Alasdair MacIntyre
Alasdair Chalmers MacIntyre (/ˈæləstər ˈmækɪnˌtaɪər/; lahir 12 Januari 1929) adalah seorang filsuf Skotlandia[1] yang secara khusus dikenal karena kontribusinya pada filsafat moral (etika) dan politik, kendati ia juga dikenal karena karyanya seputar sejarah filsafat dan teologi. Buku After Virtue (1981) karya MacIntyre dikenal luas sebagai salah satu karya terpenting filsafat moral dan politik di antara kalangan berbahasa Inggris pada abad ke-20.[2] Ia tercatat sebagai Senior Research Fellow dalam Centre for Contemporary Aristotelian Studies in Ethics and Politics (CASEP) di London Metropolitan University, dan Profesor Emeritus Filsafat di University of Notre Dame. Selama karier akademisnya yang panjang, ia juga mengajar di Brandeis University, Duke University, Vanderbilt University,[3] dan Boston University. BiografiMacIntyre lahir pada tanggal 12 Januari 1929[3] di Glasgow, Skotlandia, dari pasangan Eneas dan Greta (Chalmers) MacIntyre. Ia menempuh pendidikan tinggi di Queen Mary, University of London, dan mendapat gelar Master of Arts dari University of Manchester dan dari University of Oxford. Karier mengajarnya dimulai pada tahun 1951 di Manchester University.[4] Ia mengajar di University of Leeds, University of Essex, dan University of Oxford di Britania Raya,[3] sebelum pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1969. MacIntyre menjadi semacam pengelana intelektual, mengajar di banyak universitas di Amerika Serikat. Ia pernah memegang jabatan berikut ini:
Ia juga pernah menjadi profesor tamu di Princeton University, dan mantan ketua American Philosophical Association. Pada tahun 2010, ia dianugerahi Aquinas Medal oleh American Catholic Philosophical Association. Dari tahun 2000 ia menjadi Rev. John A. O'Brien Senior Research Professor dalam Departmen Filsafat (emeritus sejak tahun 2010) di University of Notre Dame, Indiana. Ia juga profesor emeritus di Duke University. Pada bulan April 2005, ia terpilih menjadi anggota American Philosophical Society, dan pada bulan Juli 2010 menjadi Senior Research Fellow dalam Centre for Contemporary Aristotelian Studies in Ethics and Politics di London Metropolitan University. Setelah pensiun dari aktivitas mengajarnya pada tahun 2010, ia tetap menjadi Senior Distinguished Research Fellow dalam Notre Dame Center for Ethics and Culture.[5] Ia tetap melanjutkan aktivitasnya menyajikan presentasi publik, termasuk sebagai salah seorang pembicara utama dalam acara tahunan Center for Ethics and Culture's Fall Conference.[6] Pendekatan filosofisPendekatan MacIntyre pada filsafat moral mengandung sejumlah tuntutan kompleks yang meresapinya. Walaupun proyeknya terutama dicirikan dengan suatu upaya untuk menghidupkan kembali konsepsi Aristotelian akan filsafat moral yang ditopang oleh kebajikan-kebajikan (keutamaan-keutamaan), namun ia mendeskripsikan laporannya seputar upaya ini sebagai suatu "pemahaman modern yang khas" akan tugas tersebut.[7] "Pemahaman modern yang khas" tersebut utamanya berkaitan dengan pendekatan MacIntyre pada perbantahan moral. Tidak seperti para filsuf analitik yang mencoba menghasilkan konsensus moral berdasarkan suatu ideal rasionalitas, MacIntyre menyajikan suatu narasi historis mengenai perkembangan etika untuk menerangi persoalan modern dari gagasan-gagasan moral yang "tidak dapat bandingkan"—yaitu gagasan-gagasan yang nilainya tidak dapat direduksi menjadi suatu kaidah umum. Mengikuti Hegel dan Collingwood, ia menawarkan suatu "sejarah filosofis" (yang ia bedakan dari pendekatan analitis maupun fenomenologis terhadap filsafat). Di dalamnya ia mengakui dari awal bahwa "tidak ada standar-standar netral yang tersedia melalui pengajuan yang setiap agen rasional apa saja dapat menentukan" kesimpulan-kesimpulan dari filsafat moral.[8] Salah satu pokok utama MacIntyre dalam karyanya yang paling terkenal, After Virtue, menjelaskan bahwa kegagalan upaya berbagai pemikir Abad Pencerahan untuk menyajikan suatu laporan akhir yang bersifat universal mengenai rasionalitas moral menyebabkan penolakan rasionalitas moral secara keseluruhan oleh para pemikir berikutnya seperti Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, dan Charles Stevenson. Menurutnya, teristimewa penyangkalan mutlak Nietzsche akan peluang rasionalitas moral yang merupakan hasil dari pencarian keliru era Pencerahan pada suatu argumen final dan definitif yang akan menyelesaikan perbantahan moral ke dalam kelanggengan melalui kekuatan suatu daya pikir kalkulatif saja dan tanpa penggunaan teleologi.[9] Sebaliknya, MacIntyre menaruh perhatian pada pemulihan kembali berbagai bentuk rasionalitas moral dan argumentasi yang mengklaim bukan kesudahan akhir ataupun kepastian yang tak dapat diubah (proyek keliru era Pencerahan), namun demikian tidak berarti sekadar masuk ke dalam penyangkalan relativistik atau juga emotivis akan rasionalitas moral apapun (menurutnya, kesimpulan keliru dari Nietzsche, Sartre, dan Stevenson). Ia melakukannya dengan kembali ke tradisi etika Aristotelian dengan laporan teleologisnya mengenai pribadi-pribadi bermoral dan baik, yang mencapai suatu pengungkapan yang lebih lengkap dalam tulisan-tulisan abad pertengahan karya St. Thomas Aquinas dan yang ditolak oleh era Pencerahan. Ia mengemukakan bahwa Thomisme merupakan "teori terbaik sejauh ini" untuk menangani kehidupan manusia dan tindakan manusia.[10] Secara lebih umum, menurut MacIntyre, persoalan perbantahan moral senantiasa terjadi di dalam dan di antara tradisi-tradisi pemikiran yang saling bersaing serta menciptakan alternatif untuk suatu penampungan dari beragam gagasan, asumsi, jenis argumen, juga pendekatan dan pemahaman bersama yang diwarisi dari masa lampau. Dengan demikian, kendati tidak ada cara definitif bagi satu tradisi dalam filsafat moral untuk menundukkan dan mengecualikan kemungkinan lainnya, pandangan-pandangan yang bertentangan dapat saling mempertanyakan melalui beragam cara seperti isu-isu koherensi internal, rekonstruksi imajinatif atas dilema-dilema, krisis epistemik, dan kemanfaatan.[11] Karya tulis utamaAlasdair MacIntyre dikenal sebagai seorang filsuf kontemporer dengan pandangan etika Aristoteles dan secara khusus St. Thomas Aquinas.[12] Dua buku MacIntyre yang paling terkenal adalah After Virtue yang ditulis pada tahun 1981, dan Whose Justice? Which Rationality? yang ditulis pada tahun 1988.[3] Ketika buku After Virtue diterbitkan, segera buku itu mendapat perhatian luas.[3] Isinya merupakan analisis dan kritik terhadap pandangan-pandangan etika modern dari sudut pandang etika Aristoteles.[12] Menurutnya, usaha dalam bidang etika sejak David Hume, baik itu Kant, Hegel, Mill, semuanya keliru.[3] Etika hanya dapat diselamatkan dari kekeliruan selama ini bila kembali ke pandangan etika tradisional, yakni Aristoteles.[3] Buku keduanya yang terpenting berisi cara pandang MacIntyre yang melatarbelakangi kritiknya dalam buku pertama.[3] After Virtue (1981)Mungkin karyanya yang paling banyak dibaca, After Virtue, ditulis ketika MacIntyre berusia lima puluhan. Sebelum itu, MacIntyre adalah seorang filsuf analtik yang relatif berpengaruh dengan suatu kecenderungan Marxis, yang penelaahannya ke dalam filsafat moral dilakukan dengan "sedikit demi sedikit, pertama-tama berfokus pada masalah ini dan kemudian pada masalah itu, dalam suatu mode karakteristik dari banyak filsafat analtik."[13] Namun, setelah membaca karya-karya Thomas Kuhn serta Imre Lakatos mengenai filsafat sains dan epistemologi, MacIntyre terinspirasi untuk mengubah keseluruhan arah pemikirannya, merobek-robek naskah yang telah ia kerjakan dan memutuskan untuk melihat permasalahan filsafat politik dan moral modern "bukan dari sudut pandang modernitas liberal, melainkan dari sudut pandang ... praktik politik dan moral Aristotelian."[14] Secara umum, After Virtue dimaksudkan untuk menjelaskan baik kualitas disfungsional dari diskursus moral di dalam masyarakat modern maupun memperbaiki apa yang MacIntyre pandang sebagai alternatif yang terlupakan dalam rasionalitas teleologis dari etika kebajikan Aristotelian. Pemikiran MacIntyre dipandang revolusioner karena mengekspresikan suatu politik pembelaan diri bagi masyarakat lokal yang berkeinginan untuk melindungi kebiasaan-kebiasaan mereka dan mempertahankan cara hidup mereka dari dampak-dampak korosif ekonomi kapitalis.[15] Whose Justice? Which Rationality? (1988)Karya utama MacIntyre yang kedua dalam periode kematangannya mengangkat persoalan seputar pemberian penjelasan rasionalitas filosofis di dalam konteks gagasannya tentang "tradisi-tradisi", yang masih belum berbentuk teori dalam After Virtue. Secara khusus, MacIntyre berpendapat bahwa konsepsi-konsepsi keadilan yang saling bersaing dan banyak tidak bersesuaian merupakan hasil dari bentuk-bentuk rasionalitas praktis yang saling bersaing dan banyak bertentangan. Bentuk-bentuk rasionalitas praktis yang saling bersaing tersebut, bersama dengan gagasan-gagasan keadilan yang menyertainya, pada akhirnya merupakan hasil dari "tradisi-tradisi yang terwujud secara sosial dari penyelidikan rasional".[16] Kendati perlakuan MacIntyre atas tradisi-tradisi dipandang cukup kompleks, ia memberikan definisi yang relatif ringkas: "Suatu tradisi adalah suatu argumen yang diperluas melintasi waktu, yang di dalamnya kesepakatan-kesepakatan mendasar tertentu didefinisikan dan didefinisikan ulang" dalam kaitannya dengan perbedaan-perbedaan pendapat internal maupun eksternal.[17] Karenanya banyak dari pemikiran yang tertuang dalam Whose Justice? Which Rationality? dimaksudkan untuk tidak sekadar menyajikan kepada pembaca apa yang MacIntyre anggap tradisi-tradisi aktual yang saling bersaing dan berbagai cara tradisi-tradisi itu dapat memisahkan diri, berintegrasi, atau saling mengalahkan satu sama lain (misalnya Aristotelian, Agustinian, Thomis, Humean), tetapi juga dengan memberikan penegasan bagaimana rasionalitas praktis dan suatu konsepsi keadilan membantu membentuk tradisi-tradisi itu. Secara khusus, menurutnya, konsepsi-konsepsi keadilan yang berbeda yang disajikan oleh Aristoteles dan Hume adalah karena perbedaan-perbedaan mendasar dalam skema-skema konseptualnya.[18][19][20] MacIntyre berpendapat bahwa, terlepas dari kenyataan tidak dapat saling diperbandingkannya, terdapat beragam cara yang di dalamnya tradisi-tradisi tersebut dapat saling melibatkan satu sama lain secara rasional. Hal itu utamanya terjadi melalui suatu bentuk analisis inheren yang memanfaatkan imajinasi empatik untuk kemudian memasukkan suatu tradisi saingan ke dalam "krisis epistemik", tetapi juga dengan kemampuan menyelesaikan dilema-dilema dan persoalan bersama atau sebanding dari dalam tradisi seseorang yang masih tak terpecahkan dari pendekatan saingan.[21] Laporan MacIntyre juga membela tiga tesis selanjutnya: pertama, bahwa semua penyelidikan rasional insani dilakukan entah dengan penuh kesadaran ataupun tidak dari dalam suatu tradisi; kedua, bahwa skema-skema konseptual yang tidak dapat saling diperbandingkan dari tradisi-tradisi yang saling bersaing tidak membutuhkan relativisme ataupun perspektivisme; ketiga, bahwa meskipun argumen-argumen dalam buku itu sendiri merupakan upaya-upaya mendapatkan wawasan-wawasan yang sahih secara universal, kesemuanya itu tetap diberikan dari dalam suatu tradisi tertentu (yaitu tradisi Aristolianisme Thomis), dan bahwa keharusan ini bukan berarti terdapat inkonsistensi filosofis. Three Rival Versions of Moral Inquiry (1990)Three Rival Versions of Moral Inquiry pertama kali dipresentasikan oleh MacIntyre sebagai bagian dari serial kuliah Gifford di University of Edinburgh pada tahun 1988 dan dipandang oleh banyak pihak sebagai bagian ketiga dari trilogi argumentasi filosofis yang diawali dengan After Virtue. Sesuai yang tersirat pada judulnya, tujuan MacIntyre dalam buku ini adalah untuk menelaah tiga tradisi penyelidikan moral yang saling bersaing dalam ranah intelektual masa kini (ensiklopedis, genealogis, dan tradisional), yang masing-masing pada gilirannya diberikan pembelaan dari suatu penggalan kanonis yang diterbitkan pada abad ke-19 akhir (berturut-turut, edisi kesembilan dari Encyclopædia Britannica, Tentang Genealogi Moralitas karya Nietzsche, dan ensiklik Aeterni Patris yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII). Buku MacIntyre pada akhirnya memperlihatkan rangkaian kompleks analisis-analisis interior maupun eksterior dari posisi ensikopedis dan genealogis dalam suatu upaya untuk membuktikan Thomisme filosofis sebagai bentuk penyelidikan moral paling persuasif yang tersedia. Analisisnya dalam bab IX mengenai mode genealogis Nietzsche dan Foucault, yang secara implisit didedikasikan pada suatu gagasan emansipatoris dan berkesinambungan akan diri serta tak mampu mereka jelaskan dengan istilah-istilah mereka sendiri, memiliki pengaruh istimewa. Etika kebajikanMacIntyre dipandang sebagai seorang tokoh kunci dalam peningkatan minat baru-baru ini akan etika kebajikan (etika keutamaan), yang mengidentifikasi pertanyaan sentral mengenai moralitas berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan dan pengetahuan tentang bagaimana menjalani suatu kehidupan yang baik. Pendekatannya berupaya untuk memperlihatkan bahwa penilaian atau pertimbangan yang baik berasal dari karakter yang baik. Menjadi seorang yang baik adalah bukan mengenai upaya untuk mengikuti peraturan-peraturan formal. Dalam menguraikan pendekatan tersebut, MacIntyre mengolah kembali gagasan Aristotelian tentang suatu teleologi etis. MacIntyre lebih menekankan arti penting kebaikan-kebaikan moral yang didefinisikan sehubungan dengan suatu komunitas yang terlibat dalam suatu 'praktik'—yang ia sebut 'kebaikan-kebaikan internal' atau 'kebaikan-kebaikan dari keunggulan'—daripada memusatkan perhatian pada kewajiban lepas-praktik dari suatu agen moral (etika deontologis) ataupun konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan tertentu (utilitarianisme). Sebelum kebangkitannya baru-baru ini, etika kebajikan dalam lingkungan akademis Eropa/Amerika utamanya dikaitkan dengan para filsuf pra-modern (misalnya Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas). MacIntyre berpendapat bahwa perpaduan St. Thomas mengenai Agustinianisme dengan Aristotelianisme lebih tajam dan mendalam daripada teori-teori moral modern karena memusatkan perhatian pada telos ('akhir', atau penyelesaian) dari suatu praktik sosial dan kehidupan manusia, di dalam konteks yang di dalamnya moralitas dari tindakan-tindakan dapat dievaluasi. Karyanya yang berpengaruh dalam bidang etika kebajikan dapat ditemukan dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1981, After Virtue. MacIntyre memaksudkan gagasan tentang kebajikan atau keutamaan (bahasa Latin: virtus, bahasa Yunani Kuno: ἀρετή "arete") untuk melengkapi aturan-aturan moral, bukan menggantikannya. Meski demikian, ia mendeskripsikan aturan-aturan moral tertentu sebagai 'tanpa pengecualian' atau tanpa syarat. MacIntyre menganggap karyanya berada di luar "etika kebajikan" karena penegasannya akan kebajikan-kebajikan seperti yang melekat dalam praktik-praktik sosial tertentu yang didasarkan pada sejarah.[22] AgamaMacIntyre pertama-tama dibaptis sebagai seorang Protestan Presbiterian, kemudian mengabaikan agama selama puluhan tahun sejak usia dua puluhan.[23] Ia beralih keyakinan ke iman Katolik pada tahun 1980-an, dan saat ini mengerjakan karyanya melawan latar belakang dari apa yang ia sebut suatu "pendekatan Thomis Agustinian terhadap filsafat moral".[24] Dalam suatu wawancara dengan Prospect, MacIntyre menjelaskan bahwa konversinya ke Katolisisme terjadi pada usia lima puluhan sebagai "akibat dari menjadi yakin akan Thomisme ketika sedang berupaya untuk meyakinkan kesalahan para mahasiswanya mengenai autentisitas Thomisme."[23] Dalam buku Whose Justice, Which Rationality? karyanya, juga terdapat suatu bagian menjelang akhir yang mungkin bersifat autobiografis ketika ia menjelaskan bagaimana seseorang dipilih oleh suatu tradisi dan kemungkinkan merefleksikan konversi dirinya sendiri ke iman Katolik.[25] Perkembangan-perkembangan paralel terkini dalam metode-metode penelitian filosofis, yang sejalan dengan pandangan MacIntyre mengenai Thomisme, diperlihatkan dengan suatu pendekatan modern pada Avicennisme (peninggalan historis yang dibangun di atas filsafat Avicenna atau Ibnu Sina) sebagaimana yang terkandung dalam karya-karya Nader El-Bizri sehubungan dengan Islam, kendati orientasinya bersifat fenomenologis dan bukan analitis, selain itu juga fokusnya adalah tentang ontologi dan bukan filsafat moral. Laporan lengkap pandangan MacIntyre mengenai hubungan antara filsafat dan agama secara umum, serta secara khusus Thomisme dan Katolisisme, dapat ditemukan dalam esai-esai karyanya yang berjudul "Philosophy recalled to its tasks" dan "Truth as a good" (keduanya terdapat dalam kumpulan The Tasks of Philosophy), dan juga dalam survei tradisi filosofis Katolik yang ia sampaikan dalam God, Philosophy and Universities.[26] Bibliografi
Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
Wawancara dengan MacIntyre
Pranala luarWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Alasdair MacIntyre.
|