Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf berkebangsaan Prancis yang hidup pada abad ke-20.[1] Pemikiran-pemikiran filsafat dari Sarte mendukung eksistensialisme.[2] Sartre merupakan tokoh yang radikal dalam pemikiran-pemikiran eksistensialisme yang berkaitan dengan kebebasan manusia. Ia meyakini bahwa manusia adalah kebebasan itu sendiri yang tidak dibatasi oleh dunia maupun Tuhan.[3]
Pada tahun 1964, ia diberi Hadiah Nobel Sastra, tetapi Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri oleh kurang lebih 50.000 orang.
Masa kecil
Jean-Paul Sartre dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Keluarganya merupakan kaum borjuis dengan kelas menengah. Orang tuanya memiliki keyakinan terhadap agama yang berbeda. Ayahnya merupakan pengikut Katolik sedangkan ibunya pengikut Protestan. Pada masa kecilnya, ia sangat peka terhadap orang lain. Selama masa sekolah ia mengalami perundungan dari teman-temannya yang lebih tegap dan kuat. Kondisi ini dialaminya karena ayahnya wafat ketika ia masih berusia dua tahun. Ia akhirnya diasuh oleh kakeknya yang merupakan pengikut Protestan. Dalam pengasuhan, kakeknya memberikan pendidikan agama Katolik. Hingga usia 10 tahun, Sartre masih mengakui Tuhan dan taat beribadah di gereja dan membaca kitab suci. Pada akhirnya, ia memilih menganut agama Protestan seperti ibunya. Sekitar usia 11 tahun, Sartre mulai berpkir kritis terhadap agama. Pemikirannya yang paling awal adalah menyatukan antara paham agama Katolik dan Protestan. Nilai agama yang ingin disatukannya adalah nilai kepasrahan dalam Katolik dan nilai kritis dalam Protestan. Penggabungan kedua nilai ini menurutnya akan membentuk keyakinan agama yang kuat bagi dirinya. Keyakinannya pada Tuhan mulai menurun ketika ia berusia 12 tahun. Penyebabnya adalah doa yang dipanjatkannya kepada Tuhan tidak dikabulkan sama sekali. Akhirnya, ia tetap pergi beribadah ke gereja hanya sebatas menghindari kemarahan dari ibunya. Ia mulai kehilangan keyakinan kepada Tuhan secara perlahan. Keyakinan ini benar-benar hilang ketika ia menyatakan bahwa sastra adalah Tuhan baginya.[4]
Karier
Karier akademik
Pendidikan awal Sarte ditempuhnya di École Normale Supérieure sejak tahun 1924. Ia menamatkan pendidikannya pada tahun 1929. Sartre meraih posisi pertama dan diberi sebuah gelar yang digunakan untuk menjadi pengajar.[4] Sejak tahun 1933, Sartre belajar pribadi kepada Edmund Husserl dan Martin Heidegger di Jerman. Pada tahun 1938, ia menerbitkan novel pertamanya yang duberi judul Nausea. Novel ini diterbitkan lagi pada tahun 1949. Kemudian, pada tahun 1940, Sartre menerbitkan sebuah karya tulis tentang fenomena-fenomena yang berkaitan dengan psikologi. Buku ini diberi judul L’Imaginaire atau The Pscychology of Imagination. Buku ini diterbitkan ulang pada tahun 1948. Jerman Nazi sempat memenjarakan Sartre dalam beberapa tahun. Selama masa perang, ia tinggal di Paris dan menerbitkan sebuah buku berjudul L’Etre et le neant atau Being and Nothingness pada tahun 1943. Buku ini menjadi karya filsafat Sarte yang utama. Buku ini diterbitkan ulang pada tahun 1956.[5]
Karier politik
Materi perkuliahan yang disampaikan oleh Sartre pada tahun 1946 memberikan pernyataan bahwa Sarte mendukung eksistensialisme di Prancis. Judul materinya adalah L’Existentialisme est un humanisme atau Existentialism is a Humanism. Buku ini diterbitkan ulang pada tahun 1947. Ketertarikan politik membuat Sartre menjadikan eksistensialisme sebagai simbol bagi semua pemikiran yang ketat dan kompleks dari sayap-kiri Prancis pada masa itu. Sartre dikenal sebagai pendukung Marxisme, namun ia membatasi dirinya untuk berhubungan dengan partai komunis. Sartre menjadi pendiri jurnal bernama Les Temps Modernes bersama dengan Simone de Beauvoir dan Maurice Merleau-Ponty. Jurnal ini khusus didirikan untuk membahas isu politik dan ideologi. Karenanya, pada tahun 1951, Sartre mendirikan partai politik sendiri.[5]
Pemikiran
Ketuhanan
Sarte tidak meyakini adanya Tuhan. Ia meyakini bahwa tidak ada sesuatu hal pun yang mengarahkan kehidupan manusia. Bagi Sarte, manusia menjadi pencipta bagi kehidupannya sendiri. Atas dasar ini, manusia wajib bertanggung jawab atas seluruh pilihan-pilihan yang telah ditetapkannya untuk dikerjakan.[6]
Kemanusiaan
Pandangan kemanusiaan bagi Sartre terletak pada kenyataan mengenai keberadaan manusia dan bukan kepada hakikat keberadaan manusia.[7] Sartre termasuk salah satu tokoh eksistensialisme sehingga ia menolak spekulasi-spekulasi tentang manusia yang sifatnya abstrak. Ia memandang manusia sebagai sesuatu yang nyata, unik dan berubah-ubah. Pandangan Sartre dan para tokoh eksistensialisme lainnya mengubah kedudukan manusia dalam determinasi. Mereka membalik pandangan bahwa manusia berada dalam determinasi ide. Menurut idealisme, manusia dideterminasi oleh ide. Menurut rasionalisme, manusia dideterminasi oleh rasional-sistemik. Sedangkan menurut realisme, manusia dideterminasi oleh struktur. Namun, menurut eksistensialisme, manusialah yang melakukan determinasi atas ide, konsep dan struktur.[8] Dalam keyakinan Sartre, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dari apapun secara mutlak.[9]
Sartre merupakan salah satu pendukung eksistensialisme. Berbeda dengan para tokoh eksistensialisme yang lainnya, Sartre menyatakan premis dasar dari eksistensialisme secara gamblang. Premis ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan menjalani hidupnya sesuai dengan apapun yang disukainya. Secara sederhana. premis ini menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi.[10]
Penjelasan mengenai premis tersebut diberikan oleh Sarte melalui sebuah analogi. Dalam analogi ini, manusia tidak disamakan dengan pisau kertas. Analogi ini dinyatakannya tidak bisa dilakukan karena konsep pisau kertas dibuat oleh seseorang sebelum pisau tersebut dibuat. Dalam analogi ini, konsep mengenai pisau kerta ada terlebih dahulu dibandingkan keberadaannya. Berarti, esensi mendahului eksistensi. Sedangkan pada manusia, Sartre meyakini bahwa keberadaan manusia tercapai tanpa esensi. Esensi ada pada manusia sebagai hasil dari eksistensi manusia yang kemudian membuat esensi atas dirinya sendiri.[11]
Sartre meyakini bahwa keberadaan manusia tidak bersifat konseptual, melainkan aktual. Ia melandasi pemikirannya ini sebagai tanggapan atas gagasan ateisme abad ke-18 yang menolak keberadaan Tuhan, tetapi menerima gagasan bahwa esensi mendahului eksistensi. Gagasan ini merupakan hasil pemikiran dari Diderot, Voltaire dan Immanuel Kant. Dalam pemikiran kemanusiaan, Sartre meyakini bahwa setiap manusia dapat mewakili konsep manusia universal karena memiliki watak manusia yang menjadi konsep tentang manusia.[12]
Kebebasan
Pemikiran tentang kebebasan yang dianut oleh Sartre adalah kebebasan tanpa batas. Penilaian mengenai kebaikan dan keburukan tidak ditentukan oleh etika, melainkan oleh kebebasan itu sendiri. Dalam keyakinan Sartre, manusia itu membuat keberadaannya ada dan memberikn kehidupan bagi apapun yang terlibat dalam kehadirannya. Keberadaan manusia dianggapnya sebagai kebebasan. Kebebasan ini diartikan sebagai keberadaan dengan ruang kosong. Manusia bebas karena berada di ruang kosong. Dalam kondisi tanpa apapun, manusia harus mengisi ruang kosong tersebut. Kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam pandangan Sarte merupakan sebuah hukuman. Karena adanya keniscayaan akan kebebasan, manusia harus melakukan segala hal untuk mengisi ruang kosong yang dimilikinya.[13]
Keberadaan
Dalam keberadaan manusia yang bebas, Sartre memasukkan teori ketubuhan sebagai aspek yang penting. Adanya teori ini membuat konsep tentang kesadaran diartikan sebagai kebebasan yang memiliki gerakan yang bebas. Pergerakannya dapat ke masa lalu maupun masa depan. Kebebasan tubuh manusia dalam konteks ini tidak apa adanya, melainkan melampau yang telah ada menggunakan gerakan. Identitas yang ditetapkan berlaku kepada "ada" yang memiliki kesadaran. Kondisi ini kemudian mempersyaratkan kebebasan untuk memperoleh kesadaran. Di sisi lain, menjadi ada memerlukan konsep yang bukan barang dan bukan objek. Keberadaan hanya diperoleh ketika sesuatu menjadi subjek.[14]
Eksistensialisme
Fokus utama dalam filsafat oleh Sartre adalah hakikat manusia dan struktur kesadarannya. Gagasan-gagasan ini dapat dikemukakannya melalui novel dan risalah akademis yang sifatnya lebih ortodoks. Ia mengembangkan gagasan dari tradisi fenomenologis gurunya. Sartre menjadi penentang yang aktif terhadap idealisme khususnya mengenai fenomenologi. Sartre meyakini bahwa agen bukanlah penonton dunia. Segala hal yang ada di dunia dibentuk oleh kesadaran-kesadaran yang intensional sehingga menghasilkan tindakan-tindakan. Pembentukan diri disesuaikan dengan sejarah. Karena manusia membentuk dirinya sendiri, maka ia bertanggung jawab pula atas semua emosi dan perbuatannya. Sartre meyakini bahwa manusia tidak dapat menanggung seluruh perbuatannya sendiri. Ia melihat adanya tanggapan yang dipaksan terhadap situasi tertentu yang tidak berasal dari pilihan pribadi. Adanya iman yang buruk mempertambah kesulitan dari bagi diri sendiri.[15]
Sartre memberikan dua cara agar manusia dapat menyadari keberadaannya. Pertama, meyakini bahwa manusia berada pada dirinya sendiri dan yang kedua meyakini bahwa manusia berada untuk dirinya sendiri. Dalam cara yang pertama, keberadaan dapat dirasakan dengan menganggap benda-benda dan objek-objek lain sebagai suatu kenyataan yang tidak ada, tanpa kesadaran dan tanpa makna. Sedangkan cara kedua memerlukan keyakinan bahwa manusia adalah sumber yang mengadakan sesuatu yang lain. Sehingga, semua yang ada bertujuan bagi keberadaan manusia itu sendiri.[16]
Hakikat esensial dari keberadaan manusia bagi Sarte merupakan kemampuan untuk memilih. Pilihan ini tidak dapat disamakan dengan determinisme dan eksistensi hukum moral dari Immanuel Kant. Kondisi tidak stabil selalu terjadi karena harus mengimplikasikan sebuah sintesis antara kesadaran (mengada-untuk-dirinya- sendiri) dan objektivitas (mengada-dalam-dirinya-sendiri). Kondisi tidak stabil inilah yang menghasilkan kecemasan. Sartre menganalisis pandangannya mengenai hakikat kesadaran dan penilaian melalui karya-karya ontologis yang dibuatnya sendiri, seperti L’Etree et le neant.[17]
Subjektivisme aksiologi
Sartre juga pendukung subjektivisme aksiologis. Ia menyatakan bahwa objek merupakan pencipta dari nilai.[18]
Karya tulis
Les Mots
Sartre memiiliki pemikiran filosofis yang bersifat ekstrem dan radikal. Pemikiran-pemikirannya dikemukakan dalam bentuk karya sastra. Pada tahun 1964, ia menerbitkan sebuah novel berjudul Les Mots. Novel ini memenangkan Penghargaan Nobel di bidang sastra. Namun, Sartre menolak penghargaan tersebut dengan alasan ingin tetap mempertahankan kebebasan yang dimilikinya. Kritik yang diberikan Sartre terhadap penghahrgaan nobel kesusastraan adalah adanya pengaruh politik yang diberikan kepada panitia nobel dalam pengambilan keputusan atas pemberian penghargaan.[19]
Huis Clos
Huis Clos adalah sebuah naskah drama dengan cerita yang sederhana. Ceritanya tentang seseorang yang mengalami kematian dan masuk ke dalam neraka. Neraka dalam kisah ini bukanlah neraka dengan api yang menyala-nyala. Gambaran neraka dalam naskah drama ini sama dengan duduk terikat di sebuah kursi sambil berhadapan dengan orang lain yang terus memandang sepanjang waktu. Neraka dalam cerita ini adalah ketidakbebasan akibat tatapan orang lain yang terus memberikan penilaian dan hukuman hanya dari tatapan matanya. Kesimpulan dari naskah drama ini bahwa orang lain dan masyarakat adalah neraka itu sendiri. Manusia tidak perlu mengalami kematian untuk pergi ke neraka, karena mereka telah ada di neraka itu sendiri.[1]
The Critique of Dialectical Reason
The Critique of Dialectical Reason diterbitkan oleh Sartre pada tahun 1960. Ini merupakan salah satu karya tulisnya yang utama. Jumlah halaman dari buku ini lebih dari 700. Bagian pembuka dari buku ini membahas tentang ketergantungan masa kini terhadap Marxisme.[20]
Pertentangan pemikiran
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Pencarian dan minat filsafat dari Sarte masuk dalam eksistensialisme. Pemikiran-pemikirannya sangat bertentangan dengan Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang menganut idealisme. Penyelidikan kebenaran dari Sartre mengutamakan pengalaman batin, sedangkan Hegel mengutamakan suatu sistem yang memiliki kebenaran objektif. Sartre mengandalkan keberadaan emosi, sedangkan Hegel mengandalkan pemakaian akal secara murni. Sartre memiliki minat fenomenologi yang mengutamakan pengungkapan makna, sedangkan Hegel memiliki obsesi mencapai kondisi ideal yang memberikan kejelasan. Sartre meyakini bahwa manusia bertindak secara terpisah, sedangkan Hegel meyakin bahwa tindakan manusia merupakan proses dari partisipasi. Pertentangan lain dari Sarte dan Hegel terletak pada cara memaknai sejarah. Sartre menganggap sejarah hanya dimiliki oleh individu-individu dengan cerita yang berbeda. Sementara Hegel meyakini bahwa sejarah individu-individu hanya dapat ditelaah melalui suatu massa.[21]
Pengembangan pemikiran
Studi fenomenologi
Dalam studi fenomenologi, suatu konsep atau fenomena ditinjau dari makna atau pengalaman yang dimiliki oleh individu. Struktur dari kesadaran akan pengalaman manusia menjadi kajian dari fenomenologi. Pengkajian ini berasal dari pandangan Bertrand Russel. Pengembangan pandangan ini kemudian diperoleh dari hasil diskusi yang dikemukakan oleh Sartre, Martin Heidegger dan Maurice Merleau-Ponty.[22]
Pengaruh pemikiran
Simone de Beauvoir
Gagasa Sartre mengenai "yang lain" dikembangkan oleh Simone de Beauvoir. Unsur lain yang dimaksud ialah ketidakpedulian, hasrat, sadisme, dan kebencian.[23] Sartre menerapkan teorinya pada masyarakat anti-Semit. Ia memberikan contoh terhadap bangsa Yahudi yang memperoleh perasaan "yang ;ain" yaitu sadisme dan kebencian.[24] Sartre membalikkan perasaan sadisme dan kebencian ini sebagai perjuangan antara ketakutan akan kebebasan dengan kesadaran.[25] Beauvoir menerapkan teori "yang lain" dari Sartre terhadap penindasan pada perempuan. Dalam gagasan ini, perempuan tertindas karena enggan memperjuangkan kekuasaannya atas laki-laki. Sementara laki-laki menganggap kekuasaannya atas perempuan merupakan suatu kewajaran.[25]
Kutipan
"L'existence précède l'essence." ("Eksistensi mendahului esensi(intisari)") (Dari L'existentialisme est un humanisme)
"L'homme est condamné à être libre." ("Manusia dihukum untuk menjadi bebas") (Dari L'existentialisme est un humanisme)
"L'enfer, c'est les autres." ("Neraka adalah orang lain.") (Dari Huis-clos)
^ abWattimena, Reza A. A. (2015). Bahagia, Kenapa Tidak?(PDF). Yogyakarta: Maharsa. hlm. 19. ISBN978-602-08931-1-2. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-03-05. Diakses tanggal 2022-02-28.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Muliadi (2020). Busro, ed. Filsafat Umum(PDF). Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 141. ISBN978-623-7166-42-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Lavine, T. Z. (2020). From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest. Yogyakarta: Immortal. hlm. 485.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Zaprulkhan (2018). Filsafat Modern Barat(PDF). Yogyakarta: IRCISoD. ISBN978-602-7696-74-7. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-02-28. Diakses tanggal 2022-02-28.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)