Anscombe adalah salah seorang mahasiswinya Ludwig Wittgenstein serta seorang pemegang hak atas karya tulisnya yang melakukan pengeditan dan penerjemahan banyak buku yang diambil dari tulisan-tulisannya, terutama Philosophical Investigations (bahasa Jerman: Philosophische Untersuchungen). Artikel karya Anscombe tahun 1958, "Modern Moral Philosophy", memperkenalkan istilah "konsekuensialisme" ke dalam bahasa filsafat analitik, dan memiliki pengaruh yang kuat dalam etika kebajikan kontemporer. Monografi karyanya yang berjudul Intention umumnya diakui sebagai karyanya yang terbesar dan paling berpengaruh; daya tarik filosofis yang berkesinambungan dalam konsep-konsep intensi, tindakan, dan penalaran praktis dapat dikatakan mengambil impetus utamanya dari karya tersebut.
Biografi
G. E. M. Anscombe lahir dari pasangan Gertrude Elizabeth Anscombe dan Allen Wells Anscombe, pada tanggal 18 Maret 1919, di North Strand, Limerick, Irlandia, tempat ayahnya yang berdarah Britania ditempatkan sebagai seorang perwira dalam Royal Welch Fusiliers selama Perang Kemerdekaan Irlandia. Baik ibu maupun ayahnya terlibat dalam dunia pendidikan. Ibunya adalah seorang kepala sekolah dan ayahnya kelak memimpin satu departemen di Dulwich College.[4]
Ia lulus dari Sydenham High School pada tahun 1937, dan mempelajari "Mods & Greats" (filsafat, sejarah kuno, dan klasik) di St Hugh's College, Oxford, lulus dengan suatu predikat Second-class honour pada tahun 1939 dan First-class pada tahun 1941.[4] Pada tahun pertama pendidikan sarjananya, ia beralih keyakinan ke iman Katolik, dan tetap menjadi seorang Katolik yang taat sepanjang hayatnya.[4] Ia sempat memicu kontroversi ketika secara terbuka menentang masuknya Britania ke dalam Perang Dunia II, kendati ayahnya pernah menjadi tentara, dan salah seorang saudara laki-lakinya bertugas selama perang tersebut.
Pada tahun 1941, ia menikah dengan Peter Geach, juga seorang konver Katolik sebagaimana dirinya dan salah seorang mahasiswanya Wittgenstein, serta seorang filsuf akademik Britania yang terkemuka. Pasangan ini kelak dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri.[4]
Setelah lulus dari Oxford, Anscombe dianugerahi suatu posisi penelitian akademik (research fellow) untuk studi pascasarjana di Newnham College, Cambridge, dari tahun 1942 sampai 1945.[4] Yang menjadi tujuannya adalah menghadiri pengajaran Ludwig Wittgenstein. Ketertarikannya pada filsafat Wittgenstein timbul setelah ia membaca Tractatus Logico-Philosophicus ketika masih menjadi mahasiswi program sarjana. Ia mengaku telah berkeinginan untuk belajar dari Wittgenstein tidak lama setelah ia mulai membaca buku tersebut di Blackwell's dan membaca bagian 5.53, "Identitas objek kuekspresikan dengan identitas tanda, dan bukan dengan menggunakan suatu tanda identitas. Perbedaan objek-obejk kuekspresikan dengan perbedaan tanda-tanda." Ia menjadi seorang mahasiswi yang antusias, merasa kalau metode terapeutik Wittgenstein membantunya bebas dari kesulitan-kesulitan filosofis dengan cara-cara yang tidak dapat dilakukan melalui pengajaran yang diterimanya dalam filsafat sistematik tradisional. Ia menuliskannya:
Selama bertahun-tahun, saya menghabiskan waktu, di kafe-kafe misalnya, sambil menatap objek-objek sembari berkata kepada diri saya sendiri: 'Saya melihat sebuah pembungkus. Tetapi apa yang sebenarnya saya lihat? Bagaimana bisa saya mengatakan bahwa di sini saya melihat sesuatu yang lebih daripada sebuah hamparan kuning?' ... Saya senantiasa membenci fenomenalisme dan merasa terjebak olehnya. Saya tidak mampu melihat jalan keluar darinya, namun saya tidak memercayainya. Tidak ada gunanya menunjuk pada kesulitan-kesulitan seputar itu, hal-hal yang Russell dapati salah padanya sebagai contoh. Kekuatannya, semangat sentralnya tetap hidup dan mengamuk dengan kepedihan mendalam. Barulah pada kelas-kelas Wittgenstein pada tahun 1944 saya melihat semangat tersebut diekstraksi, pemikiran sentral "saya memahami ini, dan saya mendefinisikan (katakanlah) 'kuning' sebagai ini" benar-benar diserang.[5]
Setelah posisinya sebagai fellow di Cambridge berakhir, ia dianugerahi posisi serupa di Somerville College, Oxford,[4] namun, selama tahun akademik 1946/7, ia tetap mengunjungi Cambridge seminggu sekali untuk menghadiri pengajaran Wittgenstein tentang filsafat agama. Ia menjadi salah seorang mahasiswi favorit Wittgenstein dan salah seorang teman terdekatnya.[6] Wittgenstein dengan lembut memanggilnya 'old man' – suatu pengecualian terhadap ketidaksukaannya secara umum terhadap kaum wanita akademik. Keyakinan Wittgenstein pada pemahaman Anscombe akan perspektifnya diperlihatkan dengan memilih Anscombe sebagai penerjemah Philosophische Untersuchungen karyanya (kelak diterjemahkan dengan judul Philosophical Investigations) sebelum Anscombe mempelajari bahasa Jerman, dan untuk maksud tersebut ia mengatur suatu pemondokan di Wina.
Anscombe berulang kali mengunjunginya, setelah Wittgenstein meninggalkan Cambridge pada tahun 1947, dan melakukan perjalanan ke Cambridge pada bulan April 1951 untuk mengunjunginya yang sedang terbaring di ranjang kematiannya. Wittgenstein menunjuk Anscombe, bersama dengan Rush Rhees dan Georg Henrik von Wright, sebagai pelaksana wasiat kesastraan dirinya. Setelah wafatnya pada tahun 1951, Anscombe bertanggung jawab atas pengeditan, penerjemahan, dan penerbitan banyak manuskrip dan buku catatan Wittgenstein.
Pada tahun 1960-an dan 1970-an awal, Anscombe mengkritik para kolega liberal dengan artikel-artikel yang membela penolakan Gereja Katolik terhadap kontrasepsi. Di kemudian hari, ia dua kali ditahan karena melakukan aksi protes di luar suatu klinik aborsi di Britania, setelah aborsi dilegalkan di sana (kendati dengan batasan-batasan tertentu).
Anscombe tetap di Somerville College dari tahun 1946 sampai 1970. Ia juga dikenal karena kerelaannya menghadapi kontroversi publik demi iman Katolik yang dianutnya. Pada tahun 1956, ketika ia masih seorang research fellow di Universitas Oxford, ia memprotes keputusan Oxford untuk memberikan suatu gelar kehormatan kepada Harry S. Truman, yang disebutnya sebagai seorang pembunuh massal karena keputusan sang presiden untuk menggunakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Dalam pemungutan suara, ia dan tiga orang lainnya memilih untuk tidak memberikan kehormatan tersebut kepada Truman. Anscombe kemudian membela keputusannya itu dalam sebuah pamflet tahun 1957.[4]
Anscombe terpilih sebagai Profesor Filsafat di Universitas Cambridge pada tahun 1970, tempat tugasnya sampai ia pensiun pada tahun 1986. Ia terpilih sebagai seorang Foreign Honorary Member dalam American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1979.[7]
Pada tahun-tahun selanjutnya, Anscombe menderita penyakit jantung, dan hampir terbunuh dalam suatu kecelakaan mobil pada tahun 1996. Ia tidak pernah sembuh total, dan tahun-tahun terakhirnya di dunia ini dihabiskan dalam perawatan keluarganya di Cambridge.[4] Anscombe wafat pada tanggal 5 Januari 2001, dalam usianya yang ke-81, dengan sang suami dan empat dari tujuh anak mereka berada di sisi tempat tidurnya.
Anscombe tidak meninggalkan pesan di mana ia ingin dikuburkan, dan keluarganya memilih tempat yang sekarang dikenal sebagai Ascension Parish Burial Ground, karena pemakaman tersebut adalah yang terdekat dengan rumah mereka. Terdapat sejumlah kesulitan untuk mendapatkan satu liang lahad ukuran penuh, supaya ia dapat dikuburkan tanpa dikremasi terlebih dahulu, dan hal itu mustahil dilakukan di bagian baru pemakaman tersebut. Setelah bernegosiasi dengan otoritas keuskupan Anglikan Ely, situs yang akhirnya didapat adalah suatu kuburan tua, bersebelahan dengan liang lahat tempat Wittgenstein dimakamkan setengah abad sebelumnya.[8]
Perdebatan dengan C. S. Lewis
Sebagai seorang don filsafat muda, Anscombe mendapatkan reputasi sebagai seorang pendebat yang tangguh. Pada tahun 1948, ia mempresentasikan makalahnya di suatu pertemuan Socratic Club yang di dalamnya ia membantah argumen C. S. Lewis bahwa naturalisme adalah gagasan yang kesalahannya merupakan satu konsekuensi logis dari tindakan atau kondisi menganggapnya benar (ditemukan pada bab ketiga berjudul "Naturalism is Self-Refuting" dalam publikasi asli buku Miracles karya Lewis). Beberapa rekan Lewis, khususnya George Sayer dan Derek Brewer, mengatakan bahwa Lewis kehilangan perdebatan lebih lanjut seputar makalah Anscombe dan kekalahan tersebut sedemikian memalukan sehingga Lewis mengabaikan argumen teologis serta beralih sepenuhnya ke tulisan devosional dan literatur anak-anak.[9] Kesan Anscombe mengenai dampaknya pada Lewis agak berbeda:
Kenyataan bahwa Lewis menulis ulang bab itu, dan menulisnya kembali sehingga sekarang memiliki kualitas-kualitas tersebut [untuk memenuhi keberatan-keberatan Anscombe], memperlihatkan ketulusan dan keseriusannya. Pertemuan Socratic Club tempat saya membacakan makalah saya telah dideskripsikan oleh sejumlah temannya sebagai suatu pengalaman yang mengerikan dan mengejutkan yang membuat dia sangat kecewa. Baik Dr. Havard (yang mengundang Lewis dan saya untuk makan malam beberapa minggu kemudian) ataupun Profesor Jack Bennet tidak ada yang ingat akan adanya perasaan-perasaan semacam itu pada pihak Lewis [...]. Sejauh ingatan saya sendiri, pertemuan tersebut merupakan satu kesempatan diskusi dalam ketenangan mengenai kritik-kritik tertentu yang cukup jelas, yang diperlihatkan pemikiran-ulang dan penulisan-ulang Lewis bahwa ketika itu ia menganggapnya akurat. Saya cenderung menafsirkan laporan-laporan ganjil tentang hal tersebut oleh beberapa temannya—yang tampaknya tidak tertarik pada argumen-argumen aktual ataupun pokok bahasannya—sebagai satu contoh menarik dari fenomena yang disebut 'proyeksi'.[10]
Sebagai hasil dari acara debat tersebut, Lewis secara substansial menulis ulang Miracles Bab 3 untuk edisi paperback tahun 1960.[11]
Pandangan seputar karyanya
Filsuf Candace Vogler mengatakan bahwa "kekuatan" Anscombe adalah ketika ia menulis untuk "'pembaca Katolik, ia mengasumsikan mereka memiliki keyakinan-keyakinan dasar tertentu sebagaimana dirinya,' tetapi ia juga bersedia menulis untuk orang-orang yang tidak berpegang pada anggapan-anggapan yang dianutnya."[12] Pada tahun 2010, filsuf Roger Scruton berkomentar bahwa Anscombe "mungkin filsuf besar terakhir yang menulis dalam bahasa Inggris".[13] Pada tahun 2006, Mary Warnock mendeskripsikannya sebagai "raksasa yang tak terbantahkan di antara para filsuf wanita", sementara John Haldane mengatakan bahwa ia "tentu saja memiliki satu pengakuan baik sebagai filsuf wanita terbesar yang kita kenal".[14]
Bibliografi
Daftar ini belum tentu lengkap. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. (July 2016)
Buku
(Inggris) Anscombe, G. E. M. (1957). Intention. Oxford: Blackwell.
(Inggris) Gormally, Luke, ed. (1994). Moral truth and moral tradition : essays in honour of Peter Geach and Elizabeth Anscombe. Dublin: Four Courts Press.
^ abcdefgh(Inggris) Jenny Teichman, ‘Anscombe, (Gertrude) Elizabeth Margaret (1919–2001)’, Oxford Dictionary of National Biography, Oxford University Press, Jan 2005; online edn, May 2014 accessed 7 Jan 2017
^(Inggris)Metaphysics and the Philosophy of Mind, pp. vii–ix, quoted in Monk, 1990, p. 497.
(Inggris)First Things (May 2001, 11–13): G.E.M. Anscombe: Living the Truth Diarsipkan 2011-06-10 di Wayback Machine.- an obituary or memoir by Professor John Dolan.
(Inggris)[3]New York Times (7 January 2011): Renaissance for Outspoken Catholic Philosopher by Mark Oppenheimer.