Setiap kelompok agama memiliki keragaman dalam pandangan mereka tentang pengaturan kelahiran atau kontrasepsi. Keragaman tersebut bahkan juga terdapat pada cabang-cabang berbeda dalam satu keimanan, seperti yang terjadi dalam Yudaisme. Sejumlah umat beragama mendapati bahwa opini mereka sendiri seputar penggunaan pengaturan kelahiran berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh para pemimpin agama mereka, dan banyak yang bergumul dengan dilema etika terkait apa yang dipahami sebagai "tindakan yang benar" berdasarkan iman mereka ketika dihadapkan dengan keadaan, daya pikir, dan pilihan personal.[1]
Di antara semua denominasi Kristen masa kini terdapat berbagai macam posisi seputar kontrasepsi. Gereja Katolik Roma telah melarang kontrasepsi artifisial (buatan) sejak dahulu sepanjang yang dapat ditelusuri dalam sejarahnya. Kontrasepsi juga secara secara resmi dilarang oleh kalangan Kristen non-Katolik hingga tahun 1930 Komuni Anglikan mengubah kebijakannya. Tidak lama setelahnya, menurut Flann Campbell, kebanyakan kelompok Protestan mulai menerima penggunaan kontrasepsi modern sebagai suatu hal yang mereka anggap sebagai kebebasan hati nurani yang secara Alkitabiah diperbolehkan.[2]
Gereja Katolik telah menentang kontrasepsi buatan sejak abad-abad awal Kekristenan.[3][4] Praktik semacam ini dipandang berlawanan dengan keteraturan hakiki, karena keyakinan bahwa semua tindakan seksual yang dapat dibenarkan harus memiliki aspek unitif (pengungkapan cinta yang mempersatukan) dan prokreatif (terbuka pada prokreasi). Satu-satunya bentuk kontrol kelahiran yang diizinkan adalah abstinensi atau pantang. Metode-metode ilmiah modern "abstinensi periodik" seperti keluarga berencana alami (KBA) diperhitungkan sebagai suatu bentuk abstinensi oleh Paus Paulus VI di dalam ensiklik Humanae Vitae yang dirilisnya pada tahun 1968.[5] Berikut ini merupakan kecaman terhadap kontrasepsi sebagaimana tertulis dalam eksiklik tersebut:
Oleh karena itu kita mendasarkan perkataan kita pada prinsip-prinsip awal seorang manusia dan ajaran Kristen tentang perkawinan ketika kita sekali lagi berkewajiban untuk menyatakan bahwa interupsi secara langsung atas proses generatif telah dimulai dan, di atas segalanya, segala bentuk aborsi langsung, bahkan untuk alasan-alasan terapeutik, adalah harus sepenuhnya ditolak sebagai cara-cara yang sah untuk mengatur jumlah anak. Yang juga harus dikutuk, sebagaimana telah ditegaskan oleh Magisterium Gereja pada banyak kesempatan, adalah sterilisasi langsung, baik pada sang laki-laki ataupun sang perempuan, baik permanen ataupun temporer.
Demikian pula harus ditolak setiap tindakan yang baik sebelum, pada saat, atau setelah hubungan seksual, secara khusus dimaksudkan untuk mencegah prokreasi—entah sebagai suatu tujuan ataupun sebagai suatu sarana.
Sejumlah dokumen lainnya menyajikan wawasan yang lebih dalam seputar posisi Gereja dalam hal kontrasepsi. Komisi yang ditunjuk untuk mempelajari isu ini dalam waktu beberapa tahun sebelum dirilisnya Humanae Vitae mengeluarkan dua laporan tidak resmi, yang disebut "laporan mayoritas" berupaya untuk mengungkapkan alasan-alasan agar Gereja Katolik dapat mengubah ajarannya mengenai kontrasepsi, dan "laporan minoritas" yang menjelaskan alasan-alasan untuk menegakkan pandangan Katolik sesuai tradisi dalam hal kontrasepsi.[6] Pada tahun 1997, Vatikan merilis sebuah dokumen berjudul Vademecum bagi Para Bapa Pengakuan (2:4) yang menyatakan bahwa "Gereja selalu menyampaikan kejahatan intrinsik kontrasepsi".[7] Selain itu, banyak Bapa Gereja yang mengutuk penggunaan kontrasepsi.[4][8]
Donum Vitae, sebuah dokumen yang dikeluarkan Kongregasi Ajaran Iman pada tahun 1987, menentang fertilisasi in vitro karena praktik tersebut membahayakan embrio-embrio. Dignitas Personae yang dirilis pada tahun 2008 mengecam manipulasi-manipulasi embrionik dan metode-metode baru kontrasepsi.
Penulis dan penyiar radio FamilyLife Today Dennis Rainey mengemukakan empat kategori yang sama bergunanya dalam pemahaman sikap Protestan saat ini menyangkut pengendalian kelahiran. Keempat kategori tersebut yaitu kelompok "anak-anak dalam kelimpahan" seperti para penganut Quiverfull yang memandang salah semua kontrol kelahiran dan keluarga berencana alami, kelompok "anak-anak dalam kelimpahan yang terkelola" yang hanya menerima keluarga berencana alami, kelompok "anak-anak dalam moderasi" yang menerima penggunaan secara bijak berbagai macam kontrasepsi, dan kelompok "tanpa anak-anak" yang memandang diri mereka berada di dalam hak-hak Alkitabiah mereka untuk menentukan kehidupan mereka seputar isu-isu non-natal.[9]
Selain itu, sejumlah gerakan Protestan seperti Focus on the Family memandang kontrasepsi di luar nikah sebagai dorongan untuk praktik promiskuitas:
Seks adalah suatu dorongan yang kuat, dan dalam sebagian besar sejarah manusia sungguh terkait dengan pernikahan dan perkandungan anak. Hanya relatif baru-baru ini tindakan seks telah biasa dipisahkan dari pernikahan dan prokreasi. Penemuan-penemuan kontrasepsi modern telah memberikan banyak orang suatu pengertian berlebihan akan rasa aman dan memicu lebih banyak orang dibandingkan sebelumnya untuk memindahkan ekspresi seksual ke luar garis batas pernikahan.[10]
Hindu
Tidak terdapat larangan penggunaan pengaturan kelahiran di dalam Hinduisme.[11]
Beberapa kitab suci Hindu memuat saran mengenai apa yang seharusnya dilakukan pasangan untuk mendorong konsepsi atau pembuahan—dengan demikian memberikan saran kontraseptif bagi mereka yang menginginkannya. Namun, kebanyakan umat Hindu meyakini bahwa terdapat suatu kewajiban untuk berkeluarga sepanjang tahap kehidupan kepala keluarga, dan karenanya cenderung tidak mungkin menggunakan kontrasepsi untuk menghindari keharusan memiliki anak. Dharma (ajaran dalam hukum moral dan keagamaan Hindu) menekankan perlunya bertindak demi kebaikan dunia ini. Oleh karena itu, sejumlah kalangan Hindu meyakini bahwa menghasilkan lebih banyak anak daripada yang dapat ditunjang oleh lingkungan adalah bertentangan dengan hukum Hindu ini. Kendati fertilitas atau kesuburan adalah penting, mengandung lebih banyak anak daripada yang dapat ditunjang dipandang sebagai pelanggaran Ahimsa (kaidah perilaku tanpa kekerasan).[12]
Karena India memiliki populasi yang besar dan padat, banyak dari pembahasan tentang pengaturan kelahiran difokuskan pada isu lingkungan overpopulasi dibandingkan dengan etika-etika yang lebih bersifat pribadi, dan pengaturan kelahiran tidak dianggap sebagai suatu isu etika yang utama.[11]
Islam
Al-Qur'an tidak memuat pernyataan eksplisit tentang moralitas kontrasepsi, tetapi terdapat pernyataan-pernyataan yang menganjurkan prokreasi atau penghasilan keturunan. Nabi Muhammad juga disebut mengatakan untuk "menikah dan menghasilkan keturunan".[13]
Coitus interruptus ("sanggama terputus"), satu bentuk primitif kontrol kelahiran, merupakan suatu praktik yang dikenal pada zaman Nabi Muhammad, dan para sahabatnya melakukan itu. Ia mengetahui hal ini, namun tidak pernah menyarankan untuk tidak melakukannya.[13][14]
Para cendekiawan Muslim telah memperluas contoh coitus interruptus, berdasarkan kias, untuk menyatakan dapat diizinkannya bentuk-bentuk lain kontrasepsi jika memenuhi tiga kondisi berikut:[13]
Karena keturunan adalah hak dari suami maupun istri, metode pengendalian kelahiran seharusnya digunakan dengan persetujuan kedua belah pihak.
Metode tersebut seharusnya tidak menimbulkan sterilisasi permanen.[13]
Metode tersebut seharusnya tidak membahayakan tubuh.
Ahmadiyyah meyakini bahwa pengendalian kelahiran tidak diizinkan apabila ditempuh karena kekhawatiran akan beban finansial.[15]
^(Inggris) Srikanthan, A; Reid, RL (February 2008). "Religious and cultural influences on contraception"(PDF). Journal of obstetrics and gynaecology Canada – Journal d'obstetrique et gynecologie du Canada (JOGC). 30 (2): 129–37. PMID18254994. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2013-10-04. Diakses tanggal 2017-02-07.
^(Inggris) Campbell, Flann (Nov 1960). "Birth Control and the Christian Churches". Population Studies. Population Investigation Committee. 14 (2): 131–147. doi:10.2307/2172010. JSTOR2172010.