Dokumen ini,[1] tertanggal 7 Juli 2007 dan dijalankan semenjak tanggal 14 September 2007, dikeluarkan bersama dengan sepucuk surat di mana Paus Benediktus XVI menjelaskan alasan-alasannya untuk menerbitkan dokumen ini.[2]
Dokumen ini menggantikan motu proprioEcclesia Dei tahun 1988, yang memperbolehkan para uskup secara pribadi untuk mendirikan tenpat-tempat di mana misa bisa dirayakan menggunakan tata cara tahun 1962. Dokumen ini memberikan kebebasan yang lebih besar untuk menggunakan liturgi Tridentina dalam bentuk tahun 1962-nya, dengan menyatakan bahwa semua imam bolah secara bebas merayakan misa sesuai tata cara tahun 1962 secara pribadi, tanpa harus meminta izin dari pihak manapun. Dokumen ini juga menyatakan bahwa para imam (imam paroki) dan rektor gereja harus mau menerima permintaan dari kelompok-kelompok umat tertentu yang mengikuti tradisi liturgis yang lama ("ubi coetus fidelium traditioni liturgicae antecedenti adhaerentium continenter exsistit" - Artikel 5) untuk mengizinkan seorang imam yang memenuhi syarat untuk merayakan misa bagi mereka menggunakan tata cara misa tahun 1962, dan harus "memastikan bahwa kesejahteraan para umat ini selaras dengan layanan pastoral paroki pada umumnya, di bawah bimbingan Uskup".
Dalam surat pendampingnya, Paus Benediktus XVI menjelaskan bahwa tindakannya itu diarahkan untuk menyediakan sarana secara luas dan berkelimpahan bagi ritual-ritual yang telah menumbuh-kembangkan para umat selama berabad-abad dan ditujukan pada "kehadiran sebuah rekonsiliasi interior di dalam hati Gereja" dalam perselisihan antara Kaum Katolik Tradisional dengan Tahta Suci, seperti para anggota Kelompok Santo Pius X. Ia menyatakan bahwa, walau awalnya terpikir bahwa kepentingan Misa Tridentina akan hilang bersamaan dengan generasi tua umat yang tumbuh bersamanya, beberapa generasi muda pun "tertarik padanya dan menermukan di dalamnya suatu bentuk pengalaman dengan misteri Ekaristi yang secara khusus selaras dengan mereka." Dari sudut pandang adanya ketakutan yang muncul saat dokumen ini sedang dirancang, ia secara khusus menekankan bahwa keputusannya itu sama sekali tidak mengurangi otoritas Konsili Vatikan Kedua dan bahwa, tidak hanya untuk alasan-alasan yuridis, namun juga karena persyaratan akan "tingkat pembentukan liturgis dan pengetahuan akan Bahasa Latin" sering kali jarang ditemukan, Misa Paulus VI tetap menjadi bentuk "normal" atau "umum" dari liturgi Ekaristi Ritus Romawi.[3]