Oktober, 10 hari setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus I. Pada konklaf ada dua kubu yang sama-sama memiliki calon kuat: Kardinal Giuseppe Siri, kubu konservatif yang merupakan Uskup Agung Genoa, dan Kardinal Giovanni Benelli, kubu liberal yang merupakan Uskup Agung Firenze (Florence) dan seorang teman dekat Paus Yohanes Paulus I.[62] Pendukung Benelli begitu yakin bahwa ia bisa terpilih, pada putaran pemungutan suara pertama, Benelli memenangkan sembilan suara.[62] Namun, dari skala oposisi berarti suara yang diperoleh para calon tidak mencukupi untuk menjadi yang terpilih. Kardinal Franz König, Uskup Agung Wina, mengusulkan kepada para rekan pemilih lainnya untuk mengajukan kandidat kompromi: Kardinal Karol Józef Wojtyła dari Polandia.[62] Wojtyła akhirnya memenangkan pemilihan dengan delapan surat suara pada hari kedua, menurut media Italia, 99 suara dari 111 pemilih memilihnya. Dia kemudian memilih nama Yohanes Paulus II[48][62] untuk menghormati pendahulunya, dan asap putih muncul untuk memberitahu khalayak yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus bahwa seorang Paus telah terpilih.[61] Dia menerima pemilihannya dengan kata-kata: ‘Dengan ketaatan dalam iman Kristus, Tuhanku, dan dengan kepercayaan pada Bunda Kristus dan Gereja, meskipun dalam kesulitan yang besar, saya menerima’[63][64] Ketika Paus baru muncul di balkon, ia telah melanggar tradisi dengan menyapa kerumunan massa.[63] Wojtyła menjadi Paus ke-264 menurut kronologis daftar Paus dan menjadi Paus non-Italia pertama sejak 455 tahun.[65] Dengan usia 58 tahun, dia adalah Paus termuda yang dilantik sejak Paus Pius IX pada 1846, yang berusia 54 tahun.[48] Seperti halnya pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II meniadakan penobatan kepausan tradisional yang seperti pelantikan dalam kerajaan, sebagai gantinya menerima pelantikan gerejawi yang disederhanakan pada 22 Oktober 1978. Selama pelantikan, ketika para kardinal berlutut di hadapannya untuk mengambil sumpah mereka dan mencium cincinnya, dia berdiri ketika Kardinal Stefan Wyszyński dari Polandia berlutut, menghentikannya mencium cincin dan memeluknya.[66] Karya dan kehidupanPengajaran
Sebagai Paus, salah satu peran Yohanes Paulus II yang paling penting adalah untuk mengajar orang tentang agama Kristen. Dia menulis 14 ensiklik Paus dan mengajarkan tentang "Teologi Tubuh". Dalam suratnya Di awal milenium yang baru (Novo Millennio Ineunte) dia menekankan pentingnya semua prioritas gereja pada Yesus Kristus: "Tidak, kami tidak akan diselamatkan oleh program namun oleh Manusia." Dalam Cahaya Kebenaran (Veritatis Splendor), dia menekankan ketergantungan manusia pada Allah dan HukumNya ("Tanpa Sang Pencipta, makhluk ciptaan akan hilang") dan "ketergantungan kebebasan pada kebenaran". Dia mengingatkan bahwa manusia yang "menggantungkan dirinya sendiri pada relativisme dan skeptisime, akan tersesat dalam pencarian kebebasan semu jauh dari kebenaran itu sendiri". Dalam Iman dan Akal budi (Fides et Ratio) Yohanes Paulus II mempromosikan minat baru dalam filsafat dan pencarian kebenaran dalam hal-hal teologis. Mengambil dari berbagai jenis sumber (seperti dari Thomisme), dia menggambarkan hubungan saling mendukung antara iman dan akal, dan menekankan para teolog harus fokus pada hubungan itu. Yohanes Paulus II juga menulis banyak tentang kelompok pekerja dan doktrin sosial dari Gereja, dituangkannya dalam tiga ensiklik. Melalui ensiklik dan banyak Surat Apostolik serta Opininya, Yohanes Paulus II membahas tentang martabat perempuan dan pentingnya keluarga dalam masa depan kemanusiaan.[58] Ensiklik lain termasuk Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) dan Ut Unum Sint (Supaya Mereka Semua Menjadi Satu). Meskipun banyak kritik yang menuduhnya tidak fleksibel, dia menegaskan kembali ajaran moral Katolik menentang pembunuhan, eutanasia dan aborsi yang telah ada lebih dari seribu tahun.[58]
Perjalanan pastoralSelama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II melakukan perjalanan ke 129 negara,[4] dan mencatat lebih dari 1,1 juta kilometer jarak perjalanan. Dia selalu menarik perhatian banyak orang dalam perjalanannya, beberapa yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah manusia seperti Hari Pemuda Sedunia di Manila 1995, di mana berkumpul sekitar 5 juta orang.[68] Sebagian orang memperkirakan bahwa ini mungkin merupakan perkumpulan orang Kristiani terbesar yang pernah ada. Dua dari kunjungan resmi Paus Yohanes Paulus II adalah ke Meksiko pada Januari 1979 dan ke Polandia pada Juni 1979, di mana selalu dikerumuni oleh kegembiraan manusia.[69] Kunjungan pertama ke Polandia ini meningkatkan semangat nasional dan mencetuskan formasi gerakan Solidaritas (Solidarność) pada tahun 1980, yang membawa kebebasan dan hak asasi pada negara yang bermasalah ini.[58] Pada kunjungan berikutnya ke Polandia dia memberikan dukungan diam-diam pada organisasi ini.[58] Beberapa perjalanan ini menguatkan pesannya dan Polandia memulai proses yang kemudian mengalahkan dominasi Uni Soviet di Eropa Timur pada tahun 1989.[4][5][69][70][71][72] Sementara beberapa kunjungannya (seperti ke Amerika Serikat dan Tanah Suci) meneruskan kunjungan sebelumnya dari Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang berkunjung ke Gedung Putih ketika perjalanan ke AS pada Oktober 1979, di mana dia disambut dengan hangat oleh calon presiden waktu itu Jimmy Carter. Dia juga berkunjung ke banyak negara di mana belum pernah ada Paus yang berkunjung sebelumnya. Dia adalah Paus pertama yang mengunjungi Meksiko di Januari 1979,[73] sebelum berkunjung ke Polandia sebagai Paus, juga ke Irlandia kemudian pada tahun yang sama.[74][75] Dia adalah paus yang memerintah pertama yang berkunjung ke Britania Raya, pada 1982,[76] di mana dia bertemu Ratu Elizabeth II, Gubernur Agung dari Gereja Inggris.[76] Dia melakukan perjalanan ke Haiti pada 1983, di mana dia berbicara dalam bahasa kreol kepada ribuan warga Katolik miskin yang berkumpul menyambutnya di bandar udara. Pesannya, "sesuatu harus berubah di Haiti", berdasarkan pada perbedaan yang menyolok antara kaya dan miskin, mendapat tepuk tangan bergemuruh.[77] Pada tahun 2000, dia adalah Paus modern pertama yang berkunjung ke Mesir,[78] di mana dia bertemu dengan paus Koptik, Paus Shenouda III[78] dan Patriark Ortodoks Yunani dari Alexandria.[78][79] Dia juga menjadi paus Katolik pertama yang berkunjung dan berdoa di sebuah masjid di Damaskus, Siria pada tahun 2001. Dia berkunjung ke Masjid Agung Umayyah, yang sebelumnya adalah gereja Kristen di mana Yohanes Pembaptis diyakini dimakamkan,[80] di mana dia berpidato untuk meminta Muslim, Kristen dan Yahudi untuk bekerja bersama-sama.[80][81] Pada 15 Januari 1995, ketika berlangsung Hari Pemudia Dunia X, dia mengadakan misa untuk sekitar lima sampai tujuh juta umat di Luneta park,[68] Manila, Filipina, yang menjadi pertemuan tunggal terbesar dalam sejarah Kristen.[68] Pada Maret 2000, ketika mengunjungi Yerusalem, Yohanes Paulus II menjadi paus pertama dalam sejarah yang berkunjung dan berdoa di Tembok Ratapan.[82][83] Pada September 2001, dalam suasana paska Serangan 11 September 2001, dia melakukan perjalanan ke Kazakhstan dengan pengunjung yang kebanyakan adalah muslim, dan ke Armenia, untuk menghadiri peringatan 1.700 tahun masuknya Kristen di negara itu.[84]
Pada kunjungan 5 harinya ke Indonesia pada 8-12 Oktober 1989, Paus Yohanes Paulus II menyinggahi Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili (Timor Timur - waktu itu masih menjadi provinsi ke-27 Indonesia), dan Medan. Dalam kunjungan itu Sri Paus memimpin Misa Agung dan berdialog langsung dengan lebih dari satu juta orang. Pada Misa Agung di Senayan, Paus mengucapkan doa Tanda Salib: “Atas nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus” dalam bahasa Indonesia yang lancar, yang dijawab umat “Amin”. Misa itu seluruhnya berlangsung dalam Bahasa Indonesia, dan Paus dapat melafalkan doa dan nyanyian dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan lancar, nyaris tanpa salah, termasuk ketika menyanyikan Prefasi yang panjang. Paus Yohanes Paulus II juga mengadakan pertemuan khusus dengan kaum awam dan cendekiawan Katolik Indonesia di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, serta meresmikan gedung baru "Karol Wojtyła".[85] Paus sempat menyatakan:
KepemudaanPaus Yohanes Paulus II mempunyai hubungan khusus dengan kepemudaan Katolik dan dikenal juga sebagai Paus untuk Kepemudaan.[87][88] Sebelum menjadi paus, dia sudah sering melakukan perkemahan dan perjalanan mendaki gunung dengan para pemuda. Dia tetap melakukannya ketika sudah menjadi paus.[87] Dia sangat memperhatikan pendidikan untuk pastor masa mendatang dan banyak melakukan kunjungan awal ke seminari Katolik Roma, termasuk ke Venerable English College pada 1979.[29] Dia menggagas Hari Pemuda Dunia pada 1984 dengan maksud membawa pemuda pemudi Katolik dari seluruh dunia bersama-sama merayakan keyakinannya.[29][87][88] Pertemuan seminggu para pemuda ini berlangsung setiap dua atau tiga tahun, menarik minat ratusan ribu kaum muda, yang berkumpul untuk bernyanyi, berpesta dan bertemu untuk memperdalam keyakinan mereka.[29][88] Hari Pemuda Dunia ke 19 yang dirayakan selama kepausannya, mengumpulkan jutaan kaum muda dari seluruh dunia. Pada waktu itu, perhatiannya pada keluarga diungkapkan pada Pertemuan Keluarga Dunia, yang diadakan pada tahun 1994.[29]
Hubungan dengan agama lainPaus Yohanes Paulus II melakukan sangat banyak perjalanan dan bertemu dengan para penganut agama dan kepercayaan lain. Dia selalu mencoba mencari dasar yang sama untuk berkomunikasi, baik doktrin atau dogma. Pada hari Doa Sedunia untuk Perdamaian, yang diadakan pada 27 Oktober 1986 di Assisi, lebih dari 120 wakil agama dan kepercayaan serta berbagai denominasi Kristen meluangkan waktu sehari bersama untuk berpuasa dan berdoa.[89] AnglikanismePaus Yohanes Paulus II mempunyai hubungan yang baik dengan Gereja Inggris, berdasarkan pendahulunya Paus Paulus VI, sebagai "yang tercinta Saudari Gereja".[90] Dia berkotbah di Katedral Canterbury ketika berkunjung ke Britania Raya,[76] dan menerima Uskup Agung Canterbury dengan bersahabat dan penuh kesopanan.[76] Namun, Yohanes Paulus II kecewa dengan keputusan Gereja Inggris yang memberikan Sakramen Tahbisan (Holy Orders) kepada perempuan dan melihatnya sebagai sebuah langkah berlawanan dalam kesatuan antara Komuni Anglikan dan Gereja Katolik.[90] Pada 1980 Yohanes Paulus II mengeluarkan pengecualian pastoral yang memungkinkan mantan imam Episkopal yang pernah menikah untuk menjadi imam Katolik, dan untuk menerima bekas paroki Gereja Episkopal menjadi Gereja Katolik. Dia juga mengizinkan penciptaan bentuk Anglikan dari Ritus Latin, yang menggabungkan Buku Umum Doa Anglikan. Upaya bersejarah oikumene Yohanes Paulus II dengan Komuni Anglikan diwujudkan dengan berdirinya Gereja Katolik Bunda Penebusan (bentuk Anglikan), bekerjasama dengan Uskup Agung Patrick Flores dari San Antonio, Texas di Amerika Serikat.[91] LutheranismePada perjalanan kepausannya ke Norwegia, Islandia, Finlandia, Denmark dan Swedia 1-10 Juni 1989,[92] Yohanes Paulus II menjadi paus pertama yang berkunjung ke negara-negara dengan mayoritas gereja Lutheran. Selain merayakan Misa dengan umat Katolik, dia berpartisipasi dalam pelayanan oikumene di tempat-tempat yang pernah menjadi tempat suci Katolik sebelum reformasi Lutheran pada abad 16: Katedral Nidaros Norwegia, Thingvellir Islandia, Katedral Turku Finlandia, Katedral Roskilde Denmark dan Katedral Uppsala Swedia. Pada 31 Oktober 1999 (ulang tahun ke 482 Hari Reformasi, pengumuman 95 Tesis), perwakilan dari Vatikan dan Federasi Lutheran se-Dunia menandatangani Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran, sebagai tanda persatuan. YudaismeHubungan antara Katolik dan Yudaisme meningkat selama kepausan Yohanes Paulus II.[58][83] Dia sering membicarakan hubungan gereja dengan Yahudi.[58] Pada masa kanak-kanak, Karol Wojtyła sering berolah raga dengan banyak tetangga Yahudinya.[33][93] Pada tahun 1979 dia menjadi Paus pertama yang mengunjungi kamp konsentrasi Auschwitz Jerman di Polandia, di mana banyak warga sebangsanya (mayoritas Yahudi Polandia) meninggal selama pendudukan Nazi pada Perang Dunia II. Pada tahun 1998 dia mengeluarkan dokumen "Kami Ingat: Sebuah Refleksi Shoah" yang menggambarkan pemikirannya tentang Holocaust.[94] Dia juga menjadi paus pertama yang diketahui melakukan kunjungan resmi kepausan ke sebuah sinagoge,[95] ketika dia mengunjungi Sinagoge Agung di Roma pada 13 April 1986.[96][97][98] Pada tahun 1994, Yohanes Paulus II meresmikan hubungan diplomatik resmi antara Tahta Suci dan Negara Israel, mengakui sentralitas kehidupan Yahudi dan keimanannya.[96][99] Untuk menghargai peristiwa ini, Paus Yohanes Paulus II menyelenggarakan ‘Konser Kepausan Memperingati Holocaust’. Konser ini, disusun dan dilaksanakan oleh Maestro Amerika Gilbert Levine, dihadiri oleh Ketua Rabi di Roma, Presiden Italia, dan mereka yang selamat dari Holocaust dari seluruh dunia.[100] Pada Maret 2000, Yohanes Paulus II mengunjungi Yad Vashem, tugu peringatan Holocaust di Israel, dan kemudian membuat sejarah dengan menyentuh satu dari tempat tersuci Yudaisme, Tembok Ratapan di Yerusalem,[83] menaruh sebuah pesan di dalamnya (di mana dia berdoa untuk pengampunan atas tindakan yang dilakukan terhadap orang Yahudi).[82][83][96][101] Di bagian tujuan, dia mengatakan: "Saya yakinkan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Gereja Katolik ... sangat sedih oleh kebencian, penganiayaan dan tindakan anti-Semitisme yang diarahkan kepada orang Yahudi oleh orang Kristen di setiap saat dan di setiap waktu", dia menambahkan bahwa "tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk menyayangkan tragedi mengerikan dari Holocaust".[82][83] Menteri kabinet Israel Rabi Michael Melchior, yang menjadi tuan rumah kunjungan Paus, berkata bahwa dia "sangat terharu" dengan apa yang dilakukan Paus.[82][83]
Pada Oktober 2003, Anti-Defamation League (ADL) mengeluarkan pernyataan selamat kepada Yohanes Paulus II memasuki 25 tahun kepausannya.[99] Pada Januari 2005, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang diketahui sejarah menerima berkat imam dari seorang rabi, ketika Rabi Benjamin Blech, Barry Dov Schwartz, dan Jack Bemporad berkunjung ke Paus di Clementi Hall di Istana Apostolik.[103] Segera setelah meninggalnya paus, ADL mengeluarkan pernyataan bahwa Paus Yohanes Paulus II telah mengubah drastis hubungan antara Katolik dan Yudaisme, mengatakan bahwa "banyak perubahan menuju kebaikan terjadi pada 27 tahun masa kepemimpinanya dibanding 2000 tahun sebelumnya."[104] Dalam pernyataan lainnya yang dikeluarkan di Australia, Dewan Urusan Israel & Yahudi, Direktur Dr Colin Rubenstein berkata, "Paus akan dikenang untuk inspirasi kepemimpinan rohaninya dalam kemerdekaan dan kemanusiaan. Dia mencapai hasil yang lebih jauh dalam hal transformasi hubungan dengan orang-orang Yahudi dan Israel dibanding tokoh lainnya dalam sejarah Gereja Katolik.".[96]
Gereja Ortodoks TimurPada Mei 1999, Yohanes Paulus II mengunjungi Rumania atas undangan dari Patriark Teoctist Arăpaşu dari Gereja Ortodoks Rumania. Ini adalah untuk pertama kalinya seorang Paus mengunjungi sebuah negara yang didominasi Gereja Ortodoks sejak Skisma Timur-Barat tahun 1054.[105] Pada kedatangannya, Patriark dan presiden Rumania, Emil Constantinescu menyambut Paus.[105] Patriark menyatakan, "Milenium kedua dalam sejarah Kristen dimulai dengan luka yang menyakitkan dari persatuan Gereja; akhir dari milenium ini telah terlihat komitmen yang nyata untuk memulihkan persatuan Kristen."[105] Yohanes Paulus II mengunjungi negara dengan penganut Ortodoks lainnya yang besar, Ukraina pada 23-27 Juni 2001 atas undangan presiden Ukraina dan uskup Gereja Katolik-Yunani Ukraina. Paus berbincang dengan para pimpinan Dewan Gereja-gereja dan Keagamaan Seluruh Ukraina, memohon untuk "sebuah dialog yang terbuka, toleran dan jujur".[106] Sekitar 200 ribu orang menghadiri perayaan liturgi yang dipimpin Paus di Kiev, dan liturgi di Lviv dihadiri hampir satu setengah juta umat.[106] Yohanes Paulus II menyatakan akhir dari Skisma Besar adalah salah satu harapannya.[106] Menyembuhkan luka perpisahan antara Katolik dan gereja-gereja Ortodoks Timur meski tradisi Latin dan Romawi Timur jelas tentang kepentingan pribadi yang besar. Selama tradisi Latin dan Byzantium jelas tentang kepentingan pribadi yang besar. Cukup lama, Yohanes Paulus II berusaha memfasilitasi dialog dan usaha melakukan penyatuan setidaknya sejak 1988 pada Eutus in mundum (dunia) bahwa "Eropa memiliki dua paru-paru, bernapas tidaklah mudah sampai keduanya digunakan". Selama perjalanan tahun 2001, Yohanes Paulus II menjadi Paus pertama yang mengunjungi Yunani dalam 1291 tahun.[107][108] Di Athena, Paus bertemu dengan Uskup Agung Christodoulos, pimpinan Gereja Ortodoks Yunani.[107] Setelah pertemuan tertutup 30 menit, keduanya berbicara pada publik. Christodoulos membaca daftar "13 pelanggaran" dari Gereja Katolik Roma terhadap Gereja Ortodoks Timur sejak Skisma Besar,[107] termasuk perampasan Konstantinopel oleh pejuang perang Salib pada 1204, dan meratapi kurangnya permintaan maaf dari Gereja Katolik Roma, mengatakan "Hingga sekarang, belum pernah terdengar satupun permintaan maaf" untuk ""pejuang gila perang Salib abad ke 13."[107] Paus menanggapi dengan berkata "Untuk kesempatan dulu dan sekarang, ketika putra dan putri Gereja Katolik telah berdosa atas tindakan atau kelalaian terhadap saudara-saudara mereka dari kaum Ortodoks, semoga Tuhan memberikan kita pengampunan," yang mana langsung disambut tepuk tangan oleh Christodoulos. Yohanes Paulus II juga mengatakan bahwa penjarahan Konstantinopel adalah sumber "penyesalan yang mendalam" untuk Katolik.[107] Kemudian Yohanes Paulus II dan Christodoulos bertemu di lokasi di mana Santo Paulus dari Tarsus pernah diwartakan kepada orang-orang Kristen Athena. Mereka mengeluarkan ‘deklarasi bersama’, yang mengatakan "Kami akan mengupayakan segala daya, agar akar Kristen di Eropa dan jiwa Kristen dapat dipertahankan. ... Kami mengutuk semua jenis kekerasan, proselitisme, fanatisme, atas nama agama"[107] Kedua pemimpin itu lalu melakukan Doa Bapa Kami bersama, menyingkirkan tabu bahwa Ortodoks tidak boleh berdoa bersama Katolik.[107] Paus juga pernah berkata selama masa kepemimpinannya bahwa salah satu mimpi besarnya adalah mengunjungi Rusia, namun hal ini tidak pernah terwujud. Dia mencoba menyelesaikan masalah yang muncul berabad-abad antara Katolik dan Gereja Ortodoks Rusia, seperti mengembalikan ikon Our Lady of Kazan pada bulan Agustus 2004 kepada gereja Ortodoks Rusia. BudhismeTenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 mengunjungi Paus Yohanes Paulus II delapan kali, lebih banyak dari para petinggi negara atau agama lainnya. Paus dan Dalai Lama sering berbagi pandangan yang sama dan memahami hal-hal buruk yang mirip, keduanya berasal dari masyarakat yang terpengaruh oleh komunisme dan keduanya sama-sama adalah pimpinan agama tertinggi.[109][110] IslamPaus Yohanes Paulus II membuat upaya yang cukup untuk meningkatkan hubungan antara Katolik dan Islam.[111] Pada 6 Mei 2001, Paus Yohanes Paulus II menjadi paus Katolik pertama yang memasuki dan berdoa di masjid. Dengan penuh hormat menanggalkan sepatunya, dia masuk ke Masjid Agung Umayyah, sebuah bekas gereja Kristen pada masa Kekaisaran Romawi Timur yang didedikasikan untuk Yohanes Pembaptis (yang diyakini dimakamkan disitu) di Damaskus, Suriah, dan memberikan kotbah termasuk pernyataan: "Untuk masa waktu ketika Muslim dan Kristen pernah menyinggung satu sama lain, kita perlu meminta pengampunan dari Yang Maha Kuasa untuk memberikan pengampunan satu sama lain."[80][81] Dia mencium Al-Qur'an di Suriah,[112][113][114] sebuah tindakan yang membuatnya terkenal di kalangan Muslim tetapi dinilai kurang tepat oleh sebagian umat Katolik.[113] Pada tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mengadakan "Konser Rekonsiliasi Kepausan," yang menghadirkan para pemimpin Islam dengan para pemimpin komunitas Yahudi dan Gereja Katolik di Vatikan dengan konser oleh Kraków Philharmonic Choir dari Polandia, London Philharmonic Choir dari Britania Raya, Pittsburgh Symphony Orchestra dari Amerika Serikat, dan Ankara State Polyphonic Choir dari Turki[115][116][117][118] Acara ini disiapkan dan dipimpin oleh Sir Gilbert Levine, KCSG dan disiarkan ke seluruh dunia.[115][116][117][118] Yohanes Paulus II mengawasi penerbitan Katekismus Gereja Katolik yang memuat hal khusus untuk Muslim; di dalamnya, tertulis, "Rencana keselamatan juga mencakup Penciptaan, di tempat pertama diantaranya adalah kaum Muslim; bersama memegang iman Abraham (Nabi Ibrahim dalam Islam), dan bersama-sama memuja satu, Tuhan Maha Penyayang, serta penghakiman manusia pada akhir zaman."[119] Peran dalam runtuhnya komunismePaus Yohanes Paulus II telah dikatakan berperan pada jatuhnya komunisme di Eropa Timur,[4][5][58][70][71][72][120] dengan menjadi inspirasi spiritual dibalik kejatuhannya, dan menjadi katalisator untuk "revolusi damai" di Polandia. Lech Wałęsa pendiri Solidarność, menghargai Yohanes Paulus II yang telah memberikan keberanian pada Polandia untuk bangkit.[58] Menurut Wałęsa, "Sebelum masa kepausannya, dunia terbagi dalam blok-blok. Tidak ada seorangpun tahu bagaimana keluar dari pengaruh komunisme. Di Warsawa, 1979, dia hanya berkata singkat: "Jangan takut", dan kemudian berdoa: "Biarlah Roh Kudusmu turun dan mengubah wajah bumi... tanah ini".[120][121] Dalam surat-menyurat presiden Ronald Reagan kepada paus mengungkapkan "bertindak cepat secara menerus untuk menopang dukungan Vatikan atas kebijakan AS. Mungkin yang paling mengejutkan, surat-surat menunjukkan bahwa, hingga akhir tahun 1984, Paus tidak yakin bahwa pemerintah Komunis Polandia bisa diubah."[122] Pada Desember 1989, Yohanes Paulus II bertemu dengan pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev di Vatikan dan keduanya saling mengungkapkan rasa hormat dan kekaguman. Gorbachev pernah mengatakan "Runtuhnya Tirai Besi tidak mungkin terjadi tanpa Yohanes Paulus II".[70][72] Pada saat wafatnya Yohanes Paulus II, Mikhail Gorbachev berkata: "Kesetiaan Paus Yohanes Paulus II pada pengikutnya adalah contoh yang patut kita semua tiru."[5][120][123] Pada Februari 2004, Paus Yohanes Paulus II dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian untuk menghargai karya kehidupannya melawan penindasan Komunis dan bantuannya mengubah tatanan dunia.[124] Presiden George W. Bush memberikan Medali Kebebasan Presidensial, sebuah penghargaan tertinggi Amerika kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berlangsung upacara di Istana Apostolik Vatikan 4 Juni 2004.[125] Presiden membacakan kutipan yang terdapat di medali, yang tertuliskan "putra Polandia ini" yang mana "pendiriannya pada perdamaian dan kebebasan telah menginspirasi jutaan orang dan membantu menggulingkan komunisme dan tirani."[125] Setelah menerima penghargaan itu, Yohanes Paulus II berkata, "Semoga keinginan untuk bebas, perdamaian, dunia yang lebih manusiawi yang dilambangkan oleh medali ini menginspirasi keinginan baik setiap pria dan wanita di setiap waktu dan tempat."[125]
Percobaan-percobaan pembunuhanPada 13 Mei 1981, Yohanes Paulus II hampir tewas ketika ditembak oleh Mehmet Ali Ağca, seorang ekstremis Muslim Turki, kala masuk Lapangan Santo Petrus untuk bertemu umat. Ağca akhirnya dihukum penjara seumur hidup. Mengapa, bagaimana dan atas perintah siapa percobaan pembunuhan ini dilakukan, masih tetap berupa misteri sampai akhir Maret 2005. Dikatakan dokumen-dokumen penting dari negara-negara mantan anggota Uni Soviet menunjukkan bahwa KGB bertanggung jawab.[126] Motif pembunuhan masih diperdebatkan. Salah satu kemungkinan ialah bahwa rezim komunis Uni Soviet takut akan pengaruh Paus Polandia ini akan stabilitas negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur, terutama di Polandia sendiri. Spekulasi lain menuduh orang-orang dalam Vatikan yang memberi perintah, terutama faksi kaum Freemason yang menentang Karol Wojtyła dan kelompok Opus Dei, yang salah satu pemimpinnya adalah Kardinal Casaroli. Ali Ağca sendiri masih bungkam dalam mengungkapkan kebenaran percobaan pembunuhannya, meski ia sering memberikan petunjuk bahwa ia mendapatkan pertolongan dari orang dalam Vatikan. Dan akhirnya ada yang mengatakan bahwa Ağca, seorang penembak ulung, sebenarnya bisa membunuh sang Paus, jika mau dan misinya hanyalah menakut-nakutinya. Namun segala kemungkinan hanya merupakan spekulasi saja karena belum ada bukti-bukti definitif yang muncul. Dua hari setelah Natal, pada 27 Desember 1983, Paus menjenguk pembunuhnya di penjara. Keduanya bercakap-cakap dan berbincang-bincang beberapa lama. Setelah pertemuan ini, Paus kemudian berkata: "Apa yang kita bicarakan harus merupakan rahasia antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percayai sepenuhnya." Naik takhtanya Yohanes Paulus II sebagai Paus sudah diramalkan beberapa dasawarsa sebelumnya oleh Padre Pio. Biarawan yang sama ini, juga meramal bahwa pemerintahan Karol Wojtyła hanya berlangsung singkat dan berakhir dengan darah, sebuah ramalan yang hampir saja terbukti jika pembunuhannya berhasil. Percobaan pembunuhan ini juga diramalkan pada rahasia ketiga Tiga Rahasia Fatima, sebuah analisis dari Vatikan mengungkapkannya. Sebuah percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 12 Mei 1982, di Fatima, Portugal ketika seorang pria berusaha menikam Paus dengan sebilah bayonet, tetapi dicegah oleh para penjaga. Si pembunuh, adalah seorang pastor ultrakonservatif, berhaluan keras, seorang warganegara Spanyol, bernama Juan María Fernández y Krohn. Dilaporkan ia menentang reformasi Konsili Vatikan II dan memanggil Paus seorang "agen dari Moskwa." Ia kemudian divonis hukuman penjara enam tahun dan lalu diekstradisi dari Portugal. Ada pula sebuah percobaan pembunuhan Paus pada lawatannya di Manila bulan Januari 1995, yang merupakan bagian dari Operasi Bojinka, sebuah serangan terorisme massal yang dikembangkan oleh anggota kaum ekstremis Ramzi Yousef dan Khalid Sheik Mohammed. Seorang bom bunuh diri yang menyamar sebagai seorang pastor direncanakan mendekati parade Paus dan meledakkan diri. Namun sebelum tanggal 15 Januari 1995 hari para pria ini akan melaksanakan rencana teror mereka, sebuah kebakaran dalam sebuah apartemen membawa para penyidik yang dipimpin oleh Aida Fariscal ke komputer laptop Yousef yang berisikan rencana-rencana teror mereka. Yousef dicekal di Pakistan kurang lebih sebulan kemudian, tetapi Khalid Sheik Mohammed baru dicekal pada 2003. Peran dan sikap sosial dan politik
Yohanes Paulus II dianggap konservatif pada doktrin dan isu-isu yang berhubungan dengan reproduksi dan penahbisan kaum wanita.[127] Ketika Paus mengunjungi Amerika Serikat dia berkata, "Semua kehidupan manusia, sejak saat pembuahan dan melewati seluruh tahap perkembangannya, adalah sakral."[128] Seri pengajaran sebanyak 129 buah yang diberikan Yohanes Paulus II pada pengunjung di Roma antara September 1979 dan November 1984 kemudian dijilid dan dipublikasikan dalam sebuah bundel berjudul Teologi Tubuh, berisi permenungan mengenai seksualitas manusia. Dia juga memperluasnya dengan mengutuk aborsi, eutanasia dan segala bentuk hukuman mati,[129] menyebutnya semua itu sebagai bagian dari "kultur kematian" yang meresap pada kehidupan dunia modern. Dia mengkampanyekan untuk menghentikan pertumbuhan hutang dunia dan memberikan keadilan sosial.[58][127] Dia melakukan kunjungan pertama sebagai Paus ke Irlandia di akhir 1979. Dia berbicara pada sekitar 250.000 umat yang hadir pada Misa di Drogheda. Mengingat Na Trioblóidí (the Troubles), paus berkata:
Teologi pembebasanPada tahun 1984 dan 1986, melalui suara Kardinal Ratzinger, pemimpin Kongregasi bagi Doktrin Iman, Yohanes Paulus II secara resmi mengutuk teori teologi Pembebasan, yang mana mempunyai banyak pengikut di Amerika Selatan. Óscar Romero mencoba, ketika berkunjung ke Eropa, untuk mendapatkan kutukan Vatikan untuk rezim El Salvador, dan mencela atas pelanggaran hak asasi manusia dan dukungannya terhadap skuat kematian, namun gagal. Dalam perjalanannya ke Managua, Nikaragua pada 1983, Yohanes Paulus II mengutuk dengan keras apa yang ia sebut "Gereja populer""[131] (seperti komunitas gerejawi dasar atau ecclesial base communities (CEB) yang didukung Consejo Episcopal Latinoamericano atau CELAM atau Konferensi Episkopal Amerika Latin), dan kecenderungan klerus (rohaniwan) Nikaragua yang mendukung sayap kiri Sandinista, mengingatkan para rohaniwan atas tugas mereka untuk taat pada Tahta Suci.[131] Yubileum 2000Pada tahun 2000, dia secara terbuka mendukung kampanye Yubileum 2000 untuk mengurangi hutang negara-negara Afrika yang diawali oleh bintang rock Irlandia Bob Geldof dan Bono. Perang IrakPada tahun 2003, Yohanes Paulus II juga menjadi kritikus terkemuka dari invasi 2003 ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat.[58] Pada tahun itu Paus menyatakan ketidak setujuannya terhadap invasi tersebut dengan menyatakan, "Tidak untuk perang! Perang tidak selalu dapat dihindari. Namun perang selalu merupakan kekalahan untuk kemanusiaan."[132] Dia mengirim Apostolik Pro-Nuncio ke Amerika Serikat Kardinal Pio Laghi untuk berbicara dengan presiden Amerika Serikat George W. Bush untuk menyatakan sikap anti perangnya. Yohanes Paulus II mengatakan bahwa itu terserah pada PBB untuk menyelesaikan masalah konflik internasional melalui diplomasi dan agresi sepihak merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan pelanggaran terhadap hukum internasional.
EvolusiPada 22 Oktober 1996, dalam sesi pleno Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan di Vatikan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa teori evolusi Charles Darwin adalah fakta, dan sepenuhnya kompatibel dengan ajaran Gereja Katolik Roma.[133][134][135][136] Namun, meski menerima teori evolusi, Yohanes Paulus II memberikan satu perkecualian - jiwa manusia. "Jika tubuh manusia berasal dari sesuatu materi hidup yang pernah ada sebelumnya, jiwa rohani diciptakan langsung oleh Allah".[133][135][136] Pandangan pada seksualitasKetika mengambil posisi tradisional atas seksualitas, membela Gereja sebagai oposisi moral atas pernikahan sejenis, Paus menegaskan bahwa orang-orang dengan kecenderungan homoseksual memiliki martabat yang melekat dan hak-hak yang sama seperti orang lain. Dalam buku terakhirnya, Memori dan Identitas, ia mengacu pada "tekanan" pada Parlemen Eropa untuk mengizinkan "perkawinan sejenis". Dalam buku, seperti dikutip Reuters, ia menulis: "Adalah sah dan perlu untuk bertanya pada diri sendiri jika ini bukan merupakan bagian dari ideologi baru yang jahat, mungkin lebih berbahaya dan tersembunyi, yang mana mencoba mengadu hak asasi manusia melawan kehidupan keluarga dan manusia."[58] Paus juga menegaskan kembali ajaran Gereja mengenai hubungan gender terhadap transseksual, seperti pada Kongregasi bagi Doktrin Iman, yang mana ia awasi, sudah jelas bahwa transseksual tidak bisa melakukan pelayanan gereja.[58][127] Pada sebuah penelitian pada tahun 1997 mengatakan bahwa 3% dari pendapat-pendapat Paus adalah tentang isu moralitas seksual.[137] KesehatanKetika dia menjadi paus pada 1978, Yohanes Paulus II adalah olahragawan sejati. Pada waktu yang sama, meski berusia 58 tahun masih sehat dan aktif, jogging di Taman Vatikan, latihan beban, berenang, dan hiking di pegunungan. Dia juga punya latar belakang bermain sepak bola. Media membandingkan atletisme Paus yang baru dengan sosok Paus Yohanes Paulus I dan Paus Paulus VI yang kondisi kesehatannya buruk, gemuknya Paus Yohanes XXIII dan Paus Pius XII yang sakit-sakitan. Paus modern dengan kesehatan baik hanya Paus Pius XI (1922-1939) yang bekas pendaki gunung.[138][139] Sebuah artikel Irish Independent pada tahun 1980 menjuluki Yohanes Paulus II sebagai Paus yang sehat. Yohanes Paulus II sehat sepenuhnya setelah percobaan pembunuhan pertama yang gagal, dan berolahraga dalam kondisi fisik yang mengagumkan sepanjang tahun 1980-an. Pada November 1993, ia terpeleset di atas karpet yang baru dipasang dan jatuh beberapa anak tangga, mematahkan tulang bahu kanannya.[140] Empat bulan kemudian ia terjatuh di kamar mandi, dan tulang pahanya patah, berakibat pada perawatan di Rumah Sakit Gemelli, Roma untuk penggantian pinggul.[141] Dia kemudian jarang terlihat berjalan di depan masyarakat setelahnya, dan mulai mengalami cara berbicara yang cadel dan mengalami kesulitan pendengaran. Kesehatan Paus yang mulai rapuh tersebut diduga karena terkena penyakit Parkinson, meski kemudian baru diungkap pada 2001 oleh ahli bedah ortopedi Italia, Dr. Gianfranco Fineschi.[142][143] Kuria Romawi baru mengkonfirmasi pada tahun 2003, setelah menyimpan rahasia selama 12 tahun.[144] Pada Februari 2005, Paus dibawa lagi ke Rumah Sakit Gemelli karena peradangan dan pembengkakan laring, sebagai akibat terkena flu.[145] Dia dirawat lagi setelah beberapa hari keluar rumah sakit karena kesulitan bernapas. Dilakukan trakeotomi, yang meningkatkan kemampuan bernapas Paus namun membatasi kemampuan berbicaranya, membuatnya terlihat frustrasi. Vatikan memastikan dia menjelang ajal pada Maret 2005, beberapa hari sebelum ia wafat.[146] Kematian dan pemakaman31 Maret 2005 akibat dari infeksi saluran kemih,[147] Yohanes Paulus II mengalami septic shock sebuah gejala penyebaran infeksi dengan demam tinggi dan tekanan darah turun, namun dia tidak dibawa ke rumah sakit. Namun mendapat pengawasan medis dari tim perawat di tempat tinggal pribadinya. Ini menandakan bahwa paus sudah mendekati ajalnya; kemungkinan juga karena keinginannya untuk meninggal di Vatikan.[148] Hari itu juga, sumber Vatikan mengumumkan bahwa Yohanes Paulus II telah mendapat Sakramen pengurapan orang sakit oleh teman dan sekretarisnya Stanisław Dziwisz. Selama hari-hari terakhir kehidupan Paus, cahaya tetap dinyalakan menerangi malam di mana dia tinggal di lantai atas Istana Apostolik. Puluhan ribu umat berkumpul di Lapangan Santo Petrus dan jalan-jalan sekitarnya selama 2 hari. Mendengar kabar ini, paus yang sedang sekarat berkata: "Saya telah mencari untuk Anda, dan kini Anda telah datang kepada saya, dan saya berterima kasih."[149] Sabtu, 2 April 2005, sekitar pukul 15.30 CEST, Yohanes Paulus II mengatakan kata terakhirnya, "pozwólcie mi odejść do domu Ojca", ("biarkan aku pergi ke rumah Bapa"), kepada pendampingnya, dan mengalami koma sekitar empat jam kemudian.[149][150] Misa persiapan Minggu Kerahiman Ilahi memperingati kanonisasi Maria Faustina Kowalska pada 30 April 2000,[151] baru dilakukan di sisi ranjangnya, dipimpin oleh Stanisław Dziwisz dan bersama dua pendamping Polandia. Juga hadir Kardinal dari Ukraina yang pernah melayani menjadi pastor bersama Paus di Polandia, juga beberapa biarawati Polandia dari Kongregasi Suster-suster Hati Kudus Yesus (Congregation of the Sisters Servants of the Most Sacred Heart of Jesus), yang melayani rumah tangga kepausan. Ia meninggal dunia di apartemen pribadinya jam 21:37 CEST (19:37 UTC)[144][150][152] karena kegagalan jantung akibat tekanan darah rendah dan kegagalan peredaran darah, 46 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-85. Yohanes Paulus II tidak mempunyai keluarga dekat pada saat meninggal, dan perasaannya sudah terungkap dari kata-katanya, seperti tertulis pada tahun 2000, pada testamen terakhirnya:[153]
Kematian Paus Yohanes Paulus II diiringi ritual berusia berabad-abad lamanya dan tradisi yang berawal sejak masa pertengahan. Upacara Pengunjungan berlangsung dari 4 April hingga pagi hari tanggal 8 April di Basilika Santo Petrus. Testamen Paus Yohanes Paulus II yang dipublikasikan pada 7 April[154] mengungapkan bahwa paus berkeinginan dimakamkan di tanah kelahirannya Polandia namun tergantung dari para Kardinal, yang memutuskan untuk dikebumikan di gua-gua di bawah basilika. Pada 8 April, pukul 8.00 pagi UTC, Misa Requiem dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebagai Dekan Dewan Kardinal dan dihadiri lebih dari 180 orang Kardinal dari berbagai negara. Misa ini menjadi misa yang memecahkan rekor dunia dalam hal jumlah kehadiran umat dan banyaknya kepala negara yang hadir.[155][156][157][158] (lihat: Daftar peserta resmi pemakaman Paus Yohanes Paulus II). Ini adalah berkumpulnya para kepala negara terbesar dalam sejarah, mengalahkan pemakaman Winston Churchill (1965) dan Josip Broz Tito (1980). Empat raja, lima ratu, dan sedikitnya 70 presiden dan perdana menteri, serta lebih dari 14 pimpinan agama dari agama selain Katolik menghadiri pemakaman.[156] Peristiwa ini juga mungkin menjadi ziarah Kristen terbesar dalam sejarah, dengan perkiraan empat juta orang berkumpul dalam perkabungan di Roma.[155][157][158][159] Sekitar 250.000 sampai 300.000 orang mengikuti peristiwa ini di Vatikan.[158] Dekan Para Kardinal, Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi paus berikutnya, memimpin upacara. Yohanes Paulus II dikebumikan di gua di bawah basilika, makam para Paus. Ia dikebumikan di liang makam yang sebelumnya dipakai jenazah Paus Yohanes XXIII. Liang itu telah dikosongkan ketika jenazah Paus Yohanes XXIII dipindahkan ke ruang lain di basilika setelah dibeatifikasi. Wikinews bahasa Inggris memberitakan:
Pope John Paul II dies Pengakuan anumertaGelar yang AgungSejak wafatnya Yohanes Paulus II, sejumlah imam di Vatikan dan kaum awam di seluruh dunia[72][155][160] telah menyebutnya "Yohanes Paulus yang Agung"; hanya empat paus yang disebut demikian, dan menjadi yang pertama sejak milenium pertama.[72][160][161][162] Siswa dari Hukum Kanon mengatakan bahwa tidak ada proses resmi untuk menyatakan seorang Paus mendapatkan gelar "Yang Agung"; gelar ini muncul sendiri melalui penggunaan populer dan terus menerus,[155][163][164] seperti juga pada kasus pemimpin sekuler (sebagai contoh, Aleksander III dari Makedonia menjadi populer dan dikenal sebagai Aleksander Agung. Tiga paus saat ini yang diketahui menyandang "Yang Agung" adalah Paus Leo I, yang memimpin dari 440-461 dan membujuk Attila (Attila the Hun) untuk mundur dari Roma; Paus Gregorius I, 590-604, yang mengilhami penamaan kidung Gregorian; dan Paus Nikolas I, 858-867.[160] Pengerusnya Paus Benediktus XVI, menyebutnya "Paus Yohanes Paulus II yang agung" pada pidato awalnya[165] dari loggia Gereja Santo Petrus, dan menyebutkan Paus Yohanes Paulus II sebagai "Agung" di homili yang diterbitkan pada Misa pemakamannya (Mass of Repose).[166] Sejak memberikan homili pada pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus selalu menyebut Yohanes Paulus II sebagai "yang Agung". Pada Hari Pemuda Dunia ke-20 di Jerman 2005, Paus Benediktus XVI, berbicara dalam bahasa Polski, bahasa ibu Yohanes Paulus II, mengatakan, "Seperti Paus Yohanes Paulus II yang Agung akan berkat: jagalah api keimanan dalam kehidupanmu dan kerabat dekatmu." Pada Mei 2006, Paus Benediktus XVI mengunjungi tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Selama kunjungannya, ia berulang kali menyebut "Yohanes Paulus yang Agung" dan "pendahulu saya yang agung".[167] Sebagai tambahan Vatikan menyebutnya "yang Agung," banyak surat kabar melakukannya juga. Contohnya, koran Italia Corriere della Sera menyebutnya "yang sangat Agung" dan koran Katolik Afrika Selatan, The Southern Cross, menyebutnya "Yohanes Paulus II Yang Agung".[168] Beberapa sekolah di Amerika Serikat, seperti Universitas Katolik Yohanes Paulus Agung dan Sekolah Menengah Atas Yohanes Paulus Agung, dinamakan demikian setelah Yohanes Paulus II menggunakan julukan itu. BeatifikasiTerinspirasi dari seruan "Santo Subito!" ("jadikan Santo Segera!") dari kerumunan umat pada saat pemakamannya,[9][155][10][169][170][171] Paus Benediktus XVI memulai proses beatifikasi kepada pendahulunya, melewati batasan normal bahwa lima tahun harus berlalu setelah wafatnya seseorang sebelum proses beatifiksi bisa dimulai.[10][169][172][173] Pada audiensi dengan Paus Benediktus XVI, Camillo Ruini, Vikaris Jenderal Keuskupan Roma dan orang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan alasan kanonisasi seseorang yang meninggal dalam keuskupan, mengutip "keadaan luar biasa" yang menyebabkan masa menunggu bisa diabaikan.[29][155][174][175] Keputusan ini diumumkan pada 13 Mei 2005, pada Perayaan Our Lady of Fátima dan peringatan 24 tahun percobaan pembunuhan Yohanes Paulus II di lapangan Santo Petrus.[176] Pada awal 2006, dilaporkan bahwa Vatikan sedang menyelidiki kemungkinan mukjizat terkait dengan Yohanes Paulus II. Suster Marie Simon-Pierre, seorang biarawati Prancis dan anggota Konggregasi Little Sisters of Catholic Maternity Wards, yang hanya bisa tergolek di tempat tidurnya karena penyakit Parkinson,[169][177] dilaporkan mendapatkan pengalaman "kesembuhan total setelah anggota komunitasnya berdoa untuk perantaraan dengan Paus Yohanes Paulus II".[9][155][169][178][179][180] Hingga Mei 2008[update], Suster Marie-Simon-Pierre, then 46,[9][169] Kemudian berkarya lagi di rumah sakit ibu dan anak yang dioperasikan oleh ordo-nya.[173][177][181][182] "Saya sakit dan sekarang saya telah disembuhkan," dia mengatakan pada wartawan Gerry Shaw. "Saya sembuh, namun ini terserah gereja apakah ini adalah mukjizat atau bukan."[177][181] Pada 28 Mei 2006, Paus Benediktus XVI berkata pada Misa yang dihadiri sekitar 900.000 orang di tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Dalam homilinya, dia meminta doa untuk mengawali kanonisasi Yohanes Paulus II dan berharap kanonisasi dapat terjadi "dalam waktu dekat."[177][183] Pada Januari 2007, Kardinal Stanisław Dziwisz dari Kraków, yang pernah menjadi sekretarisnya, mengumumkan bahwa tahap wawancara untuk proses beatifikasi, di Italia dan Polandia, mendekati selesai.[155][177][184] Pada Februari 2007, peninggalan Paus Yohanes Paulus II berupa potongan jubah putih yang sering ia gunakan mulai didistribusikan bersama kartu doa untuk suatu alasan, sebuah kebiasaan khas setelah meninggalnya seorang Katolik yang saleh.[185][186] Pada 8 Maret 2007, Vikaris Roma mengumumkan bahwa tahap diosis Yohanes Paulus II untuk beatifikasi telah selesai. Diikuti dengan upacara pada 2 April 2007 — upacara kedua setelah meninggalnya Paus — kemudian proses berlanjut untuk pengawasan komite awam, para imam, dan anggota keuskupan Vatikan Congregation for the Causes of Saints, yang akan melanjutkan penyelidikan dari mereka.[10][177][184] Pada peringatan tahun keempat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, 2 April 2009, Kardinal Dziwisz, memberitahu wartawan tentang mukjizat yang baru saja muncul di makamnya di Basilika Santo Petrus.[181][187][188][189][190][191][192] Seorang anak laki Polandia berusia sembilan tahun dari Gdańsk, yang menderita kanker ginjal dan tidak bisa berjalan, mengunjungi makam bersama orang tuanya. Ketika meninggalkan Basilika Santo Petrus, anak itu mengatakan, "Saya ingin berjalan," dan mulai bisa berjalan normal.[181][187][188][189][190][191][192] Pada 16 November 2009, sebuah panel peninjau dari Congregation for the Causes of Saints mengambil suara secara tertutup bahwa Paus Yohanes Paulus II pernah hidup dalam kebajikan.[193][194] Pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI menanda tangani satu dari dua dekret (keputusan) yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut Yohanes Paulus II "Yang Mulia", untuk menandakan bahwa ia hidup dalam kegagahan dan kebajikan.[193][194] Pengambilan suara kedua dan dekret kedua ditanda tangani untuk menandai kebenaran dari mukjizatnya yang pertama (suster Marie Simon-Pierre, biarawati Prancis yang sembuh dari penyakit Parkinson). Begitu dekret kedua ditanda tangani, positio (laporan alasan, dengan dokumentasi kehidupannya dan tulisan-tulisannya ditambah informasi tentang alasannya) telah dianggap lengkap.[194] Dia dapat di beatifikasi.[193][194] Beberapa spekulasi mengatakan bahwa dia kemungkinan akan di beatifikasi ketika (atau segera setelah) bulan peringatan 32 tahun terpilihnya sebagai Paus pada 1978, yaitu pada Oktober 2010. Mgr. Oder mencatat, ini bisa terjadi jika dekirt kedua ditanda tangani tepat waktu oleh Paus Benediktus XVI, jika mukjizat paska wafatnya Yohanes Paulus II dapat dicatatkan untuk menyelesaikan positio tersebut. Vatikan mengumumkan pada 14 Januari 2011 bahwa Paus Benediktus XVI telah mengkonfirmasi mukjizat yang terkait suster Marie Simon-Pierre dan Yohanes Paulus II dapat di beatifikasi pada 1 Mei, Minggu Rahmat Ilahi dalam oktaf Paskah dan awal bulan Rosario. 1 Mei juga dirayakan di bekas negara-negara komunis seperti Polandia. dan beberapa negara Eropa Barat sebagai May Day (Hari Buruh), dan Paus Yohanes Paulus II sangat dikenal dalam banyak hal, termasuk dalam kontribusinya dalam runtuhnya Komunisme Eropa Timur dengan damai, yang juga terbukti kebenarannya oleh bekas presiden Soviet Gorbachev pada saat wafatnya Yohanes Paulus II.[19] Pada 29 April 2011, peti Paus Yohanes Paulus II digali mengawali beatifikasinya, sementara puluhan ribu umat mulai berdatangan ke Roma untuk peristiwa besar sejak pemakamannya pada tahun 2005.[195] Peti tertutup berisi jenazah Yohanes Paulus II dipindahkan dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo Sebastian, Pier Paolo Christofari, di mana Yang Diberkati (Beato) Paus Innosensius XI dimakamkan. Lokasi yang lebih baik ini, dekat Kapel Pieta, Kapel Sakramen Mahakudus dan patung dari Paus Pius XI dan Paus Pius XII, akan memungkinkan lebih banyak peziarah melihat makamnya. Polandia mengeluarkan koin emas 1.000 Złoty (mata uang Polandia) dengan wajah Paus Yohanes Paulus II untuk memperingati beatifikasinya.[196]
Pada hari yang sama "Non abbiate paura" ("Tanpa takut"), lagu resmi yang didedikasikan untuk Yohanes Paulus II yang menampilkan foto dan kata-kata asli dari Yohanes Paulus II diedarkan. Lagu, yang diciptakan oleh Giorgio Mantovan dan Francesco Fiumanò, dinyanyikan oleh penyanyi Italia Matteo Setti dan satu-satunya karya musik di mana Vatikan memberikan izin penggunaan suara rekaman Karol Wojtyła.[197] Pada 5 Juli 2013, Paus Fransiskus mensetujui kanonisasi terhadap Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII. Dan pada 30 September 2013 , Paus Fransiskus menyetujui bahwa kedua Paus tersebut akan dikanonisasi pada 27 April 2014. KritikYohanes Paulus II mendapat kritik atas dukungannya pada prelatur Opus Dei dan kanonisasi pendirinya pada tahun 2002, Josemaría Escrivá, yang mana dia sebut "santo dari kehidupan biasa"[127][198][199] Beberapa gerakan dan organisasi keagamaan lain dari Gereja jelas berada dalam pengaruhnya (Legiun Kristus, Jalan Neokatekumen, Gerakan Schoenstatt, Gerakan Karismatik), dan dia dituduh beberapa kali mengabaikan beberapa hal, terutama kasus Rev. Marcial Maciel, pendiri Legiun Kristus.[127][200] Yohanes Paulus II mempertahankan pengajaran moral Gereja Katolik terkait peranan seks dan gender, seksualitas, eutanasia, keluarga berencana alami, serta aborsi meskipun ditentang banyak pihak. Banyak aktivis gay dan lainnya mengkritiknya ketika mempertahankan oposisi Gereja terhadap homoseksualitas dan pernikahan sejenis, namun juga nyata bahwa Yohanes Paulus II mengutuk diskriminasi terhadap kelompok ini.[127] Tahun 2007, majalah TIME melaporkan bahwa salah satu penyebab meninggalnya Yohanes Paulus II kemungkinan adalah pertentangan keyakinannya mengenai penggunaan peralatan medis untuk memperpanjang usia.[201] Selain semua kritik dari mereka yang menuntut modernisasi, kaum Katolik Tradisionalis kadang-kadang juga mengecamnya, menuntut kembali ke Misa Tridentina[202] dan menolak reformasi yang dilembagakan setelah Konsili Vatikan II, seperti penggunaan bahasa daerah atau bahasa nasional dari sebelumnya bahasa Latin dalam Misa Ritus Roma, ekumenisme dan prinsip kebebasan beragama. Dia juga dituduh oleh para kritikus karena mengizinkan penunjukan uskup liberal dalam tahtanya dan dengan diam-diam mempromosikan modernisme, yang sebelumnya jelas dikutuk sebagai "sintesis dari semua ajaran sesat" oleh pendahulunya Paus Pius X.[127] Yohanes Paulus yang mempertahankan moral Gereja Katolik dalam menolak penggunaan pengaturan kelahiran yang tidak alami (KB) sangat dikritik oleh para dokter dan aktvis AIDS, yang mengatakan penolakan itu akan mengarah pada kematian yang tak terhitung dan jutaan yatim piatu karena AIDS.[203] Para pengkritik juga mengklaim bahwa keluarga besar adalah karena kurangnya kontrasepsi memperparah kemiskinan dan timbulnya masalah di Dunia Ketiga seperti anak jalanan di Afrika Selatan.[127] Catholic Agency for Overseas Development (CAFOD) mempublikasikan tulisan ilmiah yang menyebutkan, "Setiap strategi yang memungkinkan orang untuk berpindah dari risiko tinggi ke yang lebih rendah dalam satu kesatuan, (kita) yakini, adalah risiko sebenarnya dalam "strategi pegurangan".[204] Permintaan maafYohanes Paulus II meminta maaf pada orang Yahudi, Galileo, wanita, korban Inkuisisi, Muslim yang terbunuh pada Perang Salib, dan hampir pada semua orang yang menderita karena perbuatan Gereja Katolik pada masa lalu.[58][205] Jauh sebelum ia menjadi Paus, ia adalah editor yang menonjol dan pendukung inisiatif seperti Surat Rekonsiliasi Uskup Polandia kepada Uskup Jerman tahun 1965. Sebagai Paus, ia membuat pernyataan maaf yang dipublikasikan untuk lebih dari 100 kesalahan, termasuk:
Penghargaan dan penamaanBeberapa proyek nasional dan kota diberi namanya sebagai penghargaan: Stasiun Roma Termini, didedikasikan untuk Paus Yohanes Paulus II atas permintaan Dewan Kota, bangunan pertama di Roma yang diberi nama di luar orang Italia. Bandar udara internasional yang dinamakannya adalah Bandar Udara Internasional Yohanes Paulus II Kraków (Kraków Airport im. Jana Pawła II) - satu bandara utama di Polandia - dan Bandar Udara Yohanes Paulus II (Aeroporto João Paulo II) di Azores, Portugal. Jembatan Yohanes Paulus II (Juan Pablo II Puente) di Chili, juga Lapangan Yohanes Paulus II di Bulgaria memperingati kunjungan Paus ke Sofia tahun 2002. Di Tegucigalpa, ibu kota Honduras ada jalan raya (boulevard) dinamakan "Yohanes Paulus II" (Juan Pablo II) yang dinamakan demikian setelah kunjungan Paus ke Tegucigalpa. Stadion Yohanes Paulus II (Estádio João Paulo II) adalah sebuah stadion sepak bola di Moji-Mirim, Brasil. Parvis Notre-Dame - Place Jean-Paul II adalah sebuah pusat lingkungan di Paris. Minggu 10 Desember 2006, kota Ploërmel, Morbihan, barat Prancis, meresmikan patung Yohanes Paulus II setinggi 875 m (2.870,73 ft), yang merupakan hadiah dari pematung Russo-Georgian Zurab Tsereteli. Taman Reservasi Paus Yohanes Paulus II (Pope John Paul II Park Reservation) di Boston, Massachusetts[206] juga (jalan) Pope John Paul II Drive berada di Chicago, Illinois.[207] Di Filipina, Paroki Yesus, the Way the Truth and the Life mear SM Mall of Asia di Pasay City juga disebut Pusat Pemuda Internasional Yohanes Paulus II (John Paul II International Youth Centre). Ketika Sekretaris Vatikan untuk Hubungan antar Negara, Uskup Agung Jean Louis Tauran pergi ke negara ini, ia disambut kaum muda dari seluruh keuskupan sufragan dari Keuskupan Agung Manila disitu. Di Sekolah Tinggi Katolik Pasig, satu dari gerbang untuk SMA dinamakan "Gerbang Paus Yohanes Paulus II". Gerbang ini mengarah langsung ke wisma uskup dan Katedral Immaculate Conception. Di Bacolod City, sebuah menara didedikasikan untuk dia di daerah reklamasi dekat SM City Bacolod dan diberi nama Menara Paus Yohanes Paulus II. Menara ini adalah struktur bangunan di kota itu. Dari kepentingan internasional Peninsula Yohanes Paulus II di Pulau Livingston, Kepulauan Shetland Selatan dinamakan demikian sebagai penghargaan kepada Paus. Penanda Antartika tersebut sebagai pengakuan atas kontribusinya terhadap perdamaian dunia dan saling pengertian antar sesama manusia di dunia.
PenerusPada Selasa, 19 April 2005, Kardinal Joseph Ratzinger dari Jerman terpilih sebagai pemimpin baru Vatikan setelah konklaf selama dua hari. Ratzinger memilih nama regnal Paus Benediktus XVI. Bacaan lebih lanjut
Lihat pulaEnsiklik Paus Yohanes Paulus II
Catatan
ReferensiCatatan kaki
Situs web
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Ioannes Paulus II.
|