Gereja Katolik telah menentang kontrasepsi setidaknya sejak abad kedua.[3][4] Banyak Bapa Gereja awal mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penggunaan kontrasepsi, misalnya Yohanes Krisostomus, Hieronimus, Klemens dari Aleksandria, Hippolitus dari Roma, Agustinus dari Hippo, dan banyak lagi yang lainnya.[4][5][6] Di antara berbagai kecaman tersebut adalah suatu pernyataan oleh Hieronimus yang menyebut satu bentuk kontrasepsi oral: "Beberapa orang melakukan sedemikian jauh dengan menggunakan ramuan-ramuan, sehingga memungkinkan mereka memastikan ketidaksuburan, dan karenanya membunuh manusia tepat sebelum pembuahan mereka."[7] Agustinus, dalam Tentang Pernikahan dan Konkupisensi karyanya, menyatakan bahwa siapa saja yang semata-mata melibatkan nafsu dalam persetubuhan tanpa menginginkan prokreasi, "kendati mereka disebut suami dan istri, adalah bukan [suami atau istri]; mereka juga tidak memelihara setiap realitas pernikahan, tetapi menggunakan nama terhormat [pernikahan] untuk menutupi sesuatu yang memalukan. ... Kadang kala kekejaman penuh nafsu ini, atau nafsu kejam ini, mengiringinya, ketika mereka bahkan menggunakan obat-obat pensterilan." Frasa "obat-obat pensterilan" (sterilitatis venena) sempat digunakan secara luas dalam berbagai literatur teologis dan gerejawi untuk mengecam tindakan-tindakan kontraseptif dan pengendalian kelahiran. Agustinus memanfaatkan kisah biblis Onan sebagai suatu teks pendukung untuk mengecam kontrasepsi.[8]
Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa semua tindakan seksual harus memenuhi kedua tujuannya, yaitu prokreatif dan unitif (mempersatukan).[9] Selain mengecam penggunaan kontrasepsi buatan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya adalah jahat,[10] tindakan-tindakan seksual non-prokreatif seperti masturbasi bersama dan seks anal dikesampingkan sebagai cara-cara untuk mencegah kehamilan.[11]Casti connubii menjelaskan mengenai tujuan sekunder, yakni aspek unitif, dari hubungan seksual.[12] Karena tujuan sekunder ini, para pasangan yang telah menikah memiliki suatu hak untuk melakukan hubungan seksual sekalipun kehamilan bukan merupakan suatu akibat yang mungkin terjadi:
Tidak pula mereka dianggap bertindak melawan kodrat apabila dalam keadaan menikah menggunakan hak mereka dengan cara yang tepat meski dengan pertimbangan alasan alamiah waktu ataupun kelainan-kelainan tertentu, kehidupan baru tidak dapat dilahirkan. Karena dalam perkawinan serta dalam penggunaan hak-hak perkawinan terdapat juga tujuan sekunder seperti saling membantu, pemupukan kasih timbal balik, dan pengendalian konkupisensi di mana suami dan istri tidak dilarang untuk mengadakan pertimbangan selama mereka tunduk pada tujuan primernya dan selama kodrat hakiki tindakan tersebut dipertahankan.[13]
John dan Sheila Kippley dari Couple to Couple League mengatakan bahwa pernyataan Paus Pius XI tersebut tidak hanya memperbolehkan persetubuhan antara pasangan menikah selama kehamilan dan menopause, tetapi juga selama masa tidak subur dalam siklus menstruasi.[14] Raymond J. Devettere mengatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan suatu izin untuk melakukan hubungan seksual selama masa infertil atau tidak subur apabila terdapat "suatu alasan yang baik untuk hal itu".[8] Formula matematis untuk metode ritme telah diresmikan pada tahun 1930,[15] dan pada tahun 1932 seorang dokter Katolik menerbitkan buku berjudul Ritme Sterilitas dan Fertilitas pada Wanita untuk mempromosikan metode tersebut kepada umat Katolik.[12] Pada tahun 1930-an juga didirikan Klinik Ritme pertama di Amerika Serikat oleh John Rock untuk mengajarkan metode tersebut kepada para pasangan Katolik.[16] Bagaimanapun, penggunaan Metode Ritme dalam keadaan tertentu baru diterima secara resmi pada tahun 1951, dalam dua sambutan yang disampaikan oleh Paus Pius XII.[12][17]
Pandangan saat ini
Posisi Katolik Roma terkait kontrasepsi secara resmi dijelaskan dan diungkapkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968 melalui Humanae vitae. Kontrasepsi artifisial atau buatan dipandang jahat pada hakikatnya,[10] tetapi metode-metode keluarga berencana alami secara moral diperbolehkan dalam beberapa kondisi sejauh tidak mengesampingkan cara alamiah konsepsi atau pembuahan.[18]
Sebagai justifikasi atas posisi tersebut, Paus Paulus VI mengatakan:
"Orang-orang yang bertanggung jawab dapat menjadi lebih meyakini secara mendalam kebenaran ajaran yang ditetapkan oleh Gereja dalam isu ini apabila mereka memikirkan akibat dari metode-metode dan program-program pengendalian kelahiran buatan. Hendaknya mereka memikirkan terlebih dahulu betapa dengan mudahnya rangkaian tindakan ini dapat membuka lebar jalan menuju ketidaksetiaan dalam pernikahan dan suatu penurunan secara umum standar-standar moral. Tidak butuh banyak keahlian untuk menyadari sepenuhnya kelemahan manusia serta untuk memahami bahwa manusia—dan khususnya kaum muda, yang sedemikian terpapar dalam cobaan—membutuhkan dorongan-dorongan untuk tetap memelihara hukum moral, dan adalah suatu hal yang jahat untuk menjadikan mereka dengan mudah melanggar hukum itu. Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah bahwa seorang pria yang terbiasa tumbuh dengan menggunakan metode-metode kontraseptif dapat melupakan rasa hormat kepada seorang wanita, dan, karena mengabaikan keseimbangan fisik dan emosional sang wanita, menurunkan [martabat] dia sehingga menjadi sekadar alat pemuas hasrat-hasratnya sendiri, tidak lagi memandang dia sebagai mitranya yang seharusnya dilingkupinya dengan perhatian dan kasih sayang."[18]
"Orang dapat mengetahui kalau tidak ada periode sejarah, tidak ada dokumen gereja, tidak ada mazhab teologis, hampir-hampir tidak ada satu pun teolog Katolik, yang pernah menyangkal bahwa kontrasepsi senantiasa merupakan kejahatan yang serius. Ajaran Gereja dalam hal ini benar-benar konstan. Hingga abad sekarang ajaran ini dipegang dalam kesentosaan oleh semua kalangan Kristen lainnya, entah Ortodoks atau Anglikan ataupun Protestan. Kalangan Ortodoks mempertahankan [ajaran] ini sebagai pengajaran umum pada masa kini."
Pada tanggal 17 Juli 1994, Paus Yohanes Paulus II mengklarifikasi posisi Gereja dalam suatu permenungan yang disampaikan sebelum pendarasan Angelus:
Sayangnya, pemikiran Katolik sering kali disalahartikan ... seakan-akan Gereja dengan segala cara mendukung suatu ideologi kesuburan, mendesak para pasangan yang telah menikah untuk menghasilkan keturunan tanpa pandang bulu dan tanpa pemikiran akan masa depan. Namun orang hanya perlu mempelajari pernyataan-pernyataan dari Magisterium untuk mengetahui ini tidak demikian. Sesungguhnya, dalam menurunkan kehidupan, para pasangan menggenapi salah satu dimensi tertinggi panggilan mereka: mereka adalah para rekan kerja Allah. Justru karena alasan ini mereka harus memiliki suatu sikap yang sangat bertanggung jawab. Ketika memutuskan apakah akan atau tidak akan memiliki seorang anak, mereka perlu melepaskan diri dari motivasi yang didasari oleh keegoisan ataupun kesembronoan, tetapi [perlu didasari] oleh suatu kemurahan hati yang arif dan disadari, yang mempertimbangkan segala kemungkinan dan keadaan, serta utamanya memprioritaskan kesejahteraan sang anak yang belum terlahirkan. Dengan demikian, ketika terdapat suatu alasan untuk tidak menghasilkan keturunan, pilihan ini diperbolehkan dan bahkan mungkin saja dianggap perlu. Namun, masih ada kewajiban untuk melaksanakannya sesuai dengan kriteria dan metode-metode yang menghormati kebenaran sepenuhnya tindakan perkawinan dalam dimensi unitif dan prokreatifnya, sebagaimana diatur secara bijak oleh kodratnya sendiri dalam ritme-ritme biologisnya. Orang dapat mematuhinya dan menggunakannya untuk memperoleh manfaat yang menguntungkan, tetapi tidak dapat "dilanggar" oleh campur tangan artifisial (buatan).[19]
"Gereja senantiasa memberitahukan tentang kejahatan intrinsik kontrasepsi, yaitu setiap tindakan perkawinan yang dilakukan secara sengaja tanpa menghasilkan buah. Ajaran ini dipegang secara definitif dan tidak dapat diubah. Kontrasepsi adalah sangat bertentangan dengan kemurnian perkawinan, bertentangan dengan kebaikan dari transmisi kehidupan (aspek prokreatif dari pernikahan) dan dengan pemberian diri timbal balik pasangan suami-istri (aspek unitif dari pernikahan). Kontrasepsi membahayakan cinta sejati dan menyangkal peranan mutlak Allah dalam transmisi kehidupan manusia."[20]
Suatu ringkasan dukungan Kitab Suci yang digunakan oleh kalangan Katolik Roma untuk menentang kontrasepsi dapat ditemukan dalam buku Rome Sweet Home, sebuah otobiografi karya apolog Katolik Scott dan Kimberly Hahn, keduanya adalah para konver Katolisisme Roma dari Protestanisme.[21] Mereka mengilustrasikan bahwa hasil-hasil penelitian seputar kontrasepsi yang dilakukan oleh Kimberly Hahn memiliki suatu dampak yang sangat penting dalam kehidupan mereka, secara khusus yaitu mengenai kenyataan bahwa Gereja Katolik merupakan salah satu dari sedikit kelompok Kristen yang hingga saat ini tetap mengambil suatu sikap yang jelas terkait isu ini. Di antara perikop Alkitab yang mereka kutip dalam buku tersebut misalnya Mazmur 127:3-5:
"Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang."
Cormac Burke, seorang akademisi Katolik, menulis sebuah evaluasi antropologis (non-religius) mengenai dampak kontrasepsi dalam kasih suami-istri, "Married Love and Contraception", untuk berargumen bahwa "kontrasepsi pada kenyataannya menghilangkan tindakan suami-istri, bahkan jauh dari menyatukan suami dan istri serta mengungkapkan dan meneguhkan cinta di antara mereka dengan suatu cara yang unik. Kontrasepsi cenderung melemahkan cinta mereka dengan secara radikal melawan pemberian diri timbal balik sepenuhnya yang seharusnya ditandakan oleh tindakan yang paling intim dalam hubungan perkawinan ini."[22]
Dignitas Personae, suatu pengajaran dari Kongregasi Ajaran Iman yang dirilis pada tahun 2008, menegaskan kembali penentangan Gereja terhadap kontrasepsi sambil menyebutkan metode-metode baru intersepsi dan kontragesti, terutama kondom wanita dan pil pagi hari, yang adalah juga "termasuk dalam dosa aborsi dan sangat amoral".[23]
Kontroversi kondom
Pada tahun 2003, program Panorama di BBC menyatakan bahwa para pejabat Gereja telah mengajarkan bahwa HIV dapat melewati membran karet lateks yang menjadi bahan pembuat kondom. Hal tersebut dianggap tidak benar menurut Organisasi Kesehatan Dunia,[24] meski sebuah laporan yang dibuat pada tahun 2000 oleh National Institutes of Health (NIH) menyatakan bahwa penggunaan kondom-kondom lateks secara terus menerus mengurangi risiko penularan HIV sekitar 85% secara relatif dibandingkan dengan risiko tanpa menggunakannya,[25] tidak 100% aman.
Dalam suatu wawancara di televisi Belanda pada tahun 2004, Kardinal Belgia Godfried Danneels berpendapat bahwa penggunaan kondom seharusnya didukung untuk mencegah AIDS apabila hubungan seks dengan seorang yang terinfeksi HIV harus terjadi, kendati seharusnya dihindari. Menurut Danneels, "orang yang bersangkutan perlu menggunakan kondom agar tidak melanggar perintah yang mengutuk pembunuhan, selain melanggar perintah yang melarang perzinaan. ... Melindungi diri sendiri terhadap penyakit ataupun kematian merupakan suatu tindakan pencegahan. Secara moril, hal tersebut tidak dapat dinilai pada tingkatan yang sama seperti ketika kondom digunakan untuk mengurangi jumlah kelahiran."[26] Pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa membagi-bagikan kondom bukan merupakan solusi untuk memerangi AIDS dan dapat memperburuk masalah. Ia mengusulkan "kebangunan kerohanian dan manusia" serta "persahabatan dengan mereka yang menderita" sebagai solusi-solusinya.[27]
Pada tahun 2010, Paus Benediktus XVI dalam suatu wawancara yang dipublikasikan dalam buku Terang Dunia: Sri Paus, Gereja, dan Tanda-Tanda Zaman, ketika ditanya apakah Gereja Katolik Roma pada prinsipnya tidak menentang penggunaan kondom, menyatakan bahwa:
[Gereja Katolik] tentu saja tidak memandangnya sebagai suatu solusi nyata ataupun moril, tetapi, dalam hal ini atau kasus tersebut, dengan maksud mengurangi risiko penularan, bagaimanapun akan ada suatu langkah pertama dalam gerakan menuju suatu cara yang berbeda, suatu cara yang lebih manusiawi, dalam seksualitas masa kini.
Paus Benediktus mencontohkan penggunaan kondom oleh para pelacur laki-laki sebagai "suatu langkah pertama menuju moralisasi", meskipun kondom "bukan cara yang sesungguhnya untuk berhadapan dengan kejahatan penularan HIV". Dalam sebuah pernyataan untuk menjelaskan perkataan sang paus, Kongregasi Ajaran Iman menegaskan kembali bahwa Gereja memandang prostitusi "sangat tidak bermoral":
Namun, mereka yang terlibat dalam prostitusi dan positif mengidap HIV serta berupaya untuk mengurangi risiko penularannya dengan penggunaan kondom dapat mengambil langkah pertama dalam menghormati kehidupan orang lain sekalipun kejahatan prostitusi masih tetap berada dalam segala signifikansinya.[28]
Ortodoksi
Sebuah dokumen resmi dari Gereja Ortodoks Rusia menyatakan bahwa metode-metode abortifasien dalam kontrasepsi sama sekali tidak dapat diterima, sedangkan metode-metode lainnya dapat digunakan melalui bimbingan rohani, dengan mempertimbangkan "kondisi-kondisi konkret kehidupan pasangan suami-istri, umur mereka, kesehatan, tingkat kematangan spiritual dan banyak keadaan lainnya". Namun, apabila salah seorang pasangan tidak ingin memiliki anak (dengan catatan bahwa hanya alasan-alasan "non-egoistis" yang dapat dibenarkan), berpantang dari hubungan seksual harus diutamakan.[29]
Jika ditinjau dari semua sisi seputar isu ini, umat Ortodoks Timur cenderung meyakini bahwa perspektif utama tentang kontrasepsi belum diteliti secara memadai, dan setiap penelitian telah sering kali tertambat dalam politik identitas, kelompok yang lebih menegaskannya menuding kelompok kategoris penentang pengaruh LatinThomistik. Namun, "konsensus baru" hingga sekarang masih mendapat tentangan.[30][31]
Banyak teolog dan hierark Ortodoks dari seluruh dunia yang memuji Humanae vitae saat ensiklik tersebut dirilis. Di antara para pemimpin Ortodoks, beberapa dari mereka mengajarkan bahwa hubungan seksual dalam perkawinan seharusnya hanya ditujukan bagi prokreasi semata-mata, sementara yang lainnya memegang suatu pandangan yang serupa dengan posisi Katolik Roma, yang secara prinsip memperbolehkan Keluarga Berencana Alami dan pada saat yang sama menentang kontrasepsi buatan.[30][31]
Pemimpin Gereja Ortodoks yang lain lagi berpendapat bahwa penafsiran ini terlalu terfokus pada fungsi prokreatif hubungan seks, tidak memadai pada fungsi unitifnya, dan karenanya memungkinkan kebebasan penggunaan kontrasepsi yang lebih luas di antara para pasangan yang telah menikah.[30][31]
Sejumlah kalangan Kristen Ortodoks, sebagaimana Katolik Roma, tidak hanya memperhitungkan penggunaan kontrasepsi sebagai suatu dosa, melainkan juga suatu "dosa berat"[32] dalam konteks "dosa-dosa kedagingan yang tidak wajar", bersama dengan homoseksualitas, bestialitas, masturbasi, dan sebagainya.[33][34]
Sebagai bagian dari Reformasi Protestan, para reformis mulai lebih menekankan kesenangan-kesenangan unitif dalam pernikahan.[35] Namun, semua tokoh utama Reformis Protestan, dan kalangan Protestan pada umumnya hingga abad ke-20, mengutuk kontrasepsi atau pengaturan kelahiran sebagai suatu hal yang bertentangan dengan tujuan prokreatif Allah atas pernikahan.[36][37] Ketika para ilmuwan mengembangkan metode-metode pengendalian kelahiran selama abad ke-19 akhir dan abad ke-20 awal, sejumlah kalangan Protestan tetap menolaknya, sementara kalangan Nonkonformis yang lain menyambut pengembangan tersebut.[36][38][39]
Anglikanisme
Komuni Anglikan, termasuk Gereja Inggris, mengutuk kontrasepsi buatan pada Konferensi Lambeth tahun 1908 dan 1920.[8] Belakangan, Komuni Anglikan memberikan persetujuan untuk penggunaan pengendalian kelahiran dalam keadaan tertentu pada Konferensi Lambeth tahun 1930. Pada Konferensi Lambeth tahun 1958, dinyatakan bahwa tanggung jawab untuk memutuskan jumlah dan frekuensi kelahiran anak diletakkan oleh Allah berdasarkan hati nurani kedua orang tua "dengan cara-cara yang dapat diterima oleh suami dan istri".[40][41]
Lutheranisme
Gereja Evangelis Lutheran di Amerika mengizinkan kontrasepsi dalam kasus para calon orang tua tidak berniat untuk mengasuh anak.[42]
Sinode atau gereja Lutheran lainnya mengambil posisi-posisi lain, atau sama sekali tidak mengambil posisi apapun. Sebagai contoh, Gereja-Gereja Lutheran dari Reformasi mengeluarkan sebuah resolusi berjudul "Prokreasi" yang menyatakan bahwa pengendalian kelahiran, dalam segala bentuknya, merupakan dosa, kendati mereka "memperbolehkan adanya perbedaan-perbedaan eksegesis dan kasus-kasus luar biasa (kasuistis)", umpamanya ketika hidup sang wanita berada dalam risiko.[43] Baik Sinode Missouri maupun Wisconsin tidak memiliki suatu posisi resmi terkait kontrasepsi.[44]
Metodisme
Gereja Metodis Bersatu menyatakan bahwa "setiap pasangan memiliki hak dan kewajiban dalam doa dan tanggung jawab untuk mengendalikan konsepsi sesuai dengan keadaan mereka." Resolusi tentang Menjadi Orang Tua yang Bertanggung Jawab menyatakan bahwa untuk "mendukung dimensi sakral keberadaan pribadi manusia, segala upaya yang memungkinkan seharusnya dilakukan oleh orang tua dan masyarakat demi memastikan bahwa setiap anak memasuki dunia ini dengan tubuh yang sehat, dan dilahirkan ke dalam suatu lingkungan yang kondusif untuk mewujudkan potensi dirinya." Untuk tujuan ini, Gereja Metodis Bersatu mendukung "pendanaan publik yang memadai serta peningkatan partisipasi dalam layanan-layanan keluarga berencana oleh lembaga-lembaga publik dan swasta."[45][46]
Presbiterianisme
Gereja Presbiterian (AS) mendukung "akses penuh dan setara atas metode-metode kontraseptif". Dalam sebuah resolusi belakangan yang mendukung cakupan asuransi bagi kontrasepsi, gereja tersebut menyatakan bahwa "layanan-layanan kontraseptif merupakan bagian dari perawatan kesehatan dasar", dan "kehamilan-kehamilan yang tidak diinginkan menyebabkan angka kematian bayi yang lebih tinggi, rendahnya berat lahir, mordibitas ibu, serta mengancam kelayakan ekonomi para keluarga."[47] Namun, kelompok-kelompok Reformed lainnya saling bertentangan dalam menyikapi isu ini, sebagaimana dapat dilihat dalam karya-karya tulis belakangan yang menyatakan bahwa praktik pengendalian kelahiran tidak berlandaskan pada legitimasi Kristen.[48]
Kaum Mennonit
Gereja Mennonit Amerika Serikat, Gereja Mennonit Konferensi Umum, dan Konferensi Mennonit Konservatif telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan persetujuan atas metode-metode modern kontrasepsi. Sebagai contoh, selain mengajar serta mendorong cinta dan penerimaan akan anak-anak, Konferensi Mennonit Konservatif menyatakan bahwa "pencegahan kehamilan yang layak melalui pengendalian kelahiran dengan metode-metode pra-fertilisasi adalah dapat diterima".[49]
Sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 1975 menunjukkan bahwa 11% penganut Mennonit meyakini kalau penggunaan pengendalian kelahiran adalah "selalu salah".[50] Kaum Mennonit Koloni Lama, sama seperti kaum Amish, tidak secara resmi mengizinkan praktik-praktik pengendalian kelahiran.
Lain-lain
Terlepas dari beragam penerimaan di atas, banyak gerakan yang memandang penggunaan kontrasepsi d luar pernikahan sebagai pendorong terjadinya promiskuitas. Sebagai contoh, Focus on the Family menyatakan:
Seks adalah suatu dorongan yang kuat, dan dalam sebagian besar sejarah manusia sungguh terkait dengan pernikahan dan perkandungan anak. Hanya relatif baru-baru ini tindakan seks telah biasa dipisahkan dari pernikahan dan prokreasi. Penemuan-penemuan kontrasepsi modern telah memberikan banyak orang suatu pengertian berlebihan akan rasa aman dan memicu lebih banyak orang dibandingkan sebelumnya untuk memindahkan ekspresi seksual ke luar garis batas pernikahan.[51]
^ ab(Inggris) Campbell, Flann (Nov 1960). "Birth Control and the Christian Churches". Population Studies. Population Investigation Committee. 14 (2): 131–147. doi:10.2307/2172010. JSTOR2172010.
Such was the united teaching of Dr. Martin Luther and the "Old Missouri" fathers (C.F.W. Walther, F. Pieper, A.L. Graebner, C.M. Zorn, W.H.T. Dau, J.T. Mueller, W. Dallman, F. Bente, E.W.A. Koehler, L. Fuerbringer, T. Engelder, Th. Laetsch, G. Luecke, W.A. Maier, M.J. Naumann, et al.) and LCR leaders such as P.E. Kretzmann and W.H. McLaughlin.
Likewise, the Hausvater Project (not an LCR organization) states,
We therefore find ourselves sympathetic to the long-standing consensus of Lutheran church fathers from the Reformation through the mid twentieth century that neither abortion, abortifacient birth control, nor barrier contraception should be practiced. See http://www.hausvater.org/faqs.php
^(Inggris) Religious Coalition for Reproductive Choice. 2006. Religious Support For Family Planning (retrieved 16 May 2007).
^(Inggris) See for instance "The Christian Case against Contraception: Making the Case from Historical, Biblical, Systematic, and Practical Theology & Ethics" by Bryan C. Hodge.
^(Inggris)"What We Believe". Conservative Mennonite Conference. 1997. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 27, 2007. Diakses tanggal 2006-10-01.
^(Inggris) Hershberger, Anne K (1989). "Birth Control". Global Anabaptist Mennonite Encyclopedia Online. Diakses tanggal 2006-08-17.
^(Inggris)"Abstinence Policy". Focus on the Family. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 5, 2005. Diakses tanggal 2006-10-01.