Kata abbas, yang berarti bapak, adalah sebuah gelar yang diberikan kepada pimpinan sebuah biara dalam agama Kristen. Abbas juga dapat menjadi gelar kehormatan yang dianugerahkan kepada rohaniwan yang bukan seorang kepala biara. Abbas wanita disebut abdis.
Asal-usul
Gelar abbas berasal dari biara-biara di Mesir dan Syria, selanjutnya menyebar ke seluruh kawasan Timur Mediterania, dan dengan cepat menjadi umum digunakan dalam semua bahasa sebagai sapaan kepada seorang kepala biara. Awalnya kata abbas digunakan sebagai sapaan hormat kepada semua biarawan, tetapi kemudian dibatasi oleh hukum kanon untuk digunakan menyapa para "superior" tertentu yang berstatus imam. Gelar ini pernah pula digunakan untuk menyapa imam-imam tertentu, seperti Abbas palatinus ('abbas istana') di lingkungan monarki Frank, dan Abbas castrensis ('abbas perkemahan') imam-imam kapelan di lingkungan istana dan angkatan bersenjata para penguasa Merovingian dan Carolingian. Gelar "abbas" kemudian digunakan secara umum dalam struktur kepemimpinan monastik Barat yang juga mencakup para imam.
Di Mesir, negeri asal monastisisme, yurisdiksi abbas, atau arkimandrit, tidak kaku batasannya. Kadang-kadang dia memimpin satu komunitas saja, kadang-kadang beberapa komunitas yang masing-masing memiliki abbasnya sendiri. Santo Yohanes Kasianus pernah berkisah tentang seorang abbas dari Thebaid yang memimpin 500 orang biarawan. Dalam Peraturan Santo Benediktus, yang hingga reformasi Cluny menjadi norma di Barat, abbas memiliki yurisdiksi atas satu komunitas saja. Peraturan yang tak dapat diganggu-gugat itu kerap dilanggar, tetapi sejak pembentukan struktur kepemimpinan Biara Cluny barulah jelas diakui gagasan mengenai adanya seorang abbas tertinggi, yang memiliki yurisdiksi atas seluruh biara dari suatu ordo.
Biarawan, menurut aturan, adalah umat awam, demikian pula halnya dengan abbas. Untuk menerima sakramen-sakramen, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan, abbas dan para biarawannya diperintahkan untuk pergi ke gereja terdekat. Aturan ini terbukti tidak memuaskan bilamana sebuah biara berlokasi di gurun atau di tempat yang jauh dari kota, sehingga perlu ada beberapa biarawan yang ditahbiskan. Inovasi ini tidak begitu saja dengan mudah diterima, kehormatan gerejawi dianggap tidak sejalan dengan kehidupan rohani yang lebih tinggi, tetapi sebelum abad ke-5 berakhir, setidaknya di Timur, sepertinya para abbas hampir seluruhnya telah ditahbiskan menjadi diakon, jika bukan menjadi imam. Perubahan ini lebih lambat menyebar di Barat, di mana jabatan abbas umumnya di tempati oleh umat awam sampai akhir abad ke-7. Meskipun berstatus awam, kepemimpinan gerejawi yang dijalankan oleh para abbas dibuktikan oleh kehadiran dan pemberian suara mereka dalam konsili-konsili gerejawi. Konsili Konstantinopel I, pada 448 Masehi, dihadiri 23 arkimandrit atau abbas, dan 30 uskup.
Konsili Nicaea II, pada 787 Masehi, mengakui hak para abbas untuk menahbiskan biarawan mereka menjadi pejabat gereja rendah di bawah jenjang diakonat, sebelumnya hanya uskup yang memiliki hak tersebut.
Mula-mula para abbas tunduk pada yurisdiksi episkopal, dan memang terus demikian adanya di Barat sampai abad ke-11. Codex Yustinianus (lib. i. tit. iii. de Ep. leg. xl.) menetapkan abbas di bawah pengawasan episkopal. Kasus pertama yang tercatat mengenai dikecualikannya seorang abbas dari kendali episkopal adalah Faustus, abbas dari Lerins, di konsili Arles, pada 456 Masehi; namun tuntutan-tuntutan dan keberatan-keberatan para uskup, asal-muasal dari penolakan terhadap kendali episkopal tersebut, lebih daripada arogansi para abbas, menjadikannya makin sering terjadi, dan pada abad ke-6, praktik pemisahan sebagian atau keseluruhan rumah-rumah rohani dari kendali episkopal, dan menjadikannya bertanggungjawab langsung kepada paus, memperoleh dukungan dari Paus Gregorius Agung. Pengecualian-pengecualian yang diperkenalkan dengan tujuan baik ini, makin menjadi-jadi menjelang abad ke-12, sehingga menciptakan suatu imperium in imperio, dan menggeser uskup dari seluruh otoritas atas pusat-pusat utama dari pengaruh dalam keuskupannya. Pada abad ke-12 para abbas di Fulda menyatakan diri lebih tinggi kedudukannya daripada uskup agungCologne. Kedudukan para abbas makin lama makin menghampiri kedudukan para uskup, dan tanpa menghiraukan larangan konsili-konsili awal serta protes-protes dari St. Bernardus serta pihak-pihak lain, mereka mulai mengadopsi insignia episkopal yakni mitra, cincin, sarung tangan dan kasut. Selama ini diyakini bahwa hak mengenakan mitra kadang kala dianugerahkan sri paus kepada para abbas sejak sebelum abad ke-11, akan tetapi dokumen-dokumen yang menjadi dasar klaim tersebut kurang otentik (J. Braun, Liturgische Gewandung, hal. 453). Dokumen pertama yang tak terbantahkan adalah bulla yang dikeluarkan Paus Aleksander II pada 1063 yang menganugerahkan hak menggunakan mitra kepada Egelsinus, abbas dari biara St. Augustinus di Canterbury. Para abbas bermitra di Inggris adalah abbas-abbas dari Abingdon, Biara St. Albans, Bardney, Battle, Biara Bury St. Edmunds, Biara St. Augustine di Canterbury, Colchester, Croyland, Evesham, Glastonbury, Gloucester, Biara St. Benet di Hulme, Hyde, Malmesbury, Peterborough, Ramsey, Biara Reading, Selby, Shrewsbury, Tavistock, Biara Thorney, Westminster, Winchcombe, Biara St. Mary di York. Dari antara mereka kedudukan tertinggi mula-mula diberikan kepada abbas di Glastonbury, sampai pada 1154 Masehi Paus Adrian IV (Nicholas Breakspear) menganugerahkan kedudukan tersebut kepada abbas dari St. Alban, yakni biara asalnya dahulu. Posisi nomor dua di bawah abbas biara St. Alban di tempati oleh abbas biara Westminster. Untuk membedakan abbas dari uskup, diatur agar mitra mereka dibuat dari bahan yang lebih murah harganya, dan tidak boleh dihiasi dengan emas (aturan ini serta-merta seluruhnya dilanggar), serta ujung lengkungan di puncak tongkat gembala mereka melengkung ke dalam bukannya ke luar, yang menunjukkan bahwa yurisdiksi mereka terbatas di dalam biara mereka sendiri.
Pengadopsian insignia (pontificalia) episkopal tertentu oleh para abbas diikuti oleh penerobosan ke dalam fungsi-fungsi episkopal, yang secara khusus dilindungi namun gagal oleh Konsili Lateran I, 1123 Masehi. Para abbas di Timur, jika tergolong dalam jabatan imam dan mendapat persetujuan uskup, maka diizinkan oleh Konsili Nicea II, 787 Masehi, untuk melakukan upacara pencukuran kepala dan diperbolehkan menahbiskan orang menjadi lektor (pembaca Alkitab dalam liturgi); namun sedikit demi sedikit, demikian pula di Barat, para abbas mulai menuntut jabatan yang lebih tinggi, hingga akhirnya pada tahun 1489 Masehi diizinkan oleh Paus Innocentius IV untuk menahbiskan orang baik menjadi subdiakon maupun diakon. Tentunya kapan pun dan di mana pun mereka berwenang melaksanakan upacara penerimaan dan pengenaan seragam kepada anggota-anggota baru biara mereka.
Bilamana terjadi kekosongan jabatan abbas, uskup dari keuskupan setempat memilih abbas dari antara para angota biara, tetapi hak pemilihan itu dialihkan dari uskup kepada para biarawan itu sendiri, uskup hanya tinggal mengkonfirmasikan hasil pemilihan dan memberkati abbas baru. Bilamana sebuah biara tidak tunduk pada yurisdiksi uskup setempat, maka konfirmasi dan pemberkatan harus dilakukan oleh sri paus sendiri, biara tersebut harus menutupi semua biaya perjalanan abbas barunya ke Roma. Untuk menjadi abbas seseorang mesti berusia sekurang-kurangnya 25 tahun, bukan anak haram, anggota dari biara yang bersangkutan, kecuali biara tersebut tidak memiliki calon yang memenuhi syarat, sehingga diperbolehkan memilih abbas dari biara lain, taat pada semua peraturan biara, dan mampu mengatur biarawan-biarawan lain, orang yang belajar bagaimana memerintah dengan cara menjalankan ketaatan. Dalam beberapa kasus pengecualian seorang abbas diperbolehkan menentukan penggantinya. Cassian meriwayatkan seorang abbas di Mesir yang melakukan hal ini; dan pada waktu selanjutnya ada contoh yang sama dari kasus St. Bruno. Para paus dan kepala negara sedikit demi sedikit menerobos hak-hak para biarawan, hingga di Italia sri paus mengambil alih hak untuk mengangkat semua abbas, dan raja di Prancis, kecuali untuk biara Cluny, Premontre dan beberapa biara lain, berhak mengangkat seseorang menjadi abbas. Jabatan diemban seumur hidup, kecuali abbas yang bersangkutan diberhentikan oleh para pimpinan ordonya, atau oleh sri paus atau uskup jika dia bertanggung jawab langsung kepada mereka.
Upacara pemberkatan resmi seorang abbas pada abad pertengahan adalah seperti yang diatur dalam consuetudinarius Abingdon. Abbas yang baru terpilih harus menanggalkan alas kakinya di pintu gereja, dan memasuki gereja tanpa alas kaki untuk menemui para anggota biara yang kemudian mengikutinya dalam suatu prosesi. Setelah melewati tempat umat, dia harus berlutut dan berdoa pada anak tangga paling atas dari tempat para rohaniwan, di mana dia diperkenalkan kepada para rohaniwan oleh uskup atau wakil uskup, dan didudukkan pada kursi yang telah disediakan baginya. Selanjutnya para biarawan berlutut dan menciumi tangannya, lalu bangkit dan menciumi mulutnya, abbas menggenggam tongkat komandonya. Kemudian dia mengenakan kembali alas kakinya di sakristi, kemudian diselenggarakan suatu pertemuan, lalu uskup atau wakilnya menyampaikan khotbah yang sesuai.
Kuasa abbas bersifat paternal namun absolut, dan dibatasi oleh hukum kanon. Salah satu tujuan utama dari hidup-membiara adalah pemurnian dari ego dan egoisme, dan ketaatan dianggap sebagai jalan menuju kesempurnaannya. Melaksanakan perintah abbas merupakan suatu tugas suci, dan bahkan melakukan sesuatu tanpa perintahnya kadang-kadang dianggap sama dengan melangkahi wewenangnya. Contoh-contoh dari ketaatan para biarawan Mesir pada perintah pemimpin mereka, yang dipuji-puji sebagai suatu tindakan mulia oleh orang-orang yang menganggap meniadakan segenap kehendak pribadi sebagai suatu tujuan, diriwayatkan dengan rinci oleh Cassian dan tokoh-tokoh lainnya, misalnya tentang seorang biarawan yang membasahi sebatang tongkat kering, hari demi hari, selama berbulan-bulan, atau berusaha memindahkan sebongkah besar batu batu karang melebihi tenaga yang dimilikinya.
Informasi umum
Sebelum zaman modern, abbas diperlakukan dengan sangat hormat oleh para biarawan yang dipimpinnya. Bilamana dia muncul dalam gereja atau ruangan biara, seluruh hadirin bangkit dan membungkukkan badan. Surat-suratnya diterima sambil berlutut, sama seperti surat-surat dari paus dan raja. Tidak seorangpun biarawan yang boleh duduk di hadapannya atau meninggalkannya tanpa seizinnya, pencerminan etiket hirarkis keluarga dan masyarakat. Tempat paling terhormat diperuntukkan baginya, baik dalam gereja maupun di meja makan. Dalam Gereja Timur, abbas diperintahkan untuk makan bersama-sama para biarawan lain. Di Gereja Barat, Peraturan Santo Benediktus mengatur baginya sebuah meja tersendiri, di mana dia dapat menjamu tamu dan orang-orang asing. Hal ini membuka pintu bagi hidup mewah, oleh karena itu, konsili Aachen, para 817 Masehi, mengeluarkan dekret yang mengharuskan abbas duduk makan di refter, dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari para biarawan, kecuai bila dia mesti menjamu seorang tamu. These ordinances proved, however, generally ineffectual to secure strictness of diet, and contemporaneous literature abounds with satirical remarks and complaints concerning the inordinate extravagance of the tables of the abbots. Bilamana abbas masuk ke refter untuk bersantap, para pendampingnya sudah siap dengan perlengkapan makan, jika diperlukan seorang pelayan akan membantu mereka. Bilamana para abbas bersantap di dalam ruang pribadinya, Peraturan St. benediktus mewajibkan mereka untuk mengundang serta para rahib untuk makan bersama, dan untuk itu perlu disediakan ruangan khusus, di saat seperti itu para tamu tidak diperbolehkan berdebat, bergurau, dan bergosip.
Praktik modern
Dalam Gereja Katolik Roma, para abbas masih dipilih oleh para biarawan dari sebuah biara untuk memimpin mereka sebagai superior rohani mereka. Sebuah biara harus mendapatkan status sebagai biara dari paus, dan biara-biara yang demikian mendapatkan statusnya setelah memperlihatkan suatu tingkat stabilitas—jumlah tertentu dari biarawan yang mengucapkan kaul, jumlah tertentu dari lamanya berdiri, tingkat kemapanan tertentu dalam hal ekonomi, panggilan dan peraturan. Sebelum mencapai taraf tersebut, sebuah biara hanya merupakan sebuah priori, dikepalai seorang prior yang bertindak selaku superior namun tanpa derajat otoritas legal yang sama dengan yang dimiliki seorang abbas.
Abbas adalah seorang imam, dipilih oleh para biarawan dari antara para biarawan yang telah mengikrarkan kaul-kekal. Sekali terpilih, dia harus mengajukan permohonan pemberkatan: pemberkatan seorang abbas dilaksanakan oleh uskup yang wilayah keuskupannya menjadi lokasi biara yang bersangkutan, atau atas seizinnya, oleh abbas atau uskup lain. Upacara pemberkatan tersebut dalam beberapa aspek mirip dengan pentahbisan seorang uskup, yakni abbas yang baru dimahkotai dengan mitra, disematkan cincin pada jarinya, dan diberikan tongkat gembala serta menerima penumpangan tangan serta pemberkatan dari pemimpin upacara. Meskipun upacara tersebut menjadikan abbas yang baru itu memperoleh kedudukan otoritas legal, tetapi tidak menjadikannya memperoleh otoritas sakramental.
Begitu menerima pemberkatan, si abbas bukan saja menjadi bapak bagi para biarawan yang dipimpinnya dalam pengertian rohani, tetapi juga menjadi superior mayor bagi mereka menurut hukum kanon, serta memiliki otoritas tambahan untuk menganugerahkan jabatan pelayanan sebagai akolit dan lektor (sebelumnya, dia dapat memberikan pemberkatan untuk menduduki jabatan-jabatan minor, yang bukan sakramen, dan yang kini telah digantikan oleh jabatan-jabatan pelayanan tersebut). Biara adalah suatu badan "religius bebas" dan oleh karena itu,, dalam banyak hal bertanggungjawab langsung kepada paus, atau abbas primat, bukannya kepada uskup setempat.
Abbas mengenakan seragam biara yang sama dengan rekan-rekan biarawannya, tetapi menurut tradisi dia mengenakan pula sebuah kalung salib seperti yang dikenakan uskup.
Abbas teritorial juga sama seperti abbas biasa, tetapi selain itu dia menerima suatu mandat otoritas dari paus atas teritorial sekitar biara yang menjadi tanggung jawabnya.
Hierarki abbas
Dalam beberapa keluarga monastik terdapat jenjang keutamaan atau otoritas di kalangan abbas. Dalam beberapa kasus, hal tersebut terjadi karena biara tertentu dianggap sebagai "induk" dari beberapa "anak" biara yang awalnya didirikan sebagai biara yang mandiri dari biara "induk." Dalam kasus-kasus lain, biara-biara telah berafiliasi dalam jaringan-jaringan yang disebut "kongregasi." Beberapa keluarga monastik mengakui satu biara sebagai biara induk dari keseluruhan ordo.
Abbas San Anselmo di Aventino, di Rome, disebut "abbas primat," dan dianggap sebagai abbas senior dalam Ordo St. Benediktus (O.S.B.)
Abbas presiden adalah kepala sebuah kongregasi (federasi) biara-biara dalam Ordo St. Benediktus (misalnya, English Congregation, The American Cassinese Congregation, dll.), atau dalam Ordo Sistersian (O. Cist.)
Abbas Agung adalah kepala beberapa biara yang merupakan biara-biara induk dari biara-biara lain (misalnya, St. Vincent's Archabbey, Latrobe, Pennsylvania)
Para abbas modern yang bukan superior
Gelar abbé (Bahasa Prancis), umum digunakan dalam Gereja Katolik di Benua Eropa, gelar ini setara dengan "Father" dalam Bahasa Inggris dan "Romo" di Indonesia (etimologi paralel), yang dengan bebas digunakan untuk menyapa semua orang yang telah menerima tonsura. Penggunaan gelar ini konon berasal dari hak yang diberikan kepada Raja Prancis atas dasar perjanjian antara Paus Leo X dan Raja Francis I (1516), untuk menunjuk abbés commendataires bagi sebagian besar biara di Prancis. Harapan untuk mendapatkan sinecura tersebut memikat banyak pria muda ke Gereja dalam jumlah besar, dan kelas abbés pun terbentuk—abbés de cour mereka kadang-kadang disebut (secara ironis) abbés de sainte espérance, (abbés harapan suci)—yang memegang kedudukan resmi. Hubungan yang dijalin oleh sebagian besar dari mereka dengan Gereja adalah hubungan yang paling rentan, cukup dengan mengadopsi gelar abbé, setelah menjalani studi teologi ringan, mempraktikkan selibat dan mengenakan busana khusus berupa sehelai mantel pendek berwarna violet gelap berkerah sempit. Menjadi orang-orang yang dianggap berpendidikan dan tentunya hidup senang, membuat banyak warga kelas masyarakat ini dekat dengan keluarga-keluarga ningrat Prancis sebagai guru dan penasehat pribadi. Hampir semua keluarga ternama punya seorang abbé. Kelas ini lenyap sesudah Revolusi Prancis; namun gelar abbé, tanpa hubungan tertentu dengan fungsi gerejawi apapun seingat orang, tetap digunakan sebagai gelar umum untuk menyapa semua rohaniwan.
Di Timur, ketetapan-ketetapan Codex Yustinianus masih diterapkan, di mana sebagian besar abbas tunduk langsung di bawah seorang uskup. Biara-biara yang memperoleh status stavropegial tunduk langsung kepada seorang Primat atau Sinode para uskupnya.
Sekalipun gelar "abbas" dalam Gereja Barat sekarang ini tidak lagi diberikan kepada orang-orang selain para kepala biara, di Timur gelar arkimandrit diberikan kepada para imam "monastik" (imam yang selibat), sekalipun bukan merupakan anggota sebuah biara, sebagai penghargaan atas pengabdiannya, mirip dengan gelar monsignor dalam Ritus Latin di Gereja Katolik. Dalam Gereja Ortodoks Rusia, hanya biarawan yang diizinkan menjadi abbas atau arkimandrit. Imam-imam yang beristri diangkat ke jenjang sama sebagai Protopresbiter. Tidak ada imam "selibat" yang bukan biarawan dalam Gereja Rusia, dengan pengecualian untuk imam-imam menikah yang sudah menduda. Sejak era Ratu Katerina II jenjang abbas dan arkimandrit diberikan sebagai gelar kehormatan dalam Gereja Rusia, dan boleh diberikan kepada semua biarawan, sekalipun bukan kepala biara.
Abbas Protestan
Dalam Gereja Injili Jerman gelar dalam Bahasa Jerman Abt (abbas) kadang-kadang diberikan, seperti gelar abbé di Prancis, sebagai gelar kehormatan, dan masih terus digunakan untuk menyapa pimpinan beberapa biara yang diubah pda masa Reformasi menjadi yayasan-yayasan pendidikan.
yang paling menonjol adalah Biara Loccum di Hanover, yang didirikan sebagai sebuah biara Sistersianpada 1163 oleh Count Wilbrand dari Hallermund, dan direformasi pada 1593. Abbas dari Loccum, yang tetap membawa-bawa tongkat gembala, menduduki posisi tertinggi dari seluruh rohaniwan di Hanover, dan secara ex officio merupakan anggota konsistori kerajaan. Struktur pemerintahan biara itu terdiri atas Abbas, prior dan "komunitas" para Stiftsherren (kanon).
Dalam Gereja Inggris, Uskup Norwich, dengan dekret kerajaan yang dikeluarkan Raja Henry VIII, juga diberi gelar kehormatan sebagai "Abbas St. Benet." Gelar ini bermula sejak pemisahan Inggris dari Tahta Keuskupan Roma, tatkala Raja henry, sebagai kepala tertinggi dari gereja mandiri yang baru berdiri itu, menyita seluruh biara, kecuali biara St. Benet, karena abbas dan para biarawan di situ tidak berharta apa pun, dan hidup selayaknya pengemis, memecat Uskup Norwich saat itu dan menggantikannya dengan abbas St. Benet, oleh karenanya gelar ganda itu terus dipertahankan sampai sekarang.
Dari tahun 1106-1107 Masehi, seorang abbas Ortodoks Rusia bernama daniel melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Suci dan mencatat pengalaman-pengalamannya. Buku hariannya itu banyak dibaca di seluruh Rusia, dan sekurang-kurangnya masih ada 75 salinan manuskrip yang bertahan.
Santo Yosef, Abbas Volokolamsk (1439–1515), menyusun sejumlah karya tulis berpengaruh menentang bidaah, dan mengenai disiplin monastik dan liturgis, serta filantropi Kristiani.
dalam serial Tales of Redwall, makhluk-makhluk Redwall dipimpin oleh seorang Abbas atau Abdis. Para "abbas" ini dipilih oleh para saudara dan saudari Redwall untuk melayani sebagai seorang superior dan untuk memperlihatkan kepedulian paternal. Sangat mirip dengan para abbas yang asli.