Kata μίτρα, mítra (atau μίτρη, mítrē dalam dialek Yunani Ionia), pertama kali digunakan[2] dalam bahasa Yunani sebagai sebutan bagi beberapa macam pakaian: sejenis ikat pinggang yang dikenakan di balik tameng dada, sebagaimana yang disebutkan dalam wiracaritaIlias karya Homeros; sejenis ikat kepala yang dikenakan kaum wanita untuk menata rambutnya; dan sejenis serban resmi di Babel, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Herodotus (Historiai 1.195 dan 7.90). Dua makna pertama secara etimologi telah dihubung-hubungkan dengan kata μίτος, mítos (benang), namun kaitannya lemah.
Kekaisaran Bizantium
Camelaucum (bahasa Yunani: καμιλαύκιον, kamilaukion, kopiah), leluhur mitra dan tiara paus, mula-mula adalah sejenis kopiah yang dikenakan oleh para pejabat istana Kekaisaran Bizantium. "Tiara [leluhur mitra] mungkin dikembangkan dari kopiah Frigia, atau frigium, semacam kerpus atau kopiah lancip yang dikenakan di negeri-negeri berperadaban Yunani-Romawi. Pada abad ke-10, gambar tiara mulai ditampilkan pada uang-uang logam kepausan."[3] Sumber-sumber lain mengklaim bahwa justru mitralah yang merupakan leluhur dari tiara. Pada masa-masa akhir Kekaisaran Bizantium, kopiah ini berkembang menjadi mahkota tertutup yang dikenakan oleh para Kaisar Bizantium (lihat ilustrasi Mikhael III, 842-867).
Mitra sebagai kopiah uskup untuk pertama kalinya tergambar dalam dua miniatur buatan abad ke-11, dan untuk pertama kalinya tertulis dalam bullaPaus Leo IX pada 1049. Pada 1150, mitra telah dikenakan pula oleh uskup-uskup di seluruh dunia Barat. Pada abad ke-14, tiara mulai dihiasi dengan tiga mahkota.
Rohaniwan Kristen
Gereja Barat
Wujud mitra modern dalam Gereja Barat adalah kopiah lipat yang terbuat dari dua potong bahan berukuran sama (sisi depan dan belakang), disatukan dengan jahitan pada kedua tepi sampingnya sehingga menyerupai tanjak dengan sisi depan dan sisi belakang yang sama tinggi, serta ditambahi dua helai selampai pendek yang menggelantung pada tepi bawah dari sisi belakang.
Dalam Gereja Katolik, hak mengenakan mitra dibatasi oleh hukum kanon bagi para uskup dan abas saja, sebagaimana yang tampak dalam upacara penahbisan uskup dan pemberkatan abas. Lazimnya para kardinal sekarang ini adalah rohaniwan-rohaniwan yang telah ditahbiskan menjadi uskup (sejak masa jabatan Paus Yohanes XXIII), tetapi para kardinal yang bukan uskup dan telah mendapat izin khusus dari Sri Paus untuk tidak ditahbiskan menjadi uskup pun diperbolehkan mengenakan mitra. Prelatus-prelatus lain juga pernah dianugerahi hak istimewa untuk mengenakan mitra, namun kebiasaan ini sudah lama tidak dijalankan, kecuali bagi para ordinarius yang mengepalai ordinariat personal (meskipun hanya seorang imam). Perbedaan antara "abas bermitra" dan "abas tidak bermitra" juga sudah ditiadakan.
Ada tiga macam mitra yang dikenakan oleh rohaniwan Katolik Roma dalam berbagai kesempatan berbeda:
Simplex ('bersahaja', mengacu pada bahan yang digunakan), terbuat dari kain linen atau sutra polos; selampai putih tradisionalnya dihiasi jumbai merah. Mitra ini lebih sering dikenakan dalam upacara pemakaman, masa prapaskah, hari Jumat Agung, dan dikenakan pula oleh para uskup konselebran dalam misa. Dalam acara-acara yang dihadiri oleh Sri Paus, para kardinal mengenakan mitra simplex berbahan damas putih.
Auriphrygiata ('kencana'), terbuat dari bahan polos berwarna emas atau dari sutra putih dihiasi pita tekat berakam atau berwarna-warni; sekarang ini lazim dikenakan oleh para uskup bilamana memimpin ibadat-ibadat perayaan sakramen.
Pretiosa ('adiluhung'), dihiasi emas dan ratna mutu manikam; dikenakan dalam misa meriah pada hari-hari Minggu (kecuali selama masa prapaskah) dan hari-hari raya. Pada masa kini, mitra pretiosa sudah jarang dihiasi dengan batu-batu mulia; rancangannya pun sudah lebih bervariasi, lebih sederhana, dan lebih berciri khas, sering kali hanya berupa mitra dengan warna liturgi yang sesuai dengan hari pemakaiannya.
Warna dasar mitra selalu putih, akan tetapi dalam liturgi, semua vestimentum yang terbuat dari bahan berwarna emas dan perak juga digolongkan sebagai warna putih. Selampai, pita-pita tekat, dan hiasan-hiasan lain pada mitra boleh dan sering kali berwarna selain putih. Meskipun sekarang ini mitra-mitra yang berwarna-warni banyak dibuat dan dijual, namun agaknya hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan si pembuat atau si pemakai tentang tradisi liturgi.
Bilamana uskup mengenakan mitra, salah satu misdinar akan menyampirkan sehelai selubung (mirip selendang lebar) yang disebut vimpa menutupi tengkuk, pundak, dan kedua lengannya. Kedua ujung vimpa digunakan untuk melapisi tangan si misdinar pada saat memegang mitra, agar minyak yang keluar secara alamiah dari tangannya tidak menodai mitra yang dipegangnya. Cara memegang mitra seperti ini juga menandakan bahwa si pemegang bukanlah pemilik dari mitra yang sedang dipegangnya. Orang yang mengenakan vimpa kadang-kadang disebut pula vimpa. Jika seorang vimpa sedang memegang tongkat uskup, maka lengkungan pada hulu tongkat harus diarahkan ke belakang, sebagai tanda bahwa si pemegang tongkat tidak memiliki wewenang si pemilik tongkat.
Selepas dilantik menjadi paus, Benediktus XVI keluar dari tradisi dengan mengganti gambar tiara paus pada lambang kebesarannya dengan gambar mitra paus (masih menampilkan tiga susun 'mahkota' yang melambangkan kekuasaan-kekuasaan jabatan paus dalam bentuk yang disederhanakan) dan palium. Sebelumnya, semua lambang kebesaran paus selalu menampilkan gambar tiara paus dan anak-anak kunci bersilang Santo Petrus, meskipun tiara sudah tidak lagi dikenakan, terutama pada masa jabatan Paus Yohanes Paulus I dan Paus Yohanes Paulus II. Paus Paulus VI adalah paus terakhir yang mengawali masa jabatannya dengan upacara penobatan resmi pada bulan Juni 1963. Akan tetapi, untuk menandakan perlunya penyederhanaan ritus-ritus kepausan, serta perubahan dari hakikat jabatan kepausan itu sendiri, ia meninggalkan istiadat mengenakan tiara dalam sebuah upacara dramatis dalam Basilika Santo Petrus pada sesi pertemuan kedua dari Konsili Vatikan II di bulan November 1963. Akan tetapi dalam Konstitusi Apostolik yang dikeluarkannya pada 1975, ia dengan jelas menyatakan bahwa istiadat mengenakan tiara tidaklah dihapuskan: dalam konstitusi tersebut, ia mengatur agar para penggantinya mengawali masa jabatan mereka dengan upacara penobatan. Meskipun demikian, Paus Yohanes Paulus I sengaja tidak menuruti konstitusi Paulus VI, dan memilih untuk mengawali masa jabatannya dengan upacara pelantikan paus, demikian pula dengan penggantinya. Koonstitusi Apostolik Paus Yohanes Paulus II yang dikeluarkan pada 1996 menghadirkan sejumlah kemungkinan tetapi tidak menetapkan jenis upacara tertentu yang harus digunakan, selain dari beberapa upacara yang harus dilaksanakan untuk mengawali masa jabatan seorang paus baru.
Paus Paulus VI mendonasikan tiaranya (hadiah dari Keuskupan Agung Milano, tempat tugasnya sebelum menjadi paus) bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di dunia. Francis Kardinal Spellman dari New York kelak menerima tiara itu dan membawanya berkeliling Amerika Serikat dalam acara pengumpulan dana bagi fakir miskin. Tiara ini sekarang dipajang dalam ruang Gereja bawah tanah di Basilika Tempat Suci Nasional Yang Dikandung Tanpa Noda di Washington, D.C.
Dalam Gereja Inggris, mitra tidak lagi dikenakan selepas reformasi, tetapi pemakaiannya dipulihkan kembali pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai hasil dari Gerakan Oxford, dan kini dikenakan oleh sebagian besar uskup Komuni Anglikan, sekurang-kurangnya pada kesempatan-kesempatan tertentu. Mitra juga dikenakan oleh para uskup dari sejumlah gereja Lutheran, misalnya Gereja Lutheran Injili Latvia dan Gereja Swedia.[4]
Dalam lambang kebesaran gerejawi, gambar mitra diletakkan di atas gambar perisai dari semua orang yang berhak mengenakan mitra, termasuk para abas. Gambar mitra menggantikan gambar ketopong dalam lambang kebesaran militer, tetapi dapat pula dijadikan balung ketopong, sebagaimana yang lazim dijumpai dalam lambang-lambang kebesaran Jerman.[5] Dalam gereja-gereja Anglikan, bukan gambar cepiau melainkan gambar mitra yang diletakkan di atas gambar perisai para uskup. Dalam Gereja Katolik Roma, penggunaan gambar mitra di atas gambar perisai dalam lambang-lambang pribadi para rohaniwan sudah ditiadakan semenjak 1969,[6] dan kini hanya dapat dijumpai dalam beberapa lambang kebesaran lembaga, misalnya lambang-lambang keuskupan. Sebelumnya, gambar mitra selalu disertakan, dan diletakkan di bawah gambar cepiau,[7] bahkan mitra belum sepenuhnya dihilangkan dari lambang-lambang para kardinal.[8]
Dalam tata cara pembuatan lambang kebesaran, mitra senantiasa ditampilkan dalam corak emas, dan selampainya (infulae) juga sewarna. Sebelum reformasi, mitra uskup dibedakan dari mitra abas dengan meniadakan gambar selampai mitra pada lambang abas. Di Inggris dan Prancis, ada kebiasaan untuk membuat gambar mitra abas tampak sedikit menyamping.[5]
Gereja Timur
Bentuk mitra yang lazim digunakan dalam Gereja Ortodoks Timur dan Gereja-Gereja Katolik Bizantium mengikuti bentuk mahkota tertutup para Kaisar Bizantium. Dengan demikian, mitra Bizantium pada dasarnya juga merupakan turunan dari καμιλαύκιον, meskipun dikembangkan dari tutup kepala sekular pada masa-masa yang lebih kemudian, lama sesudah tutup kepala itu mengalami berbagai perubahan. Mitra berbentuk mahkota baru digunakan oleh para uskup selepas kejatuhan Konstantinopel (1453).
Mitra Gereja Timur dibuat membentuk mahkota cembung yang tertutup sepenuhnya, dan menggunakan bahan brokat, damas, atau kain emas. Mitra Gereja Timur juga dihiasi dengan tekat, dan sering kali bertatahkan ratna mutu manikam. Lazimnya ada empat buah ikon yang dipasang pada mitra (sering kali berupa ikon Kristus, ikon Teotokos, ikon Yohanes Pembaptis, dan Salib). Ikon-ikon ini akan dicium oleh uskup sebelum mengenakan mitra. Mitra Gereja Timur lazimnya berwarna keemasan, tetapi ada pula yang menggunakan warna-warna liturgi lainnya.
Bagian puncak mitra dihiasi dengan salib kecil dari logam atau sulaman gambar salib. Menurut tradisi Gereja Ortodoks di Yunani, semua mitra uskup dihiasi dengan salib tegak, sama halnya dengan tradisi Gereja Ortodoks di Rusia, sementara mitra-mitra yang dianugerahkan kepada para imam dihiasi dengan sulaman gambar salib. Kadang-kadang sulaman gambar salib ini diganti dengan sebuah ikon.
Sebagai salah satu perlengkapan kebesaran kekaisaran, mitra dan perlengkapan kebesaran lainnya, seperti sakos (dalmatik kekaisaran) dan epigonation, merupakan lambang dari kekuasaan temporal para uskup (khususnya kekuasaan temporal Batrik Konstantinopel) dalam penyelenggaraan pemerintahan Millet-i Rûm (komunitas umat Kristen) di wilayah Imperium Utsmaniyah. Mitra ditanggalkan pada saat-saat tertentu yang dianggap khusyuk dalam perayaan Liturgi Ilahi dan ibadat-ibadat lainnya. Lazimnya mitra ditanggalkan dan dipakaikan kembali ke kepala uskup oleh protodiakon.
Pemakaian mitra adalah hak prerogatif para uskup, namun dapat pula dianugerahkan kepada para arkipresbiter, protopresbiter, dan arkimandrit. Mitra yang dikenakan imam-imam ini tidak dihiasi salib pada puncaknya, dan dianugerahkan berdasarkan hasil kesepakatan sinode para uskup.
Perlengkapan pakaian seragam militer
Pada abad ke-18 dan ke-19, para serdadu yang bertugas sebagai granadir (pasukan granat) di berbagai angkatan bersenjata Eropa Utara mengenakan sejenis mitra model Barat. Mitra para grenadier ini masih dikenakan sebagai bagian dari seragam parade oleh beberapa resimen granadir Prusia dan Rusia sampai Perang Dunia I.
^von Volborth, Heraldry of the World, hlm.171, menampilkan gambar lambang Kardinal Francis Spellman dengan mitra pada 1967, dua tahun sebelum 1969 Instruction.