Wakil Kristus atau Vikaris Kristus (dari bahasa Belanda: Vicaris van Christus, bahasa Latin: Vicarius Christi) adalah istilah yang kerap digunakan dengan berbagai makna dan konotasi teologis sepanjang sejarah. Istilah ini sekarang dipakai di lingkungan Gereja Katolik untuk menggelari para uskup,[1] teristimewa Uskup Roma atau Sri Paus.
Sejarah
Sepanjang Sejarah Kekristenan, gelar Vikaris Kristus pernah dipakai dengan berbagai macam makna, dengan implikasi teologis, pastoral, maupun waktu yang berbeda-beda.
Sebutan untuk uskup
Konsep yang mirip dengan Vikaris Kristus mula-mula mengemuka di dalam Surat kepada Jemaat di Magnesia yang ditulis Santo Ignasius, Uskup Antiokhia yang dipercaya pernah berguru secara langsung kepada Rasul Yohanes maupun Rasul Petrus.[2] Di dalam surat yang ditulis pada rentang waktu antara tahun 88 sampai 107 itu, Santo Ignasius mewejangi jemaat di Magnesia bahwa "uskupmu memimpin mewakili Allah...".[3] Kendati tidak menggunakan istilah Vikaris Kristus, Santo Ignasius boleh dikata sudah mencetuskan konsep tersebut dalam kaitannya dengan para uskup lokal. Lumen gentium, konstitusi dogmatis tentang Gereja yang dihasilkan Konsili Vatikan II, menegaskan bahwa para uskup adalah "wakil-wakil dan duta-duta Kristus",[1] sementara Katekismus Gereja Katolik menyebutkan bahwa tiap-tiap uskup memimpin keuskupannya "selaku wakil Kristus."[4]
Istilah Vikaris Kristus sendiri mula-mula muncul di dalam surat-surat Tertulianus yang ditulis pada akhir abad ke-2 dan awal abad ke-3. Istilah ini dipakai Tertulianus untuk menyifatkan Roh Kudus.[5] Maksudnya, lantaran Kristus tidak secara jasmani mengerjakan mukjizat-mukjizat di dalam Gereja, Roh Kuduslah yang berkarya mewakili Kristus, mengerjakan berbagai mukjizat dan menghindarkan Gereja dari kesesatan.[6] Peran-peran lain yang dikaitkan Tertulianus dengan Roh Kudus selaku Vikaris Kristus adalah pemelihara ketertiban, penyingkap Kitab Suci, pembaru akal budi, dan pemandu langkah menuju perkara-perkara yang lebih mulia.[7] Tidak diketahui apakah istilah ini pernah dipakai secara luas di lingkungan Gereja purba.
Sebutan untuk paus
Istilah Vikaris Kristus mulai dikait-kaitkan dengan Sri Paus sejak dipakai untuk menggelari Paus Gelasius I di dalam sebuah sinode para uskup yang diselenggarakan pada abad ke-5. Konotasi teologis dari gelar tersebut bernuansa pastoral, mengingatkan orang akan amanat Kristus kepada Petrus, rasul yang dihormati umat Kristen Katolik sebagai paus pertama. Dengan beramanat "Gembalakanlah domba-domba-Ku... Gembalakanlah domba-domba-Ku" (Yohanes 21:16–17), Kristus menetapkan Petrus menjadi wakilnya dan pengangon yang bertanggung jawab menggembalakan domba-domba Kristus (yakni Gereja) menggantikan Kristus sendiri.[8]
Meskipun demikian, para paus tidak selalu menyandang gelar Vikaris Kristus pada masa-masa awal sejarah Gereja, malah muncul sejumlah variasi, antara lain gelar "Vikaris Petrus" yang mengingatkan orang bahwa Sri Paus adalah pengganti Santo Petrus, gelar "Vikaris Penghulu Para Rasul", dan gelar "Vikaris Takhta Apostolik".[8] Gelar ini dipakai Misale Romawi di dalam doa-doa bagi arwah mendiang paus,[9] dan dipakai Santo Bonifasius di dalam ikrar prasetianya kepada Paus Gregorius II.[10] Sejak tahun 1200, para paus menyandang gelar Vikaris Kristus secara tetap,[11] kendati Paus Fransiskus belum lama ini memindahkan gelar tersebut ke bagian lain dari Annuario Pontificio edisi 2021.[12]Paus Inosensius III menyandang gelar Vikaris Kristus dengan mendaku diri sebagai satu-satunya pihak yang berhak mencopot uskup-uskup dari jabatan mereka.[8] Kadang-kadang para paus, misalnya Paus Nikolaus III, mengganti gelar Vikaris Kristus dengan gelar Vikaris Allah.[8]Annuario Pontificio edisi 2012 mencantumkan gelar "Vikaris Yesus Kristus" sebagai gelar resmi kedua Sri Paus (gelar resmi yang pertama adalah "Uskup Roma").[13]
Sebutan di Gereja Timur
Istilah Vikaris Kristus juga dipakai di lingkungan Gereja Timur, kendati dengan makna lain. Pada abad ke-5 dan ke-6, istilah ini dipakai untuk menggelari Kaisar Romawi Timur,[11] dan oleh karena itu menandai titik zenit kaisaropapisme. Sekalipun keputusan-keputusan menyangkut doktrin, liturgi, dan kerohanian tetap berada di tangan para uskup[14] (teristimewa di dalam muktamar-muktamar Gereja, yang kerap melibatkan campur tangan kaisar sedari zaman Konstantinus Agung), pengaruh besar kaisar terhadap kiprah Gereja tetap tak ternafikan. Gereja pun kian lama kian dibebani tugas-tugas yang mendukung kepentingan kaisar, misalnya tugas menilik pejabat-pejabat negara.