Gereja Katolik menentang segala bentuk prosedur aborsi atau [ pengguguran kandungan] yang tujuan langsungnya adalah untuk menghancurkan embrio, blastosis, zigot atau janin (fetus), karena berpegang pada keyakinan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki setiap makhluk tak bersalah."[1] Namun, Gereja Katolik juga mengakui bahwa tindakan-tindakan tertentu yang secara tidak langsung mengakibatkan kematian janin dapat dibenarkan secara moral, seperti ketika tujuan langsung tindakannya adalah pengangkatan rahim dengan sel kanker.
Selain mengajarkan bahwa aborsi adalah tidak bermoral, Gereja Katolik juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan publik dan melakukan tindakan-tindakan untuk menentang legalitasnya.
Pada abad ke-4 dan ke-5, sejumlah penulis seperti Gregorius dari Nyssa serta Maximus sang Pengaku Iman menyatakan bahwa kehidupan manusia telah dimulai sejak saat pembuahan, beberapa penulis seperti Laktansius—mengikuti pandangan Aristoteles—menyatakan bahwa jiwa manusia "dimasukkan" dalam periode empat puluh hari atau lebih, dan beberapa penulis seperti Hieronimus serta Agustinus dari Hippo menyerahkan misteri waktu "pemasukan" tersebut kepada Allah.[10]
Agustinus dari Hippo dengan gigih mengutuk praktik aborsi langsung yang disengaja sebagai suatu kejahatan, dalam tahap kehamilan apapun, kendati ia menerima perbedaan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23 terjemahan Septuaginta, serta tidak mengklasifikasikan aborsi janin "belum berbentuk" sebagai pembunuhan karena ia berpikir bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin telah menerima jiwanya.[12] Perbedaan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" diperkenalkan oleh kesalahan penerjemahan kata "bahaya" atau "kerugian" (Alkitab TB LAI menyebutnya "kecelakaan") dari teks asli Ibrani menjadi "bentuk" di dalam Septuaginta Yunani, versi Perjanjian Lama yang digunakan oleh Agustinus, serta berakar pada pembedaan Aristotelian atas janin sebelum dan setelah momen yang diduga sebagai "pemerolehan" kehidupannya.[6][12] Pembedaan semacam itu juga dipandang sebagai akibat dari keterbatasan ilmu embriologi pada saat itu.[6][13]
Para penulis setelahnya seperti Yohanes Krisostomus dan Sesarius dari Arles serta konsili-konsili Gereja kemudian (misalnya Lerida dan Braga II) juga mengutuk aborsi sebagai perbuatan yang "sama sekali salah", tanpa membedakan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" ataupun mendefinisikan secara tepat pada tahap kehamilan mana kehidupan manusia dimulai.[10][11]
Gereja telah selalu mengutuk aborsi, namun perubahan keyakinan mengenai saat embrio memperoleh jiwa manusianya—terlepas dari adanya sejumlah pandangan di antara para penulis awal dan Bapa Gereja—telah menyebabkan alasan-alasan yang dinyatakan atas kutukan tersebut, dan klasifikasinya dalam hukum kanon tentang dosa aborsi, mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu pada masa silam.[14][15]
Mengikuti pandangan Aristoteles, terdapat pandangan umum di antara beberapa "pemikir Katolik terkemuka" dalam sejarah awal Gereja bahwa eksistensi manusia tidak seketika ada pada saat pembuahan atau konsepsi, tetapi baru beberapa minggu setelahnya. Aborsi tetap dipandang sebagai suatu dosa, kendati bukan pembunuhan, hingga embrio dihidupkan atau dianimasi oleh jiwa insaninya.[16] Dalam Tentang Perkandungan dari Perawan dan Dosa Asal 7, Anselmus dari Canterbury (1033–1109) mengatakan bahwa "tidak ada intelek kemanusiaan yang menerima pandangan bahwa seorang bayi memiliki jiwa rasionalnya sejak saat pembuahan".[8] Beberapa dekade setelah wafatnya Anselmus, hukum kanon Katolik, dalam Decretum Gratiani, menyatakan bahwa "bukanlah seorang pembunuh ia yang mendatangkan aborsi sebelum jiwa berada dalam tubuhnya."[8]
Bagaimanapun, kendati dahulu hukum Gereja menerapkan sanksi berbeda pada aborsi fase awal dan lanjut, sejalan dengan teori yang saat itu umum diterima mengenai pemerolehan jiwa yang tertunda, aborsi pada setiap tahap kehamilan tetap dipandang sebagai suatu kejahatan serius.[17] Karenanya Thomas Aquinas, yang menerima teori Aristotelian bahwa jiwa manusia dimasukkan setelah 40 hari untuk janin laki-laki, 90 hari untuk janin perempuan, senantiasa memandang aborsi janin yang belum berjiwa sebagai tindakan yang tidak etis,[18] suatu kejahatan serius,[19] suatu dosa berat, suatu kelakuan yang jahat dan bertentangan dengan kodrat. Ia menuliskan: "Dosa ini, meskipun berat dan perlu diperhitungkan di antara kelakuan-kelakuan jahat serta melawan kodrat...adalah hal yang bukan seperti pembunuhan... bukan pula seperti yang harus dinilai 'irregular'[20] kecuali seseorang melakukan aborsi janin yang telah terbentuk."[8][21][22]
Pandangan Aristotelian tentang penundaan pemerolehan jiwa ini telah ditinggalkan sejak abad ke-17, mengiringi unggulnya keyakinan bahwa jiwa telah hadir sejak saat pembuahan, serta pembuktian ilmiah pada tahun 1827 mengenai keberadaan sel telur perempuan dan pada tahun 1875 mengenai keterlibatan penyatuan sel gamet dari masing-masing orang tua dalam pembuahan menjatuhkan spekulasi tentang suatu perubahan substansial yang tertunda.[23]
Konsekuensi yuridis
Kebanyakan aturan penitensial awal mengenakan silih yang setara atas tindakan aborsi fase-awal maupun fase-akhir, namun penitensial yang lain membedakan keduanya. Penitensial-penitensial setelah itu pada Abad Pertengahan biasanya membedakan keduanya, memberlakukan silih yang lebih berat atas tindakan aborsi fase-akhir.[24]
Walaupun Decretum Gratiani, yang tetap menjadi dasar hukum kanon Katolik sampai digantikan oleh Kitab Hukum Kanonik 1917, membedakan antara aborsi fase-awal dan fase-akhir, pembedaan kanonik tersebut dihapuskan oleh bullaEffraenatam yang dikeluarkan Paus Sistus V pada tahun 28 Oktober 1588, dan bertahan selama tiga tahun setelah itu. Bulla Effraenatam menetapkan beragam penalti terhadap segala bentuk aborsi tanpa membeda-bedakannya.[25] Dengan menyebut aborsi sebagai pembunuhan, dekret itu menyatakan bahwa siapa saja yang melakukan aborsi janin, entah telah beroleh hidup atau belum, berbentuk atau belum berbentuk (tam animati, quam etiam inanimati, formati, vel informis) perlu menerima hukuman yang sama seperti "para pembunuh sesungguhnya yang benar-benar dan memang melakukan pembunuhan" (veros homicidas, qui homicidium voluntarium actu, re ipsa patraverint). Selain menyatakan hukuman-hukuman tersebut bagi para penduduk Negara Gereja, tempat ia menjadi pemegang kewenangan sipil, Paus Sistus juga menjatuhkan hukuman rohani ekskomunikasi otomatis kepada para pelakunya (bagian 7). Penerusnya, Paus Gregorius XIV, menyadari bahwa hukuman tersebut tidak menghasilkan dampak yang diharapkan sehingga ia mencabutnya, memberlakukan hukuman tersebut sebatas pada aborsi janin yang "berbentuk".[26]
Melalui bulla Apostolicae Sedis moderationi, Paus Pius IX pada tahun 1869 mencabut kembali pengecualian terhadap janin 'yang belum beroleh hidup' berkenaan dengan hukuman spiritual ekskomunikasi, menyatakan bahwa mereka yang melakukan aborsi efektif terkena ekskomunikasi yang hanya dapat dilepaskan oleh para uskup atau ordinaris.[27] Sejak saat itu penalti ini dikenakan secara otomatis dengan dilakukannya aborsi pada semua tahap kehamilan, yang bahkan sebelum saat itu memang tidak pernah dipandang sebagai dosa ringan semata.[28]
Dalam hal lain hukum kanon Katolik pada saat itu tidak mengalami perubahan, bahkan setelah tahun 1869, dengan mempertahankan perbedaan antara aborsi janin yang "telah terbentuk" dan yang "belum terbentuk". Sebagaimana diindikasikan di atas dalam kutipan dari Thomas Aquinas, seseorang yang melakukan aborsi janin yang "telah beroleh hidup" dipandang "irregular", yang berarti bahwa ia didiskualifikasi dari kesempatan untuk menerima ataupun mempraktikkan Tahbisan. Paus Sistus V memperluas penalti ini hingga mencakup aborsi fase-awal (bulla Effraenatam bagian 2), tetapi Paus Gregorius XIV kembali membuat pembatasan atasnya. Paus Pius IX tidak membuat keputusan dalam hal ini, sehingga penati irregularitas masih terbatas pada aborsi fase-akhir hingga saat dibuatnya artikel "Aborsi" dalam Catholic Encyclopedia 1907.[29] Pada akhirnya Kitab Hukum Kanonik 1917 menghapus pembedaan tersebut.[30]
Pembahasan tentang potensi keadaan yang membenarkan
Pada Abad Pertengahan, Gereja mengutuk semua aborsi, dan, pada abad ke-14, seorang Dominikan bernama Yohanes dari Napoli dilaporkan sebagai orang pertama yang mengeluarkan pernyataan eksplisit bahwa jika tujuannya adalah menyelamatkan hidup sang ibu, aborsi sebenarnya diizinkan, asalkan belum sampai fase "pemerolehan jiwa".[31] Pandangan ini mendapat dukungan maupun penolakan dari para teolog lainnya. Pada abad ke-16, kendati Thomas Sanchez mendukung pendapat tersebut, Antoninus de Corduba membuat perbedaan yang sejak saat itu diterima secara umum di antara para teolog Katolik, yaitu bahwa pembunuhan janin secara langsung tidak dapat diterima, tetapi tindakan untuk menyembuhkan sang ibu perlu dilakukan sekalipun akan secara tidak langsung mengakibatkan kematian janin.[31]
Pada abad ke-17, ketika Francisco Torreblanca menyetujui aborsi yang ditujukan sekadar untuk menyelamatkan nama baik seorang wanita, Biro Suci (yang sekarang disebut Kongregasi Ajaran Iman), yang pada waktu itu dipimpin oleh Paus Innosensius XI, mengutuk proposisi tersebut yang menyatakan bahwa "adalah sah melakukan aborsi sebelum pemerolehan jiwa pada janin agar jangan seorang perempuan, yang didapati hamil, dibunuh atau tercemar reputasi baiknya".[32][33]
Terkadang dikatakan kalau Alfonsus Liguori dari abad ke-18 berpendapat bahwa aborsi, meski secara umum salah secara moral, dapat diterima dalam kondisi-kondisi seperti ketika kehidupan sang ibu berada dalam bahaya, karena ketidakpastian mengenai kapan jiwa memasuki janin.[34] Namun, ia jelas menyatakan bahwa tidak pernah dibenarkan menggunakan suatu obat dengan tujuan membunuh janin, walaupun diperbolehkan (setidaknya menurut opini umum teologis) untuk memberikan seorang ibu berpenyakit ekstrem suatu pengobatan yang hasil langsungnya adalah keselamatan hidup sang ibu, sekalipun secara tidak langsung menyebabkan keluarnya janin.[35] Liguori menyebutkan pembedaan antara janin yang "hidup" dan "belum hidup", namun ia menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan mengenai kapan jiwa "dimasukkan", di mana menurutnya banyak kalangan meyakini bahwa hal itu terjadi pada saat pembuahan. Ia juga mengatakan bahwa Gereja berbaik hati mengikuti opini 40-hari tersebut dengan menerapkan penalti irregularitas dan ekskomunikasi hanya bagi mereka yang dengan sengaja berhasil melakukan aborsi janin "hidup".[36]
Sebuah surat ketidaksetujuan yang dipublikasikan dalam Medical Record New York pada tahun 1895 berbicara tentang seorang Yesuit bernama Augustine Lehmkuhl yang menganggap kraniotomi, dengan menghancurkan tengkorak janin, diperbolehkan bila digunakan untuk menyelamatkan hidup sang ibu.[37] Asal usul laporan itu adalah sebuah artikel dalam jurnal medis Jerman yang dikecam sebagai palsu dalam American Ecclesiastical Review pada tahun yang sama, yang mengatakan bahwa, kendati Lehmkuhl dalam suatu pembahasan awal menerima gagasan-gagasan tentatif lanjutan, belakangan ia telah mengadopsi suatu pandangan yang sepenuhnya selaras dengan keputusan penolakan yang dimaklumkan pada tahun 1884 dan 1889 oleh Penitensiaria Suci,[38] yang pada tahun 1869 menahan diri untuk tidak membuat suatu pernyataan.[39] Menurut Mackler, Lehmkuhl telah menerima sebagai suatu teori yang dapat dipertahankan keabsahan pengangkatan janin, yang bahkan telah "beroleh hidup", dari rahim tanpa selalu dipandang membunuhnya, tetapi ia telah menolak serangan langsung pada janin seperti kraniotomi.[40]
Karenanya, pada tahun 1884, dan sekali lagi pada tahun 1889, kraniotomi tengkorak janin tidak diperbolehkan dengan alasan menyelamatkan hidup sang ibu.[38] Pada tahun 1895, Takhta Suci juga melarang induksi bayi prematur yang dianggap tidak layak, setelah sebelumnya, pada tahun 1889, menetapkan prinsip bahwa setiap pembunuhan secara langsung atas janin ataupun ibunya adalah tidak dapat dibenarkan. Pada tahun 1902, Takhta Suci menolak pengangkatan secara langsung embrio ektopik untuk menyelamatkan kehidupan sang ibu, tetapi tidak melarang pengangkatan tuba fallopi yang terinfeksi, sehingga menyebabkan suatu aborsi tidak langsung. (lihat bagian bawah)[39]
Pada tahun 1930, Paus Pius XI tidak memperbolehkan perbuatan yang ia sebut "pembunuhan langsung orang yang tidak bersalah" sebagai suatu cara untuk menyelamatkan ibunya. Dan Konsili Vatikan II menyatakan: "Kehidupan harus dilindungi dengan kepedulian sepenuhnya dari saat pembuahan: aborsi dan infantisida adalah kejahatan-kejahatan mengerikan."[41]
Prinsip efek ganda sering kali dikutip dalam kaitannya dengan aborsi. Seorang dokter yang meyakini bahwa aborsi senantiasa keliru secara moral dapat mengangkat rahim atau tuba falopi seorang wanita hamil, meski menyadari bahwa prosedur tersebut akan menyebabkan kematian embrio atau janin, dalam kasus-kasus di mana sang wanita dipastikan akan meninggal tanpa dilakukannya prosedur tersebut (contohnya termasuk kehamilan ektopik dan kankerrahim yang agresif). Dalam kasus-kasus itu, efek yang diinginkan adalah menyelamatkan kehidupan sang wanita, bukan mengakhiri kehamilannya, dan kematian embrio atau janin diperkirakan sebagai suatu efek samping, bukan dimaksudkan sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan lain. Artinya, kematian janin bukanlah jalan untuk mencapai suatu tujuan, tetapi merupakan suatu konsekuensi yang tidak diinginkan yang tidak dapat dihindari. Dengan demikian, kemoterapi ataupun pengangkatan suatu organ yang terkena kanker tidak menggugurkan janin untuk menyembuhkan kanker, tetapi sebaliknya tindakan-tindakan itu menyembuhkan kanker sementara juga memberikan hasil yang secara tidak langsung menggugurkan embrio atau janin.[42][43][44]
Kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik (kehamilan yang terjadi di luar rahim) merupakan salah satu dari sedikit kasus dimungkinkannya kematian embrio yang tak terelakkan, karena kasus ini dikategorikan sebagai aborsi tidak langsung. Pandangan ini juga dikemukakan pada tahun 1953 oleh Paus Pius XII dalam suatu sambutan kepada Asosiasi Urologi Italia.[45]
Menggunakan Prinsip Totalitas (pengangkatan suatu bagian patologis untuk mempertahankan kehidupan orang tersebut) dan Doktrin Efek Ganda Thomistik, satu-satunya tindakan moral dalam suatu kehamilan ektopik di mana kehidupan seorang wanita terancam secara langsung adalah pengangkatan tuba falopi yang berisi embrio manusia atau salpingektomi. Kematian embrio manusia tidak diharapkan, meski tidak dapat dihindari.[46]
Penggunaan metotreksat dan salpingektomi masih menjadi kontroversi dalam kalangan medis Katolik, dan Gereja belum mengambil suatu sikap resmi atas tindakan-tindakan itu. Asosiasi Kesehatan Katolik di Amerika Serikat, yang mengeluarkan pedoman bagi semua sistem kesehatan dan rumah sakit Katolik di sana, mengizinkan penggunaan kedua prosedur itu. Argumen yang menyatakan kalau metode-metode tersebut merupakan suatu aborsi tidak langsung berputar di sekitar gagasan bahwa pengangkatan tuba falopi ataupun, dalam kasus metotreksat, penghancuran secara kimiawi sel-sel trofoblas (sel-sel yang berkembang untuk membentuk plasenta), bukan merupakan suatu tindakan langsung pada embrio yang sedang berkembang. Namun, para dokter dan rumah sakit individu dapat memilih untuk melarang prosedur-prosedur tersebut jika secara pribadi mereka merasa tindakan-tindakan tersebut sebagai suatu aborsi langsung.[47][48] Walaupun belum ada suatu pernyataan resmi dari Gereja mengenai perlakuan-perlakuan tersebut, dalam suatu survei pada tahun 2012 atas 1.800 dokter Obsgin yang bekerja di rumah sakit keagamaan, hanya 2,9% responden yang dilaporkan merasa dibatasi atau dipaksa oleh pemberi kerja mereka dalam menentukan suatu opsi perawatan, menunjukkan bahwa pada praktiknya, para dokter dan institusi kesehatan umumnya memilih untuk menangani kehamilan ektopik.[49][50]
Gereja memandang bahwa penghancuran embrio sama dengan aborsi, dan dengan demikian menentang penelitian sel punca embrionik. Ensiklik kepausan Humanae vitae menyatakan bahwa, "Kita wajib sekali lagi menyatakan bahwa penghentian secara langsung proses generatif telah dimulai dan, di atas segalanya, semua aborsi langsung, sekalipun untuk alasan-alasan terapeutik, harus sama sekali ditolak sebagai cara yang sah untuk mengatur jumlah anak."[51]
Sanksi
Umat Katolik yang merampungkan suatu aborsi terkena ekskomunikasi secara otomatis dan langsung (latae sententiae).[2] Itu berarti bahwa ekskomunikasi tersebut tidak perlu dinyatakan atau dijatuhkan seperti halnya penalti ferendae sententiae ("masih harus diputuskan"); namun, sebagaimana ditetapkan dengan jelas oleh hukum kanon, ekskomunikasi terjadi ipso facto (oleh kenyataan itu sendiri) ketika suatu delik atau "tindak pidana" dilakukan (suatu penalti latae sententiae).[52] Hukum kanon menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu "pelaku pelanggaran tidak terkena penalti latae sententiae", dan sebagai gantinya akan diberikan suatu penitensi atau silih; di antara 10 kondisi yang tercantum dalam hukum kanon terdapat klausul delik yang dilakukan oleh orang yang belum berusia 16 tahun, orang yang bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak mengetahui adanya penalti tersebut, dan "orang yang terpaksa bertindak karena ketakutan berat, kendati hanya relatif berat, ataupun karena kebutuhan mendesak atau kesusahan berat".[53][54]
Menurut suatu memorandum tahun 2004 oleh Kardinal Joseph Ratzinger, para politisi Katolik yang aktif mengampanyekan dan memberikan suara demi hukum-hukum aborsi permisif perlu diberitahu oleh imam mereka mengenai ajaran Gereja, serta diperingatkan agar menahan diri untuk tidak menerima Komuni Kudus atau menempuh risiko ditolak hingga mereka mengakhiri kegiatan tersebut.[55] Posisi ini didasarkan pada Kanon 915 dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 dan juga didukung, atas nama pribadi, oleh Kardinal Raymond Leo Burke, PrefekSignatura Apostolik, otoritas yudisial tertinggi dalam Gereja Katolik setelah Sri Paus.[56]
Pengampunan bagi wanita yang melakukan aborsi
Terlepas dari indikasi dalam hukum kanon bahwa ekskomunikasi otomatis tidak berlaku pada wanita yang melakukan aborsi karena rasa takut yang berat atau karena kesusahan berat, Gereja Katolik, di luar pembedaan tersebut, menjamin dimungkinkannya pengampunan bagi para wanita yang telah melakukan aborsi. Paus Yohanes Paulus II menuliskan:
Sekarang saya ingin menyampaikan suatu perkataan khusus bagi para wanita yang telah melakukan aborsi. Gereja menyadari adanya banyak faktor yang mungkin telah mempengaruhi keputusan Anda, dan ia tidak ragu bahwa dalam banyak kasus hal itu mungkin suatu keputusan yang menyakitkan dan bahkan sangat menggelisahkan. Luka di dalam hati Anda mungkin belum tersembuhkan. Tentu saja apa yang telah terjadi adalah dan tetap sangat keliru. Namun, jangan menyerah pada keputusasaan dan jangan kehilangan harapan. Berusahalah untuk lebih memahami apa yang telah terjadi dan hadapilah dengan jujur. Apabila Anda belum melakukannya, serahkanlah diri Anda pada kerendahan hati dan percayalah pada penyesalan. Bapa yang penuh belas kasihan siap memberikan Anda pengampunan dan damai sejahtera-Nya dalam Sakramen Rekonsiliasi.[57]
Dalam kesempatan Yubileum Luar Biasa Kerahiman pada tahun 2015, Paus Fransiskus mengumumkan bahwa semua imam (selama tahun Yubileum – yang berakhir pada tanggal 20 November 2016), melalui Sakramen Tobat, diizinkan untuk melepaskan sanksi ekskomunikasi atas tindakan aborsi, yang sebelumnya wewenang itu hanya dikhususkan bagi para uskup dan imam tertentu yang diberi mandat tersebut oleh uskupnya.[58] Kebijakan ini dijadikan permanen melalui sebuah surat apostolik berjudul Misericordia et misera (Kerahiman dan Penderitaan), yang dikeluarkan pada tanggal 21 November 2016.[59][60]
Gereja mengajarkan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh setiap makhluk tak bersalah."[1][61]
Sejak abad pertama, Gereja telah menegaskan bahwa setiap aborsi langsung adalah kejahatan moral, suatu ajaran yang Katekismus Gereja Katolik nyatakan "belum berubah dan tetap tidak dapat berubah".[62]
Gereja mengajarkan bahwa hak yang tidak dapat dicabut atas kehidupan, yang dimiliki setiap individu manusia yang tak bersalah, merupakan suatu elemen pokok dalam masyarakat sipil dan perundang-undangannya. Dengan kata lain, masyarakat terikat pada kewajiban untuk secara hukum melindungi kehidupan mereka yang belum terlahir.[63]
"Pada saat suatu hukum positif merampas satu kategori manusia dari perlindungan yang sepatutnya diberikan kepada mereka oleh undang-undang sipil, negara menyangkal kesetaraan semua orang di hadapan hukum. Ketika negara tidak menempatkan kekuasaannya untuk melayani hak-hak setiap warga, dan terutama mereka yang lebih lemah, maka landasan-landasan utama suatu negara yang berdasarkan hukum terkikis secara perlahan. ... Sebagai konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus dijamin bagi anak yang tidak terlahirkan sejak saat pembuahannya, hukum harus memberikan sanksi-sanksi pidana untuk setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak-hak sang anak."
Karena Gereja Katolik memandang aborsi langsung adalah sama sekali salah, maka Gereja Katolik merasa wajib untuk mengurangi penerimaannya oleh masyarakat dan dalam undang-undang sipil. Meski umat Katolik dilarang mendukung aborsi langsung dalam bidang apapun, menurut Frank K. Flinn, diakui juga bahwa umat Katolik dapat menerima kompromi-kompromi yang, ketika membiarkan terjadinya aborsi langsung, menurunkan prevalensi dengan cara-cara seperti melarang beberapa bentuknya atau menetapkan berbagai solusi terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan peningkatan prevalensi. Flinn mengatakan bahwa dukungan dapat diberikan kepada suatu platform politik yang mengandung sebuah klausul yang berpihak pada aborsi tetapi juga berisi unsur-unsur yang secara aktual mengurangi jumlah aborsi, daripada suatu platform anti-aborsi yang mengarah pada peningkatan jumlahnya.[64]
Pada tahun 2004, Joseph Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman, menyatakan: "Seorang Katolik bersalah saat bekerja sama secara formal dalam kejahatan, dan sangat tidak layak hadir untuk menerima Komuni Kudus, apabila ia dengan sengaja memilih seorang kandidat justru karena sikap permisif sang kandidat dalam hal aborsi dan/atau eutanasia. Ketika seorang Katolik tidak menyetujui sikap kandidat yang mendukung aborsi dan/atau eutanasia, tetapi memilih kandidat itu karena alasan-alasan lain, maka hal itu dianggap kerja sama material yang tak terkait, yang dapat diperkenankan dengan adanya alasan-alasan proporsional."[65]
Terdapat kontroversi seputar perlakuan terhadap para politisi Katolik yang mendukung legalisasi aborsi. Dalam kebanyakan kasus, para pejabat Gereja mengancam untuk tidak memberikan Komuni Kudus kepada politisi-politisi tersebut. Pastor Richard John Neuhaus termasuk salah seorang pendukung utama tindakan itu. Dalam beberapa kasus, mereka menyatakan bahwa para politisi tersebut seharusnya menahan diri untuk tidak menerima komuni; dalam kasus yang lain, kemungkinan dijatuhkannya ekskomunikasi pernah dikemukakan.
^ ab(Inggris) Bauerschmidt, John C. (1999). "Abortion". Dalam Allan D. Fitzgerald (ed.). Augustine Through the Ages: An Encyclopedia. Wm. B. Eerdmans Publishing. hlm. 1. ISBN978-0-8028-3843-8.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penyunting (link)
^(Latin) "Excommunicationi latae sententiae Episcopis sive Ordinariis reservatae subiacere declaramus: ... 2. Procurantes abortum, effectu sequuto" ([1], p. 317)
^(Inggris) Johnstone, Brian V. (March 2005). "Early Abortion: Venial or Mortal Sin?". Irish Theological Quarterly. 70 (1): 60. doi:10.1177/002114000507000104. An excerpt can be found here.
^"Question 4. Is it permissible to give a mother in extreme illness medicine to expel a fetus? Reply. Firstly, it is certain that it is not permissible for a mother outside of danger of death to take medicine for expelling even an inanimate fetus, since directly impeding the life of a human being is a grave sin, and a still graver one if the fetus is animate. It is certain, secondly, that it is not permissible for a mother even in danger of death to take medicine for expelling an ensouled fetus directly, since this would be procuring the child's death directly. The question is rather whether it is permissible for a mother to take a medicine absolutely necessary to save her life when it involves danger of expulsion of the fetus. The reply is that, if the fetus is inanimate, the mother may certainly ensure her life, even though, unintentionally on her part, expulsion of the fetus results, an expulsion for which the mother is not responsible, since she is only using her natural right to preserve her life. If the fetus is animate, it is generally held that a mother may take a medicine whose direct purpose is to save her life when nothing else will save it; but it is different in the case of medicines that of themselves are directed to killing a fetus, which it is never permissible to take" ((Latin)Alphonsus Maria de Ligorio, Theologia Moralis (Bassano 1831), vol. 1, pp. 247-248); lihat pula (Inggris)Timothy Lincoln Bouscaren, When Mother or Baby Must Die (originally published in 1933; reprint: Tradibooks 2008 ISBN 978-2-917813-01-0), p. 61.
^(Inggris) McIntyre, Alison. "Doctrine of Double Effect". Dalam Edward N. Zalta. Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Summer 2006). Diakses tanggal 2007-08-18.
^Lihat pula komentar-komentar tentang Kitab Hukum Kanonik seperti: (Inggris) E. Caparros, M. Thériault, J. Thorn (editors), Code of Canon Law Annotated (Wilson & Lafleur 1993 ISBN 2-89127-232-3), pp. 829-830
^The Catechism of the Catholic Church states that the embryo "must be treated from conception as a person." "The church has not determined officially when human life actually begins" and respect for life at all stages, even potential life, is generally the context of church documents. ((Inggris) Thomas P. Rausch, S.J. Catholicism in the Third Millennium. Collegeville:Liturgical Press, 2nd Ed. 2003, p. 150. ISBN 0-8146-5899-7.)