Sedari dahulu Gereja Maronit berkarya di kawasan Levant, khususnya di daerah sekitar Gunung Lebanon. Pusat tadbir Gereja ini berkedudukan di Bkerke, sebelah utara dari kota Beirut. Sepanjang sejarahnya, Gereja ini pernah pula berpusat di Kfarhay, Yanouh, Mayfouq, dan Lembah Qadisha. Meskipun demikian, akibat emigrasi sejak abad ke-19, sekitar dua pertiga umat Gereja ini berada di luar "lingkup Antiokhia" dan menetap di kantong-kantong diaspora Lebanon di Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika.
Pembentukan Gereja Maronit terjadi dalam tiga kurun waktu, mulai dari abad ke-4 sampai abad ke-7. Periode pertama ditandai oleh terbentuknya sebuah jemaat yang dipimpin oleh Santo Maron selaku pemimpin dan santo pelindung. Periode kedua bermula dengan pendirian Biara Santo Maron di Orontes yang dibangun selepas Konsili Kalsedon guna mempertahankan ajaran-ajaran Konsili itu.[3] Biara ini disebut-sebut dalam catatan-catata sejarah kuno sebagai "Biara Terbesar" di wilayah Secunda Syria, dengan lebih dari 300 pertapaan di sekitarnya.[4] Sesudah 518, biara ini secara de facto membentuk banyak paroki di Prima Syria, Cole Syria, dan Fenisia. Periode ketiga adalah masa sede vacante sesudah peristiwa penaklukan Islam atas kawasan Levant. Menurut tradisi Maronit, para uskup dari Biara Santo Maron akhirnya memilih Yohanes Maron sebagai batrik pada ca. 685 M. Gereka Ortodoks Yunani Antiokhia kembali memiliki batrik pada 751 M.[5]
Maron, seorang rahib abad ke-4, rekan sezaman sekaligus sahabat St. Yohanes Krisostomus, pindah dari Antiokhia ke Sungai Orontes untuk menjalani hidup sebagai seorang pertapa, meneladani Antonius Agung dari gurun dan Pakomius. Banyak pengikutnya juga menjalani hidup kebiaraan. Setelah kematian Maron pada 410 Masehi, murid-muridnya mendirikan sebuah biara untuk mengenangnya dan membentuk cikal bakal Gereja Maronit.
Para pengikut Maron berpegang teguh pada ajaran Konsili Kalsedon pada 451 Masehi. Ketika kaum monofisit Antiokhia membantai 350 rahib, kaum Maronit mengungsi ke pegunungan Lebanon. Surat-menyurat sehubungan dengan peristiwa tersebut menghasilkan pengakuan kepausan dan ortodoksi atas kaum Maronit, yang dikukuhkan oleh Paus Hormisdas (514-523 Masehi) pada 10 Februari 518 Masehi. Sebuah biara dibangun di sekitar makam St. Maron sesudah Konsili Kalsedon.[6]
Keshayidan Batrik Antiokhia pada dasawarsa pertama abad ke-7, baik oleh tangan-tangan serdadu Persia ataupun kaum Yahudi setempat,[7] membuat kaum Maronit kehilangan pemimpin. Keadaan ini berkepanjangan akibat Perang Bizantin–Sassanid pada 602–628 yang terakhir dan terparah. Seusai perang, Kaisar Heraclius mengedepankan sebuah doktrin kristologi baru sebagai upaya menyatukan berbagai Gereja Kristen di Timur. Ajaran ini, yakni monotelitisme, dimaksudkan sebagai semacam kompromi antara para pendukung Kalsedon, seperti kaum Maronit, dengan lawan-lawannya, seperti kaum Yakobit. Ajaran baru ini justru menimbulkan pertentangan yang lebih besar lagi, dan dinyatakan sebagai bidaah oleh konsili ekumenis ke-6 pada 680-681. Meskipun demikian, sumber-sumber Yunani dan Arab sezaman mengklaim bahwa kaum Maronit menerima monotelitisme, menolak konsili ke-6 dan terus berpegang pada ajaran sesat itu dan baru melepaskannya pada era perang salib agar tidak dicap sesat oleh para tentara salib. Gereja Maronit modern menolak anggapan bahwa kaum Maronit pernah menjadi penganut monotelitisme, dan persoalan tersebut masih dipertentangkan sampai hari ini.[8]
Pada 687 Masehi, Kaisar Justinianus II menyetujui rencana evakuasi ribuan kaum Maronit dari Lebanon untuk ditempatkan di kawasan lain. Timbullah kekacauan dan ketakutan yang mendorong kaum Maronit pada tahun itu juga memilih batrik pertama mereka, Yohanes Maron. Oleh karena itu, ketika Islam mulai tampak di perbatasan Kekaisaran Bizantium dan baris depan yang padu dibutuhkan untk menahan infiltrasi Islam, kaum Maronit justru sibuk mempertahankan kebebasan mereka dari kekuasaan kekaisaran. Keadaan ini dialami pula oleh komunitas-komunitas Kristen lainnya dalam Kekaisaran Bizantium, sehingga mempermudah penaklukan kaum Muslim atas belahan Timur dunia Kristen di penghujung abad itu.
Era pemerintahan Muslim
Setelah tunduk di bawah pemerintahan Arab usai penaklukan kaum Muslim atas Suriah, hubungan baik kaum Maronit dengan Kekaisaran Bizantium mulai pulih. Dewan kekaisaran, belajar dari kesalahan masa lalu, melihat mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Karena itu Kaisar Bizantium Konstantinus IV memberi dukungan langsung kepada kaum Maronit baik dalam bidang gerejawi, politik, dan militer. Persekutuan baru ini segera mengatur serangan-serangan mematikan terhadap bala tentara Muslim, memberi kelegaan yang disambut gembira oleh umat Kristen yang terkepung di seluruh Timur Tengah. Pada masa itu sebagian kaum Maronit dipindahkan ke Gunung Lebanon dan membentuk beberapa paguyuban yang kemudian dikenal sebagai kaum Marada. Ini adalah menurut pandangan Batrik Maronit abad ke-17 Estephan El Douaihy (juga dikenal sebagai Istifan Al Duwayhi, أسطفان الدويهي, "Bapak Sejarah Maronit" dan "Soko guru Gereja Maronit").
Pandangan lain dikemukakan oleh Ibn al-Qilaii, seorang sarjana Maronit abad ke-16, yang mengatakan bahwa umat Maronit mengungsi dari penindasan Kekhalifahan Umayyah pada akhir abad ke-9 Masehi.
Teori yang paling umum dikemukakan oleh Sergius dari Tirus, seorang sarjana abad ke-10 Masehi, adalah bahwasanya umat Maronit mengungsi dari penindasan kaum Yakobitmonofisit, karena menganut bidaah monotelitisme. Teori ini lebih dapat dipercaya, karena hampir semua komunitas Kristen menganut monotelitisme sesudah diperkenalkan oleh Batrik Sergius I dari Konstantinopel. Migrasi umat Maronit ke wilayah pegunungan berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, tetapi puncaknya mestilah terjadi pada abad ke-7.
Sekitar 1017 Masehi, muncullah sebuah sekte Muslim baru yang menyebut dirinya kaum Druze. Umat Maronit pada masa itu, sebagai kaum yang berstatus dzimmi, diwajibkan mengenakan jubah dan serban hitam, agar mudah teridentifikasi; mereka juga dilarang menunggang kuda.
Sesudan ditaklukannya belahan Timur dunia Kristen di luar Anatolia dan Eropa oleh kaum Muslim, dan ditetapkannya batas-batas kekuasaan antara para Khalifah Islam dan para Kaisar Bizantium, jarang terdengar kabar tentang umat Maronit selama 400 tahun. Hidup dibentengi pegunungan sampai dijumpai kembali di gunung-gunung sekitar Tripoli oleh tentara Salib Raymond dari Toulouse dalam perjalanannya menaklukkan Yerusalem pada Perang Salib Pertama. Kelak Raymond kembali untuk mengepung Tripoli setelah menaklukkan Yerusalem, dan hubungan antara umat Maronit dengan umat Kristen Eropa pun terjalin kembali.
Era perang salib
Pada penghujung abad ke-11, tatkala para tentara Salib bergerak menuju kawasan Levant untuk menumbangkan pemerintahan Islam, mereka melintasi pegunungan Lebanon dan berpapasan dengan kaum Maronit. Kaum Maronit telah hidup terpisah dari dunia Kristen selama kurang lebih 400 tahun. Gereja di Roma tidak menyangka kalau kaum Maronit masih eksis. Para tentara Salib dan kaum Maronit menjalin hubungan baik dan sejak itu saling bantu satu sama lain.
Selama perang Salib pada abad ke-12 Masehi, kaum Maronit membantu para tentara Salib dan meneguhkan keterikatan mereka dengan Tahta Suci pada 1182 Masehi. Mulai saat itu kaum Maronit tak terpisahkan dari ortodoksi gerejawi dan kesatuan Gereja Katolik. Sebagai tanda ikatan itu, Batrik Maronit Youseff Al Jirjisi menerima tajuk dan tongkat lambang otoritasnya dari Paus Paskalis II pada 1100 Masehi. Pada 1131, Batrik Maronit Gregorios Al-Halati menerima surat dari Paus Innosensius II yang berisi pengakuan kepausan atas otoritas Kebatrikan Maronit.
Dalam waktu yang lama kaum Maronit hidup terisolasi dari umat Kristen Kekaisaran Bizantium dan Eropa Barat. Akibatnya mereka mengangkat batrik sendiri, mulai dari Yohanes Maron, yang sebelumnya menjabat sebagai Uskup Batroun, Gunung Lebanon. Dari dialah kaum Maronit sekarang ini mengklaim suksesi apostolik penuh melalui tahta keuskupan Antiokhia. Meskipun demikian, timbul kontroversi seputar klaim ini, mengingat bahwa sebagian kaum Maronit didakwa telah sepenuhnya mengadopsi bidaah monotelitisme. Kontroversi ini mengakibatkan beberapa kali terjadi perang saudara (misalnya pada 1282 dan 1499 Masehi).
Organisasi
Kepala Gereja Maronit dalah Batrik Maronit di Antiokhia, yang dipilih oleh para uskup Gereja Maronit dan kini berkedudukan di Bkirki, sebelah utara dari Beirut (Batrik Maronit berdiam di Utara kota Dimane selam bulan-bulan musim panas). Batrik saat ini (menjabat sejak tahun 1986) adalah Kardinal Mar Nasrallah Boutros Sfeir. Pada saat seorang batrik baru terpilih dan dilantik, dia mengajukan permohonan persekutuan gerejawi kepada Paus, dan dengan demikian memelihara persekutuan Gereja Katolik. Para batrik juga disetarakan dengan Kardinal, pada jenjang Kardinal-Uskup (jenjang tertinggi dalam dewan Kardinal).
Umat Maronit memiliki doktrin yang sama dengan umat Katolik lainnya, namun mereka mempertahankan liturgi dan hierarki sendiri. Singkatnya, Gereja Maronit tergolong dalam Tradisi Antiokhia dan termasuk Ritus Siro-Antiokhia Barat. Bukan Bahasa Latin melainkan Bahasa Syria yang digunakan sebagai bahasa liturgisnya.
Komitmen pribadi Kardinal Sfeir untuk melakukan reformasi liturgis pada tahun 1980an dan 1990an, membuahkan hasil pada tahun 1992 dengan terbitnya buku tata ibadah Maronit yang baru. Buku ini mewakili suatu usaha untuk kembali ke bentuk asli dari liturgi Antiokhia. Ibadat Sabda digambarkan lebih kaya daripada dalam tata ibadah sebelumnya, dan tata ibadah baru ini memperkenalkan enam Anafora (Doa Ekaristi).
Hidup selibat tidak diwajibkan bagi para diakon atau imam paroki, akan tetapi para biarawan diwajibkan selibat, karena para uskup lazimnya dipilih dari biara-biara. Para uskup yang menjabat sebagai epark dan Arkepark dari Eparki dan Arkeparki (setara dengan keuskupan dan keuskupan agung dalam Gereja Barat) bertanggung jawab kepada batrik.
Tidak diketahui jumlah yang pasti dari populasi umat Maronit di seluruh dunia, namun diperkirakan sekurang-kurangnya ada 15 juta jiwa, menurut Gereja Katolik. Kira-kira 800.000 sampai 900.000 jiwa berdiam di Lebanon, di mana mereka merupakan 25% dari populasi negara itu. Berdasarkan permufakatan rakyat Lebanon antar para pimpinan berbagai agama, presiden Lebanon haruslah seorang Maronit. Umat Maronit di Syria berjumlah total 40.000 jiwa dan bergabung dalam keuskupan agung Aleppo, keuskupan agung Damaskus, dan keuskupan Latakia. Ada pula suatu komunitas umat Maronit di Siprus yang menggunakan Bahasa Arab Maronit Siprus. Mereka diakui sebagai suatu kelompok keagamaan minoritas di pulau itu dan memiliki seorang wakil yang duduk dalam dewan perwakilan (parlemen) guna menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka. Kemungkinan mereka adalah keturunan dari orang-orang Maronit yang menyertai para prajurit Perang Salib di tempat itu.
Pada masa modern, umat Maronit, seperti halnya umat Kristiani lainnya di kawasan Levant, sering kali memilihkan nama-nama Prancis atau nama-mana Eropa Barat lainnya bagi anak-anaknya seperti "Michel", "Georges", "Carole", "Charles", "Antoine", dan "Pierre". Nama diri dari Bahasa Arab yang identik dengan nama saudara-saudara Muslim mereka juga lazim digunakan, seperti "Khalil," "Samir," "Salim," "Jamil," atau "Taufik." Beberapa nama Arab hanya khusus untuk umat Kristiani dan berakar dari Bahasa Aram, atau Bahasa Arab Lebanon, dari nama-nama Alkitab, dari Bahasa Ibrani, atau dari nama-nama Kristen Yunani, seperti "Antun," (Antonius, atau juga "Tanios" atau "Tannous"), "Butros" (Petrus), "Semaan" or "Shamaoun" (Simon), "Jeryes" (Georgius), "Elie" (Ilyas, atau Elias), dan "Beshara" (secara harfiah berarti, "Khabar Baik" dalam arti Injil). Banyak pula yang dinamai menurut orang-orang Kudus Maronit, termasuk nama-nama Aram seperti "Maroun" (menurut nama Santo Pelindung mereka, Maron), dan "Sharbel", atau "Charbel", serta "rafqa".