Xerxes I terkenal dalam sejarah Barat karena invasinya ke Yunani pada 480 SM. Pasukannya untuk sementara menguasai daratan Yunani di utara Tanah Genting Korintus sampai kekalahan di Salamis dan Plataea setahun kemudian dan mengakhiri pendudukan. Namun, Xerxes berhasil menumpas pemberontakan di Mesir dan Babil. Xerxes juga mengawasi penyelesaian berbagai proyek konstruksi di Susan dan Parsa.
Nama
Nama Xerxes diturunkan dari namanya dalam bahasa Iran kuno, Xšaya-ṛšā (penguasa atas para pahlawan), yang tersusun dari xšaya "berkuasa" dan ṛšā "pahlawan, manusia".[1] Nama Xerxes dalam bahasa Akkadia adalah Ḫi-ši-ʾ-ar-šá dan dalam bahasa Aram adalah ḥšyʾrš.[2] Xerxes kemudian menjadi nama yang populer digunakan oleh penguasa Dinasti Akhemeniyah pada masa-masa setelahnya.[1]
Ahasyweros berasal dari ejaan resmi yang digunakan Alkitab (kitab suci Kristen) Bahasa Indonesia Terjemahan Baru, terjemahan dari bahasa Ibrani אֲחַשְׁוֵרוֹשׁ ʼĂḥašwērôš. Dipercaya bentuk nama ini juga turunan dari namanya dalam bahasa Iran kuno Xšaya-ṛšā, diturunkan ke dalam bahasa Babilonia Aḥšiyaršu, kemudian menjadi Akšiwaršu, diturunkan dalam bahasa Ibrani menjadi Ăḥašwêrôš.[3]
Penulisan sejarah
Sebagian besar citra buruk Xerxes disebabkan oleh propaganda raja MakedoniaAleksander Agung (berkuasa 336–323 SM).[4] Sejarawan modern Richard Stoneman menganggap penggambaran Xerxes lebih bernuansa tragis dalam karya sejarawan Yunani kontemporer Herodotos.[4] Namun, banyak sejarawan modern setuju bahwa Herodotos mencatat informasi palsu.[5][6] Pierre Briant mendakwanya menyajikan penggambaran stereotip dan bias dari Persia. Banyak tablet tanah liat era Akhemeniyah dan laporan lain yang ditulis dalam bahasa Elam, Akkadia, Mesir, dan Aram sering bertentangan dengan laporan penulis klasik Yunani dan Latin, yaitu Ktesias, Plutarkhos, dan Yustinus Frontinus.[7]
Awal kehidupan
Orang tua dan kelahiran
Ayah Xerxes adalah Darius Agung, Raja Diraja Iran yang berkuasa pada 522 SM – 486 SM. Ibu Xerxes adalah Atosa, putri Koresy Agung, Raja Diraja Iran pertama dari kalangan bangsa Persia, berkuasa pada 550 SM – 530 SM. Darius dan Atosa menikah pada 522 SM[8] dan Xerxes lahir sekitar tahun 518 SM.[9]
Pengasuhan dan didikan
Catatan dialog antara Sokrates dan Alkibiades menggambarkan pendidikan dan pengajaran khas pangeran Persia. Mereka dibesarkan oleh para kasim. Saat mencapai usia 7 tahun, mereka belajar berkuda dan berburu; pada usia 14, mereka diajar oleh empat guru keturunan bangsawan, yang mengajari mereka bagaimana menjadi "bijaksana, adil, berhati-hati, dan berani."[10] Pangeran Persia juga diajari tentang dasar-dasar agama Zoroastrian, untuk jujur, menahan diri, dan berani.[10] Dialog lebih lanjut menambahkan bahwa "ketakutan, bagi orang Persia, sama dengan perbudakan."[10] Pada usia 16 atau 17 tahun, mereka memulai "dinas nasional" mereka selama 10 tahun, termasuk berlatih memanah dan lembing, bersaing memperebutkan hadiah, dan berburu.[11] Setelah itu mereka bertugas di militer selama sekitar 25 tahun dan kemudian diangkat ke status penatua dan penasihat kaisar.[11]
Catatan tentang pendidikan di kalangan elit Persia ini didukung oleh penggambaran dari Xenophon tentang pangeran Akhemeniyah abad ke-5 SM, Koresy Muda, yang sangat dikenalnya dengan baik.[11] Stoneman berpendapat bahwa ini adalah jenis asuhan dan pendidikan yang diberikan pada Xerxes.[12] Tidak diketahui apakah Xerxes pernah belajar membaca atau menulis, lantaran bangsa Persia lebih menyukai sejarah lisan daripada sastra tertulis.[12] Stoneman berpendapat bahwa pengasuhan dan pendidikan Xerxes mungkin tidak jauh berbeda dengan para raja diraja Iran di kemudian hari, seperti Abbas Agung, Raja Diraja Iran dari Dinasti Safawi yang berkuasa pada abad ke-17 M.[12] Mulai dari 498 SM, Xerxes tinggal di istana kerajaan Babil.[13]
Naik takhta
Sementara Darius sedang mempersiapkan perang lain melawan Yunani, sebuah pemberontakan terjadi di Mesir pada tahun 486 SM karena pajak yang tinggi dan deportasi para pengrajin untuk membangun istana kerajaan di Susan dan Parsa. Di bawah hukum Persia, kaisar diharuskan memilih penerus sebelum melakukan ekspedisi berbahaya. Ketika Darius memutuskan untuk pergi (487–486 SM), dia (Darius) menyiapkan makamnya di Naqsy-e Rustam (lima kilometer dari istananya di Parsa) dan menunjuk Xerxes, putra sulungnya oleh Atosa, sebagai penggantinya. Namun, Darius tidak dapat memimpin kampanye karena kesehatannya yang menurun dan meninggal pada Oktober 486 SM pada usia 64 tahun.[14]
Artobazan kemudian mengklaim takhta lantaran statusnya sebagai putra sulung Darius. Xerxes menyatakan bahwa dirinya lebih pantas atas takhta lantaran ibunya, Atosa, adalah Koresy Agung yang merupakan pendiri Kekaisaran Akhemeniyah. Klaim Xerxes juga didukung oleh seorang raja Sparta di pengasingan yang hadir di Iran pada saat itu, Raja Demaratos dari keluarga Eurypontid, yang juga berpendapat bahwa putra tertua tidak secara otomatis berarti mereka memiliki klaim atas takhta, karena hukum bangsa Sparta menyatakan bahwa putra pertama yang lahir saat ayahnya berkuasa adalah pewaris takhta.[15] Beberapa sarjana modern juga melihat keputusan yang tidak biasa dari Darius untuk memberikan takhta kepada Xerxes sebagai hasil dari pertimbangannya akan kedudukan khusus yang dinikmati Koresy Agung dan putrinya, Atosa, di kalangan bangsa Persia.[16] Artobazan lahir saat Darius masih berstatus bawahan atau belum naik takhta, sementara Xerxes adalah putra tertua yang lahir saat Darius berkuasa. Di sisi lain, ibu Artobazan adalah orang biasa sementara ibu Xerxes adalah putri pendiri kekaisaran.[17]
Xerxes dimahkotai dan menggantikan ayahnya pada Oktober–Desember 486 SM[18] ketika ia berusia sekitar 36 tahun.[19] Peralihan kekuasaan ke Xerxes cenderung lancar, sebagiannya lantaran pengaruh besar dari Atosa,[20] dan jalannya untuk naik takhta tidak mendapat penentangan berarti oleh siapa pun, baik di istana, dalam keluarga Akhemeniyah, atau di antara negara bawahan.[21]
Menggalang kekuatan
Setelah penobatan Xerxes, masalah muncul di beberapa wilayahnya. Sebuah pemberontakan terjadi di Mesir, tampak cukup berbahaya bagi Xerxes untuk secara pribadi memimpin pasukan, tapi juga memberinya kesempatan untuk memulai pemerintahan dengan kampanye militer.[22] Xerxes menekan pemberontakan pada Januari 484 SM, dan mengangkat saudara kandungnya Haxamanisy (Akhaemenes) sebagai satrap (gubernur) Mesir, menggantikan Farnadata (Pherendates) yang dilaporkan tewas selama pemberontakan.[23][13] Memadamkan pemberontakan Mesir menghabiskan tentara yang telah dihimpun Darius selama tiga tahun sebelumnya. Oleh karena itu, Xerxes harus membentuk pasukan lain untuk ekspedisinya ke Yunani, dan ini memakan waktu empat tahun.[22] Di Babil, setidaknya terjadi dua kali pemberontakan melawan Xerxes. Pemberontakan pertama pecah pada bulan Juni atau Juli 484 SM dan dipimpin oleh seorang pemberontak bernama Bel-syimanni. Pemberontakan Bel-syimmani berumur pendek, yakni sekitar dua pekan sebagaimana tertulis dalam berkas Babilonia.[24]
Dua tahun kemudian, muncul kembali pemberontakan di Babil, kali ini dipimpin Syamasy-eriba. Dimulai pada musim panas 482 SM, Syamasy-eriba merebut Babil itu sendiri dan kota-kota terdekat lainnya, seperti Borsippa dan Dilbat, dan baru dikalahkan pada Maret 481 SM setelah pengepungan panjang Babil.[24] Penyebab pasti kerusuhan di Babil tidak pasti,[22] tetapi kemungkinan masalah kenaikan pajak.[25] Sebelum pemberontakan ini, Babil memiliki kedudukan khusus dalam Kekaisaran Akhemeniyah. Salah satu gelar resmi dari para Raja Diraja Akhemeniyah adalah "Raja Babil", memandang Babilonia sebagai negara terpisah dari Iran, hanya saja dipimpin orang yang sama. Xerxes kemudian gelarnya sebagai Raja Babil, sebagai bentuk penyatuan Babilonia dengan Kekaisaran Iran secara entitas kenegaraan. Dia kemudian membagi Babilonia yang sebelumnya berupa kesatrapan (provinsi) besar, menjadi beberapa sub-unit yang lebih kecil.[26]
Dari naskah para penulis klasik, Xerxes sering dipandang melakukan pembalasan brutal terhadap Babil setelah dua pemberontakan. Menurut penulis kuno, Xerxes menghancurkan benteng Babil dan merusak kuil-kuil di kota.[24] Esagila (kuil Dewa Marduk) diduga mengalami kerusakan besar dan Xerxes diduga membawa patung Marduk dari kota,[27] mungkin membawanya ke Iran dan mencairkannya (penulis klasik berpendapat bahwa patung itu seluruhnya terbuat dari emas sehingga memungkinkan untuk dicairkan).[24] Sejarawan modern Amélie Kuhrt menganggap tidak mungkin Xerxes menghancurkan kuil-kuil dan percaya bahwa kisah tentang hal tersebut mungkin berasal dari sentimen anti-Persia di antara orang Babilonia.[28] Diragukan apakah patung itu dipindahkan dari Babil sama sekali[24] dan beberapa bahkan menyarankan bahwa Xerxes memang memindahkan sebuah patung dari kota, tetapi ini adalah patung emas seorang pria dan bukan patung Dewa Marduk.[29][30] Meskipun penyebutannya sangat kurang dibandingkan dengan periode sebelumnya, berkas kontemporer menunjukkan bahwa Perayaan Tahun Baru Babilonia berlanjut dalam beberapa bentuk selama masa Akhemeniyah.[31] Lantaran perubahan pemerintahan dari Babilonia sendiri ke Persia dan karena penggantian keluarga elit kota oleh Xerxes setelah pemberontakan, ada kemungkinan bahwa ritual dan acara perayaan tradisional telah banyak berubah.[32]
Kampanye
Penyerangan ke daratan Yunani
Darius meninggal saat dalam proses mempersiapkan pasukan kedua untuk menyerang daratan Yunani, meninggalkan tugas pada Xerxes tugas menghukum orang-orang Athena, Naxos, dan Eretria atas campur tangan mereka dalam Pemberontakan Ionia, pembakaran Sardis, dan kemenangan mereka atas Persia di Pertempuran Marathon. Dari 483 SM, Xerxes mempersiapkan ekspedisinya: Kanal Xerxes digali melalui tanah genting semenanjung Gunung Athos, perbekalan disimpan di stasiun di jalan melalui Trakia, dan dua jembatan ponton yang kemudian dikenal sebagai Jembatan Ponton Xerxes dibangun di seberang Selat Hellespontos. Tentara Xerxes berasal dari berbagai macam bangsa yang ada di kekaisarannya, termasuk bangsa Asyur, Fenisia, Babilonia, Mesir, Yahudi,[33] Makedonia, Trakia Eropa, Paeonia, Yunani Akhaea, Ionia, penduduk pulau Aegea, Aiolis, Yunani dari Pontus, Kolkhis, India, dan banyak lagi.
Menurut sejarawan Yunani Herodotos, upaya pertama Xerxes untuk menjembatani Hellespontos berakhir dengan kegagalan ketika badai menghancurkan kabel rami dan papirus dari jembatan tersebut. Sebagai pembalasan, Xerxes memerintahkan Hellespontos (selat itu sendiri) dicambuk tiga ratus kali, dan belenggu dilemparkan ke dalam air. Upaya kedua Xerxes untuk membuat jembatan di Hellespontos berhasil.[37] Invasi Kartago ke Sisilia membuat Yunani kehilangan dukungan dari para penguasa Sirakusa dan Agrigento yang kuat. Sumber kuno menganggap Xerxes bertanggung jawab atas masalah ini, sementara para sarjana modern cenderung skeptis.[38] Banyak negara Yunani yang lebih kecil memihak Iran, terutama Thessalia, Thiva, dan Argos. Xerxes menang selama pertempuran awal.
Xerxes berangkat pada musim semi 480 SM dari Sardis dengan armada dan pasukan yang diperkirakan Herodotos dengan kekuatan satu juta tentara bersama dengan 10.000 prajurit elit. Perkiraan yang lebih baru menempatkan pasukan Iran di kisaran angka 60.000 pejuang.[39]
Pertempuran Thermopylae
Pada Pertempuran Thermopylae, pasukan kecil prajurit Yunani yang dipimpin oleh Raja Leonidas I dari Sparta melawan pasukan Iran yang jauh lebih besar, tetapi akhirnya dikalahkan. Menurut Herodotos, Iran mematahkan formasi falangs Sparta setelah seorang pria Yunani bernama Ephialtes mengkhianati negaranya dengan memberi tahu pihak Iran tentang jalan lain di sekitar pegunungan. Di Pertempuran Artemision, badai besar telah menghancurkan kapal-kapal dari pihak Yunani sehingga pertempuran berhenti sebelum waktunya dan orang-orang Yunani juga menerima berita tentang kekalahan di Thermopylae sehingga mereka mundur.
Setelah kemenangan di Thermopylae, pihak Iran menduduki Athena. Sebagian besar penduduk Athena telah meninggalkan kota dan melarikan diri ke pulau Salamis sebelum Xerxes tiba. Sekelompok kecil berusaha untuk mempertahankan Akropolis Athena, tetapi mereka dikalahkan. Xerxes memberi perintah untuk membumihanguskan Athena, meninggalkan lapisan kehancuran yang dibuktikan secara arkeologis, yang dikenal sebagai Perserchutt.[40] Iran dengan demikian menguasai semua daratan Yunani di utara Tanah Genting Korintus.[41]
Pertempuran Salamis dan Plataia
Xerxes dibujuk, oleh pesan Themistokles (melawan saran dari Ratu Artemisia I dari Halikarnasos), untuk menyerang armada Yunani dalam kondisi yang tidak menguntungkan, daripada mengirim sebagian kapalnya ke Peloponnesos dan menunggu pembubaran tentara Yunani. Pertempuran Salamis (September, 480 SM) dimenangkan oleh armada Yunani, setelah itu Xerxes mendirikan kamp musim dingin di Thessalia.
Menurut Herodotos, takut bahwa orang-orang Yunani mungkin menyerang jembatan di seberang Hellespontos dan menjebak pasukannya di Eropa, Xerxes memutuskan untuk mundur kembali ke Asia, membawa sebagian besar pasukan bersamanya.[42] Penyebab lain mundurnya kemungkinan adalah bahwa kerusuhan yang terus berlanjut di Babil, provinsi kunci kekaisaran, membutuhkan perhatian pribadi kaisar.[43] Dia meninggalkan kontingen di Yunani untuk menyelesaikan kampanye di bawah Mardonios, yang menurut Herodotos telah menyarankan mundur sejak awal. Pasukan ini dikalahkan pada tahun berikutnya di Pertempuran Plataia oleh pasukan gabungan dari negara-negara kota Yunani, mengakhiri serangan Iran terhadap Yunani.
Pemerintahan
Pembangunan
Setelah kegagalan serangan ke Yunani dan kembali ke Persia, Xerxes menyelesaikan pembangunan yang dimulai oleh ayahnya di Susan dan Parsa. Ia membangun "Gerbang Segala Bangsa" (juga dikenal "Gerbang Xerxes") dan "Balai Bertiang Seratus" di Parsa, yang merupakan bangunan terbesar dan termegah di istana. Dia mengawasi penyelesaian pembangunan Apadana, Tachara (istana Darius), dan gudang harta, semuanya dimulai dibangun atas perintah Darius, dan juga istana Xerxes sendiri yang dua kali lebih besar dari istana ayahnya. Dia memiliki batu bata berenamel berwarna-warni yang diletakkan di bagian luar Apadana.[44] Seleranya dalam arsitektur mirip dengan Darius, meskipun dalam ukuran lebih besar.[45] Ia juga memelihara "Jalan Kerajaan" yang dibangun ayahnya dan juga melengkapi gerbang Susan dan membuat istana di Susan.[46]
Agama
Sementara tidak ada mufakat di antara sejarawan mengenai pengaruh Zoroastrianisme dalam kehidupan keagamaan Xerxes dan pendahulunya, sudah jamak diketahui bahwa Xerxes mengimani Ahura Mazda sebagai dewa tertinggi. Namun, Ahura Mazda juga dipuja oleh penganut tradisi keagamaan (Indo-)Iran selain Zoroastrianisme.[47][48] Dalam perlakuannya terhadap agama lain, Xerxes mengikuti kebijakan yang sama seperti para pendahulunya, seperti membuat pengorbanan kepada dewa-dewa setempat dan menghancurkan kuil-kuil di kota-kota dan negara-negara yang menyebabkan kekacauan.[49]
Akhir hayat
Pada Agustus 465 SM, Artabanus, komandan pengawal kaisar dan pejabat paling berkuasa di istana Iran, membunuh Xerxes dengan bantuan seorang kasim, Aspamitres. Meskipun Artabanus memiliki nama yang sama dengan paman Xerxes yang terkenal, seorang Hyrcanian, kenaikannya menjadi terkenal adalah karena popularitasnya di tempat-tempat keagamaan di istana dan intrik harem. Dia menempatkan ketujuh putranya di posisi kunci dan memiliki rencana untuk melengserkan Dinasti Akhemeniyah.[50]
Sejarawan Yunani memberikan laporan yang bertentangan tentang peristiwa tersebut. Menurut Ktesias (dalam Persiká 20), Artabanus kemudian menuduh Putra Mahkota Darius, putra sulung Xerxes, atas pembunuhan tersebut dan membujuk putra Xerxes yang lain, Artahsasta, untuk membalas dendam ayah dengan membunuh Darius. Namun menurut Aristoteles (dalam Politiká 5.1311b), Artabanus membunuh Darius terlebih dahulu dan kemudian membunuh Xerxes. Setelah Artahsasta menemukan pembunuhan itu, dia membunuh Artabanus dan putra-putranya.[51] Berpartisipasi dalam intrik ini adalah Jenderal Bagabuxsya (Megabyzus), yang keputusan untuk beralih pihak mungkin menyelamatkan Dinasti Akhemeniyah dari kehilangan kendali mereka atas takhta Iran.[52]
Keluarga
Orang tua
Ayah — Darius I, Raja Persia yang berkuasa pada 522 SM – 486 SM
^The Achaemenid Empire in South Asia and Recent Excavations in Akra in Northwest Pakistan Peter Magee, Cameron Petrie, Robert Knox, Farid Khan, Ken Thomas hlm. 713
^Bailkey, Nels, ed. Readings in Ancient History, hlm. 175. D.C. Heath and Co., 1992.
^G. Mafodda, La monarchia di Gelone tra pragmatismo, ideologia e propaganda, (Messina, 1996) hlm. 119–136
^Barkworth, 1993. "The Organization of Xerxes' Army." Iranica Antiqua Vol. 27, hlm. 149–167
^Martin Steskal, Der Zerstörungsbefund 480/79 der Athener Akropolis. Eine Fallstudie zum etablierten Chronologiegerüst, Verlag Dr. Kovač, Hamburg, 2004
^Fergusson, James. A History of Architecture in All Countries, from the Earliest Times to the Present Day: 1. Ancient architecture. 2. Christian architecture. xxxi, 634 p. front., illus. hlm. 211.