Teologi seksualitas Katolik

Teologi seksualitas Katolik, sama seperti teologi Katolik pada umumnya, bersumber dari hukum alam (hukum kodrat), kitab suci kanonik, wahyu ilahi, dan tradisi suci, sebagaimana yang ditafsirkan secara otoritatif oleh magisterium Gereja Katolik.[1][2] Moralitas seksual mengevaluasi perilaku seksual berdasarkan standar yang ditetapkan oleh teologi moral Katolik, dan banyak menyajikan prinsip-prinsip umum yang melaluinya umat Katolik dapat mengevaluasi apakah suatu tindakan memenuhi standar tersebut. Banyak doktrin terperinci Gereja yang berasal dari prinsip bahwa "kenikmatan seksual adalah tidak teratur secara moril apabila dicari demi dirinya sendiri, dipisahkan dari tujuan prokreatif dan unitifnya".[3]

Gereja Katolik mengajarkan bahwa antara kehidupan manusia dan seksualitas manusia adalah tidak dapat dipisahkan.[4] Karena umat Katolik meyakini kalau Allah menciptakan umat manusia menurut keserupaan dan citra-Nya sendiri, serta "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik",[5] Gereja Katolik mengajarkan bahwa seks dan tubuh manusia adalah baik pula. Gereja memandang ungkapan cinta antara suami dan istri sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang ditinggikan, menyatukan suami dan istri dalam pemberian diri timbal balik yang sepenuhnya, dan membuka hubungan mereka akan kehidupan baru. Paus Paulus VI menulis dalam ensiklik Humanae vitae: "Aktivitas seksual, yang di dalamnya suami dan istri saling bersatu secara intim dan murni, yang melaluinya kehidupan manusia diteruskan, adalah 'luhur dan berharga' sebagaimana diingatkan oleh Konsili baru-baru ini."[6] Dalam kasus di mana ekspresi seksual dicari di luar pernikahan sakramental, atau di mana fungsi prokreatif dari ekspresi seksual di dalam pernikahan dihalangi secara sengaja (misalnya dengan penggunaan kontrasepsi buatan), Gereja Katolik menyatakan keprihatinan moril yang serius.

Gereja mengajarkan bahwa hubungan seksual memiliki suatu tujuan; dan melakukannya di luar pernikahan adalah bertentangan dengan tujuannya. Menurut Katekismus Gereja Katolik, "cinta kasih suami-istri ... dimaksudkan untuk suatu kesatuan personal yang mendalam, suatu kesatuan yang melampaui persatuan dalam satu daging serta mengarah pada pembentukan satu hati dan jiwa",[7] karena ikatan pernikahan merupakan suatu tanda cinta kasih antara Allah dan manusia.[8]

Di antara dosa-dosa yang dipandang sangat bertentangan dengan kemurnian misalnya masturbasi, percabulan, pornografi, praktik homoseksual,[9] dan kontrasepsi artifisial.[10] Aborsi langsung yang dikehendaki, selain tergolong dalam materi berat, mendatangkan hukuman ekskomunikasi yang "terjadi dengan sendirinya saat pelanggaran dilakukan" berdasarkan kondisi-kondisi yang ditetapkan oleh hukum kanon.[11]

Dasar


Hukum kodrat

Hukum kodrat (bahasa Latin: lex naturalis) merupakan suatu teori etika yang menempatkan keberadaan suatu hukum yang berisi ketetapan alam dan karenanya memiliki keabsahan dalam segala kondisi.[12] Terlepas dari keterkaitan paganisme dengan teori hukum kodrat, sejumlah (kendati tidak semua) Bapa Gereja awal berupaya untuk menerapkan hukum tersebut ke dalam teologi Kristen.

Dalam salah satu bagian Summa Theologiae, St. Thomas Aquinas menulis:

Makhluk rasional tunduk pada penyelenggaraan Ilahi dengan cara yang paling luhur, sejauh ia turut ambil bagian dalam penyelenggaraan tersebut, dengan bersikap bijaksana akan masa depan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sesamanya. Dengan demikian ia memiliki bagian dalam Daya Pikir Abadi, di mana ia memiliki suatu kecenderungan alami pada tindakan dan tujuannya yang sepatutnya: dan peran hukum abadi ini di dalam makhluk rasional disebut hukum kodrat.[13]

Hukum kodrat merupakan salah satu sumber dasar bagi teologi Katolik mengenai seksualitas.

Kitab Suci

Kisah penciptaan menurut Kitab Kejadian memberikan wawasan ke dalam antropologi yang menjelaskan teologi Katolik tentang seksualitas. Ayat-ayat berikut ini sering dikutip dalam berbagai kajian Katolik mengenai moralitas seksual:

  • 1:27: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."[14]
  • 2:21–25: "Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: 'Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.' Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu."[15]
  • 3:16: "Firman-Nya kepada perempuan itu: 'Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu'."[16]

Dua perintah dalam Sepuluh Perintah Allah membahas secara langsung moralitas seksual, yaitu larangan berzina[17][18] dan keinginan akan istri sesama.[19][20]

Dalam Injil Matius, Yesus mengomentari kedua perintah tersebut:

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.[21]

Dalam kitab yang sama, Yesus juga merujuk pada kalimat-kalimat dari Kitab Kejadian dalam pengajarannya mengenai pernikahan:

Jawab Yesus: 'Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.' Kata [orang-orang Farisi] kepada-Nya: 'Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?' Kata Yesus kepada mereka: 'Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.'[22]

Teologi patristik

Agustinus dari Hippo, seorang santo dan Bapa Gereja dalam Gereja Katolik, setelah menjalani suatu gaya hidup hedonistik pada awal masa mudanya, kemudian berlanjut dengan menganut agama dualistik Manikeisme yang sangat memusuhi dunia materi, sempat memandang rendah aktivitas seksual. Pada akhirnya, karena teladan Monika ibunya yang adalah penganut Kristen Katolik, Agustinus memeluk Kekristenan, dan kelak menuliskan kisah konversinya yang menyentuh dalam Pengakuan-Pengakuan (Confessiones), yang juga memuat aspek-aspek terkait seksualitas. Berikut ini adalah kutipan dari otobiografinya yang mendeskripsikan suatu titik balik penting dalam perubahan pandangannya tentang moralitas seksual:

Dengan cepat aku kembali ke tempat Alypius sedang duduk; karena di sana aku telah meletakkan karya-karya para rasul, ketika aku bangkit dari sana. Aku ambil, buka, dan dalam keheningan membaca paragraf yang pertama dilihat mataku: "Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." [Roma 13:13-14] Aku tidak ingin membaca lebih lanjut, tidak pula membutuhkannya...[23]

Teologi abad pertengahan

Santo Thomas Aquinas membahas moralitas seksual sebagai salah satu aspek kebajikan penguasaan diri, dan menyertakan ayat-ayat Kitab Suci pada seluruh pembahasannya. Dalam Summa Theologiae ia menulis tentang kemurnian:

Kata "kemurnian" dipergunakan dalam dua cara. Pertama, secara tepat; dan dengan demikian merupakan suatu kebajikan khusus yang memiliki suatu materi khusus, yaitu konkupisensi-konkupisensi terkait kenikmatan seksual. Kedua, kata "kemurnian" dipergunakan secara metaforis: karena sebagaimana percampuran tubuh-tubuh menghasilkan kenikmatan seksual yang merupakan materi tepat dari kemurnian dan dari hawa nafsu yang adalah keburukan lawannya, demikian pula, secara metaforis, persatuan rohaniah budi dengan hal-hal tertentu menghasilkan suatu kenikmatan yang adalah materi dari suatu kemurnian rohaniah, serta dari suatu percabulan rohaniah juga. Karena apabila budi manusia bergembira dalam persatuan rohaniah dengan yang diperlukannya untuk dipersatukan, yaitu Allah, dan menahan diri dari hal-hal lain yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan dari tatanan yang ditetapkan oleh Allah, ini dapat disebut suatu kemurnian rohaniah, menurut 2 Kor. 11:2, "Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus." Di sisi lain, apabila budi bersatu dengan hal-hal lain apapun itu yang melawan ketetapan dari tatanan Ilahi, maka disebut percabulan rohaniah, menurut Yer. 3:1, "Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih." Dalam pengertian ini, kemurnian merupakan suatu kebajikan umum, sebab setiap kebajikan menarik budi manusia dari kegembiraan dalam persatuan dengan hal-hal yang tidak halal. Bagaimanapun, esensi kemurnian ini utamanya meliputi kasih dan kebajikan-kebajikan teologal yang lain, yang melaluinya budi manusia dipersatukan dengan Allah.[24]

Magisterium sejak tahun 1930

Ajaran tentang subjek tertentu


Perzinaan

Salah satu perintah dalam Sepuluh Perintah Allah menyatakan: "Jangan berzina".[25]

Kemurnian

Gereja Katolik mendefinisikan kemurnian sebagai kebajikan yang mengendalikan hasrat seksual.[26][27] Umat Katolik yang tidak menikah mengekspresikan kemurnian melalui abstinensi seksual. Hubungan seksual di dalam perkawinan dipandang murni selama tindakan itu mempertahankan arti penting persatuan dan prokreasi (reproduksi).[28] Paus Yohanes Paulus II menulis:

Oleh karena itu, pada pusat spiritualitas perkawinan terletak kemurnian yang bukan hanya sebagai suatu kebajikan moral (terbentuk oleh cinta), tetapi juga sebagai suatu kebajikan yang terhubung dengan karunia-karunia Roh Kudus—di atas segalanya, karunia penghormatan atas apa yang berasal dari Allah (donum pietatis). Karunia ini terdapat dalam budi sang penulis Surat Efesus ketika ia menasihati para pasangan menikah agar "[merendahkan diri] seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus" (Ef. 5:21). Maka, tatanan inti dalam kehidupan perkawinan, yang memungkinkan perwujudan-perwujudan kasih sayang untuk berkembang sesuai dengan makna dan proporsi yang benar, merupakan suatu buah yang bukan hanya dari kebajikan yang dipraktikkan pasangan, tetapi juga dari karunia-karunia Roh Kudus dengan mana mereka bekerja sama.[29]

Karena seks dipandang murni hanya di dalam konteks perkawinan, seks menjadi sering disebut "tindakan perkawinan" di dalam diskursus Katolik. Dalam ajaran Katolik, tindakan perkawinan dipandang sebagai penyatuan seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui hubungan seksual, yang dipandang sebagai suatu tindakan cinta kasih antara dua orang yang telah menikah, dan dengan cara demikian dipandang sebagai suatu karunia dari Allah. Ketika membahas kemurnian, Katekismus Gereja Katolik mendaftar sejumlah pelanggaran dan dosa terhadapnya.[30]

Kontrasepsi

Gereja telah menentang kontrasepsi setidaknya sejak abad kedua.[31][32] Banyak Bapa Gereja awal mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penggunaan kontrasepsi, misalnya Yohanes Krisostomus, Hieronimus, Klemens dari Aleksandria, Hippolitus dari Roma, Agustinus dari Hippo, dan banyak lagi yang lainnya.[33][34][35] Di antara berbagai kecaman tersebut adalah suatu pernyataan oleh Hieronimus yang menyebut satu bentuk kontrasepsi oral: "Beberapa orang melakukan sedemikian jauh dengan menggunakan ramuan-ramuan, sehingga memungkinkan mereka memastikan ketidaksuburan, dan karenanya membunuh manusia tepat sebelum pembuahan mereka."[36] Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa semua tindakan seksual harus memenuhi kedua tujuannya, yaitu prokreatif dan unitif (mempersatukan).[37] Selain mengecam penggunaan kontrasepsi buatan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya adalah jahat,[10] tindakan-tindakan seksual non-prokreatif seperti masturbasi bersama dan seks anal dikesampingkan sebagai cara-cara untuk mencegah kehamilan.[38]

Paus Paulus VI menolak laporan mayoritas dari Komisi Kepausan untuk Pengendalian Kelahiran tahun 1963-66 dan menegaskan ajaran Gereja Katolik sesuai tradisinya dalam hal kontrasepsi. Ia mendefinisikan kontrasepsi sebagai "setiap tindakan yang, baik dalam hal mengantisipasi tindakan perkawinan atau dalam hal pencapaiannya ataupun dalam hal perkembangan konsekuensi-konsekuensi alaminya, membuat tidak dimungkinkannya prokreasi, entah sebagai suatu tujuan ataupun sebagai suatu sarana",[39] menyatakannya sebagai kejahatan dan mengesampingkannya. Tindakan-tindakan dengan efek kontraseptif yang dilarang tersebut misalnya sterilisasi, kondom dan metode-metode penghalang lainnya, spermisida, coitus interruptus (metode penarikan), pil KB, serta semua metode lain yang seperti demikian.[40] Membatasi hubungan seksual untuk saat-saat ketika pembuahan atau fertilisasi tidak memungkinkan ("metode ritme" dan praktik keluarga berencana alami lainnya yang serupa) tidak dipandang berdosa,[41] tetapi hanya apabila hal itu dipraktikkan karena "alasan-alasan yang dapat dibenarkan" dan bukan karena "termotivasi oleh keegoisan".[42]

Paus Yohanes Paulus II menuliskan dalam Familiaris consortio:

Maka, bahasa kodrati yang mengungkapkan penyerahan diri timbal balik yang seutuhnya antara suami dan istri terselubungi melalui kontrasepsi, dengan suatu bahasa yang secara objektif bertentangan, yaitu yang tidak menyerahkan diri sepenuhnya kepada pasangannya. Hal ini tidak hanya menyebabkan suatu penolakan positif untuk bersikap terbuka kepada kehidupan, tetapi juga kepada suatu pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan pada penyerahan diri dalam totalitas personalnya.... Perbedaan antropologis maupun moril antara kontrasepsi dan pemanfaatan ritme siklus ... terlibat dalam analisis akhir atas dua konsep yang tidak dapat dipertemukan, konsep pribadi manusia dan konsep seksualitas manusia.[43]

Pada bulan Januari 2015, saat penerbangan kembali dari kunjungannya ke Filipina, Paus Fransiskus ditanya oleh seorang jurnalis Jerman mengenai pemikirannya terkait temuan-temuan dalam beberapa jajak pendapat kalau kebanyakan orang Filipina berpikir bahwa pertumbuhan penduduk di negara tersebut, dengan setiap wanita memiliki rata-rata tiga anak, merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan di negara tersebut, dan sepertinya banyak umat di sana yang tidak sepakat dengan ajaran Katolik tentang kontrasepsi. Ia menanggapi bahwa kuncinya adalah "menjadi orang tua yang bertanggung jawab":

Beberapa orang berpikir bahwa—maafkan pernyataan saya di sini—bahwa untuk menjadi penganut Katolik yang baik kita harus menjadi seperti kelinci. Tidak. Menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Ini jelas dan itulah sebabnya dalam Gereja terdapat kelompok-kelompok suami-istri, terdapat ahli-ahli dalam hal ini, terdapat pastor-pastor, orang dapat mencarinya; dan saya tahu begitu banyak cara yang halal dan yang telah membantu ini.[44]

Ia juga mengatakan bahwa ajaran Paus Paulus VI bersifat kenabian, mengingat terjadinya penurunan tingkat kelahiran di beberapa negara saat ini hingga hanya sedikit lebih tinggi dari satu anak per wanita.[45]

Penggunaan medis

Gereja tidak memandang terlarang sepenuhnya penggunaan sarana terapeutik yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit tubuh, sekalipun suatu halangan terhadap prokreasi diperkirakan akan dihasilkan daripadanya, selama dampak kontraseptif tersebut tidak diinginkan secara langsung dengan alasan apapun.[46] Sebagai contoh, penggunaan kontrasepsi hormonal sebagai pengobatan untuk endometriosis, bukan dengan maksud kontraseptif, tidak dipandang bertentangan dengan ajaran Katolik.[47]

Penggunaan kondom untuk mencegah penyakit merupakan suatu isu yang lebih kontroversial dan lebih kompleks; para teolog saling berargumen dari kedua sisi berbeda.[48][49][50] Tidak seperti obat-obatan dan prosedur bedah, posisi Gereja pada tahun 2013 adalah bahwa menggunakan kondom saat berhubungan intim, untuk tujuan apapun, adalah kontraseptif secara moril dan karenanya adalah dosa.

Isu-isu seputar Gereja Katolik dan AIDS menjadi cukup kontroversial sejak tahun 1990, terutama karena banyak pemimpin Katolik terkemuka menyatakan secara terbuka penentangan mereka terhadap penggunaan kondom sebagai pencegah penyakit. Isu lainnya meliputi partisipasi keagamaan dalam layanan-layanan perawatan kesehatan dan kerjasama dengan organisasi-organisasi sekuler seperti UNAIDS dan WHO.

Pada bulan November 2010, Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa adalah suatu tindakan yang bertanggung jawab, kendati tetap bukan suatu solusi moral yang sesungguhnya, dengan menggunakan kondom dalam beberapa kasus yang sangat khusus sebagai suatu perangkat pencegahan penyakit. Ia mencontohkan penggunaan kondom oleh para pelacur laki-laki, yang tujuannya adalah untuk "mengurangi risiko infeksi" dari HIV.[51] Sembari tetap meyakini bahwa alat kontrasepsi merintangi penciptaan kehidupan, Sri Paus menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, penggunaannya mungkin menjadi suatu tindakan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesadaran tentang hakikat dari tindakan semacam itu, dan sebagai suatu manfaat, untuk menghindari kematian dan menyelamatkan kehidupan, meski hanya sebagai suatu langkah pertama, bukan suatu solusi moral yang sebenarnya, sebelum meyakinkan pelacur laki-laki akan adanya suatu solusi moral yang sebenarnya, yang berarti menghentikan praktik prostitusi dan aktivitas seksual di luar perkawinan. Awalnya terdapat sedikit kebingungan apakah pernyataan tersebut diterapkan hanya untuk prostitusi homoseksual dan karenanya sama sekali bukan untuk persetubuhan heteroseksual. Namun, Federico Lombardi, juru bicara Vatikan, mengklarifikasi bahwa hal itu diterapkan pada prostitusi heteroseksual maupun transseksual, baik laki-laki maupun perempuan.[52] Dalam wawancara tersebut, ia juga mengklarifikasikan bahwa Sri Paus tidak membalikkan larangan Gereja selama berabad-abad mengenai penggunaan kontrasepsi dalam konteks tindakan-tindakan seksual heteroseksual, yang Gereja nyatakan harus secara normal terbuka pada transmisi kehidupan,[51] dan bahwa ia juga tidak membalikkan posisi Gereja mengenai tindakan-tindakan homoseksual dan prostitusi.

Percabulan

Gereja Katolik menentang praktik fornikasi (hubungan seksual antara dua orang yang tidak terikat perkawinan antara satu dengan yang lainnya), yang sering disebut "percabulan", menyebutnya "sangat bertentangan dengan martabat pribadi-pribadi tersebut dan martabat seksualitas manusia".[53]

Homoseksualitas

Katekismus Gereja Katolik menyajikan suatu bagian tersendiri mengenai homoseksualitas ketika menguraikan perintah keenam. Gereja membuat perbedaan antara "kecenderungan homoseksual", yang tidak dipandang sebagai dosa, dengan "tindakan homoseksual", yang dipandang sebagai dosa. Sebagaimana tindakan heteroseksual di luar pernikahan, tindakan homoseksual dipandang sebagai pelanggaran terhadap perintah tersebut. Katekismus menyatakan bahwa tindakan-tindakan itu "melanggar hukum kodrat, tidak dapat melahirkan anugerah kehidupan, dan tidak berasal dari suatu kebutuhan asali untuk saling melengkapi secara seksual dan afektif. Dalam situasi apapun juga tindakan-tindakan itu tidak dapat dibenarkan."[54][55][56] Gereja mengajarkan bahwa kecenderungan homoseksual "sesungguhnya merupakan gangguan" dan mungkin suatu cobaan berat bagi pribadi yang mengalaminya. Gereja mengajarkan bahwa mereka harus "diterima dengan rasa hormat, kasih sayang dan kepekaan ... diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka perlu dihindari."[54][57][56]

Menurut Gereja, para pribadi homoseksual "dipanggil untuk hidup dalam kemurnian". Mereka diminta untuk berlatih kebajikan penguasaan diri yang mengajarkan "kebebasan batin" dengan dukungan dari teman-teman, doa, dan rahmat yang diperoleh dari sakramen-sakramen Gereja.[54] Sarana-sarana tersebut dimaksudkan untuk membantu pribadi yang memiliki kecenderungan homoseksual agar "secara bertahap dan pasti bergerak menuju kesempurnaan Kristiani", yang adalah panggilan bagi semua umat Kristiani.[54]

Hawa nafsu

Menurut Katekismus Gereja Katolik, "Hawa nafsu adalah hasrat yang tidak teratur ataupun kenikmatan yang berlebihan atas kesenangan seksual. Kesenangan seksual itu secara moril tidak teratur ketika dicari untuk dirinya sendiri, dipisahkan dari tujuan prokreatif dan unitifnya."[3]

Matius 5:28 menuliskan perkataan Yesus berikut:

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.

Dalam Teologi Tubuh, suatu rangkaian pengajaran yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II, dijelaskan kalau perkataan Yesus tersebut berarti bahwa seseorang dapat melakukan perzinaan di dalam hatinya bukan hanya dengan pasangan orang lain, tetapi juga dengan pasangannya sendiri apabila ia melihat kepadanya dengan hawa nafsu atau memperlakukannya "sekadar sebagai objek untuk memuaskan naluri".[58][59]

Masturbasi

Gereja Katolik menentang masturbasi.[60] Thomas Aquinas, salah seorang Pujangga Gereja terpenting, menuliskan bahwa masturbasi adalah suatu "cacat cela yang tidak wajar" yang merupakan suatu "wujud (species) dari hawa nafsu", meski bukan suatu bentuk yang lebih serius daripada bestialitas, yang adalah "paling serius", dan daripada sodomi, yang adalah paling serius berikutnya:[61] "Dengan mengadakan pencemaran [yaitu ejakulasi di luar konteks hubungan intim], tanpa persetubuhan sama sekali, demi kesenangan seksual [...] berkaitan dengan dosa 'kenajisan' yang disebut beberapa orang 'kebancian' [Latin: mollitiem, lit. 'kelembekan, ketidakjantanan']."[62]

YOUCAT menuliskan:

409 Masturbasi adalah suatu pelanggaran terhadap kasih, karena menjadikan kegembiraan dari kesenangan seksual tujuan dari tindakan itu sendiri dan memisahkannya dari pengungkapan yang menyeluruh atas kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Itulah sebabnya "berhubungan seks dengan diri sendiri" merupakan suatu kontradiksi. Gereja bukan melaknati masturbasi, tetapi memperingatkan terhadap penyepeleannya. Pada kenyataannya, banyak kaum muda dan orang dewasa berada dalam bahaya menjadi terisolasi dengan mengonsumsi layanan Internet, film, dan gambar tidak senonoh alih-alih mencari kasih dalam suatu relasi personal. Kesendirian dapat mengarah pada suatu jalan buntu yang di dalamnya masturbasi menjadi suatu adiksi. Hidup dengan semboyan "Untuk seks aku tidak butuh siapa pun; Aku akan mendapatkannya bagi diriku sendiri, dengan cara apa pun dan kapan pun aku membutuhkannya" tidak menjadikan orang bahagia.[63]

Menurut ajaran Gereja Katolik, "Untuk membentuk suatu penilaian yang adil mengenai tanggung jawab moral pelakunya dan untuk menuntun tindakan pastoral, orang perlu mempertimbangkan ketidakmatangan afektif, tekanan kebiasaan yang dikembangkan, kondisi kecemasan atau faktor psikologis maupun sosial lainnya, yang dapat mengurangi kesalahan moral atau bahkan menurunkannya ke tingkat minimum."[60]

Pornografi

Gereja Katolik menentang pornografi serta menyampaikan agar otoritas sipil hendaknya mencegah pembuatan dan penyebaran materi-materi pornografi.[64]

Prostitusi

Gereja Katolik mengecam prostitusi atau pelacuran, dan memandangnya sebagai suatu "penyakit sosial".[65]

Pemerkosaan

Gereja Katolik mengecam pemerkosaan, memandangnya "selalu merupakan suatu tindakan yang pada hakikatnya jahat".[66]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) CCC, 74–95, Vatican.va 
  2. ^ (Inggris) CCC, 1953–1955, Vatican.va 
  3. ^ a b (Inggris) "Paragraph 2351", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  4. ^ (Inggris) CCC, 2331-2400, Vatican.va 
  5. ^ Kejadian 1:31
  6. ^ (Inggris) Paul VI (25 July 1968). "Humanae Vitae - Encyclical Letter of His Holiness Paul VI on the regulation of birth, 25 July 1968". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-19. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  7. ^ (Inggris) "Paragraph 1643", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  8. ^ (Inggris) "Paragraph 1617", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  9. ^ (Inggris) CCC, 2351-2357, Vatican.va 
  10. ^ a b (Inggris) "Paragraph 2370", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  11. ^ (Inggris) CCC, 2272, Vatican.va 
  12. ^ (Inggris) "Natural Law," International Encyclopedia of the Social Sciences.
  13. ^ (Inggris) "Summa Theologica: text - IntraText CT". Diakses tanggal 6 January 2015. 
  14. ^ Kejadian 1:27
  15. ^ Kejadian 2:21-25
  16. ^ Kejadian 3:16
  17. ^ Keluaran 20:14
  18. ^ Ulangan 5:18
  19. ^ Keluaran 20:17
  20. ^ Ulangan 5:21
  21. ^ Matius 5:27-28
  22. ^ Matius 19:4-8
  23. ^ St. Augustine, Confessions, Book 8, Chapter 12
  24. ^ St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II-II, Question 151, Article 2, corp.
  25. ^ (Inggris) "Paragraph 2072", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  26. ^ Thomas Aquinas, Summa Theologia I-II q. 60 a. 5
  27. ^ Catholic Encyclopedia, "Chastity"
  28. ^ Humanae vitae 12
  29. ^ Paus Yohanes Paulus II, Audiensi Umum, Rabu, 14 November 1984.
  30. ^ (Inggris) CCC, 2337–2350, Vatican.va 
  31. ^ (Inggris) "Fathers Know Best Contraception". EWTN. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-20. Diakses tanggal 2016-02-14. 
  32. ^ (Inggris) "Contraception/Birth Control". Byzantines.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-19. Diakses tanggal 2009-03-20. 
  33. ^ (Inggris) ""This Rock" Magazine". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-20. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  34. ^ (Inggris) "Fr. Hardon Archives - The Catholic Tradition on the Morality of Contraception". Diakses tanggal 6 January 2015. 
  35. ^ (Inggris) Dave Armstrong. "Biblical Evidence for Catholicism: Contraception: Early Church Teaching (William Klimon)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2008. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  36. ^ (Inggris) "CHURCH FATHERS: Letter 22 (Jerome)". 
  37. ^ (Inggris) "Paragraph 2366", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  38. ^ (Inggris) Christopher West (2000). Good News about Sex and Marriage: Answers to Your Honest Questions about Catholic Teaching. Servant Publications. hlm. 88–91. ISBN 1-56955-214-2. 
  39. ^ (Inggris) Paul VI (25 July 1968). "Humanae Vitae - Encyclical Letter of His Holiness Paul VI on the regulation of birth, 25 July 1968". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-19. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  40. ^ (Inggris) "Birth Control". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-29. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  41. ^ (Inggris) Pope Paul VI (25 July 1968). "Humanae vitae". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-19. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  42. ^ (Inggris) CCC, 2368–2369, Vatican.va 
  43. ^ (Inggris) "Familiaris consortio". 22 November 1981. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  44. ^ (Inggris) Holdren, Alan; Gagliarducci, Andrea. "Full text of Pope's in-flight interview from Manila to Rome". Catholic News Agency. Diakses tanggal 21 January 2015. 
  45. ^ (Inggris) Holdren, Alan. "Pope: 'Responsible parenthood' doesn't mean birth control". Catholic News Agency. Diakses tanggal 21 January 2015. 
  46. ^ (Inggris) Paul VI (25 July 1968). "Humanae Vitae - Encyclical Letter of His Holiness Paul VI on the regulation of birth, 25 July 1968". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-19. Diakses tanggal 6 January 2015. 
  47. ^ (Inggris) Hardon, John (2000). "Endometriosis". Modern Catholic Dictionary. Eternal Life. ISBN 0-9672989-2-X. 
  48. ^ (Inggris) James T. Bretzke, S.J. (26 March 2007). "The Lesser Evil". America Magazine. Diakses tanggal 2015-02-02. 
  49. ^ (Inggris) Guevin, Benedict; Martin Rhonheimer (Spring 2005). "Debate: On the Use of Condoms to Prevent Acquired Immune Deficiency Syndrome". The National Catholic Bioethics Quarterly: 35–48. 
  50. ^ (Inggris) May, William E. (Summer–Fall 2007). "The Theological Significance of Consummation of Marriage, Contraception, Using Condoms to Prevent HIV, and Same-Sex Unions". Josephinum Journal of Theology. Pittsfield, Massachusetts: Catholic Library Association. 14 (2): 207–217. 
  51. ^ a b (Inggris) Jonathan Wynne-Jones (20 November 2010). "The Pope drops Catholic ban on condoms in historic shift". London: The Tepegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-04. Diakses tanggal 20 November 2010. 
  52. ^ (Inggris) Donadio, Rachel; Goodstein, Laurie (23 November 2010). "Vatican Confirms Shift on Condoms as AIDS Prevention". The New York Times. 
  53. ^ (Inggris) CCC, 2353, Vatican.va 
  54. ^ a b c d (Inggris) CCC, 2357-2359, Vatican.va 
  55. ^ (Inggris) Schreck, Alan (1999). The Essential Catholic Catechism. Servant Publications. hlm. 314. ISBN 1-56955-128-6. 
  56. ^ a b (Inggris) Scrimenti, Stephen M., ed. (2005). Catholic Social Ethics. Xulon Press. hlm. 149-150. ISBN 1-597811-19X. 
  57. ^ (Inggris) Kreeft, Peter (2001). Catholic Christianity. Ignatius Press. hlm. 249. ISBN 0-89870-798-6. 
  58. ^ (Inggris) Pope John Paul II (8 October 1980), Interpreting the Concept of Concupiscence, L'Osservatore Romano (retrieved from EWTN), diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-05, diakses tanggal 2017-03-08 
  59. ^ (Inggris) McCormick, Richard A. (1998). John Paul II and Moral Theology. Paulist Press. hlm. 152–155. ISBN 9780809137978. [pranala nonaktif permanen]
  60. ^ a b (Inggris) CCC, 2352, Vatican.va 
  61. ^ (Inggris) Summa Theologica IIª-IIae, q. 154 a. 12 ad 4 (in Latin)
  62. ^ (Inggris) Summa Theologica IIª-IIae, q. 154 a. 11 co. (in Latin)
  63. ^ (Inggris) "FAQ - YOUCAT.us". Diakses tanggal 6 January 2015. 
  64. ^ (Inggris) CCC, 2354, Vatican.va 
  65. ^ (Inggris) CCC, 2355, Vatican.va 
  66. ^ (Inggris) CCC, 2356, Vatican.va 

Pranala luar