Perbedaan mencolok heraldik gerejawi dibanding heraldik lain adalah bentuk dari tanda-tanda pengenal khusus yang ditampilkan di sekitar perisai untuk menunjukkan jabatan gerejawi atau denominasi. Yang paling terkenal di antara tanda-tanda pengenal semacam ini adalah gambar topi gerejawi, yakni topi berkupel rendah dan berpinggiran lebar, yang lazim disebut galero. Warna dan hiasan topi menunjukkan jabatan pemilik lambang. Kardinal dikenal dengan topi merahnya, tetapi jabatan-jabatan lain dan gereja-gereja lain juga memiliki tutup kepala dengan warna khusus, misalnya topi hitam untuk rohaniwan biasa dan topi hijau untuk uskup, biasanya ditambahi beberapa buah tasel yang jumlahnya semakin bertambah jika jabatan pemiliknya semakin tinggi.
Tanda-tanda pengenal lain dalam heraldik gerejawi adalah salib prosesi, mitra, dan tongkat gembala. Gereja-Gereja Timur lebih suka menggunakan tanda-tanda pengenal khas mereka sendiri, yakni gambar kopiah, tongkat gembala, dan mantel, alih-alih topi gerejawi. Semboyan dan bentuk-bentuk perisai tertentu lebih lumrah dijumpai dalam heraldik gerejawi, sementara penopang dan jambul lebih jarang digunakan. Lambang kebesaran Sri Paus memiliki kelaziman dan tanda-tanda pengenal tersendiri, terutama tiara paus (atau mitra), sepasang anak kunci Santo Petrus, dan ombrellino (payung kebesaran). Paus Benediktus XVI mengganti gambar tiara paus dengan gambar mitra pada lambang kebesarannya. Ia adalah paus pertama yang berbuat demikian, kendati paus terakhir yang dimahkotai dengan tiara adalah Paus Paulus VI. Lambang kebesaran lembaga gerejawi sedikit berbeda tradisinya, yakni lebih sering menyertakan gambar mitra dan tongkat gembala dibanding lambang kebesaran pribadi, meskipun ada berbagai macam variasi antara satu Gereja dengan Gereja lain. Lambang kebesaran yang digunakan oleh organisasi disebut lambang kebesaran impersonal atau lambang kebesaran korporat.
Sejarah
Heraldik berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan sejak penghujung abad ke-11, mula-mula sebagai suatu tatanan dalam pembuatan lencana pribadi di kalangan pejuang, yang antara lain digunakan sebagai tanda pengenal di medan tempur. Tanda pengenal yang sama juga diukirkan pada cap untuk menandai dokumen-dokumen. Cap-cap perdana memuat ukiran sosok pemiliknya bersama perisai bergambar tanda pengenalnya.[1] Seiring berlalunya waktu, ukiran pada cap diserhanakan sehingga menyisakan bagian perisainya saja.
Gereja juga mengenali asal-usul serta kepemilikan dokumen dan bangunan melalui meterai. Meterai gerejawi lazimnya berbentuk oval bersudut yang disebut vesica, berbeda dari meterai bundar yang digunakan di lingkungan sekuler.[2]Raja Inggris, Edward I, memaklumkan pada tahun 1307 bahwa semua dokumen yang sah wajib bermeterai.[3] Meterai-meterai gerejawi mula-mula bergambar orang, tetapi dengan berubahnya gambar pada meterai-meterai sekuler menjadi gambar perisai saja, kaum rohaniwan ikut pula menggunakan meterai yang bergambar tanda-tanda pengenal.[4] Cap-cap pribadi para uskup dan para abas tetap dipergunakan setelah mereka wafat, sehingga lambat laun berubah fungsi menjadi cap-cap impersonal.[3] Kaum rohaniwan cenderung menggantikan gambar perlengkapan militer dengan gambar perlengkapan rohaniwan. Gambar perisai tetap dipertahankan, tetapi gambar ketopong dan mahkota ningrat sering kali diganti dengan gambar topi gerejawi. Beberapa lambang kebesaran rohaniwan menampilkan gambar tengkorak manusia sebagai ganti gambar ketopong.[5]
Struktur heraldik gerejawi sangat berkembang pada abad ke-17, ketika kaidah penggunaan gambar topi gerejawi, yang dipercaya sebagai buah pemikiran Pierre Palliot, mulai digunakan.[6] Keseluruhan tatanan tanda-tanda pengenal di sekitar perisai diatur di lingkungan Gereja Katolik lewat surat Paus Pius X yang bertajuk Inter multiplices curas, tertanggal 21 Februari 1905, sementara susunan gambar pada perisai itu sendiri diatur oleh Komisi Heraldik Kuria Roma sampai jawatan ini dihapuskan oleh Paus Yohanes XXIII pada tahun 1960.[7] Selepas tahun 1969, Annuario Pontificio tidak lagi memuat lambang-lambang kebesaran para kardinal dan paus-paus terdahulu. Kelaziman internasional dan undang-undang nasional membatasi aspek-aspek heraldik gerejawi, tetapi susunan gambar pada perisai kini lebih banyak mengikuti arahan para ahli. Uskup Agung Bruno Heim, salah seorang perancang lambang kebesaran gerejawi yang terkemuka, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Heraldik gerejawi tidak semata-mata ditentukan oleh pertimbangan heraldik, tetapi juga oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan doktrin, liturgi, dan hukum kanon. Lambang-lambang kebesaran yang dihasilkan oleh heraldik gerejawi tidak semata-mata menunjukkan keikutsertaan dalam keanggotaan lembaga gerejawi tertentu tetapi menunjukkan pula jabatan penyandangnya .... Dalam pandangan Gereja, sudah cukup kiranya Gereja menentukan siapa saja yang berhak menyandang lambang kebesaran serta syarat-syarat yang harus dijadikan pedoman dalam menambahkan atau mencopot berbagai macam tanda pengenal... Rancangan lambang kebesaran petinggi Gereja sering kali melanggar banyak sekali aturan heraldik, sehingga menyimpang dari selera yang bagus.[8]
Tatanan heraldik yang serupa di lingkungan Gereja Inggris disetujui pada tahun 1976,[9] sementara kaidah-kaidah heraldik Kristen Timur tidak mengalami banyak perkembangan. Lambang-lambang kebesaran sekuler khas Dunia Kristen Timur kerap menampilkan gambar sebuah perisai berlatar mantel dan bertajuk mahkota. Lambang kebesaran rohaniwan Kristen Timur sering kali menggunakan tatanan semacam ini, dan mengganti gambar mahkota dengan gambar tutup kepala yang mereka gunakan dalam ibadat.
Lambang kebesaran sekarang ini lebih lazim digunakan di lingkungan Gereja untuk menandai dokumen-dokumen. Lambang kebesaran seorang uskup Katolik Roma dulunya dilukis pada tahang-tahang anggur mini dan dipersembahkan dalam upacara penahbisannya.[10][11] Para Kardinal dapat memajang lambang kebesaran pada sisi luar dari dinding gereja tituler mereka di kota Roma.[12] Lambang-lambang kebesaran impersonal kerap digunakan sebagai panji-panji sekolah atau panji-panji paguyuban keagamaan.
Perisai
Perisai adalah benda yang lumrah digunakan sebagai latar lambang kebesaran. Kaum rohaniwan menggunakan bentuk latar yang kurang berciri militer, misalnya kartus yang berbentuk oval, tetapi perisai tetap menjadi salah satu pilihan di kalangan rohaniwan. Kaum rohaniwan di Italia kerap menggunakan perisai dengan bentuk mirip tameng kepala kuda. Rohaniwan di Afrika Selatan kadang-kadang menggunakan perisai kebangsaan mereka, yakni perisai Nguni.[13] Kaum perempuan secara tradisional menampilkan lambang-lambang kebesaran mereka pada latar berbentuk belah ketupat. Para abdis mengikuti tradisi ini atau menggunakan latar berbentuk kartus.
Rancangan pribadi
Di lingkungan Gereja Katolik Roma, uskup baru yang tidak memiliki lambang kebesaran pusaka keluarga biasanya memasang lambang-lambang yang menunjukkan minat atau karya pelayanannya yang terdahulu pada perisai lambang kebesarannya. Penghormatan pada orang kudus tertentu ditunjukkan lewat lambang-lambangnya, sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam ikonografi dan tradisi heraldik. Di lingkungan Gereja Inggris, uskup baru biasanya memilih lambang kebesaran yang sama sekali tidak berciri rohaniwan, tidak lain lantaran anak-cucunya mungkin kelak berniat mewarisi lambang kebesaran ini, dan segelintir saja dari mereka yang mungkin menjadi rohaniwan.
Kaidah pertama heraldik adalah kaidah pulasan, yakni "warna pantang menindih warna, logam pantang menindih logam."[14] Pulasan logam dalam heraldik adalah emas dan perak, yang biasanya diwakili oleh warna kuning dan putih, sementara pulasan warna dalam heraldik adalah merah, hijau, biru, ungu, dan hitam. Pulasan heraldik bertujuan membuat lambang kebesaran dapat dikenali dari jarak jauh (dalam pertempuran), sehingga pulasan logam cerah yang tampak mencolok bersanding pulasan warna gelap merupakan pulasan heraldik yang diidamkan. Prinsip yang sama juga tampak dalam ketentuan warna pelat nomor kendaraan.
Kaidah pulasan ini sering kali dilanggar dalam pembuatan lambang-lambang kebesaran gerejawi, misalnya bendera dan lambang negara Kota Vatikan yang menyandingkan warna kuning (pulasan logam emas) dan warna putih (pulasan logam perak). Dalam tradisi Bizantin, warna mengandung makna mistik. Karena emas dan perak mengandung makna keluhuran dan kebesaran, maka keduanya sering kali disandingkan sekalipun bertentangan dengan kaidah pulasan.[15]
Gabungan lambang kebesaran
Uskup yang mengepalai keuskupan biasanya menyandingkan lambang kebesaran pribadinya dengan lambang kebesaran keuskupannya menurut kaidah heraldik yang lumrah.[3] Tindakan semacam ini disebut menggabung, dan lazimnya dilakukan dengan cara menyula, yakni mendempetkan lambang kebesaran keuskupan dengan lambang kebesaran uskupnya sedemikian rupa pada satu perisai sehingga sisi yang saling berdempet akan tampak seperti ditembusi sebatang sula atau dibelah sumbu tegak yang membujur pada permukaan perisai dari pangkal hingga ke ujungnya. Lambang kebesaran keuskupan ditampilkan pada paruh kanan-heraldik perisai (paruh kiri perisai menurut sudut pandang orang yang melihat gambar), sementara lambang kebesaran uskup ditampilkan pada paruh kiri-heraldik perisai (paruh kanan perisai menurut sudut pandang orang yang melihat gambar). Dalam selembar dokumen dari tahun 1411, tertera lambang kebesaran Thomas Arundel yang disula dengan lambang kebesaran Keuskupan Canterbury.[16] Di Jerman dan Swiss, cara memperempat lebih lumrah digunakan daripada cara menyula dalam penggabungan lambang-lambang kebesaran. Guy Selvester, salah seorang pakar heraldik gerejawi berkebangsaan Amerika Serikat, mengemukakan bahwa jika lambang-lambang kebesaran tidak dirancang secara seksama, maka penggabungannya dapat menghasilkan gambar-gambar perisai yang tampak "ramai" berjejal-jejal. Tampilan berjejal-jejal ini dapat dikurangi dengan menempatkan gambar sebuah perisai yang lebih kecil di depan perisai utama. Perisai kecil ini disebut perisai dalam atau perisai luber. Dalam lambang kebesaran Heinrich Mussinghoff, Uskup Aachen, perisai lambang kebesaran pribadi ditempatkan di depan perisai lambang kebesaran keuskupan, sementara dalam lambang kebesaran Paul Gregory Bootkoski, Uskup Metuchen, susunannya justru terbalik.[17][18] Para kardinal kadang-kadang menggabung lambang kebesaran pribadi mereka dengan lambang kebesaran Sri Paus yang mengangkat mereka menjadi kardinal. Selaku Prefek Rumah Tangga Kepausan, Jacques Martin berulang kali menggabung lambang kebesaran pribadinya dengan lambang-lambang kebesaran para paus yang silih berganti menjabat selama masa baktinya.[19] Salah seorang uskup Gereja Inggris yang beristri menggabung lambang kebesaran pribadinya dengan lambang kebesaran istrinya dan lambang kebesaran keuskupannya pada dua perisai terpisah yang saling berdampingan.[20]
Para uskup Katolik Roma di Inggris secara historis hanya menggunakan lambang kebesaran pribadi mereka, karena keuskupan-keuskupan yang dibentuk oleh Takhta Keuskupan Roma bukanlah bagian dari Gereja Inggris yang merupakan gereja resmi negara, dan oleh karena itu tidak dapat diakui keberadaannya dengan undang-undang.[21][10] Situasi hukum di Skotlandia sudah berbeda, sehingga banyak keuskupan Katolik Roma telah memiliki lambang kebesaran. Jika seorang uskup sufragan atau uskup auksilier memiliki lambang kebesaran pribadi, ia tidak menggabungkannya dengan lambang kebesaran keuskupan yang dilayaninya.[2]
Tanda pengenal di sekitar perisai
Perisai merupakan unsur utama heraldik, tetapi unsur-unsur lain dapat ditambahkan di atas, di bawah, dan di sekeliling perisai. Unsur-unsur tambahan ini lazimnya disebut hiasan luar.[2] Keseluruhan tatanan tanda pengenal pada lambang kebesaran disebut kelengkapan lambang kebesaran. Beberapa di antara hiasan-hiasan semacam ini merupakan hiasan khas lambang kebesaran gerejawi, atau tampak sangat berbeda dari hiasan-hiasan yang lazim ditampilkan di sekitar perisai.
Topi gerejawi
Topi gerejawi adalah bagian khas dari kelengkapan lambang kebesaran seorang rohaniwan Katolik Roma. Topi yang disebut galero ini mula-mula adalah tudung kepala para peziarah seperti sombrero. Topi gerejawi berwarna merah dianugerahkan kepada para kardinal oleh Paus Inosensius IV dalam Konsili Lyon I pada abad ke- 13, dan nyaris langsung dimasukkan ke dalam khazanah heraldik. Galero dalam berbagai warna dan bentuk dijadikan salah satu tanda pengenal heraldik semenjak ditampilkan pada gambar lambang-lambang kebesaran para uskup pada abad ke-16. Pada abad ke- 19, galero sudah dianggap sebagai tanda pengenal khas "Katolik" dalam ruang lingkup heraldik,[6] tetapi Register Umum Lambang Kebesaran di Skotlandia menunjukkan bahwa gambar topi berkupel rendah dan berpinggiran lebar ini digunakan sebagai tanda pengenal pada lambang kebesaran rohaniwan Gereja Katolik Roma maupun rohaniwan Gereja Presbiterian Skotlandia dan rohaniwan Gereja Episkopal Anglikan. Galero dihiasi dengan tasel sebagai petunjuk tinggi rendahnya jabatan rohaniwan yang bersangkutan dalam jenjang hierarki. Jumlah tasel mulai dianggap penting sejak abad ke-16, dan arti jumlah tasel dibakukan untuk kalangan rohaniwan Katolik pada tahun 1832.[22] Galero uskup berwarna hijau dan dihiasi sepasang rangkaian enam buah tasel. Warna hijau untuk galero uskup ini bercikal bakal dari warna topi yang dulu lazim dikenakan oleh para uskup di Spanyol.[23] Jabatan abas teritorial setingkat dengan jabatan uskup, sehingga galeronya sama persis dengan galero uskup. Galero uskup agung juga berwarna hijau, tetapi dihiasi sepasang rangkaian sepuluh buah tasel. Galero para uskup di Swiss dulunya dihiasi sepasang rangkaian sepuluh buah tasel seperti galero uskup agung, karena mereka mereka berada di bawah yurisdiksi langsung Takhta Suci, dan bukan bagian dari suatu provinsi keuskupan agung.[24] Galero para batrik dan kardinal dihiasi sepasang rangkaian lima belas buah tasel. Galero kardinal berwarna merah atau kirmizi, sementara galero batrik yang tidak berpangkat kardinal tetap berwarna hijau, tetapi jumbai-jumbai hijau pada taselnya diselang-selingi dengan benang emas.[2]Para primat boleh menggunakan hiasan luar yang sama seperti yang digunakan para batrik.[25][26]
Gambar galero dalam lambang kebesaran dapat saja berbeda-beda, tergantung cita rasa seniman yang membuatnya. Kupel topi boleh dibuat datar seperti peci maupun melengkung seperti kubah. Kadang-kadang tepian topi dibuat tidak terlampau lebar dan dipadukan dengan kupel cembung, sehingga bentuknya menyerupai sebuah cappello romano (cepiau Romawi) yang dihiasi sepasang rangkaian tasel. Gambar topi seperti ini tetap disebut galero dalam ruang lingkup heraldik. Tasel-taselnya dapat diwakili oleh gambar simpul-simpul tali.
Pengecualian khusus diberikan kepada para uskup Tionghoa, yang merasa risi menampilkan gambar galero hijau pada lambang kebesaran mereka, karena orang Tionghoa memiliki pemeo "pakai topi hijau" (Hanzi: 戴绿帽子, dài lǜ mào zǐ) yang bermakna "suami perempuan nakal" atau "diselingkuhi istri".[27][28] Sebagai ganti warna hijau, para uskup Tionghoa menggunakan warna-warna lain yang berkisar dari lembayung dan hitam sampai dengan biru, ataupun kirmizi jika berpangkat kardinal. Salib di balik perisai merupakan tanda pengenal uskup.
Para prelatus Katolik Roma yang lebih rendah pangkatnya menggunakan galero dengan bermacam-macam warna. Topi lembayung pernah dikenakan oleh sejumlah monsinyur tertentu,[29] sehingga dalam lambang kebesaran mereka tergambar pula topi lembayung bertasel merah atau lembayung dalam jumlah yang berbeda-beda, namun kini sudah dibakukan menjadi sepasang rangkaian enam buah tasel. Pangkat monsinyur yang terendah, yakni Kapelan Sri Paus, menggunakan gambar topi hitam bertasel lembayung.[30] Para superior jenderal tarekat religius menggunakan gambar galero hitam dihiasi sepasang rangkaian enam buah tasel, sementara para superior provinsial dan para abas menggunakan gambar galero hitam dihiasi sepasang rangkaian enam atau tiga buah tasel, meskipun lambang-lambang kebesaran di kalangan Tarekat Imam Norbertin menggunakan galero putih. Kendati jarang sekali menampakkan lambang kebesaran, kecuali jika mewarisi lambang kebesaran pusaka peninggalan leluhur di luar lingkungan Gereja, seorang imam boleh menggunakan gambar topi gerejawi hitam dihiasi sepasang tasel. Para imam yang memegang jabatan tertentu, misalnya jabatan rektor, menggunakan gambar topi hitam dihiasi sepasang rangkaian dua buah tasel.[31]
Kaum rohaniwan Gereja Inggris selain uskup secara historis menyandang lambang-lambang kebesaran yang sama persis dengan lambang-lambang kebesaran di kalangan umat awam, yakni lambang kebesaran bergambar perisai, ketopong, serta jambul, dan tanpa topi gerejawi. Tatanan heraldik bagi para dekan, diakon agung, dan kanonik di Inggris, yang diberlakukan oleh Dewan Lambang Kebesaran pada tahun 1976, mengizinkan penggunaan gambar topi gerejawi hitam, bertali hitam atau lembayung, dan dihiasi sepasang rangkaian tiga buah tasel berwarna lembayung atau merah.[32][33][9] Topi untuk imam bertali hitam atau putih dan dihiasi sepasang tasel, sementara topi untuk diakon tidak bertasel. Tali tutup kepala Doktor Divinitas boleh diselang-selingi benang merah dengan gambar topi yang sesuai dengan gelarnya, sementara para anggota Rumah Tangga Gerejawi menambahkan gambar sekuntum Mawar Tudor di depan topi mereka. Menurut Boutell's Heraldry, tatanan heraldik ini merupakan praktik Gereja di Inggris pada abad ke-16.[34]
Dalam ranah heraldik gereja Presbiterian, topi pendeta berwarna hitam dan dihiasi sepasang tasel, kadang-kadang juga berwarna biru, dan gambar topi gerejawi dapat saja diganti dengan gambar topi doktoral atau kopiah Jenewa.[35] Rohaniwan Kapel Kerajaan menggunakan gambar tasel-tasel merah. Jawatan ketua majelis tidak memiliki lambang-lambang kebesaran korporat,[36] tetapi dalam kesempatan-kesempatan resmi, seorang ketua majelis boleh menambahkan tasel pada lambang kebesaran pribadinya sebagai tanda pengenal jabatan yang dapat dipadankan dengan jabatan-jabatan rohaniwan di gereja-gereja lain, yakni sepasang rangkaian tiga buah tasel untuk ketua majelis klasis, dan sepasang rangkaian enam buah tasel untuk ketua majelis sinode wilayah.[37]Ketua Majelis Sinode Umum Gereja Skotlandia sekarang menggunakan versi lain dari lambang kebesaran Majelis Sinode Umum, yang bergambar sebuah topi bertali biru dan dihiasi sepasang rangkaian sepuluh buah tasel, dan boleh pula menampilkan gambar tongkat ketua majelis, yakni sebatang tongkat gembala Kelt berpulasan logam emas, di balik gambar perisai, sebagaimana yang terlihat dalam Register Umum Skotlandia, jilid 41, halaman 152.
Salib
Di lingkungan Gereja Katolik, penempatan salib di belakang perisai dikhususkan bagi para uskup sebagai salah satu tanda kebesaran mereka.[38] Salib seorang uskup biasa memiliki satu palang saja, dan dikenal dengan sebutan salib Latin. Salib seorang batrik memiliki dua palang, dan dikenal dengan sebutan salib batrik atau salib Lorraine. Salib seorang paus memiliki tiga palang, tetapi tidak pernah ditampilkan pada lambang kebesaran Sri Paus.
Pada abad ke-15, salib berpalang ganda mulai terlihat pada lambang-lambang kebesaran para uskup agung, sesuai dengan ragam salib prosesi yang melambangkan yurisdiksi mereka.[39][40] Kecuali para kardinal anggota Kuria Roma, kebanyakan kardinal adalah pemimpin keuskupan agung dan menampilkan salib uskup agung pada lambang-lambang kebesaran mereka. Kardinal-kardinal selebihnya menampilkan salib Latin yang sederhana,[41] sebagaimana yang tampak pada lambang kebesaran Kardinal Joseph Zen, Uskup Emeritus Hong Kong, karena Hong Kong bukanlah sebuah keuskupan agung.
Sekarang ini semua kardinal wajib berstatus uskup, tetapi imam-imam yang dilantik menjadi kardinal ketika sudah berusia lanjut sering kali mengajukan petisi kepada Sri Paus agar dikecualikan dari aturan ini. Bruno Heim mengemukakan bahwa lantaran salib adalah salah satu tanda pengenal heraldik khusus uskup, maka para kardinal yang bukan uskup tidak menggunakannya.[42][6] Contoh-contoh terkenal dari kardinal yang bukan uskup adalah Kardinal Albert Vanhoye dan Kardinal Avery Dulles. Lambang kebesaran Kardinal Avery Dulles menampilkan gambar salib.[43]
Mitra dan palium
Di Gereja Barat, mitra ditempatkan di atas perisai lambang kebesaran semua orang yang berhak mengenakan mitra, termasuk para abas. Gambar mitra menggantikan gambar ketopong pada lambang-lambang kebesaran militer, tetapi juga ditampilkan sebagai jambul di atas gambar ketopong, sebagaimana yang lazim dijumpai dalam tatanan heraldik Jerman.[2] Di gereja-gereja Anglikan, mitra masih ditampilkan di atas perisai lambang kebesaran para uskup, alih-alih topi gerejawi. Di Gereja Katolik Roma, kaidah penempatan gambar mitra di atas perisai lambang kebesaran pribadi rohaniwan dihapuskan pada tahun 1969,[44] dan kini hanya dijumpai dalam beberapa lambang kebesaran korporat, misalnya lambang-lambang kebesaran keuskupan. Sebelum itu, mitra kerap ditambahkan di bawah topi gerejawi,[45] dan bahkan dalam lambang kebesaran kardinal, gambar mitra belum sepenuhnya dihilangkan.[46]
Kiri: Lambang kebesaran François de Sales, Uskup Jenewa, dihiasi mitra, galero, dan semboyanKanan: Lambang kebesaran seorang uskup sebelum perubahan kaidah tahun 1969, bukan versi resmi
Mitra boleh ditampilkan dalam berbagai macam warna. Boleh dipulas emas maupun digambarkan bertatah ratna mutu manikam. Mitra emas lebih lazim dijumpai dalam tatanan heraldik Inggris.[47] Gambar mitra yang dipadu dengan mahkota ningrat adalah tanda pengenal khusus Uskup Durham karena jabatannya adalah Pangeran UskupPalatinat Durham.[48] Karena alasan yang sama pula Uskup Durham dan beberapa uskup lain menampilkan gambar sebilah pedang di belakang perisai lambang kebesaran mereka, ujung pedang mengarah ke bawah sebagai lambang bekas yurisdiksi sipil.[49][50]
Palium adalah vestimentum khusus para uskup agung metropolia, dan dapat dijumpai pada lambang kebesaran mereka maupun lambang kebesaran keuskupan-keuskupan agung. Palium ditempatkan di atas atau di bawah perisai, bahkan kadang-kadang tergambar pada perisai. Kecuali Keuskupan Agung York, semua keuskupan agung Anglikan di Inggris dan Irlandia menampilkan gambar palium pada perisai lambang kebesarannya.[51]
Tongkat gembala ditampilkan pada lambang kebesaran sebagai lambang yurisdiksi uskup, abas, abdis, dan kardinal, termasuk kardinal yang bukan uskup. Tongkat gembala seorang uskup menghadap ke sebelah kanan, sementara tongkat gembala seorang abas atau abdis sering kali menghadap ke sebelah kiri atau menghadap mitra, namun tatanan semacam ini masih diperdebatkan dan bukan aturan yang baku.[52][53] Pada tahun 1659, Paus Aleksander VII menetapkan bahwa gambar tongkat gembala para abas harus disertai gambar sehelai sudarium atau kain selubung, tetapi aturan ini bukan suatu kelaziman dalam tatanan heraldik Inggris.[54] Gambar kain selubung ini dimunculkan karena para abas tidak mengenakan sarung tangan seperti para uskup manakala memegang tongkat gembala.[6] Karena memiliki makna heraldik yang sama dengan salib,[34] tongkat gembala ditiadakan dari lambang kebesaran para kardinal dan para uskup oleh Gereja Katolik pada tahun 1969, dan kini hanya ditampilkan pada beberapa lambang kebesaran korporat, lambang-lambang kebesaran para abas, dan beberapa lambang kebesaran para abdis.[55] Dalam tatanan heraldik Inggris dan gereja-gereja Anglikan, dua tongkat gembala yang silang-menyilang sering kali ditampilkan di belakang perisai.[56][47] Di lingkungan Gereja Swedia yang bermazhab Lutheran, tongkat gembala ditampilkan pada lambang kebesaran seorang uskup selama yang bersangkutan masih menjabat, dan dihilangkan bilamana yang bersangkutan telah pensiun.
Gambar bourdon atau tongkat berhulu bonggol ditampilkan di belakang lambang kebesaran sejumlah prior dan priores, sebagai tanda pengenal jabatan mereka, sama seperti fungsi gambar tongkat gembala.[57][58] Sejak abad ke-15, lambang-lambang kebesaran para prior dihiasi gambar seutas pita mengelilingi perisai,[59] tetapi kini sering kali diganti dengan gambar seuntai rosario.[60]
Mula-mula mantel adalah selembar bahan sandang yang disematkan pada ketopong untuk menudungi pundak, mungkin sekali untuk menahan terik matahari. Dalam tatanan heraldik sekuler, mantel digambarkan tercabik-cabik, seakan-akan pemiliknya baru pulang bertempur. Pada abad ke-17 dan ke-18, bentuk lain dari gambar mantel heraldik, yang disebut "jubah kenegaraan", menjadi terkenal.[61] Bentuk mantel semacam ini lebih banyak digunakan di kalangan Gereja Ortodoks, di mana uskup-uskup menampilkan gambar sehelai mantel yang diikat tali dan bertasel sebagai latar perisai pada lambang kebesaran mereka. Mantel heraldik semacam ini serupa dengan mantiya,dan ditampilkan sebagai lambang kewenangan uskup. Mantel heraldik semacam ini juga terdapat dalam lambang kebesaran Mahaguru Tarekat Militer Berdaulat Malta.[62]
Sisi luar mantel boleh diberi warna apa saja, biasanya warna merah, sementara sisi dalam mantel diberi warna putih atau kuning untuk membedakannya dari mantel sekuler.[63] David Johnson menyarankan agar sisi dalam mantel semua uskup sebaiknya diberi warna putih, selain dari mantel para batrik yang diberi pulasan kulit bulu cerpelai, sebagai lambang kesetaraan martabat segenap uskup.[64] Di atas mantel bertengger mitra (khas Gereja Timur) yang diapit salib prosesi dan tongkat gembala. Contoh-contoh tertua dari lambang-lambang kebesaran para hierarkes Ortodoks menampilkan salib pada sisi kanan-heraldik dan tongkat uskup pada sisi kiri-heraldik. Seorang abas (arkimandrit atau hegumen) harus menampilkan gambar tongkat abas berselubung kain untuk membedakannya dari gambar tongkat uskup.
Para imam (presbiteros) dan penghulu imam (protopresbiteros) menampilkan mantel yang lebih bersahaja hiasannya pada lambang kebesaran mereka, ditambahi gambar tutup kepala yang lazim mereka kenakan dalam ibadat. Meskipun rahib-rahib Ortodoks (selain abas) jarang sekali menampilkan lambang kebesaran pribadi, seorang hieromonakos (rahib yang sudah ditahbiskan menjadi imam) boleh menampilkan gambar kopiah rahib (klobuk) dan mantel atau kain selubung hitam, yakni gambar pakaian seragamnya selaku rahib, dan seorang hierodiakonos (rahib yang sudah ditahbiskan menjadi diakon) boleh menampilkan gambar orarion, di belakang perisai lambang kebesaran mereka.
Gambar perisai berlatarkan sehelai mantel didapati pada lambang kebesaran para uskup Gereja-Gereja Katolik Timur.[65] Meskipun demikian, beberapa variasi lambang kebesaran Gereja Timur menghilangkan gambar mantel tetapi mempertahankan gambar mitra, salib, dan tongkat gembala.[66] Uskup-uskup Maronit secara tradisional menampilkan tongkat gembala di belakang perisai, yang berhulu bola dan salib atau salib di dalam bola.[67] Uskup-uskup Katolik Timur boleh mengikuti ragam heraldik Gereja Roma, yang menampilkan topi gerejawi berkupel rendah dan berpinggiran lebar, meskipun perisainya sendiri kerap digambar mengikuti ragam heraldik Bizantin, dan jika menampilkan mitra maka bentuk mitranya sama dengan mitra yang digunakan dalam ibadat menurut ritus masing-masing.[68]
Semboyan
Semboyan adalah kalimat singkat yang biasanya tercantum di sebelah bawah perisai sebagai suatu ungkapan keyakinan. Para uskup Katolik dan gereja-gereja Presbiterian mencantumkan semboyan pada lambang kebesaran mereka,[69] tetapi kebiasaan ini jarang didapati di kalangan uskup-uskup Anglikan.[47][2] Salah satu contoh lambang kebesaran uskup Anglikan yang bersemboyan adalah lambang kebesaran Rowan Williams, mantan Uskup Agung Canterbury.
Gustavo Testa, yang dilantik menjadi kardinal pada bulan Desember 1959, buru-buru menjadikan perisai bertuliskan kalimat sola gratia tua (hanya berkat kesudianmu) sebagai lambang kebesarannya disertai semboyan et patria et cor (baik tanah air maupun sanubari) agar tidak melewati batas waktu penerbitan. Gustavo Testa memberi penjelasan kepada Paus Yohanes XXIII bahwa kalimat pada perisai bermakna "saya menjadi seorang kardinal semata-mata karena engkau", dan semboyannya bermakna "karena saya ini orang Bergamo sekaligus seorang sahabat".[70]
Sosok Santo Petrus sudah digambarkan menggenggam sepasang anak kunci semenjak abad ke-5. Karena Gereja Katolik Roma menghormatinya sebagai paus pertama sekaligus uskup pertama kota Roma, maka gambar sepasang anak kunci pun dijadikan salah satu tanda pengenal Sri Paus. Gambar sepasang anak kunci pertama kali muncul dalam lambang kebesaran Sri Paus pada abad ke-13.[71] Gambar sepasang anak kunci serenjang kerap ditampilkan pada kepingan uang logam, tetapi kemudian digunakan sebagai lambang Basilika Santo Petrus sejak abad ke-15. Gambar sepasang anak kunci serenjang terakhir kali muncul pada perisai lembaga kepausan pada tahun 1555, dan selanjutnya tergantikan oleh gambar sepasang anak kunci bersilang.[72] Sepasang anak kunci ini terdiri atas sebatang anak kunci emas dan sebatang anak kunci perak. Anak kunci emas digambar miring ke kanan-heraldik (ke kiri menurut sudut pandang orang yang melihat gambar) pada lambang kebesaran pribadi Sri Paus, meskipun gambar sepasang anak kunci perak atau sepasang anak kunci emas juga pernah digunakan sampai abad ke-16.[73] Sepasang anak kunci sebagai lambang Santo Petrus dapat dijumpai dalam banyak lambang kebesaran. Gambar sepasang anak kunci perak bersilang ditampilkan pada lambang kebesaran Kepangeranan Keuskupan Agung Bremen, karena Santo Petrus dihormati di swapraja ini sebagai santo pelindung Katedral Keuskupan Agung Bremen.
Tiara paus atau triregnum adalah tiga susun mahkota ningrat yang dikenakan Sri Paus selaku penguasa berdaulat. Tiara dijadikan salah satu tanda pengenal Sri Paus untuk pertama kalinya pada abad ke-13, meskipun kala itu masih berupa satu mahkota ningrat saja.[74] Pada abad ke-15, gambar tiara dipadukan dengan gambar sepasang anak kunci sebagai hiasan perisai Sri Paus. Gambar tiara bersama sepasang anak kunci pada perisai merupakan lambang negara Kota Vatikan. Dalam ruang lingkup heraldik, tiara putih ini digambarkan bersama sebuah kopiah menggelembung dengan dua utas pita merah yang disebut lapet atau infulae.[75]Lambang kebesaran Sri Paus Benediktus XVI memicu kontroversi karena menampilkan gambar mitra dan palium sebagai ganti gambar tiara yang sudah lazim menghiasi lambang kebesaran seorang paus.
Selain Takhta Suci, ada takhta keuskupan Katolik lain yang juga berhak menampilkan gambar tiara pada lambang kebesarannya, yakni Kebatrikan Lisboa.[76] Jabatan Batrik Lisboa diciptakan pada tahun 1716, dan dijabat oleh Uskup Agung Lisboa sejak tahun 1740. Jika lambang kebesaran Takhta Suci menampilkan tiara bersama sepasang anak kunci Santo Petrus yang silang-menyilang, maka lambang kebesaran Kebatrikan Lisboa menampilkan tiara bersama salib prosesi dan tongkat gembala.
Mula-mula ombrellino adalah kanopi atau payung prosesi bergaris-garis merah dan emas yang didapati sudah digambarkan dalam wujud yang demikian sejak abad ke-12.[77]Ombrellino tertua dalam heraldik adalah gambar ombrellino di atas perisai lambang kebesaran Paus Martinus V dari era 1420-an. Ombrellino lebih lazim ditampilkan bersama sepasang anak kunci. Kombinasi semacam ini pertama kali direka pada masa jabatan Paus Aleksander VI.[78] Gabungan dua tanda pengenal ini dijadikan lambang kekuasaan pemerintah sementara Kota Vatikan di sela masa jabatan dua orang paus, manakala kardinal kamerlenggo menjalankan pemerintahan selaku penjabat kepala negara. Tanda pengenal ini pertama kali muncul bersama lambang kebesaran pribadi seorang kardinal pada kepingan uang logam yang dicetak atas perintah Kamerlenggo Kardinal Armellini, penjabat kepala negara Kota Vatikan selama masa interregnum tahun 1521. Pada abad ke-17 dan ke-18, tanda pengenal ini muncul pada kepingan uang logam yang dicetak sede vacante oleh para legatus Sri Paus, serta pada kepingan uang logam yang dicetak pada tahun 1746 dan 1771 selagi seorang paus masih menjabat.[79]Ombrellino muncul pada lambang kebesaran basilika-basilika sejak abad ke-16, bersama dengan hiasan-hiasan untuk basilika-basilika besar. Jika muncul pada lambang kebesaran pusaka keluarga, maka gambar ombrellino menandakan bahwa pernah ada anggota keluarga ini yang menjadi paus.[80]
Lambang kebesaran Sri Paus sering kali dihiasi gambar malaikat-malaikat sebagai penopang.[81] Lambang kebesaran rohaniwan Katolik lain dan rohaniwan Anglikan tidak dihiasi gambar penopang, kecuali jika gambar penopang diterima sebagai tanda penghargaan, atau jika lambang kebesaran pusaka keluarganya memang memiliki gambar penopang.[47][2] Sejumlah lambang kebesaran katedral menampilkan gambar sebuah kursi (cathedra) sebagai penopang tunggal.[82]
Tanda pengenal kesatria
Rohaniwan Katolik Roma yang berstatus kesatria tidak dibenarkan menampilkan tanda-tanda pengenal kesatria pada lambang kebesarannya, selain dari bintang atau lencana tanda kehormatan yang diterimanya selaku anggota Tarekat Makam Suci atau Tarekat Militer Berdaulat Malta. Jika diizinkan, rohaniwan Katolik Roma boleh menampilkan gambar Salib Yerusalem yang berwarna merah selaku anggota Tarekat Makam Suci atau gambar Salib Malta selaku anggota Tarekat Militer Berdaulat Malta di belakang perisai, atau boleh menampilkan gambar pita tanda pangkatnya dalam tarekat yang bersangkutan.[83] Pembatasan semacam ini tidak berlaku bagi umat awam yang telah dilantik menjadi kesatria tarekat keprajuritan kerajaan atau tarekat keprajuritan Takhta Suci, yang dibenarkan menampilkan tanda-tanda pengenal jenjang kepangkatan pada lambang kebesaran mereka, baik gambar pita di bawah perisai maupun gambar rantai di sekeliling perisai.
Rohaniwan Gereja Inggris dibenarkan menampilkan tanda-tanda pengenal kesatria. Dekan Westminster juga merangkap jabatan Dekan Tarekat Kesatria Permandian, sehingga berhak menampilkan gambar lencana sipil tarekat tersebut pada lambang kebesarannya.[84]
^Lartigue, Dictionnaire & Armorial, berisi contoh-contoh lambang kebesaran uskup agung abad ke- 19 yang dihiasi sepasang rangkaian 30 buah tasel, misalnya Lyonnet (hlm. 236b), De Breil (hlm. 134b), Forcade (hlm. 150b), Fruchaud (hlm. 172a).
^Fox-Davies, A Complete Guide to Heraldry, hlm.470; Lihat lambing kebesaran pendeta Denis TownerDiarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.. Seagaimana yang tampak dalam Register Umum Skotlandia, istilah 'topi gerejawi' dapat saja berwujud kopiah Jenewa, kendati jarang sekali terjadi.
^von Volborth, Heraldry of the World, hlm. 171, menampilkan lambang kebesaran Kardinal Francis Spellman yang dihiasi gambar mitra pada tahun 1967, dua tahun menjelang tahun 1969 Instruction.
^Fox-Davies, A Complete Guide to Heraldry, hlm. 467,469. Pemakaian gambar mahkota ningrat oleh seluruh uskup agung merupakan tindakan yang "keliru" dan "tidak tepat".
^Fox-Davies, A Complete Guide to Heraldry, hlmn. 466–467. Lambang kebesaran Keuskupan Agung Westminster dan versi-versi lama lambang kebesaran Keuskupan Agung York juga menampilkan gambar palium.
^Fox-Davies, A Complete Guide to Heraldry, hlm. 466
Lartigue, Jean-Jacques (2000). Dictionnarie & Armorial de L'Épiscopat Français (1200–2000). L'Intermédiare des Chercheurs et Curieux. ISBN2-908003-19-8.
1 Nontradisional berarti tidak umum digunakan dalam heraldik, biasanya muncul dalam lambang-lambang kebesaran regional atau modern, kadang-kadang dianggap bukan bagian dari heraldik