Didakhe
Didakhe (bahasa Yunani: Διδαχή, Didakhé, artinya Ajaran),[1] yang juga dikenal dengan judul Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul Kepada Bangsa-Bangsa (bahasa Yunani: Διδαχὴ Κυρίου διὰ τῶν δώδεκα ἀποστόλων τοῖς ἔθνεσιν, Didachḕ Kyríou dià tō̂n dṓdeka apostólōn toîs éthnesin), adalah risalah (tertib gereja purba) anonim Kristen Purba dalam bahasa Yunani Koine, yang oleh para sarjana modern diperkirakan berasal dari abad pertama[2] atau (kurang umum) abad kedua Tarikh Masehi.[3] Didakhe dibuka dengan kalimat "Ajaran Tuhan kepada bangsa-bangsa lain (atau bangsa-bangsa) melalui dua belas rasul".[a] Karya tulis yang sebagian isinya merupakan katekismus tertulis paling tua yang masih lestari ini terdiri atas tiga bab utama, yaitu bab tata susila Kristen, bab upacara Kristen, dan bab organisasi Gereja. Enam pasal pertama membicarakan Jalan Kehidupan orang-orang sadik dan Jalan Kematian orang-orang fasik. Pasal-pasal selanjutnya memuat Doa Bapa Kami yang disajikan secara utuh, arahan untuk melaksanakan pembaptisan dengan cara benam atau dengan cara dirus jika cara benam muskil dipakai, kewajiban berpuasa setiap hari Rabu dan Jumat, dua ragam Doa Syukur Agung, dan penjabaran organisasi Gereja tahap awal. Didakhe menyifatkan para rasul dan nabi yang hidup berkelana sebagai orang-orang terpandang, orang-orang yang melayani umat selaku "imam-imam kepala" dan kemungkinan besar merayakan Ekaristi. Para uskup dan diakon setempat juga berwibawa, dan tampaknya menggantikan para pelayan umat yang hidup berkelana.[2] Didakhe dianggap sebagai karya tulis pertama dari ragam sastra tertib gereja.[2] Risalah ini menyingkap cara pandang umat Kristen Yahudi terhadap diri mereka sendiri, dan cara mereka mengadaptasikan amalan mereka bagi umat Kristen dari bangsa-bangsa lain.[4] Dalam beberapa segi, risalah ini mirip dengan Injil Matius, mungkin karena keduanya berasal dari komunitas-komunitas yang serupa.[5] Pokok pikiran enam pasal pertamanya, yang juga muncul di dalam karya-karya tulis Kristen Purba lainnya semisal Surat Barnabas, tampaknya disadur dari sebuah sumber pustaka Yahudi yang sudah ada sebelumnya.[2] Didakhe terbilang salah satu karya sastrawan Kristen angkatan kedua, yang dikenal dengan sebutan "Bapa-Bapa Apostolik". Oleh beberapa Bapa Gereja, risalah ini dianggap sebagai bagian dari Perjanjian Baru,[b] tetapi dianggap sebagai karya tulis yang disangsikan keasliannya atau karya tulis nonkanonis oleh bapa-bapa Gereja lainnya.[6][7] Didakhe pada akhirnya tidak turut tersenarai di dalam kanon Perjanjian Baru, akan tetapi karya-karya tulis yang secara langsung maupun tidak langsung bersumber dari Didakhe mencakup Didascalia Apostolorum, Constitutiones Apostolorum, serta Didesqelya, dan Didesqelya tersenarai di dalam kanon longgar Gereja Ortodoks Etiopia. Sesudah berabad-abad raib, sebuah naskah Yunani Didakhe ditemukan kembali pada tahun 1873 oleh Filoteos Brienios, Metropolit Nikomedia, di dalam Codex Hierosolymitanus, bunga rampai risalah Bapa-Bapa Apostolik yang ditemukan di Biara Pusara Mahakudus Konstantinopel. Sebuah versi Latin dari lima bab pertama Didakhe ditemukan pada tahun 1900 oleh J. Schlecht.[8] Pertanggalan, penyusunan, dan penerjemahanDulu ada banyak sarjana Inggris dan Amerika yang memperkirakan bahwa risalah ini berasal dari permulaan abad ke-2 Tarikh Masehi.[2] Kendati perkiraan tersebut masih dipertahankan oleh sebagian pihak,[9] sebagian besar sarjana dewasa ini memperkirakan bahwa Didakhe berasal dari abad pertama Tarikh Masehi.[10][11] Risalah ini adalah sebuah karya tulis keroyokan, dan penemuan gulungan-gulungan Laut Mati, khususnya pustaka Panduan Disiplin, membuktikan adanya perkembangan berangsur dalam rentang waktu yang cukup panjang, mulai dari sebuah karya tulis katekese Yahudi hingga menjadi sebuah buku petunjuk Gereja.[12] Dua fragmen unsial Didakhe Yunani (ayat 1:3c–4a dan 2:7–3:2) ditemukan di dalam kumpulan Papirus Oksiringkos (papirus nomor 1782) dan kini menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Seni Rupa, Arkeologi, dan Dunia Purba Bodley di Universitas Oxford.[13][14][15] Hanya ada satu naskah Didakhe Yunani di luar dari kedua fragmen tersebut, yaitu naskah yang terlestarikan di dalam Codex Hierosolymitanus. Waktu penulisannya sukar untuk diperkirakan, baik lantaran kurangnya bukti kuat maupun lantaran sifatnya sebagai sebuah karya tulis keroyokan. Didakhe mungkin sudah rampung tersusun sebagaimana adanya saat ini selambat-lambatnya pada tahun 150, kendati ada banyak pihak yang menduga bahwa mungkin saja Didakhe rampung menjelang akhir abad pertama.[16] Ajarannya merupakan panduan pastoral anonim, yang menurut Aaron Milavec "lebih banyak menyingkap cara pandang umat Kristen Yahudi terhadap dirinya sendiri dan cara mereka mengadaptasikan amalan agama Yahudi bagi bangsa-bangsa lain ketimbang pustaka lain mana pun di dalam Kitab Suci Kristen".[4] Bab Dua Jalan tampaknya disadur dari sebuah pustaka Yahudi yang sudah ada sebelumnya.[2] Paguyuban yang menghasilkan Didakhe mungkin saja berbasis di Suriah, lantaran berisi arahan bagi umat Kristen dari bangsa-bangsa lain tetapi menampakkan sudut pandang Yahudi, secara tidak langsung merupakan arahan dari Yerusalem, dan tidak menampakkan tanda-tanda pengaruh Paulus.[2][17] Alan Garrow menyimpulkan bahwa lapisan tertuanya mungkin terambil dari ketetapan Konsili Para Rasul tahun 49–50 Masehi, yaitu maklumat sidang jemaat Yerusalem di bawah kepemimpinan Yakobus Sadik.[18] Meskipun sempat raib, keberadaannya diketahui para sarjana dari risalah Bapa-Bapa Gereja terkemudian, beberapa di antaranya memaparkan banyak ajaran yang terambil dari Didakhe.[19] Di Istambul, pada tahun 1873, Metropolit Filoteos Brienios menemukan sebuah naskah salinan Didakhe dalam bahasa Yunani yang ditulis pada tahun 1056, lantas menerbitkannya pada tahun 1883.[19] Hitchcock dan Brown menerbitkan terjemahan perdana Didakhe ke dalam bahasa Inggris pada bulan Maret 1884. Adolf von Harnack menerbitkan terjemahan perdana ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1884, dan Paul Sabatier menerbitkan terjemahan perdana ke bahasa Prancis disertai ulasan pada tahun 1885.[20] IsiDengan hanya 2.300 patah kata, Didakhe merupakan karya tulis yang relatif pendek. Keseluruhan isinya, yang menurut sebagian besar sarjana dihimpun dari perbagai sumber terpisah dan disepadukan oleh seorang redaktur, dapat dipilah menjadi empat bab. Bab pertama mengetengahkan ihwal Dua Jalan, yakni Jalan Kehidupan dan Jalan Kematian (pasal 1–6). Bab kedua berkutat dengan tata cara baptis, puasa, dan komuni (pasal 7–10). Bab ketiga berbicara tentang karya pelayanan dan cara mengadabi para rasul, nabi, uskup, dan diakon (pasal 11–15). Bab keempat (pasal 16) menubuatkan kedatangan Antikristus dan kedatangan kembali Yesus Kristus.[2] Rujukan terdahuluDidakhe disebut Eusebius (sekitar tahun 324) dengan judul Ajaran-Ajaran Para Rasul, serangkai dengan kitab-kitab lain yang ia anggap nonkanonis:[21]
Atanasius (tahun 367) dan Rufinus (sekitar tahun 380) menggolongkan Didakhe sebagai apokrifa (Rufinus menyebutkan judul alternatif Didakhe yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu Iudicium Petri, 'Keputusan Petrus'). Niseforus (sekitar tahun 810), Anastasius Sinaita-Semu, dan Atanasius-Semu menolak Didache di dalam risalah Sinopsis dan kanon 60 Kitab, sementara Constitutiones Apostolorum di dalam Kanon Nomor 85, Yohanes dari Damsyik, dan Gereja Ortodoks Etiopia menerima Didakhe. Adversus Aleatores yang ditulis sastrawan peniru Siprianus menyebutkan judul Didakhe. Petikan-petikan yang tidak diakui berasal dari Didakhe sangat umum dijumpai, kalau memang kurang pasti berasal dari Didakhe. Bab Dua Jalan sangat serupa gaya bahasanya dengan Surat Barnabas pasal 18–20, kadang-kadang persis sama kata demi kata, adakalanya ditambahi, ditukar tempatnya, atau dipendekkan, dan mungkin saja nas Barnabas iv, 9 menyitir nas Didakhe 16, 2–3, atau mungkin pula sebaliknya. Dapat dijumpai pula banyak kemiripan dengan surat-surat Polikarpus maupun Ignasius dari Antiokhia. Gembala Hermas tampaknya mencerminkan Didakhe, dan Ireneus, Klemens dari Aleksandria,[c] maupun Origenes dari Aleksandria tampaknya juga menggunakan Didakhe, demikian pula Optatus dan Gesta apud Zenophilum di Gereja Barat.[d] Didascalia Apostolorum disusun dengan berlandaskan Didakhe. Constitutio Ecclesiastica Apostolorum menggunakan sebagian isinya, Constitutiones Apostolorum mewujudnyatakan Didascalia. Didakhe juga menggema di dalam risalah Yustinus Martir, Tasianus, Teofilus dari Antiokhia, Siprianus, dan Laktansius. JudulPada umumnya karya tulis ini disebut Didakhe, ringkasan dari judul yang tercantum pada naskah sekaligus judul yang disebutkan di dalam risalah Bapa-Bapa Gereja, yaitu "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul".[e] Di dalam naskah juga tercantum judul lengkap atau takarir judul, yaitu "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul Kepada Bangsa-Bangsa Lain".[f][g] DeskripsiMenurut Willy Rordorf, lima pasal pertama "pada hakikatnya bersifat Yahudi, tetapi paguyuban Kristen dapat menggunakannya" dengan menambahkan "bagian yang bersifat injili".[25] Gelar 'Tuhan' di dalam Didakhe biasanya cuma digunakan untuk merujuk kepada "Tuhan Allah", sementara Yesus disebut "hamba" Bapa (ayat 9:2f. dan ayat 10:2f.).[26] Pembaptisan dilaksanakan "dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus."[27] Para sarjana pada umumnya sependapat bahwa ayat 9:5, yang berbicara tentang pembaptisan "dalam nama Tuhan", merepresentasikan tradisi lebih tua yang berangsur-angsur tergantikan oleh nama yang bersifat tritunggal."[28] Aaron Milavec menyadari adanya kemiripan dengan bab 3 Kisah Para Rasul, yaitu sama-sama memandang Yesus sebagai "hamba (pais)[29][h] Allah".[30] Jemaat digambarkan "sedang menanti-nantikan kedatangan kerajaan dari Bapa sebagai suatu peristiwa yang sepenuhnya futuristis".[30] Dua JalanBab pertama (Pasal 1–6) diawali kalimat, "Ada dua jalan, satu jalan kehidupan dan satu jalan kematian, dan besarlah perbedaan di antara kedua jalan itu."[31] Di dalam The Apostolic Fathers (terbit tahun 1992) dijelas bahwa:
Paralel terdekat dalam penggunaan doktrin Dua Jalan dijumpai di kalangan Yahudi Eseni di paguyuban Gulungan Laut Mati. Paguyuban Qumran memaktubkan ajaran Dua Jalannya di dalam piagam pendiriannya, yakni Tata Tertib Paguyuban. Di dalam pembahasan Dua Jalan terdapat banyak petikan nas Perjanjian Lama yang juga termaktub di dalam Injil-Injil, dan banyak kemiripan teologis, tetapi tidak ada penyebutan nama Yesus. Pasal pertama dibuka dengan Syema ("kasihilah Allah"), Hukum Yang Terutama ("sesamamu seperti dirimu sendiri"), dan Kaidah Kencana dalam bentuk negatif. Selanjutnya disajikan petikan-petikan singkat yang juga terdapat di dalam Khotbah di Bukit, bersama-sama dengan satu ayat garib mengenai memberi dan menerima yang juga disitir dengan variasi kata-kata di dalam Gembala Hermas (Mand., ii, 4–6). Versi Latin menghilangkan nas 1:3–6 dan nas 2:1, dan bagian-bagian tersebut tidak memiliki nas yang paralel di dalam Surat Barnabas; oleh sebab itu mungkin saja merupakan tambahan yang disisipkan belakangan, mengisyaratkan bahwa Gembala Hermas dan teks Didakhe yang ada saat ini mungkin saja menggunakan satu sumber yang sama, atau mungkin pula salah satunya menggunakan yang lain sebagai sumber. Pasal 2 memuat larangan membunuh, berzina, merusak bocah, semena-mena mengumbar syahwat, mencuri, menyihir, meneluh, menggugurkan kandungan, membunuh kanak-kanak, melik, bersumpah palsu, bersaksi dusta, bermulut jahat, mendendam, bimbang hati, tidak sekata dengan perbuatan, tamak, serakah, munafik, berniat jahat, congkak, merancang kejahatan terhadap sesama, membenci, kelewat cinta diri, serta penjabarannya masing-masing secara umum sembari merujuk kepada perkataan-perkataan Yesus. Pasal 3 berupaya menjelaskan bagaimana satu perilaku dursila menuntun orang kepada perilaku dursila lain: kemarahan menuntun orang kepada pembunuhan, hawa nafsu menuntun orang kepada zina, dan seterusnya. Keseluruhan pasal 3 tidak dijumpai di dalam Surat Barnabas. Beberapa ukara sesanti ditambahkan di pasal 4, yang ditutup degan kalimat "Inilah Jalan Kehidupan." Ayat 13 mengatakan bahwa manusia tidak boleh meninggalkan perintah-perintah Tuhan, dan tidak boleh menambah maupun menguranginya (Ulangan 4:2).[32] Jalan Kematian yang dijabarkan di pasal 5 merupakan sedaftar perilaku dursila yang harus dihindari. Pasal 6 berisi imbauan untuk bertekun di Jalan Ajaran ini:
Sama seperti nas 1 Korintus 10:21, Didakhe tidak mutlak melarang makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala-berhala, tetapi sekadar mewanti-wanti supaya berhati-hati.[33] Sebagaimana Didakhe, imbauan "makan sayur-sayuran saja" yang diutarakan Paulus dari Tarsus merupakan suatu ungkapan hiperbolis, sama seperti ungkapan "aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku" di dalam nas 1 Korintus 8:13, sehingga tidak mengukuhkan pendapat tentang adanya vegetarianisme di dalam Gereja Purba. John Chapman, di dalam Catholic Encyclopedia (tahun 1908), menyatakan bahwa Didakhe merujuk kepada daging-daging Yahudi.[8] Versi Latin mengganti pasal 6 dengan rangkaian kalimat yang sangat mirip, meniadakan semua kalimat yang merujuk kepada daging dan idolotita, lantas mengakhirnya dengan kalimat "per Domini nostri Jesu Christi [...] in saecula saeculorum, amen" ('dengan perantaraan Tuhan kita Yesus Kristus [...] selama-lamanya, amin'). Kalimat ini juga merupakan kalimat terakhir dari versi terjemahan Latin. Kenyataan ini menyiratkan bahwa si penerjemah hidup pada masa penyembahan berhala sudah sirna, sehingga peringatan Didakhe terhadap ancaman penyembahan berhala sudah ketinggalan zaman. Tidak ada alasan semacam itu untuk meniadakan pasal 1, 3–6, oleh sebab itu diduga pasal-pasal tersebut tidak tercantum di dalam salinan yang digunakan oleh si penerjemah.[8] Senarai kedursilaan dan kesusilaanDaftar perilaku dursila, yang lazim muncul di dalam surat-surat Paulus, bukanlah sesuatu yang lumrah di dalam agama Yahudi purba dari zaman Perjanjian Lama. Di dalam Injil-Injil, struktur ajaran Sabda Bahagia Yesus kerap bertumpu pada hukum Taurat dan kitab para nabi. Meskipun demikian, Yesus mengungkapkan daftar perbuatan dursila semacam itu, misalnya di dalam nas Markus 7:20–23.[34] Daftar perilaku dursila dan perilaku susila Paulus mungkin saja lebih dipengaruhi pandangan-pandangan Yahudi-Helenistis Filo (tahun 20 Pramasehi – 50 Masehi) dan sastrawan-sastrawan lain dari kurun waktu antarperjanjian.[35] Jalan Kematian dan "dosa berat", yang terlarang, mengingatkan orang kepada perbagai "daftar perbuatan dursila" yang termaktub di dalam surat-surat Paulfhaafus, yang mewanti-wanti supaya menjauhi perilaku-perilaku tertentu kalau ingin masuk ke Kerajaan Allah. Perbandingan pesan Paulus di dalam 1 Korintus 6:9–10, Galatia 5:19–21, dan nas 1 Timotius 1:9–11[i] dengan Didakhe 2 menunjukkan kesamaan tertentu satu sama lain, dengan peringatan dan kata-kata yang nyaris sama, kecuali pada kalimat "jangan merusak bocah". Jika Paulus menggunakan kata paduan arsenokoitai (ἀρσενοκοῖται), sebuah hapax legomenon yang secara harfiah berarti 'orang yang meniduri laki-laki', paduan kata Yunani untuk 'laki-laki' dan 'tidur dengan' yang terdapat di dalam terjemahan Septuaginta untuk Imamat 18:22,[36] maka Didakhe menggunakan kata yang diterjemahkan menjadi 'orang yang merusak bocah' (bahasa Yunani: παιδοφθορήσεις, paidoftorēseis) yang juga digunakan di dalam Surat Barnabas. UpacaraBaptisBab kedua (pasal 7 sampai 10) dibuka dengan petunjuk membaptis, yakni upacara sakramental yang memasukkan seseorang ke dalam Gereja.[37] Pembaptisan harus dilakukan "dalam Nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus"[27] sembari membenamkan calon baptis sebanyak tiga kali ke "air hidup" (maksudnya air mengalir, kemungkinan besar di sungai).[38] Jika cara ini muskil dilakukan, maka membenamkan calon baptis ke dalam genangan air dingin atau bahkan air hangat dapat dibenarkan. Jika airnya tidak cukup untuk dipakai membenamkan tubuh calon baptis, maka air itu boleh dituangkan (didiruskan) sebanyak tiga kali ke atas kepala calon baptis. Calon baptis maupun pembaptis, dan kalau memungkinkan juga semua orang yang menghadiri upacara tersebut, harus berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Perjanjian Baru kaya akan metafora pembaptisan tetapi sedikit sekali menjelaskan tata caranya, bahkan tidak menjelaskan apakah si calon baptis menyatakan keimanannya dengan suatu rumusan kalimat.[39] Didakhe adalah sumber ekstrabiblikal untuk informasi mengenai pembaptisan, tetapi Didakhe juga kekurangan rincian tata cara pelaksanaannya.[39] Bab Dua Jalan Didakhe diduga merupakan semacam bahan pelajaran budi pekerti bagi para katekumen (pelajar) dalam rangka persiapan untuk dibaptis.[39] PuasaPasal 8 menganjurkan supaya orang Kristen tidak berpuasa setiap hari kedua dan hari kelima "bersama orang-orang munafik", tetapi setiap hari keempat dan hari persiapan Sabat. Berpuasa pada hari Rabu dan hari Jumat ditambah dengan beribadat pada hari Tuhan merupakan rangkaian kegiatan Kristen dalam sepekan.[40] Orang Kristen juga dianjurkan supaya tidak bersembahyang bersama-sama dengan saudara-saudari Yahudi mereka, tetapi harus melafazkan doa Bapa Kami tiga kali sehari. Kata-kata doa Bapa Kami di dalam Didakhe tidak sama persis dengan doa Bapa Kami di dalam Injil Matius, dan disajikan bersama-sama dengan doksologi "sebab Engkaulah yang empunya kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya." Doksologi ini disadur dari nas 1 Tawarikh 29:11–13. Bruce M. Metzger berpendapat bahwa Gereja Purba menambahkannya pada doa Bapa Kami sehingga melahirkan bacaan doa Bapa Kami seperti yang termaktub di dalam Injil Matius sekarang ini.[41] Sembahyang sehari-hariDidakhe menyajikan satu dari segelintir bukti yang dimiliki para sejarawan dalam merekonstruksi amalan sembahyang sehari-hari di kalangan umat Kristen sebelum dasawarsa 300-an.[42] Didakhe mengarahkan umat Kristen supaya melafazkan "Bapa Kami" tiga kali sehari, tetapi tidak menyebutkan waktu pelafazannya.[42] Penegasan "janganlah engkau berdoa seperti orang-orang munafik, tetapi beginilah engkau harus berdoa" di dalam Didakhe mengingatkan orang kepada nas Matius 6:9–13.[43][44] Sumber-sumber awal lainnya berbicara tentang sembahyang sehari-hari sebanyak dua kali, tiga kali, dan lima kali.[42] EkaristiDidakhe memuat dua ragam primitif dan tak lazim dari doa Ekaristi ("pengucapan syukur"),[2] yang merupakan bagian inti ibadat Kristen.[45] Didakhe merupakan karya tulis tertua yang menyifatkan upacara ini sebagai Ekaristi.[45] Pasal 9 dibuka dengan kalimat:
Dan berkenaan dengan roti yang dipecah-pecah:
Pada hakikatnya Didakhe menjabarkan upacara yang sama dengan yang dilaksanakan di Korintus.[46] Sebagaimana Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus, Didache mengukuhkan bahwa perjamuan Tuhan adalah acara bersantap dalam arti harfiah, kemungkinan besar dilangsungkan di sebuah "gereja rumah".[47] Urutan ucapan syukur atas cawan dan roti di dalam Didakhe maupun di Korintus berbeda dari amalan Kristen saat ini maupun dari riwayat Perjamuan Terakhir di dalam Perjanjian Baru,[48] yang sekali lagi, berbeda dari hampir semua perayaan Ekaristi dewasa ini, sama sekali tidak disinggung di dalam Didakhe.[47] Pasal 10 menjabarkan ucapan syukur sesudah bersantap. Tidak ada penjabaran tentang apa saja yang dihidangkan. Pasal 9 pun tidak menjabarkan hidangan selain cawan anggur dan roti, dan pasal 10, baik jika dipandang sebagai sebuah pasal yang berdiri sendiri maupun sebagai lanjutan dari uraian pasal 9, tidak menyebutkan unsur apapun, termasuk anggur dan roti. Pasal 10 malah menyinggung soal "makanan dan minuman rohani serta hidup kekal melalui Hamba-Mu" yang dibedakannya dari "makanan dan minuman (yang diberikan) kepada manusia untuk dinikmati supaya mereka bersyukur kepada (Allah)". Sesudah sebuah doksologi, sama seperti yang sebelumnya, menyusul seruan apokaliptis "hendaklah rahmat datang, dan hendaklah dunia ini berlalu. Hosana bagi Allah (Putra) Daud! Barang siapa kudus, hendaklah ia datang; jika ada yang tidak demikian, hendaklah ia bertobat. Maranata. Amin".[49] Doa ini mengingatkan orang kepada nas Wahyu 22:17–20[50] dan nas 1 Korintus 16:22. John Dominic Crossan membenarkan pendapat John W. Riggs di dalam salah satu artikel yang dimuat di Second Century: A Journal of Early Christian Studies pada tahun 1984 bahwa "ada dua tata perayaan Ekaristi yang cukup terpisah yang tersaji di dalam Didakhe 9–10, dan tata perayaan Ekaristi yang lebih tua kini didudukkan di tempat kedua".[51] Bagian yang bermula di ayat 10.1 adalah hasil saduran birkat hamatson Yahudi, doa tiga serangkai yang dilafazkan seusai bersantap, mencakup puja-puji kepada Allah atas pemeliharaan-Nya terhadap sarwa sekalian alam, puja-puji kepada Allah atas karunia makanan, bumi, dan perjanjian, serta doa bagi pemulihan Yerusalem; isinya "dikristenkan", tetapi formatnya masih khas Yahudi.[52] Tata perayaan Ekaristi tersebut mirip dengan Qurbana Kudus Adai dan Mari di Gereja Suryani, yakni tata perayaan Ekaristi dari "zaman purwa, manakala ekologion Gereja belum menyisipkan kalimat penetapan ke dalam teks Doa Syukur Agung".[53] Organisasi GerejaOrganisasi Gereja yang digambarkan Didakhe tampaknya belum berkembang sempurna.[2] Para rasul dan nabi yang hidup berkelana sangat dimuliakan karena merekalah yang melayani umat selaku "imam-imam kepala" dan kemungkinan besar merayakan Ekaristi. Perkembangan dari abad ke abad mengindikasikan bahwa gelar-gelar berubah tanpa diikuti pemahaman akan cara kerja berbagai peran yang ada oleh para penyunting terkemudian dengan keyakinan bahwa peran-peran tersebut dapat saling mengggantikan – indikasi bahwa pengetahuan nabawi tidak lagi aktif beroperasi pada suatu kurun waktu "ketiadaan penglihatan" (seperti pada zaman Samuel), gelar-gelar yang termodernisasi tidak mengindikasikan pengetahuan nabawi.[2] Didakhe memberi petunjuk mengenai cara membedakan nabi tulen yang patut disantuni dari nabi gadungan yang hanya ingin memanfaatkan kedermawanan warga paguyuban. Sebagai contoh, nabi yang hidup tidak selaras dengan ajarannya adalah nabi gadungan (11:10). Kepemimpinan lokal terdiri atas uskup dan diakon, dan tampaknya mereka mengisi tempat para pelayan umat yang hidup berkelana.[2] Umat Kristen diimbau untuk berhimpun setiap hari Minggu untuk memecah-mecahkan roti, tetapi terlebih dahulu mengakui dosa-dosanya serta berdamai dengan sesama kalau ada masalah yang mengganjal di hati (pasal 14). Injil Matius dan DidakheLantaran menggunakan kata-kata, frasa, dan motif yang sama, sudah didapati banyak kemiripan penting Didakhe dengan Injil Matius.[5] Para sarjana modern pun kian enggan mendukung tesis yang mengatakan bahwa Didakhe memakai Injil Matius sebagai sumber dalam penulisannya. Keterkaitan erat di antaranya keduanya mungkin saja menyiratkan bahwa keduanya terlahir di lingkungan historis dan geografis yang sama. Salah satu argumen yang mendukung dugaan tentang kesamaan lingkungan tersebut mengatakan bahwa kemungkinan besar paguyuban penghasil Didakhe dan paguyuban penghasil Injil Matius sejak semula terdiri atas orang-orang Kristen berkebangsaan Yahudi.[5] Ajaran Dua Jalan (nas Didakhe 1–6) mungkin pula sudah dijadikan bahan penyuluhan prabaptis di dalam paguyuban penghasil Didakhe maupun paguyuban penghasil Injil Matius. Selain itu, kesejajaran rumusan baptis (Didache 7 dan Matius 28:19) maupun kemiripan dalam doa Bapa Kami (Didakhe 8 dan Matius 6:5–13) tampaknya mencerminkan pemakaian tradisi-tradisi lisan yang serupa. Yang terakhir, baik paguyuban penghasil Didakhe (Didache 11–13) maupun paguyuban penghasil Injil Matius (Matius 7:15–23; 10:5–15, 40–42; 24:11,24) sama-sama dikunjungi oleh rasul-rasul dan nabi-nabi yang hidup berkelana, beberapa di antaranya heterodoks.[5] Baca juga
Keterangan
RujukanKutipan
Sumber
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia