Frater adalah sebutan bagi anggota tarekat/ordo mendikan yang terbentuk pada abad ke-12 atau ke-13. Sesuai dengan pengertiannya, frater dicirikan dengan hidup memiskinkan diri dan berkelana. Kegiatan para frater dijalankan di bawah yurisdiksi seorang superior jenderal, dari sikap setia pada satu biara tertentu yang menjadi ciri khas ordo monastik lama dan yang diresmikan melalui kaul stabilitas. Tarekat-tarekat fakir yang terkemuka adalah Dominikan, Fransiskan, Agustinian, dan Karmelit.[1]
Frater boleh saja berasal dari kalangan rohaniwan (uskup, imam, dan diakon) maupun bruder. Oleh karena itu, istilah frater berbeda dari istilah biarawan. Frater terpanggil untuk menjalankan nasihat Injil (kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan) sambil berbakti bagi masyarakat, bukan dengan bertarak dan beribadat dalam keterkucilan. Jika para rahib hidup dalam paguyuban swasembada, maka para frater berkarya di tengah-tengah masyarakat awam dan hidup dari derma atau sumbangsih lain.[3] Seorang rahib atau rubiah mengikrarkan kaul-kaulnya dan mengikatkan diri pada suatu paguyuban tertentu di suatu tempat tertentu. Para frater mengikatkan diri pada suatu paguyuban yang tersebar dalam lingkup geografis yang lebih luas yang disebut provinsi, dan oleh karena itu lazim berpindah-pindah tempat tinggal, dari satu wisma paguyuban ke wisma paguyuban yang lain dalam lingkup provinsi mereka.
Dalam Gereja Katolik Roma, ada dua golongan tarekat para frater atau tarekat fakir: empat "tarekat besar" dan "tarekat-tarekat kecil".
Tarekat-tarekat besar
Empat tarekat besar dibahas dalam Konsili Lyon II (1274), yakni:
Karmelit, didirikan ca. 1155.[4] Tarekat ini juga terkenal dengan julukan "Frater-Frater Putih" karena mengenakan mantel putih menutupi habit cokelat mereka. Tarekat ini mendapat persetujuan Takhta Suci dari Paus Honorius III pada 1226 dan kelak juga dari Paus Inosensius IV pada 1247. Tarekat Karmelit didirikan murni sebagai sebuah tarekat kontemplatif, tetapi kelak menjadi tarekat fakir pada 1245. Ada dua golongan dalam tarekat Karmelit, yakni golongan penganut tatanan kuno (O.Carm.) dan golongan Karmelit Tak Berkasut (O.C.D.), yang didirikan oleh Santa Teresa dari Avila pada abad ke-16.
Dominikan, didirikan ca. 1216. Tarekat ini juga terkenal dengan julukan "Frater-Frater Pengkhotbah", atau "Frater-Frater Hitam", karena mengenakan mantel (cappa) hitam menutupi habit putih mereka. Tarekat Dominikan didirikan oleh Santo Dominikus dan mendapat persetujuan Takhta Suci dari Paus Honorius III pada 1216 sebagai "Ordo Praedicatorum" (Tarekat Pewarta) yang mengikuti Regula Santo Agustinus. Tarekat ini menjadi tarekat fakir pada 1221.
Agustinian, didirikan pada 1244 ("Serikat Kecil") dan diperbesar pada 1256 ("Serikat Besar"). Tarekat ini juga terkenal dengan julukan "Petapa-Petapa Santo Agustinus", atau "Frater-Frater Agustin". Regula tarekat ini didasarkan pada karya-karya tulis Santo Agustinus dari Hipo. Tarekat Agustinian dibentuk dari gabungan bermacam-macam paguyuban petapa sebagai sebuah tarekat fakir oleh Paus Inosensius IV pada 1244 (Serikat Kecil). Paguyuban-paguyuban lain digabungkan ke dalam tarekat ini oleh Paus Aleksander IV pada 1256 (Serikat Besar).
Istilah frater juga digunakan untuk menyebut "calon imam", atau orang-orang yang sedang menjalani pendidikan di seminari tinggi untuk menjadi imam Gereja Katolik, baik imam diosesan maupun imam tarekat. Untuk menjadi imam, seorang frater harus menempuh sekurang-kurangnya delapan tahun pendidikan dan pelatihan, ditambah seorang frater harus ditahbiskan sebagai diakon terlebih dahulu. Terdapat enam tahapan yang harus dilalui oleh frater untuk dapat ditahbiskan menjadi imam.[5][6]
Orientasi rohani. Para frater mempelajari segala hal mengenai kerohanian Katolik, sehingga mereka terlatih untuk hidup rohani. Masa orientasi ini dijalani oleh frater sekurang-kurangnya satu tahun di seminari tinggi.
Pendidikan sarjana. Para frater berkuliah di perguruan tinggi seperti mahasiswasarjana pada umumnya, dengan waktu untuk menyelesaikan studi kira-kira empat tahun. Pada umumnya, mereka dituntut untuk mengambil jurusan filsafat atau sejenisnya.
Orientasi pastoral. Para frater ditugaskan untuk melayani di tempat-tempat tertentu yang ditunjuk oleh keuskupan atau tarekat yang diikuti. Para frater menyelesaikan orientasi ini dalam waktu sekurang-kurangnya satu tuhan.
Pendidikan pascasarjana. Para frater mengambil program pascasarjana, sekurang-kurangnya program doktoral, seperti mahasiswa pascasarjana pada umumnya, dengan waktu untuk menyelesaikan studi kira-kira dua tahun. Sangat disarankan bagi para frater untuk mengambil program studi teologi atau sejenisnya.
Pendidikan pastoral atau pradiakonat. Para frater ditugaskan untuk melayani di dalam keuskupan atau di dalam provinsi dari tarekat masing-masing, umumnya pada suatu paroki. Para frater juga menjadi calon diakon yang mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan diakonat. Para frater menempuh pendidikan ini selama sekurang-kurangnya setahun.
Tahbisan diakonat. Frater yang sudah siap kemudian ditahbiskan menjadi diakon oleh uskup. Setelah itu, para diakon ditugaskan untuk melayani paroki tertentu selama sekurang-kurangnya enam bulan sebelum diizinkan untuk menerima tahbisan imamat.[7]