Teologi tubuh Katolik

Teologi tubuh adalah suatu istilah umum untuk menyebut ajaran-ajaran Katolik tentang tubuh manusia. Dogma Maria Diangkat ke Surga, yang didefinisikan oleh Paus Pius XII pada tahun 1950 dalam konstitusi apostolik Munificentissimus Deus, merupakan salah satu perkembangan terbaru dalam teologi tubuh Katolik.

Sejarah

Teologi tubuh memiliki tradisi dan sejarah panjang di dalam Gereja Katolik. Para Bapa Gereja awal menulis tentang peranan tubuh dan hubungannya dengan jiwa, sering kali meninggikan jiwa di atas tubuh. Namun, sebagaimana halnya jiwa, tubuh juga diciptakan oleh Allah seturut citra-Nya. Hal ini dipandang penting hingga sekarang, karena keberadaan jiwa merupakan dasar bagi banyak ajaran Gereja seputar tubuh manusia, contohnya dalam bidang-bidang seperti aborsi. Ambrosius dari Milan dan Agustinus dari Hippo menerapkan pandangan-pandangan ini dalam berbagai ajaran mereka mengenai tubuh manusia, keperawanan, dan selibat. Thomas Aquinas mengembangkan suatu pandangan yang sistematis, yang mendominasi berbagai ajaran Gereja dan konsili ekumenis termasuk Vatikan II. Semua paus masa kini memberikan kontribusi dari beragam sudut pandang berbeda dalam kaitannya dengan teologi tubuh. Isu-isu yang ada saat ini misalnya martabat tubuh dalam hubungannya dengan asal mula dan destinasi ilahinya, kebangkitannya kelak; keperawanan, Sakramen Perkawinan, dan isu-isu turunannya seperti kesetiaan dan kontrasepsi. Ajaran resmi Gereja seputar subjek ini dinyatakan dalam ensiklik Deus caritas est dengan subjudul Tentang Cinta Kristiani dari Paus Benediktus XVI, yang dikeluarkan pada hari Natal 25 Desember 2005.

Bapa Gereja

Beberapa Bapa Gereja awal seperti Origenes banyak membahas tubuh dan penghalang-penghalangnya.[1] Teologi para Bapa Gereja awal berfokus pada tubuh dari sisi asal mulanya, keadaannya sebelum kejatuhan manusia, serta destinasi dan kaitannya dengan jiwa.[2] Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar misalnya apakah tubuh dapat menghambat jiwa dalam upayanya untuk menjadi gambar dan rupa Allah. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas oleh Gereja purba masih tetap relevan dengan teologi tubuh modern, karena kesemuanya itu berhubungan dengan isu-isu dan kejelasan seputar permulaan dan hakikat kehidupan manusia.[3]

Klemens dari Aleksandria

Klemens dari Aleksandria (140?-220) memandang tubuh sebagai mitra yang lebih rendah dalam hubungan tubuh-jiwa. Tubuh cenderung dipenuhi dosa. Jiwa memiliki tiga keunggulan dibandingkan tubuh: jiwa memberikan kesatuan dan kehidupan pada tubuh; memungkinkan tubuh untuk berakal; serta tertuju pada Allah, sementara tubuh tertuju pada makanan dan seks. Tubuh adalah kuburan jiwa, tetapi juga kediamannya, rumah dan kendaraannya.[4] Klemens meyakini bahwa manusia-manusia pertama tidak berdosa hingga mereka terjebak oleh kesenangan atau kenikmatan tubuh.[5] Manusia-manusia pertama menyalahgunakan tubuh mereka, menyalahgunakan kehendak bebas mereka, dan memutuskan untuk berbuat dosa.[5]

Origenes

Sebagaimana Klemens, Origenes (185-254?) adalah seorang Afrika. Seperti juga Klemens, Origenes memandang tubuh manusia sebagai suatu penjara jiwa. Hanya jiwa yang tertinggal dalam firdaus, menurut Origenes, tubuh dibawa oleh Adam dan Hawa, saat mereka diusir dari firdaus.[6] Tubuh cenderung berorientasi pada nafsu dan dosa, tetapi tubuh juga merupakan ciptaan Allah. Allah menciptakan tubuh layaknya suatu karya seni menurut citra-Nya. Ciptaan ini mencerminkan inteligensi Allah. Tubuh manusia adalah eikon yang entah bagaimana serupa dengan Allah. Setiap umat Kristen berkewajiban merampungkan tugas untuk menjadi suatu cermin dari Diri-Nya. Tidak seperti tubuh manusia, jiwa merupakan gambar Allah. Tubuh tidak dapat menjadi gambar Allah, karena jika demikian Allah akan terlihat seperti seorang manusia dengan satu tubuh manusia.[7] Hanya jiwa yang dapat memandang Allah, tetapi jiwa terjebak di antara daging dan roh. Jiwa secara terus-menerus perlu membuat suatu pilihan antara keduanya. Origenes mengemukakan bahwa umat Kristen seharusnya membebaskan diri mereka semaksimal mungkin dari penghalang-penghalang badani di dalam kehidupan ini. Bagaimanapun, tubuh adalah penting dalam konteks kebangkitan.[8] Origenes meyakini bahwa hanya kebangkitan tubuh atau badan yang masuk akal. Ia mengindahkan perkataan Santo Paulus, bahwa kebangkitan tubuh berarti akan adanya suatu tubuh yang baru, seraya menegaskan bahwa jati diri tubuh tersebut harus dapat dikenali. Lagi ia menyatakan bahwa harapan manusia akan kebangkitan bukan pada tubuh untuk ulat-ulat, dan jiwa manusia tidak merindukan tubuh lainnya yang dapat membusuk.[9]

Ireneus

Ireneus Tubuh, yang terbentuk dalam gambar Allah, dan jiwa, yang telah mengambil Roh Bapa, di dalam keselarasan, menyusun manusia yang sempurna.

Menurut Ireneus (wafat sekitar tahun 202), tubuh, yang terbentuk dalam gambar Allah, dan jiwa, yang telah mengambil Roh Bapa, di dalam keselarasan, menyusun manusia yang sempurna.[10] Gnosis Yunani dan beberapa kalangan Kristen pernah memandang rendah tubuh manusia, sebagai sesuatu yang inferior. Ireneus membela tubuh karena tubuh merupakan ciptaan Allah dan suatu pandangan yang negatif akan menimbulkan bayang-bayang antara Allah dan ciptaan-Nya. Kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian (kelak dikutip oleh Paus Yohanes Paulus II dalam pengajarannya tentang tubuh) memperlihatkan bahwa manusia pertama, Adam, adalah sungguh suatu gambar Allah. Adam pada saat itu memiliki kehidupan adikodrati, keabadian, kesucian supra-natural, dan suatu kedekatan dengan Allah. Karena ia pada saat itu bebas dari kebutuhan manusiawi untuk lelap atau tidur, ia dapat memandang Allah tanpa gangguan. Lalu, dengan tunduk pada cobaan, ia kehilangan semua atribut itu.[11]

Arti penting Kristus bagi tubuh manusia adalah dalam hal pemulihan status awal tubuh sebelum kejatuhannya. Mereka yang menerima Kristus ditebus dan dijadikan anak-anak Allah, mendapatkan kembali hidup yang kekal. Namun, mereka yang menjalani hidup hanya dengan tubuh mereka beserta segala kebutuhannya tidak akan mendapat bagian dalam kehidupan kekal.[12] Semua tubuh yang telah dibangkitkan akan memperlihatkan keindahan di luar yang dapat dibayangkan oleh manusia. Untuk menunjukkan jalan menuju destinasi atau tujuan ini, Putra Allah menjadi manusia dan menerima tubuh manusia, sehingga membantu umat manusia untuk dapat mengenali tujuan mereka di dalam Allah. Menurut Ireneus, orang dapat mencapai tujuan ini hanya dengan cara menundukkan kehendaknya sendiri demi kehendak Allah.[12]

Ireneus percaya bahwa manusia-manusia pertama, Adam dan Hawa, pada awalnya memiliki suatu relasi dengan tubuh mereka layaknya seorang anak kecil. Pada saat itu mereka sama sekali tidak mengenal kejahatan, konkupisensi, dan hawa nafsu. Mereka mengalami suatu keseimbangan seksualitas, tidak merasa malu, khawatir, maupun bersalah ketika mereka saling berciuman atau berpelukan.[13] Menurut Ireneus, peristiwa kejatuhan manusia merupakan suatu akibat dari kurangnya kewaspadaan sebagaimana seorang anak kecil, yang membuat Adam rentan terhadap iblis dan membawanya untuk tidak taat kepada Allah. Ireneus berpendapat bahwa kejatuhan tersebut adalah satu akibat dari kenaifan, bukan dari niat buruk.[14]

Didimus si Buta

Didimus si Buta (wafat sekitar tahun 398), yang bertempat tinggal dan mengajar di Aleksandria, mengalami kebutaan pada usia 4 tahun. Menurut Didimus, Allah menciptakan manusia dengan tubuh dan jiwanya, keduanya adalah baik hingga kejatuhan Adam dan Hawa. Didimus meyakini bahwa jiwa tetap menjadi suatu gambar Allah, sedangkan tubuh tidak.[15] Oleh karena itu, bagi Didimus, kesatuan tubuh dan jiwa merupakan suatu kemunduran bagi jiwa. Jiwa tidak dapat berkembang karena dibatasi oleh tubuh. Ketika sesuatu yang lebih tinggi bercampur dengan sesuatu yang lebih rendah, menurut Didimus, maka akan menghasilkan suatu campuran inferior. Ia membandingkan hal ini menggunakan analogi anggur yang dicampur dengan air.[16]

Tubuh memiliki sejumlah peranan bagi jiwa. Tubuh memberikan informasi kepada jiwa seputar dunia sensual atau indrawi di sekelilingnya. Didimus menyebut tubuh sebagai pribadi lahiriah dan jiwa adalah pribadi batiniah. Pribadi lahiriah bersifat fana.[16] Pribadi batiniah bersifat kekal. Hati sang pribadi membawanya sebagai satu kesatuan ke arah perbuatan baik ataupun buruk. Didimus mempertahankan adanya kebebasan kehendak, yang bagaimanapun telah menjadi lemah melalui kejatuhan Adam dan Hawa. Dengan menguasai segala insting atau naluri materiil yang lebih rendah, seseorang yang menggunakan kehendak bebasnya untuk menjadi seorang pribadi rohaniah menjadi serupa dengan Allah. Keserupaan tersebut harus menjadi tujuan dari segala usaha manusia.[17]

Gregorius dari Nazianzus

Gregorius dari Nazianzus (330-390) melakukan permenungan mengenai asal-usul tubuh manusia. Manusia diciptakan oleh Allah beserta dengan tubuh dan jiwanya, suatu bagian yang terlihat dan tak terlihat, sama seperti para malaikat. Ia diciptakan untuk memuji Allah sebagaimana mereka.[18] Tubuh diberikan kepada manusia, sehingga ia dapat menderita dan pada akhirnya meninggal dunia, dan dengan demikian tidak memandang dirinya sebagai Allah. Esensi materiil tubuh memisahkan manusia dari Allah, bagaikan sebuah awan, atau—sebagaimana dinyatakan oleh Gregorius—bagaikan tiang awan di antara orang Mesir dan orang Israel.[19]

Dengan memberikan manusia suatu tubuh yang dapat hancur, manusia diselamatkan dari kejatuhan selamanya Lucifer ke dalam hukuman kekal. Gregorius tidak menguraikan tentang tubuh manusia sebelum peristiwa kejatuhan manusia, tetapi ia menyatakan bahwa keberadaan badani manusia pada saat itu adalah bebas dari segala penyakit, kebutuhan, ataupun masalah. Tubuh manusia pada saat itu berhubungan dengan Allah dan bebas dari kecenderungan berdosa. Kejatuhan tersebut didasari oleh kebanggaan semu, suatu pemberontakan terhadap Allah.[20]

Mengenai hubungan antara tubuh dan jiwa, Gregorius menyatakan bahwa tubuh berhubungan dengan jiwa dengan cara seperti jiwa berhubungan dengan Allah. Untuk menjelaskan keberadaan atau eksistensi manusia, Gregorius menggunakan konsep cahaya penerangan: Allah adalah cahaya yang paling luhur, tidak dapat ditembus ataupun didefinisikan. Setelah Allah diikuti oleh para malaikat, dan kemudian oleh umat manusia. Manusia adalah citra Allah tetapi hanya dalam jiwanya, bukan tubuhnya.[21] Oleh karena itu manusia juga merupakan suatu percampuran dari yang kekal (abadi) dan temporal (sementara). Rahmat Allah menciptakan jiwa manusia. Tubuhnya diciptakan untuk mengalami penderitaan, untuk mengatasi kesombongannya. Jiwanya ditentukan untuk memimpin tubuhnya dan dimurnikan seperti emas dalam api. Jiwa tertuju pada Allah dan rindu untuk berkomunikasi dengan Dia. Tubuh manusia adalah elemen yang lebih rendah dalam pribadi manusia. Melalui tubuhnya, manusia mengalami keberadaan temporalnya. Namun, Gregorius juga menghargai keindahan manusiawi serta kemampuan-kemampuan badani untuk berangan-angan, lelap, dan meresapkan ingatan dalam pikiran. Menurut Gregorius, tubuh dapat menjadi seorang kawan maupun lawan dari seseorang. Tujuan akhir tubuh adalah kesatuan jiwanya dengan Allah, yang dimungkinkan melalui Rahmat dan pertolongan Roh Kudus.[22]

Gregorius dari Nyssa

Gregorius dari Nyssa (335-394) adalah seorang uskup yang di antaranya menuliskan mengenai penciptaan tubuh manusia. Tidak seperti Ireneus, Gregorius menyatakan bahwa jiwa tidak perlu untuk memperoleh visiun atau pandangan akan Allah; jiwa memiliki visiun tersebut sejak dari awal.[23] Percampuran tubuh dan hal-hal materiil menjadikan jiwa menyimpang dari visiun ilahinya dan mengalami kejatuhan. Upaya-upaya manusia karena itu harus tertuju pada penciptaan kembali visiun tersebut dan dengan demikian turut ambil bagian dalam kehidupan Ilahi. Menurut Gregorius, hal ini dapat dilakukan dengan berpaling dari kejahatan dan kembali kepada Allah. Seorang manusia tidak ditentukan oleh tubuhnya, tetapi ditentukan oleh jiwanya, dengan kemampuan-kemampuan rohaniah dan intelektualnya.[24] Jiwa sendiri berada dalam citra Allah. Gregorius juga memiliki suatu citra positif mengenai manusia dengan menyebutkan kebebasan dan kemerdekaan manusia. Allah benar-benar membebaskan dan kebebasan manusia, seandainyapun terbatas, merupakan suatu citra Allah. Bukan hanya kebebasan-Nya, tetapi juga kemampuan-Nya untuk mengasihi — Allah adalah kasih — dan keabadian-Nya menjadikan manusia sebagai suatu citra Allah.[24]

Mengenai tubuh manusia, Gregorius berpendapat bahwa tubuh diciptakan untuk prokreasi atau menghasilkan keturunan. Dalam hal ini, umat manusia sama seperti semua hewan; namun, tubuh manusia juga memiliki kapasitas untuk melakukan penalaran dan memersepsikan sesuatu melalui pancaindranya. Tubuhnya memiliki tiga bentuk kehidupan: vegetatif, sensual/indrawi, dan intelektual. Tubuh manusia memperoleh martabatnya dari kenyataan bahwa Putra Allah telah mengambil tubuh yang sama.[25] Tetapi Gregorius juga memandang tubuh manusia sebagai suatu beban yang berat bagi jiwa. Tujuan manusia adalah untuk mencapai keserupaan dengan Allah melalui pemurnian. Dosa, gairah, dan ambisi harus dilepaskan. Sakramen-sakramen Gereja merupakan suatu bantuan yang luar biasa peranannya. Gregorius berpendapat bahwa rahmat Allah bukan merupakan upaya-upaya manusia, menentukan suatu kemampuan individual untuk memandang Allah. Allah mengarahkan manusia "ke atas" agar tertuju kepada-Nya.[26] Manusia "mendaki" langkah demi langkah, tanpa mengetahui ke mana ia pergi. Jiwanya digerakkan oleh kasihnya untuk Dia, yang belum ia temukan. Semakin kasih akan Allah bertumbuh dalam jiwanya, semakin ia mengenal Dia.[27]

Ambrosius dari Milan menuliskan bahwa keperawanan abadi, yakni selibat demi Allah, merupakan suatu anugerah luhur yang diberikan agama Kristen kepada dunia ini.

Ambrosius dari Milan

Bagi Ambrosius dari Milan, tubuh hidup dalam suatu dualitas dengan jiwa dan harus ditundukkan. Kendali atas tubuh merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan Kristiani. Kendali sepenuhnya merupakan keperawanan. Keperawanan dan kemurnian sempurna yang dikuduskan demi pelayanan kepada Allah memungkinkan tubuh untuk menjadi citra Allah. Menurut Ambrosius, hal ini merupakan salah satu harta kekayaan yang paling berharga yang diwariskan Kristus kepada Gereja. Ia menegaskan bahwa keperawanan kekal, yakni selibat demi Allah, merupakan suatu anugerah luhur yang agama Kristen berikan kepada dunia ini. Keperawanan bukan merupakan hal baru dan telah ada sebelum era Kristen. Para Perawan Vesta dalam Paganisme menjalankan cara hidup demikian selama kurun waktu tertentu. Ambrosius menuliskan, "Kita membaca juga di dalam bait Yerusalem terdapat para perawan. Tetapi apa yang sang Rasul katakan? 'Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh', bahwa ini mungkin suatu pertanda dari apa yang akan terjadi."[28] "Maria merupakan model keperawanan: Pantaslah bahwa Tuhan, yang ingin menyelamatkan dunia ini, memulai pekerjaan-Nya dengan Maria. Dengan demikian dia, yang melaluinya pada waktu itu keselamatan sedang dipersiapkan bagi semua orang, menjadi yang pertama kali menerima buah keselamatan yang dijanjikan."[29]

"Menabur benih-benih kemurnian sempurna dan membangkitkan suatu hasrat akan keperawanan telah selalu menjadi milik jabatan keimaman."[30]

Agustinus dari Hippo

Agustinus dari Hippo dipandang sebagai bapak dari banyak pandangan teologis kontemporer mengenai tubuh manusia. Ia membahas secara panjang lebar mengenai kondisi tubuh manusia sebelum dan sesudah peristiwa kejatuhan manusia. Ia meyakini bahwa keadaan surgawi tubuh melekat pada kendali budi sepenuhnya atas tubuh, khususnya dalam konteks seksualitas.[31] Untuk mengilustrasikan hal tersebut, ia menunjukkan bahwa sejumlah orang mampu menggerakkan telinga, hidung, atau bahkan rambut mereka sepenuhnya sesuai kehendak atau keinginan mereka. Kondisi kebebasan sepenuhnya ini dan ketiadaan nafsu juga terdapat dalam seksualitas manusia sebelum peristiwa kejatuhan.[6] Tubuh harus dikendalikan, dan karena itu Agustinus, sebagaimana Ambrosius gurunya, memandang keperawanan tubuh manusia sebagai cara hidup Kristus yang unggul. Ia memandang perkawinan sebagai berkah rangkap tiga karena keturunan yang dihasilkannya, rasa saling percaya antar suami-istri, dan dijadikannya sebagai suatu sakramen: "Dalam rasa saling percaya antar suami-istri disyaratkan bahwa tidak boleh ada persetubuhan badani di luar ikatan perkawinan dengan laki-laki atau perempuan lainnya; dalam hal keturunan, anak-anak hendaknya dilahirkan dari kasih, dirawat dengan kelembutan dan dididik dalam suatu suasana kerohanian; terakhir, dalam aspek sakramentalnya, ikatan perkawinan tidak semestinya diputuskan, dan seorang suami ataupun istri, apabila terpisahkan, hendaknya tidak menyatukan diri dengan orang lain sekalipun demi keturunannya. Hal ini kita pandang sebagai hukum perkawinan yang melaluinya kesuburan kodrat terhiaskan dan kejahatan inkontinensi (tiadanya pengendalian nafsu) terkekang."[32]

Ia mengutip tulisan Santo Paulus yang mengatakan bahwa gadis-gadis muda seharusnya menikah, dengan alasan bahwa mereka seharusnya memikul tanggung jawab atas anak-anak dengan menjadi para ibu dari keluarga-keluarga.[32] Agustinus merupakan salah seorang Bapa Gereja pertama dan terpenting yang menuliskan bahwa kontrasepsi adalah keliru: "Persetubuhan sekalipun dilakukan orang dengan istrinya yang sah adalah melanggar hukum dan keji apabila konsepsi keturunan dihalangi. Onan, putra dari Yehuda, melakukan hal ini dan karenanya Tuhan membunuh dia."[33]

Thomas Aquinas

Thomas Aquinas: Citra Allah dalam manusia terdapat dalam tiga tahapan.

Manusia sebagai citra Allah

Thomas Aquinas berhadapan dengan sejumlah pertanyaan, yang terpenting adalah pertanyaan tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah.

Karena manusia dikatakan sebagai citra Allah dengan alasan keberadaan kodrat intelektualnya, ia adalah yang paling sempurna seperti Allah berdasarkan hal tersebut di mana ia dapat secara optimal mengimitasi Allah melalui kodrat intelektualnya. Sekarang kodrat intelektual itu mengimitasi Allah secara khusus dalam hal ini, bahwa Allah memahami dan mengasihi Diri-Nya sendiri. Oleh karenanya kita melihat bahwa citra Allah terdapat di dalam manusia dalam tiga tahapan.[34]

Menurut Thomas, hal ini berarti bahwa manusia memiliki suatu talenta alami untuk mengenali, memahami, dan mengasihi Allah. Namun, manusia membutuhkan kasih karunia atau rahmat-Nya untuk melakukan hal-hal tersebut dengan sempurna sehingga ia pada akhirnya dapat mencapai "keserupaan kemuliaan".[34]

Hewan, keserupaan Allah

Tetapi apakah hewan atau binatang juga tercipta menurut citra Allah? Thomas memiliki suatu jawaban yang unik: dalam semua makhluk hidup terdapat sejumlah kemiripan atau keserupaan dengan Allah, ia berargumen. Namun pada pribadi yang berakal, yang ia sebut "makhluk rasional", terdapat suatu keserupaan "citra"; sedangkan pada makhluk-makhluk lainnya terdapat suatu keserupaan melalui sebuah "jejak".[35] Thomas menjelaskan perbedaan antara jejak dan citra: "Sebuah 'citra' merepresentasikan sesuatu melalui keserupaan bentuk, ...; sedangkan sebuah 'jejak' merepresentasikan sesuatu melalui suatu dampak, yang merepresentasikan penyebabnya dengan cara sedemikian tanpa mencapai keserupaan bentuk."[35]

Paus Pius XI

Ajaran Katolik sejak awal mula, dan didukung oleh Konsili Trente, memandang "keperawanan oleh karena Kerajaan Surga" sebagai keadaan yang paling suci bagi umat manusia, serta memperkenankan perkawinan bagi mereka yang tidak memiliki keteguhan hati untuk menjalani suatu kehidupan abstinensi. Dalam ensiklik Casti connubii, Paus Pius XI berulang kali mengutip perkataan Agustinus, yang mengajarkan bahwa di antara berbagai berkat yang diterima dalam perkawinan, anak menempati tempat pertama. Paus Pius XI juga mengikuti pandangan Agustinus dalam menegakkan ketidakterceraikannya perkawinan dan ketidakabsahan tindakan-tindakan seksual yang menghalangi konsepsi atau pembuahan:

Tidak begitu mengherankan karenanya apabila Tulisan Suci memberikan kesaksian bahwa Kemulian Ilahi memandang dengan kebencian yang paling besar kejahatan mengerikan ini dan kadang menghukumnya dengan kematian. Karena St. Agustinus mencatat, "Persetubuhan, sekalipun dilakukan orang dengan istrinya yang sah, adalah melanggar hukum dan keji apabila konsepsi keturunan dihalangi."[36]

Melanjutkan argumen itu, Paus Pius XI mengulangi bahwa tindakan perkawinan (hubungan suami-istri) pada hakikatnya terikat dengan prokreasi, tetapi juga mengakui sahnya aspek unitif (kesatuan) persetubuhan. Ensiklik tersebut menegaskan penentangan Gereja terhadap perzinaan dan perceraian. Ensiklik yang sama juga menyatakan penentangan terhadap hukum-hukum eugenika yang populer pada zaman tersebut; hukum semacam itu melarang mereka yang dianggap "tidak layak" untuk menikah dan memiliki anak.[37]

Paus Pius XII

Paus Pius XII pada tahun 1939-1942 menyampaikan serangkaian pengajaran kepada para pasangan yang baru menikah di Roma, dan selama berpuluh-puluh tahun rangkaian pengajaran itu menjadi dasar pedoman pernikahan di Amerika Serikat.[38] Sebagaimana para paus sebelumnya, dan mengikuti ajaran-ajaran dari Konsili Trente, Paus Pius XII menjelaskan dalam Sacra virginitas mengenai keunggulan keperawanan daripada pernikahan.[39] Ia juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa tubuh manusia membutuhkan pemenuhan naluri seksual demi kesehatan mental atau fisik seseorang, ataupun demi keselarasan kepribadian seseorang.[40] Dalam konteks ini ia mengkritik pengkultusan atau pemujaan atas tubuh dan cinta yang tidak beraturan atas diri sendiri.

Etika

Dalam suatu sambutan kepada para bidan pada tahun 1951, Paus Pius XII menekankan inviolabilitas tubuh manusia yang tidak dapat diganggu gugat sebagai suatu ciptaan Allah dan menyatakan penentangannya terhadap segala bentuk pembunuhan belas kasih genetis. Hak untuk hidup datang langsung dari Allah, bukan dari orang tua.[41] Ia menolak juga semua jenis sterilisasi. Sama seperti Paus Pius XI, ia menyanjung kesakralan sakramen perkawinan, suatu kediaman bagi kedamaian dan cinta, yang sering kali membutuhkan keheroikan suami maupun istri. Orang tua memiliki suatu peranan, bukan hanya dalam hal memberikan cinta secara jasmaniah, tetapi juga dalam memberikan kehidupan rohaniah bagi keturunan mereka. Paus Pius XII mengkritik peran tradisional laki-laki di dalam perkawinan, seraya menyatakan bahwa, selain sebagai kepala keluarga, kaum lelaki juga harus turut ambil bagian dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga,[42] khususnya di dalam keluarga-keluarga di mana sang ibu bekerja penuh waktu. Paus Pius XII meminta adanya upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.

Keluarga berencana

Mengenai metode-metode keluarga berencana alami, Paus Pius XII membedakan antara melakukan hubungan seksual selama masa tidak subur dengan secara spesifik memilih hari-hari tersebut untuk melakukan persetubuhan. Ia berargumen bahwa apabila salah seorang pasangan memasuki perkawinan dengan maksud melakukan persetubuhan hanya selama masa tidak subur agar tidak memiliki keturunan, ikatan perkawinan tersebut menjadi tidak valid. Di sisi lain, apabila pasangan suami-istri melakukan persetubuhan selama masa tidak subur hanya sesekali tetapi tidak secara eksklusif, maka perkawinan tersebut sah. Yang menentukan adalah maksudnya, bukan penggunaan sebenarnya hak-hak perkawinan. Paus Pius XII mengilustrasikan hal ini dengan pemikiran bahwa perkawinan mencakup hak-hak maupun kewajiban-kewajiban.[43]

Abstinensi di dalam perkawinan juga disorot dalam ajaran-ajarannya. Paus Pius XII menentang argumen yang menyatakan bahwa abstinensi atau pengendalian nafsu merupakan suatu tindakan heroik yang mustahil. Dengan mengutip perkataan Agustinus, ia berpendapat bahwa apabila penyatuan alami tidak memungkinkan maka abstinensi perlu dilakukan. Ia menambahkan bahwa pada masa Perang Dunia II terdapat sedemikian banyak tindakan heroisme nyata yang dituntut dari kaum pria dan wanita di begitu banyak negara, berkebalikan dengan keadaan di mana absensi seksual memudar jika diperbandingkan.[44] Tubuh manusia dan segala kebutuhannya seharusnya tidak menjadi pusat pemuasan tetapi perlu dialihkan ke tingkatan yang lebih tinggi menuju prioritas-prioritas rohani yang mencerminkan tujuan dan rancangan ilahi. Perkawinan bukan merupakan nilai yang tertinggi dan martabat manusia harus dipertahankan serta diaplikasikan dalam tindakan perkawinan.[45] Ajaran-ajaran Gereja menolak pandangan hedonistik terkait tubuh manusia, namun mengakui serta menghargai martabat dan asal mula ilahinya. Karenanya Gereja melindungi martabat manusia terhadap penekanan berlebihan pada sensualitas.[46]

Tubuh dan jiwa

Para penulis dari Gereja perdana, sementara menetapkan posisi tubuh manusia di dalam teologi, telah memfokuskan banyak perhatian pada penciptaan tubuh dan jiwa. "Tubuh manusia diciptakan oleh Allah" (de fide) menurut ajaran-ajaran dari dua konsili ekumenis, Lateran IV dan Vatikan I.[47]

Paus Pius XII mengajarkan bahwa pertanyaan tentang asal-usul tubuh manusia dari sebelum eksistensinya dan materi hidup merupakan suatu bahan penyelidikan yang sah untuk ilmu alam. Umat Katolik dibebaskan untuk menyusun opini masing-masing, tetapi mereka tetap perlu melakukannya dengan hati-hati; mereka seharusnya tidak mencampuradukkan kenyataan dengan dugaan, dan mereka tetap perlu menghormati hak Gereja untuk mendefinisikan hal-hal yang berkaitan dengan Wahyu.[48] Untuk alasan-alasan ini maka Wewenang Mengajar Gereja tidak melarang bahwa, sesuai dengan kondisi sekarang dalam ilmu-ilmu pengetahuan manusia dan teologi sakral, penelitian dan pembahasan-pembahasan oleh orang-orang yang berpengalaman dalam kedua bidang itu dilakukan dalam kaitannya dengan ajaran tentang evolusi, sepanjang menyelidiki ke dalam asal-usul tubuh manusia dari pra-eksistensinya dan materi hidup. Karena, di luar ranah tersebut, iman Katolik mengharuskan umatnya untuk percaya bahwa semua jiwa manusia diciptakan langsung oleh Allah.[48] Pada tanggal 22 Oktober 1996, dalam suatu sambutan kepada Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, Paus Yohanes Paulus II mengulangi posisi Paus Pius XII dan menambahkan:

Dalam Humani generis (1950) ensikliknya, pendahulu saya Pius XII telah menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara evolusi dan ajaran iman tentang manusia dan panggilannya, asalkan kita tidak melupakan poin-poin tetap tertentu. ... Hari ini, lebih dari setengah abad setelah terbitnya ensiklik itu, beberapa hasil temuan baru membawa kita menuju pengakuan atas evolusi sebagai lebih dari suatu hipotesis.[49]

Maria dan kebangkitan tubuh

Bagi Gereja Katolik, dogma Maria Diangkat ke Surga yang dikemukakan Paus Pius XII pada tahun 1950 melalui konstitusi apostolik Munificentissimus Deus merupakan bukti adanya kebangkitan tubuh dari kematian badani. Paus Pius XII meyakini bahwa pernyataan resmi dan penetapan dogma tersebut akan memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi kepentingan banyak individu dan komunitas manusia. Ia berharap agar mereka yang melakukan permenungan atas peristiwa Maria Diangkat ke Surga akan lebih mampu bertahan dari tekanan-tekanan gaya hidup materiil, dan mampu memandang pada tujuan sebenarnya dari tubuh mereka sendiri:

... dalam cara yang luar biasa ini semua orang dapat melihat dengan jelas tujuan yang sedemikian mulia yang ditentukan bagi tubuh dan jiwa kita. Akhirnya, adalah harapan kita agar keyakinan dalam Pengangkatan badani Maria ke dalam surga akan menjadikan keyakinan kita lebih kuat dan membuatnya lebih berhasil guna.[50]

... melalui wewenang dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Yang Terberkati Rasul Petrus dan Paulus, dan melalui wewenang kami sendiri, kami mempermaklumkan, menyatakan, dan menetapkannya sebagai suatu dogma yang diwahyukan secara ilahi: bahwa Bunda Allah yang Tak Bernoda, Maria yang Tetap Perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.[51]

Oleh karena itu apabila ada [umat], di mana Allah melarangnya, yang mungkin menolak secara sengaja atau menyangsikan apa yang telah kami tetapkan, biarlah ia mengetahui bahwa ia telah sepenuhnya murtad dari Iman ilahi dan Katolik.[52]

Paus Paulus VI

Dokumen sentral Paus Paulus VI adalah ensiklik Humanae vitae. Sri Paus memulainya dengan pernyataan bahwa "transmisi kehidupan manusia merupakan suatu peran yang paling serius yang di dalamnya mereka yang telah menikah berkolaborasi secara bebas dan bertanggung jawab dengan Allah Sang Pencipta." Ia menyatakan bahwa hal ini merupakan suatu sumber sukacita yang sangat besar bagi mereka, walaupun berarti bahwa ada banyak kesulitan dan penderitaan. Namun demikian terdapat sejumlah perspektif global. Peningkatan pesat jumlah penduduk telah menciptakan momok tentang suatu dunia tanpa makanan dan sumber daya yang lain untuk semuanya, serta adanya godaan bagi pemerintah berbagai negara untuk menekan peningkatan populasi dengan langkah-langkah yang drastis. Peranan kaum perempuan dalam masyarakat telah berubah drastis; tetapi yang terpenting, menurut ensiklik tersebut, kemunculan beragam perangkat kontrol kelahiran menyebabkan dibutuhkannya suatu posisi pada pihak magisterium Gereja.

Hak-hak terbatas atas tubuh

Paus Paulus VI menunjuk beberapa prinsip dogmatis, yang menurutnya bukan pandangannya tetapi merupakan ajaran-ajaran Kristus. Prokreasi manusia, sama seperti semua pertanyaan terkait kehidupan, merupakan satu bagian dari rancangan Allah yang penuh kasih. Kehidupan perkawinan bersumber dari Allah, yang "adalah kasih". Suami dan istri bekerja sama dengan Allah dalam membangkitkan keturunan dan membesarkan kehidupan-kehidupan baru.[53] Oleh karenanya cinta kasih dalam perkawinan harus lebih dari sekadar suatu pertanyaan tentang naluri alami atau dorongan emosional. Hal itu merupakan kesetiaan atau pengabdian dan bersifat eksklusif hingga akhir hayat.[54] Para orang tua tidak bebas untuk bertindak sesuai pilihan mereka dalam pelayanan mentransmisikan kehidupan, seolah-olah memutuskan apa yang benar untuk diikuti terserah mereka sepenuhnya.[55] Mematuhi Hukum Kodrat berarti bahwa setiap tindakan perkawinan disyaratkan harus mempertahankan hubungan hakikinya dengan prokreasi kehidupan manusia.[56]

Kesetiaan pada rancangan Allah berarti mengalami cinta kasih perkawinan dengan tetap menghormati hukum-hukum konsepsi dan mengakui bahwa orang bukanlah tuan atas sumber-sumber kehidupan melainkan pelayan atas rancangan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.[57] Semua metode pengendalian kelahiran buatan adalah tidak sah karena semuanya itu secara khusus ditujukan untuk menghindari prokreasi—baik sebagai suatu tujuan ataupun sebagai suatu sarana.[58] Sarana-sarana terapeutik yang sah diperbolehkan apabila diperlukan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit pada tubuh, sekalipun jika diperkirakan mengakibatkan suatu halangan atas prokreasi, asalkan halangan tersebut tidak dimaksudkan secara langsung untuk alasan apapun.[59] Pemanfaatan pilihan lain selama periode-periode tidak subur diterapkan untuk mengatur jarak kelahiran, yang timbul karena kondisi fisik atau psikologis suami ataupun istri, maupun karena faktor-faktor eksternal. Gereja mengajarkan bahwa pasangan menikah dapat memanfaatkan siklus alami.[60] Para ilmuwan, sebagaimana telah diminta oleh Pius XII, hendaknya mempelajari ritme-ritme alami sebagai suatu landasan yang aman untuk pembatasan keturunan.[61]

Kendali atas tubuh

Paus Paulus VI menyadari sepenuhnya bahwa Humanae vitae tidak mudah untuk diikuti. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa ensiklik tersebut mengajarkan hal yang mustahil. Ia membahas nilai kedisiplinan diri atas tubuh dan penyangkalan diri atas kesenangan atau kenikmatan badani sebagai suatu sumber ketenteraman keluarga, kedamaian, dan pengembangan kepribadian di dalam keluarga.[62] Ia merekomendasikan kemurnian di dalam perkawinan dan menghimbau para otoritas publik untuk tidak menoleransi undang-undang apa saja yang memperkenalkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum kodrat dari Allah ke dalam praktik berkeluarga.

Pembangunan sosial dan ekonomi

Paus Paulus VI sepenuhnya menyadari adanya implikasi-implikasi pembangunan atau pengembangan dari ajarannya. Mengenai pembangunan di seluruh dunia, ia mengutip Paus Yohanes XXIII yang mengatakan bahwa tidak ada solusi yang dapat diterima yang melanggar martabat esensial manusia dengan cara mereduksinya menjadi suatu konsep materialistis. Satu-satunya solusi yang memungkinkan adalah kemajuan sosial dan ekonomi setiap individu dan masyarakat yang menghormati maupun mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan sejati. Hal ini berarti mengesampingkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang salah arah, ketiadaan keadilan sosial, pengumpulan barang-barang materiil secara egois, dan kegagalan dalam meningkatan standar hidup masyarakat beserta anak-anak mereka.[63] Paus Paulus VI melihat adanya suatu potensi besar pada para pemerintah, program bantuan nasional, dan terutama pada organisasi bantuan internasional.[64]

Kasih sayang Kristiani

Para pasangan Kristiani terkadang menghadapi berbagai kesulitan luar biasa, namun, suami dan istri seharusnya memikul beban yang diberikan kepada mereka, para pasangan menikah seharusnya mengomunikasikan pengalaman mereka sendiri kepada yang lainnya. Dengan demikian panggilan awam tersebut akan terhitung sebagai suatu bentuk kerasulan yang baru dan menonjol.[65] Kasih sayang Kristiani harus menjadi cahaya penuntun. Paus Paulus VI menyampaikan bahwa ajaran Kristus tentang kasih tersebut serta pemanfaatan tubuh harus selalu berpadu dengan toleransi dan kasih:

Karena Kristus sendiri memperlihatkannya dalam percakapan-percakapan yang dilakukan-Nya dan relasi-relasi-Nya dengan orang-orang. Sebab ketika Ia datang, bukan untuk menghakimi tetapi untuk menyelamatkan dunia ini, apakah Ia tidak sangat masygul terhadap dosa, namun sabar dan berlimpah dalam belas kasih terhadap para pendosa?[66]

Paus Yohanes Paulus II

Paus Yohanes Paulus II melanjutkan pembahasan atas teologi tubuh Katolik dari para pendahulunya melalui serangkaian pengajaran, dikenal dengan judul Teologi Tubuh, yang di dalamnya ia berbicara mengenai kesatuan asali antara laki-laki dan perempuan,[67] kemurnian hati (tentang Khotbah di Bukit), perkawinan, selibat, serta refleksi-refleksi seputar Humane Vitae, dengan fokus utama pada kemurnian dalam perkawinan serta menjadi orang tua yang bertanggung jawab.[68] Ia menghubungkan "kesatuan asali laki-laki dan perempuan" dengan Kitab Kejadian, mengangkat beragam pertanyaan seputar konteks ini seperti mengapa Kristus memberikan sedemikian banyak penekanan pada manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa Manusia menjadi Citra Allah pada momen Komuni Kudus.[69]

Paus Benediktus XVI

Pada tahun 2005, Paus Benediktus XVI mengangkat sejumlah hal yang menjadi perhatian para pendahulunya melalui ensiklik pertamanya, Deus caritas est,[70] di mana ia mengangkat beberapa pertanyaan terkait Eros, tubuh, dan Gereja. (Apakah Kekristenan melenyapkan Eros?[71] Tidakkah Gereja, dengan segala perintah dan larangannya, memalingkan hal yang paling berharga dalam hidup menuju kepahitan? Tidakkah Gereja justru menyampaikan hal yang merugikan apabila sukacita tersebut yang adalah anugerah Sang Pencipta memberikan kita suatu kebahagiaan yang adalah suatu prarasa tertentu Keilahian?)[72]

Hakikat cinta

Paus Benediktus XVI mengakui bahwa peristiwa-peristiwa dalam kehidupan nyata sering kali terjadi begitu saja, tanpa direncanakan atau dikehendaki.[73] Apa yang menjadi beban tidak diinginkan secara sukarela. Ensiklik tersebut tidak membahas ajaran-ajaran dari Paus Pius XI hingga Paus Yohanes II mengenai pengendalian kelahiran dan keluarga berencana alami. Bagaimanapun, Paus Yohanes Paulus II, yang ia sebut "pendahuluku yang agung", ia puji karena ajaran-ajaran sosialnya, topik kemiskinan, dan sebagainya.[74] Ensiklik tersebut berfokus pada suatu konsep yang luas mengenai cinta serta bukan pada larangan-larangan dan definisi-definisi, yang mungkin akan memicu kemarahan beberapa segmen masyarakat. Paus Benediktus XVI menghindari pandangan-pandangan "tubuhku yang penuh dosa, musuhku", tetapi melangkah lebih jauh ketika ia menentang pembedaan radikal antara "cinta yang baik" (Agape) dan cinta yang "buruk" atau "kotor" (Eros dan Seks). Ia secara jelas mengakui berbagai penyalahgunaan seksual yang merendahkan, dan mengeluhkan bahwa pembedaan baik-buruk tersebut di masa lalu sering kali diradikalisasi di dalam Gereja Katolik. Hal ini dipandang berbahaya karena:

Apabila ini ... dibawa ke ekstremitas-ekstremitas, esensi Kekristenan akan terlepas dari hubungan-hubungan vital yang mendasar bagi keberadaan manusia, dan akan menjadi suatu keterpisahan, yang mengagumkan mungkin, tetapi secara meyakinkan terputus dari struktur kompleks kehidupan manusia.[75]

Peringatan 40 tahun Humanae vitae

Menurut Paus Benediktus XVI, prinsip-prinsip keimanan Katolik seusia dengan kitab suci. Ia bermaksud untuk berfokus pada prinsip-prinsip abadi iman Katolik. Pada tanggal 12 Mei 2008, ia menerima undangan untuk berbicara kepada para peserta dalam suatu kongres internasional yang diselenggarakan oleh Universitas Kepausan Lateran pada peringatan 40 tahun Humanae vitae. Ia menyinggung ensiklik tersebut, yang menurut pandangannya sangat kurang dipahami orang banyak, dalam konteks cinta yang lebih luas di dalam suatu konteks global, sebuah topik yang ia sebut "sedemikian kontroversial, namun sedemikian penting bagi masa depan umat manusia". Humanae vitae menjadi "suatu tanda pertentangan tetapi juga [tanda] kesinambungan doktrin dan tradisi Gereja. ... Apa yang benar kemarin adalah juga benar hari ini."[76] Gereja tetap merefleksikan "dalam suatu cara yang selalu baru dan lebih dalam mengenai prinsip-prinsip dasar yang menyangkut perkawinan dan prokreasi". Pesan utama dari Humanae vitae adalah cinta kasih. Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa kepenuhan atau kesempurnaan seorang pribadi dicapai oleh kesatuan tubuh dan jiwanya, tetapi baik jiwa ataupun tubuh saja tidak mampu mencintai apabila keduanya tidak bersama-sama. Seandainya kesatuan ini rusak, atau seandainya hanya tubuh semata yang dipuaskan, cinta menjadi suatu komoditas.[77] Pada akhirnya ia mengatakan bahwa cinta kasih Kristiani bertumbuh dari cinta akan Kristus.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Ramsey, 58
  2. ^ Ramsey 56
  3. ^ Ramsey, 17
  4. ^ (Jerman) Ferdinand Gahbauer OSB, Höhepunkt der Schöpfung, Heiligenkreuz 2008, 46
  5. ^ a b Ramsey 57
  6. ^ a b Ramsey, 59
  7. ^ Gahbauer 51
  8. ^ Gahbauer 52
  9. ^ Gahbauer 54
  10. ^ Gahbauer, 56
  11. ^ Gahbauer, 57
  12. ^ a b Gahbauer, 59
  13. ^ Ramsey, 56
  14. ^ Ramsey, 57
  15. ^ Gahbauer, 78
  16. ^ a b Gahbauer, 79
  17. ^ Gahbauer, 82
  18. ^ Gahbauer, 90
  19. ^ Gahbauer, 91
  20. ^ Gahbauer, 91,92
  21. ^ Gahbauer, 93
  22. ^ Gahbauer, 93-94
  23. ^ Gahbauer 95
  24. ^ a b Gahbauer 97
  25. ^ Gahbauer 98
  26. ^ Gahbauer 104
  27. ^ Gahbauer 105
  28. ^ Ambros., De virginibus, lib. I, c. 3, n. 12; PL XVI, 192.
  29. ^ Ambrose of Milan, Expositio in Lucam 2, 17; PL 15, 1640
  30. ^ Ambros., De virginitate, c. 5, n. 26; PL XVI, 272.
  31. ^ Ramsey 59
  32. ^ a b St. Augustine De bono coniug., cap. 24, n. 32
  33. ^ De coniug. adult., lib. II, n. 12, Gen, XXXVIII, 8-10.
  34. ^ a b (Inggris) The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas, Second and Revised Edition, 1920, Part One, Article 4. Whether the image of God is found in every man? http://www.newadvent.org/summa/1093.htm
  35. ^ a b (Inggris) The Summa Theologica of St. Thomas Aquinas Second and Revised Edition, 1920 Article 6. Summa Theologica, Whether the image of God is in man as regards the mind only?http://www.newadvent.org/summa/1093.htm
  36. ^ Casti connubii, 55
  37. ^ Casti connubii
  38. ^ (Italia) Il Papa Pio XII Agli Sposi, Roma, 1943; (Inggris) Dear Newly Weds, Pope Pius XII speaks to Married Couples; Farrar, Straus and Cudaby, New York
  39. ^ Sacra virginitas, 32
  40. ^ Sacra virginitas, 33
  41. ^ Utz Groner 512
  42. ^ Utz Groner 446
  43. ^ Utz Groner, 521
  44. ^ Utz Groner, 524
  45. ^ Utz Groner, 530
  46. ^ Utz Groner 532
  47. ^ Denzinger, 428, 1783
  48. ^ a b Pius XII, Enc. Humani generis, 36
  49. ^ (Inggris) John Paul II, Message to the Pontifical Academy of Sciences on Evolution Diarsipkan 2019-06-06 di Wayback Machine.
  50. ^ Munificentissimus Deus 42.
  51. ^ Munificentissimus Deus 44.
  52. ^ Munificentissimus Deus 45.
  53. ^ Humanae vitae, 8
  54. ^ Humanae vitae, 9
  55. ^ Humanae vitae, 10
  56. ^ Humanae vitae, 12
  57. ^ Humanae vitae, 13
  58. ^ HV 14
  59. ^ Humanae vitae, 15
  60. ^ Humanae Vitae 17,18
  61. ^ Humanae vitae, 24
  62. ^ Humanae vitae, 21
  63. ^ Humanae Vitae(23)
  64. ^ Humanae vitae, 23
  65. ^ Humanae vitae, 26
  66. ^ Humanae vitae, 29
  67. ^ (Inggris) George Weigel, Witness to hope: The biography of Pope John Paul II, New York, 2005, 336
  68. ^ Weigel, 336-343
  69. ^ Weigel, 336-337
  70. ^ (Inggris) ENCYCLICAL LETTER DEUS CARITAS EST OF THE SUPREME PONTIFF BENEDICT XVI TO THE BISHOPS PRIESTS AND DEACONS MEN AND WOMEN RELIGIOUS AND ALL THE LAY FAITHFUL ON CHRISTIAN LOVE, Vatican City, 2005, "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-11. Diakses tanggal 2010-02-02. 
  71. ^ Deus caritas est, 4
  72. ^ Deus caritas est, 3
  73. ^ Deus caritas est, 33
  74. ^ My great predecessor John Paul II left us a trilogy of social Encyclicals: Laborem exercens (1981), Sollicitudo rei socialis (1987) and finally Centesimus annus (1991)(Deus caritas est, 27) Here I would clearly reaffirm what my great predecessor John Paul II wrote in his Encyclical Sollicitudo rei socialis when he asserted the readiness of the Catholic Church to cooperate with the charitable agencies of these Churches and Communities (Deus caritas est, 30)
  75. ^ Deus caritas est, 37
  76. ^ Benedict XVI, international congress organized by the Pontifical Lateran University on the 40th anniversary of the encyclical Humanae vitae, May 12, 2008
  77. ^ quoted from Deus Caritas Est

Bibliografi

  • (Jerman) Arthur Fridolin Utz, Joseph Fulko Groner, Aufbau und Entfaltung des Gesellschaflichen Lebens, Soziale Summe Pius XII, Freiburg, Schweiz, 1954, 1961