Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif.[1][2][3] Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya.[3][4] Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.[2][3] Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.[2][5]
Relativisme etis
Relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis.[3][6] Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural.[3]
Menurut relativisme etis subjektif, dalam masalah etis, emosi dan perasaan berperan penting.[3] Karena itu, pengaruh emosi dan perasaan dalam keputusan moral harus diperhitungkan.[3] Yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tidak dapat dilepaskan dari orang yang tersangkut dan menilainya.[3] Relativisme etis berpendapat bahwa tidak terdapat kriteria absolut bagi putusan-putusan moral.[2] Westermarck memeluk relativisme etis yang menghubungkan kriteria putusan dengan kebudayaan individual, yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan individual.[2] Etika situasi dari Joseph Fletcher menganggap moralitas suatu tindakan relatif terhadap kebaikan tujuan tindakan itu.[2][7]
Kekuatan relativisme etis
Kekuatan relativisme etis subjektif adalah kesadarannya bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lain.[3] Karena itu, orang hidup menanggapi lika-liku hidup dan menjatuhkan penilaian etis atas hidup secara berbeda.[3] Dengan cara itulah manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan situasinya.[3] Ia dapat menanggapi hidupnya sejalan dengan data dan fakta yang ada.[3] Ia dapat menetapkan apa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri.[3] Demikian manusia tidak hanya berbeda dan unik, tetapi berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya.[3]
Kelemahan relativisme etis
Walaupun sangat menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan etis, para penganut relativisme etis subjektif dapat menjadi khilaf untuk membedakan antara norma etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip etisnya.[3] Bila orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan berarti tidak ada norma etis yang sama.[3] Bisa saja norma etis objektif itu sama, tetapi perwujudannya berbeda karena situasi hidup yang berbeda.[3]
Beckwith dan Koukl mencatat ada tujuh kelemahan fatal relativisme yang berdasarkan pandangan subjektif:[8]
- Penganut relativisme tidak dapat menyalahkan perbuatan salah orang lain, karena mereka mengatakan tiap-tiap orang berhak menentukan perbuatannya benar atau salah.
- Penganut relativisme tidak dapat memprotes mengenai masalah kejahatan, karena mereka menolak adanya standar moral baik maupun jahat.
- Penganut relativisme tidak dapat menimpakan kesalahan atau menerima pujian, karena tanpa standar moral eksternal sebagai pengukur, konsep pembenaran maupun penyalahan tidak berarti, jadi tidak ada yang dapat dipuji atau disalahkan.
- Penganut relativisme tidak dapat menuntut adanya keberpihakan atau ketidakadilan, karena tanpa standar absolut moral, tidak ada benar dan salah, sehingga tidak dapat menyalahkan sistem yang menghukum orang yang "tidak bersalah" maupun melepaskan orang yang "bersalah", serta tidak ada kemungkinan untuk merasakan kesalahan moral sejati.
- Penganut relativisme tidak dapat memperbaiki moralitas mereka, hanya bisa mengubah etika perorangan tanpa ada standar apakah menjadi "lebih baik" dari sebelumnya, sehingga tidak ada konsep "perbaikan moral".
- Penganut relativisme tidak dapat melakukan diskusi moral yang berarti, karena tidak mengakui adanya panduan tindakan moral yang universal.
- Penganut relativisme tidak dapat mempromosikan kewajiban bertoleransi, meskipun toleransi dianggap suatu kebajikan utama relativisme, karena mereka tidak boleh tidak bertoleransi terhadap orang-orang yang tidak menganut relativisme, atau orang-orang yang tidak mau menghargai toleransi.
Referensi
- ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ a b c d e f Lorens Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 949.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hal.203-206.
- ^ American Heritage Dictionary, [1] "The doctrine that no ideas or beliefs are universally true but that all are, instead, “relative” — that is, their validity depends on the circumstances in which they are applied."
- ^ Stanford Encyclopedia of Philosophy: Paul Feyerabend
- ^
Richard Austin Gudmundsen (2000). Scientific Inquiry: Applied to the Doctrine of Jesus Christ. Cedar Fort. hlm. 50. ISBN 9781555174972. Diakses tanggal 2011-1-24.
- ^ Robert Audi. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. United Kingdom: Cambridge University Press. Hlm. 824-825.
- ^ Beckwith, Francis J.; Koukl, Gregory. Relativism. Feet Firmly Planted in Mid-Air. Grand Rapids, Michigan: Baker Books. 1998. ISBN 978-0-8010-5806-6. Halaman 61-69.
Pranala luar
|
---|
Perpustakaan nasional | |
---|
Lain-lain | |
---|