Keutamaan Uskup Roma
Keutamaan Uskup Roma atau keutamaan paus adalah doktrin eklesiologis Gereja Katolik tentang sikap hormat dan patuh yang patut diberikan uskup-uskup lain maupun takhta-takhta keuskupan mereka kepada paus. Doktrin ini diterima pada tataran dasarnya oleh Gereja Katolik maupun Gereja Ortodoks Timur, sekalipun kedua Gereja ini tidak sependapat mengenai hakikat keutamaan tersebut. Sarjana Inggris yang juga seorang imam Katolik, Aidan Nichols, mengemukakan di dalam bukunya bahwa "sesungguhnya cuma ada satu perkara hakiki yang memisahkan Gereja Ortodoks Timur dari Gereja Katolik, yaitu perkara keutamaan" Uskup Roma.[1] Peneliti Ortodoks Timur Prancis, Jean-Claude Larchet, mengemukakan di dalam bukunya bahwa dengan adanya kontroversi Filioque, perbedaan-perbedaan di dalam penafsiran doktrin ini sedari dulu hingga sekarang masih menjadi sebab utama skisma di antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur.[2] Bagi sebagian pihak di dalam Gereja Ortodoks Timur, keutamaan Uskup Roma hanyalah keutamaan dalam arti lebih terhormat selaku primus inter pares (orang yang dituakan di antara rekan-rekan sederajat) tanpa kuasa efektif atas Gereja-Gereja lain.[3] Meskipun demikan, teolog-teolog Kristen Ortodoks lainnya memandang keutamaan sebagai kuasa berkewenangan, yaitu ekspresi, manifestasi, dan realisasi kuasa semua uskup dan kesatuan Gereja di dalam diri satu orang uskup.[4] Kepada keutamaan paus, Gereja Katolik menisbatkan "kuasa penuh, tertinggi, dan semesta atas segenap Gereja, kuasa yang senantiasa dapat ia jalankan tanpa kendala apa-apa,"[5] kuasa yang juga dinisbatkan kepada para uskup secara keseluruhan dalam persatuan dengan Sri Paus.[6] Kuasa yang dinisbatkan Gereja Katolik kepada wewenang keutamaan Sri Paus memiliki batasan-batasan yang resmi, sah, dogmatis, dan praktis.[7] Di dalam Dokumen Ravenna yang dikeluarkan pada tahun 2007, wakil-wakil Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik bersama-sama menyatakan bahwa baik Timur maupun Barat menerima keutamaan Uskup Roma pada tataran semesta, tetapi ada perbedaan paham mengenai bagaimana keutamaan tersebut dijalankan maupun mengenai landasan Alkitabiah dan teologisnya.[8] Dogma di Gereja Katolik Latin dan Gereja-Gereja Katolik TimurDogma Katolik tentang keutamaan Uskup Roma termaktub di dalam kitab-kitab hukum kanonik Gereja Katolik, baik Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 (CIC 1983) yang digunakan Gereja Latin maupun Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur tahun 1990 (CCEO) yang digunakan Gereja-Gereja Katolik Timur. Konstitusi dogmatis Lumen gentium yang ditetapkan Konsili Vatikan II tahun 1964 menyatakan bahwa "kuasa keutamaan Sri Paus berdasarkan jabatannya adalah kuasa selaku Wakil Kristus dan gembala segenap Gereja," dan merupakan kuasa "penuh, tertinggi, dan semesta atas segenap Gereja" yang "senantiasa bebas ia jalankan."[9][10] Di dalam Catholic Dictionary, John Hardon menjelaskan bahwa keutamaan Uskup Roma adalah "keutamaan yurisdiksi, yang berarti kepemilikan kuasa penuh dan tertinggi atas pengajaran, pengundang-undangan, dan keimaman di dalam Gereja Katolik, bukan semata-mata dalam urusan iman dan moral melainkan juga dalam urusan tata tertib Gereja dan penyelenggaraan Gereja."[11] Berdasarkan kanon 331 CIC 1983, "Uskup Gereja Roma" adalah "Wakil Kristus" sekaligus "gembala Gereja semesta di muka bumi."[12] Di dalam New commentary on the Code of Canon Law, Knut Walf mencermati bahwa istilah "Uskup Gereja Roma" hanya terdapat di dalam kanon ini, sementara istilah yang umum dipakai di dalam CIC 1983 adalah Pontif Roma.[13] Di dalam Code of Canon Law Annotated, Ernest Caparros dll. mengulas bahwa kanon ini berlaku atas semua orang pribadi maupun kelompok umat beriman di dalam Gereja Latin, dari semua ritus dan jenjang hierarki, "bukan hanya dalam urusan iman dan moral, melainkan juga dalam segala urusan yang berkaitan dengan tata tertib dan penyelenggaraan Gereja di seluruh dunia."[14] Di dalam Enchiridion symbolorum, Heinrich Denzinger, Peter Hünermann, dll. menyatakan bahwa Kristus membentuk Gereja bukan sebagai beberapa komunitas berlainan,[15] melainkan sebagai komunitas-komunitas yang dipersatukan oleh persekutuan paripurna dengan Uskup Roma dan melalui pernyataan iman yang sama dengan Uskup Roma.[16] Uskup Roma adalah subyek wewenang tertinggi atas Gereja-Gereja Katolik Timur sui iuris.[17] Menurut kanon 45 CCEO, "berdasarkan jabatannya" Uskup Roma memiliki "kuasa atas segenap Gereja" dan "keutamaan kuasa biasa atas semua eparki dan pengelompokannya" di dalam tiap-tiap Gereja Katolik Timur. Melalui jabatan "gembala tertinggi Gereja," Uskup Roma bersekutu dengan uskup-uskup lain dan dengan segenap Gereja, serta memiliki hak untuk memutuskan apakah wewenang tersebut dijalankan secara pribadi atau secara kolegial.[18] "Keutamaan atas segenap Gereja" ini mencakup keutamaan atas batrik-batrik dan uskup-uskup eparki Katolik Timur,[19] atas penyelenggaraan lembaga-lembaga hidup bakti,[20] dan atas urusan kehakiman.[21] Keutamaan Uskup Roma juga termaktub di dalam kanon 218 sampai kanon 221 Kitab Hukum Kanonik tahun 1917 (CIC 1917).[22] Pengembangan doktrinGereja Katolik menegakkan doktrin keutamaan paus berlandaskan keutamaan di antara para rasul yang dianugerahkan Yesus kepada Petrus, sebagaimana diriwayatkan di dalam nas Matius 16:16–19ː[23]
Demikian pula di dalam nas Yohanes 21:15–17:
Sekalipun mengakui bahwa "Perjanjian Baru tidak memuat catatan eksplisit apa pun mengenai pewarisan kepemimpinan Petrus, dan pewarisan wewenang rasuli pada umumnya pun tidak benar-benar jelas,"[24] Gereja Katolik beranggapan bahwa doktrinnya memiliki sejarah perkembangannya, dan bahwa ajarannya tentang berbagai pokok bahasan semisal Tritunggal, keilahian Kristus, dan kemanunggalan dwikodrat Kristus di dalam satu pribadi, berkembang sebagai hasil ikhtiar mengulik konsekuensi-konsekuensi dari kebenaran terwahyu mula-mula yang pada awalnya tampak samar. "Berkat pertolongan Roh Kudus, pemahaman akan kenyataan-kenyataan maupun perkataan-perkataan warisan iman dapat bertumbuh di dalam kehidupan Gereja 'melalui perenungan dan kajian umat beriman yang menyelami perkara-perkara ini di dalam hati mereka', khususnya 'telaah teologis [yang] memperdalam pengetahuan akan kebenaran terwahyu.'"[25] Oleh karena itu, merupakan suatu kekeliruan jika berharap menemukan doktrin keutamaan paus yang sudah matang sempurna pada abad-abad pertama, sehingga gagal menginsafi kenyataan sejarah Gereja.[26] Ketokohan paus selaku pemimpin Gereja sedunia berkembang seiring bergulirnya waktu, karena ketokohan uskup selaku pemimpin Gereja lokal tampaknya muncul sesudah zaman rasul-rasul.[a] Bilamana berwacana tentang doktrin keutamaan paus, Kardinal John Henry Newman mengemukakan pandangan bahwa Kitab Suci Kristen, yang tidak berisi jawaban-jawaban siap-pakai bagi pertanyaan-pertanyaan semisal ada tidaknya pengampunan bagi dosa-dosa pascabaptis, dan perlu tidaknya kanak-kanak dibaptis, sedikit demi sedikit menjadi lebih jelas seiring dengan terjadinya beragam peristiwa. Pemikirannya ia rangkum dengan kalimat berikut ini:
Para penulis semisal Nikolay Afanásiev dan Alexander Schmemann telah mengemukakan di dalam buku mereka bahwa frasa "memimpin di dalam agape", yang dipakai untuk menyifatkan Gereja Roma di dalam surat Ignasius Uskup Antiokhia kepada jemaat di Roma pada awal abad ke-2, mengandung definisi keutamaan-semesta Gereja Roma.[29] Meskipun demikian, penulis Katolik Klaus Schatz mengingatkan bahwasanya merupakan suatu kekeliruan jika surat ini dan bahkan Surat Pertama Klemens yang lebih tua lagi (nama Klemens baru ditambahkan kemudian hari) dipahami sebagai pernyataan-pernyataan ajaran Katolik yang sudah matang tentang keutamaan paus, yang dengannya Gereja Roma mencampuri urusan-urusan Gereja Korintus, menasihati Gereja Korintus dengan nada berwibawa, bahkan berbicara atas nama Tuhan.[30] Kemudian hari, barulah ungkapan Ignasius Uskup Antiokhia tersebut dapat ditafsirkan, sebagaimana yang dimufakati oleh wakil-wakil Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, bermakna bahwa "Roma, selaku Gereja yang 'memimpin di dalam cinta kasih' seturut frasa Santo Ignasius Uskup Antiokhia (Kepada Jemaat di Roma, Prakata), menduduki tempat pertama di dalam taxis, dan bahwa oleh karena itu Uskup Roma adalah protos di antara para batrik".[31] Mufakat yang sama menandaskan sebagai berikut:
Peran Paulus dalam pendirian Gereja RomaIreneus Uskup Lyon (Tahun 189) mengemukakan di dalam karya tulisnya bahwa Petrus dan Paulus mendirikan Gereja di Roma dan mengangkat Linus menjadi uskup, cikal bakal suksesi takhta Keuskupan Roma.[b] Meskipun bukan keduanya yang membawa masuk agama Kristen ke Roma, "kedatangan, karya pelayanan, dan teristimewa kemartiran Petrus dan Paulus merupakan peristiwa-peristiwa semifinal yang sungguh-sungguh membentuk Gereja Roma. Dari zaman kedua rasul inilah, bukan sebelumnya, bermula suatu suksesi teratur uskup-uskup yang ditahbiskan secara layak."[34] Baca juga
Keterangan
Referensi
Pranala luar
Templat:Ritual dan simbol kepausan Templat:Sejarah Gereja Katolik |