Dalam biara-biara keabasan Gereja Katolik (Latin maupun Timur), Ortodoks Timur, Koptik, dan Anglikan, cara memilih, kedudukan, hak, dan kewenangan seorang abdis pada umumnya setara dengan cara memilih, kedudukan, hak, dan kewenangan seorang abas.[3] Seorang abdis sekurang-kurangnya harus berumur 40 tahun dan telah menjadi biarawati selama 10 tahun.[4] Dalam Gereja Katolik, syarat umur minimum berubah-ubah dari waktu ke waktu, berkisar dari 30 sampai 60 tahun. Gereja Katolik juga hanya mensyaratkan seorang abdis untuk sekurang-kurangnya telah menjadi biarawati selama 8 tahun. Bilamana sama sekali tidak ada biarawati yang memenuhi syarat-syarat itu, maka batasannya diturunkan menjadi sekurang-kurangnya berumur 30 tahun dan telah menjadi biarawati selama 5 tahun bagi mereka yang dinilai "berkelakuan baik" oleh superiornya.[1] Seorang perempuan yang lahir di luar nikah, bukan perawan, pernah menjalani laku silih yang tidak sehat di muka umum, seorang janda, serta tunanetra atau tunarungu, biasanya tidak dicalonkan menjadi seorang abdis, kecuali atas izin Takhta Suci.[1] Jabatan abdis bersifat elektif, dipilih melalui pemungutan suara secara tertutup oleh para biarawati dalam komunitas yang bersangkutan.[5] Sama seperti abas, bilamana sudah dikukuhkan oleh Takhta Suci, seorang abdis secara khidmat dilantik menduduki jabatannya dalam sebuah upacara pemberkatan resmi. Pemberkatan resmi ini dilakukan oleh uskup dari keuskupan tempat biaranya berlokasi, namun dapat pula dilakukan oleh seorang abas atau uskup lain atas izin khusus. Tidak seperti abas, seorang abdis tidak menerima mitra ketika dilantik. Abdis hanya menerima cincin, tongkat gembala, serta salinan peraturan tarekatnya.[1][6] Menurut tradisi, abdis juga mengenakan salib dada di atas seragam biaranya sebagai lambang jabatan, namun tetap mengenakan suatu bentuk modifikasi dari seragam biaranya, dan karena tidak ditahbiskan—perempuan tidak dapat ditahbiskan—maka ia tidak dapat mengenakan vestimentum atau seragam ibadat dalam peribadatan.[1] Seorang abdis menjabat untuk seumur hidup, kecuali di Italia dan beberapa pulau di sekitarnya.[1]
Tugas dan tanggung jawab
Sama seperti abas, seorang abdis tergolong superior utama berdasarkan hukum kanon, setara dengan abas atau uskup (kaum pria tertahbis dalam hierarki Gereja yang memiliki, berdasarkan hak jabatannya, jurisdiksi eksekutif atas suatu bangunan, atau suatu wilayah keuskupan, atau sekelompok orang yang hidup berguyub maupun tidak berguyub, yakni entitas-entitas yuridis menurut hukum Gereja). Abdis menerima kaul para biarawati di biaranya; menerima calon-calon biarawati ke dalam novisiat tarekatnya; mengirim para biarawati untuk belajar; mengutus mereka untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan umat atau karya misi, atau untuk melaksanakan pekerjaan atau membantu—sejauh yang diizinkan oleh hukum kanon dan hukum sipil—administrasi dan pelayanan sebuah paroki atau keuskupan (tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan ini dapat berada di dalam maupun di luar wilayah paguyuban mereka). Abdis memiliki wewenang penuh dalam administrasi biaranya. Meskipun demikian, ada beberapa batasan penting. Abdis tidak boleh melayani sakramen, tugas yang dikhususkan bagi uskup, imam, dan diakon (klerus), yakni kaum tertahbis (bahasa Latin: Sacri Ordines). Abdis boleh mengatur agar seorang klerus tertahbis dapat membantu melatih dan menerima beberapa biarawati, bilamana diperlukan, sebagai pelayan altar, pelayan tak lazim komuni suci, atau lektor, yakni semua pelayanan yang kini terbuka bagi kaum tak tertahbis. Abdis tidak boleh menjadi saksi nikah kecuali atas reskrip khusus. Abdis tidak boleh melayani sakramen rekonsiliasi, mengurapi orang sakit, atau melaksanakan tugas seorang selebran atau konselebran Misa yang tertahbis (atas dasar jabatan dan pelatihan dan penetapan, seorang abdis boleh, bilamana diperlukan, bertugas sebagai pelayan altar, lektor, penjaga pintu, portir, atau pelayan tak lazim Komuni Suci, dan bilamana diperlukan, sebagai pewara).[1] Abdis boleh memimpin ibadat harian yang wajib diamalkan dalam paguyubannya, memberi wejangan tentang Kitab Suci bagi paguyubannya, dan melakukan pemberkatan-pemberkatan tertentu yang tidak dikhususkan untuk dilakukan oleh klerus. Di samping itu, abdis tidak boleh secara tetap menyampaikan homili atau mewartakan Injil dalam Misa. Karena dalam Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortodoks Oriental, seorang abdis tidak ditahbiskan menjadi uskup, maka ia tidak berwenang menahbiskan orang lain, dan tidak pula dapat bertindak sesuai kewenangan jabatannya berdasarkan hukum kanon di luar gedung dan wilayah biaranya (meskipun demikian, para biarawati dari tarekat yang tidak tertutup, non-kontemplatif, yang tinggal di wisma atau biara tetapi berpartisipasi dalam urusan-urusan eksternal biara, boleh membantu bilamana diperlukan oleh uskup, klerus, dan awam keuskupan setempat, dalam pelayanan-pelayanan pastoral serta fungsi-fungsi administratif dan non-administratif tertentu di gereja-gereja atau dalam program-program yang tidak disyaratkan untuk dilakukan oleh seorang rohaniwan tertahbis atau pria berstatus klerus).[1] Ada pula situasi-situasi luar biasa, bilamana atas dasar hak istimewa apostolik, abdis-abdis tertentu dianugerahi hak-hak dan kewajiban-kewajiban melebihi biasanya, misalnya abdis Biara SistersienSanta Maria la Real de las Huelgas di dekat Burgos, Spanyol. Hak-hak istimewa juga dianugerahkan kepada abdis tarekat Sistersien di Conversano, Italia. Ia dianugerahi wewenang untuk menunjuk sendiri vikaris-jenderalnya, memilih dan menyetujui imam-imam yang akan mendengarkan pengakuan dosa para biarawati, serta berhak menjalankan istiadat menerima penghormatan di muka umum dari para klerus bawahannya. Istiadat ini berlanjut sampai beberapa tugas abdis dimodifikasi akibat keberatan yang diajukan ke Roma oleh para klerus itu. Akhirnya pada 1750, istiadat penghormatan di muka umum ini dihapuskan.[1]
Sejarah
Dalam sejarah, beberapa abdis biara-biara Keltik mengepalai gabungan biara pria dan biara wanita.[3] Abdis yang paling tersohor adalah Santa Brigidia dari Kildare yang memimpin pendirian biara di Kildare, Irlandia. Adat Keltik ini terbawa-bawa bersama misi biara Keltik ke Prancis, Spanyol, dan bahkan sampai ke Roma. Pada 1115, Robert, pendiri Biara Fontevraud di dekat Chinon dan Saumur, Prancis, mempercayakan seluruh wewenang pemerintahan tarekatnya, baik atas biarawan maupun biarawati, kepada seorang superior perempuan.[3][7]
Dalam gereja-gereja Lutheran, gelar abdis (bahasa Jerman: Äbtissin) pada beberapa kasus tertentu (misalnya di Kloster Itzehoe) tetap dipertahankan sebagai gelar bagi para pemimpin biara keabasan wanita yang sejak Reformasi Protestan tetap berfungsi sebagai biara atau wisma (bahasa Jerman: Stifte).[3] Jabatan abdis di biara-biara ini tetap dipertahankan dan hanya sekadar beralih mazhab keyakinan dari Katolik ke Lutheran. Biara pertama yang melakukan peralihan semacam ini adalah Biara Quedlinburg. Abdis Katolik terakhir biara ini mangkat pada 1514.[1] Biara-biara atau wisma-wisma ini merupakan yayasan-yayasan persekolahan, yang menyediakan pemondokan dan sumber penghasilan bagi wanita-wanita lajang, lazimnya dari kalangan ningrat, yang disebut Kanonissin, Stiftsdame, atau Kapitularin. Jabatan abdis cukup terpandang dalam masyarakat, dan pada masa lampau, kadang-kadang dijabat oleh putri-putri dari wangsa yang sedang berkuasa.[3] Sampai dengan pembubaran Kekaisaran Romawi Suci dan mediatisasi sekian banyak fief (wilayah pembayar upeti) kekaisaran yang lebih kecil oleh Napoleon, para abdis injili di Quedlinburg secara ex-officio juga merangkap sebagai kepala negara reichsfreiheit itu. Abdis Penguasa Quedlinburg yang terakhir adalah Sofia Albertina, Putri Swedia.[8]
Dalam lingkungan Hradčany di Praha terdapat sebuah lembaga Katolik yang dipimpin seorang perempuan bergelar abdis. Lembaga ini didirikan pada 1755 oleh Maria Theresia, dan menurut tradisi bertanggung jawab atas hal-ikhwal penobatan Ratu Bohemia. Pengemban jabatan abdis ini haruslah seorang Adipatni Utama Austria.[1]
Pada Abad Pertengahan, para abdis diketahui pernah berusaha melanggar aturan-aturan yang membatasi wewenang mereka dalam bidang kerohanian. Ada abdis yang melakukan pemberkatan, memberikan penitensi, membuat tanda salib di dahi orang, bahkan melayani sakramen. Sri Paus menggolongkan tindakan-tindakan semacam ini sebagai perbuatan terlarang yang "belum pernah dilakukan sebelumnya, sangat tidak terpuji, dan benar-benar tidak masuk akal," serta menambahkan pula bahwa "abdis-abdis ini terbukti telah melebih-lebihkan wewenang rohani mereka secara main-main."[1] Ada sekitar 200 abdis dalam Gereja Katolik Roma sekarang ini.[6] Biara keabasan wanita yang tertua di Jerman adalah Kloster Sankt Marienthal yang menampung para biarawati tarekat Sistersien, di dekat Ostritz, yang didirikan pada permulaan abad ke-13.
^ abcde Satu atau lebih kalimat sebelum ini menyertakan teks dari suatu terbitan yang sekarang berada pada ranah publik: Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Abbess". Encyclopædia Britannica. 1 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 11.
Henneberry, Thomas E. (1997). "abbess". Dalam Johnston, Bernard. Collier's Encyclopedia. I: A to Ameland (edisi ke-1st). New York, NY: P. F. Collier. ISBN1-5716-1093-6. LCCN96084127.
Oestreich, Thomas (1907). "Abbess". Dalam Herbermann, Charles George; Pace, Edward A.; Fallen, Conde B.; Shahan, Thomas J.; Wynne, John J. Catholic Encyclopedia. 1. New York, NY: Robert Appleton Company. LCCN07071606.