Didakhe
Didakhe (bahasa Yunani: Διδαχή, Didakhé, artinya Ajaran),[1] yang juga dikenal dengan judul Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul Kepada Bangsa-Bangsa (bahasa Yunani: Διδαχὴ Κυρίου διὰ τῶν δώδεκα ἀποστόλων τοῖς ἔθνεσιν, Didachḕ Kyríou dià tō̂n dṓdeka apostólōn toîs éthnesin), adalah risalah (tertib gereja purba) anonim Kristen Purba dalam bahasa Yunani Koine, yang oleh para sarjana modern diperkirakan berasal dari abad pertama[2] atau (kurang umum) abad kedua Tarikh Masehi.[3] Didakhe dibuka dengan kalimat "Ajaran Tuhan kepada bangsa-bangsa lain (atau bangsa-bangsa) melalui dua belas rasul".[a] Karya tulis yang sebagian isinya merupakan katekismus tertulis paling tua yang masih lestari ini terdiri atas tiga bab utama, yaitu bab tata susila Kristen, bab upacara Kristen, dan bab organisasi Gereja. Enam pasal pertama membicarakan Jalan Kehidupan orang-orang sadik dan Jalan Kematian orang-orang fasik. Pasal-pasal selanjutnya memuat Doa Bapa Kami yang disajikan secara utuh, arahan untuk melaksanakan pembaptisan dengan cara benam atau dengan cara dirus jika cara benam muskil dipakai, kewajiban berpuasa setiap hari Rabu dan Jumat, dua ragam Doa Syukur Agung, dan penjabaran organisasi Gereja tahap awal. Didakhe menyifatkan para rasul dan nabi yang hidup berkelana sebagai orang-orang terpandang, orang-orang yang melayani umat selaku "imam-imam kepala" dan kemungkinan besar merayakan Ekaristi. Para uskup dan diakon setempat juga berwibawa, dan tampaknya menggantikan para pelayan umat yang hidup berkelana.[2] Didakhe dianggap sebagai karya tulis pertama dari ragam sastra tertib gereja.[2] Risalah ini menyingkap cara pandang umat Kristen Yahudi terhadap diri mereka sendiri, dan cara mereka mengadaptasikan amalan mereka bagi umat Kristen dari bangsa-bangsa lain.[4] Dalam beberapa segi, risalah ini mirip dengan Injil Matius, mungkin karena keduanya berasal dari komunitas-komunitas yang serupa.[5] Pokok pikiran enam pasal pertamanya, yang juga muncul di dalam karya-karya tulis Kristen Purba lainnya semisal Surat Barnabas, tampaknya disadur dari sebuah sumber pustaka Yahudi yang sudah ada sebelumnya.[2] Didakhe terbilang salah satu karya sastrawan Kristen angkatan kedua, yang dikenal dengan sebutan "Bapa-Bapa Apostolik". Oleh beberapa Bapa Gereja, risalah ini dianggap sebagai bagian dari Perjanjian Baru,[b] tetapi dianggap sebagai karya tulis yang disangsikan keasliannya atau karya tulis nonkanonis oleh bapa-bapa Gereja lainnya.[6][7] Didakhe pada akhirnya tidak turut tersenarai di dalam kanon Perjanjian Baru, akan tetapi karya-karya tulis yang secara langsung maupun tidak langsung bersumber dari Didakhe mencakup Didascalia Apostolorum, Constitutiones Apostolorum, serta Didesqelya, dan Didesqelya tersenarai di dalam kanon longgar Gereja Ortodoks Etiopia. Sesudah berabad-abad raib, sebuah naskah Yunani Didakhe ditemukan kembali pada tahun 1873 oleh Filoteos Brienios, Metropolit Nikomedia, di dalam Codex Hierosolymitanus, bunga rampai risalah Bapa-Bapa Apostolik yang ditemukan di Biara Pusara Mahakudus Konstantinopel. Sebuah versi Latin dari lima bab pertama Didakhe ditemukan pada tahun 1900 oleh J. Schlecht.[8] Pertanggalan, penyusunan, dan penerjemahanDulu ada banyak sarjana Inggris dan Amerika yang memperkirakan bahwa risalah ini berasal dari permulaan abad ke-2 Tarikh Masehi.[2] Kendati perkiraan tersebut masih dipertahankan oleh sebagian pihak,[9] sebagian besar sarjana dewasa ini memperkirakan bahwa Didakhe berasal dari abad pertama Tarikh Masehi.[10][11] Risalah ini adalah sebuah karya tulis keroyokan, dan penemuan gulungan-gulungan Laut Mati, khususnya pustaka Panduan Disiplin, membuktikan adanya perkembangan berangsur dalam rentang waktu yang cukup panjang, mulai dari sebuah karya tulis katekese Yahudi hingga menjadi sebuah buku petunjuk Gereja.[12] Dua fragmen unsial Didakhe Yunani (ayat 1:3c–4a dan 2:7–3:2) ditemukan di dalam kumpulan Papirus Oksiringkos (papirus nomor 1782) dan kini menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Seni Rupa, Arkeologi, dan Dunia Purba Bodley di Universitas Oxford.[13][14][15] Hanya ada satu naskah Didakhe Yunani di luar dari kedua fragmen tersebut, yaitu naskah yang terlestarikan di dalam Codex Hierosolymitanus. Waktu penulisannya sukar untuk diperkirakan, baik lantaran kurangnya bukti kuat maupun lantaran sifatnya sebagai sebuah karya tulis keroyokan. Didakhe mungkin sudah rampung tersusun sebagaimana adanya saat ini selambat-lambatnya pada tahun 150, kendati ada banyak pihak yang menduga bahwa mungkin saja Didakhe rampung menjelang akhir abad pertama.[16] Ajarannya merupakan panduan pastoral anonim, yang menurut Aaron Milavec "lebih banyak menyingkap cara pandang umat Kristen Yahudi terhadap dirinya sendiri dan cara mereka mengadaptasikan amalan agama Yahudi bagi bangsa-bangsa lain ketimbang pustaka lain mana pun di dalam Kitab Suci Kristen".[4] Bab Dua Jalan tampaknya disadur dari sebuah pustaka Yahudi yang sudah ada sebelumnya.[2] Paguyuban yang menghasilkan Didakhe mungkin saja berbasis di Suriah, lantaran berisi arahan bagi umat Kristen dari bangsa-bangsa lain tetapi menampakkan sudut pandang Yahudi, secara tidak langsung merupakan arahan dari Yerusalem, dan tidak menampakkan tanda-tanda pengaruh Paulus.[2][17] Alan Garrow menyimpulkan bahwa lapisan tertuanya mungkin terambil dari ketetapan Konsili Para Rasul tahun 49–50 Masehi, yaitu maklumat sidang jemaat Yerusalem di bawah kepemimpinan Yakobus Sadik.[18] Meskipun sempat raib, keberadaannya diketahui para sarjana dari risalah Bapa-Bapa Gereja terkemudian, beberapa di antaranya memaparkan banyak ajaran yang terambil dari Didakhe.[19] Di Istambul, pada tahun 1873, Metropolit Filoteos Brienios menemukan sebuah naskah salinan Didakhe dalam bahasa Yunani yang ditulis pada tahun 1056, lantas menerbitkannya pada tahun 1883.[19] Hitchcock dan Brown menerbitkan terjemahan perdana Didakhe ke dalam bahasa Inggris pada bulan Maret 1884. Adolf von Harnack menerbitkan terjemahan perdana ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1884, dan Paul Sabatier menerbitkan terjemahan perdana ke bahasa Prancis disertai ulasan pada tahun 1885.[20] IsiDengan hanya 2.300 patah kata, Didakhe merupakan karya tulis yang relatif pendek. Keseluruhan isinya, yang menurut sebagian besar sarjana dihimpun dari perbagai sumber terpisah dan disepadukan oleh seorang redaktur, dapat dipilah menjadi empat bab. Bab pertama mengetengahkan ihwal Dua Jalan, yakni Jalan Kehidupan dan Jalan Kematian (pasal 1–6). Bab kedua berkutat dengan tata cara baptis, puasa, dan komuni (pasal 7–10). Bab ketiga berbicara tentang karya pelayanan dan cara mengadabi para rasul, nabi, uskup, dan diakon (pasal 11–15). Bab keempat (pasal 16) menubuatkan kedatangan Antikristus dan kedatangan kembali Yesus Kristus.[2]. Rujukan terdahuluDidakhe disebut Eusebius (sekitar tahun 324) dengan judul Ajaran-Ajaran Para Rasul, serangkai dengan kitab-kitab lain yang ia anggap nonkanonis:[21]
Atanasius (tahun 367) dan Rufinus (sekitar tahun 380) menggolongkan Didakhe sebagai apokrifa (Rufinus menyebutkan judul alternatif Didakhe yang cukup menarik untuk dicermati, yaitu Iudicium Petri, 'Keputusan Petrus'). Niseforus (sekitar tahun 810), Anastasius Sinaita-Semu, dan Atanasius-Semu menolak Didache di dalam risalah Sinopsis dan kanon 60 Kitab, sementara Constitutiones Apostolorum di dalam Kanon Nomor 85, Yohanes dari Damsyik, dan Gereja Ortodoks Etiopia menerima Didakhe. Adversus Aleatores yang ditulis sastrawan peniru Siprianus menyebutkan judul Didakhe. Petikan-petikan yang tidak diakui berasal dari Didakhe sangat umum dijumpai, kalau memang kurang pasti berasal dari Didakhe. Bab Dua Jalan sangat serupa gaya bahasanya dengan Surat Barnabas pasal 18–20, kadang-kadang persis sama kata demi kata, adakalanya ditambahi, ditukar tempatnya, atau dipendekkan, dan mungkin saja nas Barnabas iv, 9 menyitir nas Didakhe 16, 2–3, atau mungkin pula sebaliknya. Dapat dijumpai pula banyak kemiripan dengan surat-surat Polikarpus maupun Ignasius dari Antiokhia. Gembala Hermas tampaknya mencerminkan Didakhe, dan Ireneus, Klemens dari Aleksandria,[c] maupun Origenes dari Aleksandria tampaknya juga menggunakan Didakhe, demikian pula Optatus dan Gesta apud Zenophilum di Gereja Barat.[d] Didascalia Apostolorum disusun dengan berlandaskan Didakhe. Constitutio Ecclesiastica Apostolorum menggunakan sebagian isinya, Constitutiones Apostolorum mewujudnyatakan Didascalia. Didakhe juga menggema di dalam risalah Yustinus Martir, Tasianus, Teofilus dari Antiokhia, Siprianus, dan Laktansius. JudulPada umumnya karya tulis ini disebut Didakhe, ringkasan dari judul yang tercantum pada naskah sekaligus judul yang disebutkan di dalam risalah Bapa-Bapa Gereja, yaitu "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul".[e] Di dalam naskah juga tercantum judul lengkap atau takarir judul, yaitu "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul Kepada Bangsa-Bangsa Lain".[f][g] DeskripsiMenurut Willy Rordorf, lima pasal pertama "pada hakikatnya bersifat Yahudi, tetapi paguyuban Kristen dapat menggunakannya" dengan menambahkan "bagian yang bersifat injili".[25] Gelar 'Tuhan' di dalam Didakhe biasanya cuma digunakan untuk merujuk kepada "Tuhan Allah", sementara Yesus disebut "hamba" Bapa (ayat 9:2f. dan ayat 10:2f.).[26] Pembaptisan dilaksanakan "dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus."[27] Para sarjana pada umumnya sependapat bahwa ayat 9:5, yang berbicara tentang pembaptisan "dalam nama Tuhan", merepresentasikan tradisi lebih tua yang berangsur-angsur tergantikan oleh nama yang bersifat tritunggal."[28] Aaron Milavec menyadari adanya kemiripan dengan bab 3 Kisah Para Rasul, yaitu sama-sama memandang Yesus sebagai "hamba (pais)[29][h] Allah".[30] Jemaat digambarkan "sedang menanti-nantikan kedatangan kerajaan dari Bapa sebagai suatu peristiwa yang sepenuhnya futuristis".[30] Dua JalanBab pertama (Pasal 1–6) diawali kalimat, "Ada dua jalan, satu jalan kehidupan dan satu jalan kematian, dan besarlah perbedaan di antara kedua jalan itu."[31] Di dalam The Apostolic Fathers (terbit tahun 1992) dijelas bahwa:
Paralel terdekat dalam penggunaan doktrin Dua Jalan dijumpai di kalangan Yahudi Eseni di paguyuban Gulungan Laut Mati. Paguyuban Qumran memaktubkan ajaran Dua Jalannya di dalam piagam pendiriannya, yakni Tata Tertib Paguyuban. Di dalam pembahasan Dua Jalan terdapat banyak petikan nas Perjanjian Lama yang juga termaktub di dalam Injil-Injil, dan banyak kemiripan teologis, tetapi tidak ada penyebutan nama Yesus. Pasal pertama dibuka dengan Syema ("kasihilah Allah"), Hukum Yang Terutama ("sesamamu seperti dirimu sendiri"), dan Kaidah Kencana dalam bentuk negatif. Selanjutnya disajikan petikan-petikan singkat yang juga terdapat di dalam Khotbah di Bukit, bersama-sama dengan satu ayat garib mengenai memberi dan menerima yang juga disitir dengan variasi kata-kata di dalam Gembala Hermas (Mand., ii, 4–6). Versi Latin menghilangkan nas 1:3–6 dan nas 2:1, dan bagian-bagian tersebut tidak memiliki nas yang paralel di dalam Surat Barnabas; oleh sebab itu mungkin saja merupakan tambahan yang disisipkan belakangan, mengisyaratkan bahwa Gembala Hermas dan teks Didakhe yang ada saat ini mungkin saja menggunakan satu sumber yang sama, atau mungkin pula salah satunya menggunakan yang lain sebagai sumber. Pasal 2 memuat larangan membunuh, berzina, merusak bocah, semena-mena mengumbar syahwat, mencuri, menyihir, meneluh, menggugurkan kandungan, membunuh kanak-kanak, melik, bersumpah palsu, bersaksi dusta, bermulut jahat, mendendam, bimbang hati, tidak sekata dengan perbuatan, tamak, serakah, munafik, berniat jahat, congkak, merancang kejahatan terhadap sesama, membenci, kelewat cinta diri, serta penjabarannya masing-masing secara umum sembari merujuk kepada perkataan-perkataan Yesus. Pasal 3 berupaya menjelaskan bagaimana satu perilaku dursila menuntun orang kepada perilaku dursila lain: kemarahan menuntun orang kepada pembunuhan, hawa nafsu menuntun orang kepada zina, dan seterusnya. Keseluruhan pasal 3 tidak dijumpai di dalam Surat Barnabas. Beberapa ukara sesanti ditambahkan di pasal 4, yang ditutup degan kalimat "Inilah Jalan Kehidupan." Ayat 13 mengatakan bahwa manusia tidak boleh meninggalkan perintah-perintah Tuhan, dan tidak boleh menambah maupun menguranginya (Ulangan 4:2).[32] Jalan Kematian yang dijabarkan di pasal 5 merupakan sedaftar perilaku dursila yang harus dihindari. Pasal 6 berisi imbauan untuk bertekun di Jalan Ajaran ini:
Sama seperti nas 1 Korintus 10:21, Didakhe tidak mutlak melarang makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala-berhala, tetapi sekadar mewanti-wanti supaya berhati-hati.[33] Sebagaimana Didakhe, imbauan "makan sayur-sayuran saja" yang diutarakan Paulus dari Tarsus merupakan suatu ungkapan hiperbolis, sama seperti ungkapan "aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku" di dalam nas 1 Korintus 8:13, sehingga tidak mengukuhkan pendapat tentang adanya vegetarianisme di dalam Gereja Purba. John Chapman, di dalam Catholic Encyclopedia (tahun 1908), menyatakan bahwa Didakhe merujuk kepada daging-daging Yahudi.[8] Versi Latin mengganti pasal 6 dengan rangkaian kalimat yang sangat mirip, meniadakan semua kalimat yang merujuk kepada daging dan idolotita, lantas mengakhirnya dengan kalimat "per Domini nostri Jesu Christi [...] in saecula saeculorum, amen" ('dengan perantaraan Tuhan kita Yesus Kristus [...] selama-lamanya, amin'). Kalimat ini juga merupakan kalimat terakhir dari versi terjemahan Latin. Kenyataan ini menyiratkan bahwa si penerjemah hidup pada masa penyembahan berhala sudah sirna, sehingga peringatan Didakhe terhadap ancaman penyembahan berhala sudah ketinggalan zaman. Tidak ada alasan semacam itu untuk meniadakan pasal 1, 3–6, oleh sebab itu diduga pasal-pasal tersebut tidak tercantum di dalam salinan yang digunakan oleh si penerjemah.[8] Senarai kedursilaan dan kesusilaanDaftar perilaku dursila, yang lazim muncul di dalam surat-surat Paulus, bukanlah sesuatu yang lumrah di dalam agama Yahudi purba dari zaman Perjanjian Lama. Di dalam Injil-Injil, struktur ajaran Sabda Bahagia Yesus kerap bertumpu pada hukum Taurat dan kitab para nabi. Meskipun demikian, Yesus mengungkapkan daftar perbuatan dursila semacam itu, misalnya di dalam nas Markus 7:20–23.[34] Daftar perilaku dursila dan perilaku susila Paulus mungkin saja lebih dipengaruhi pandangan-pandangan Yahudi-Helenistis Filo (tahun 20 Pramasehi – 50 Masehi) dan sastrawan-sastrawan lain dari kurun waktu antarperjanjian.[35] Jalan Kematian dan "dosa berat", yang terlarang, mengingatkan orang kepada perbagai "daftar perbuatan dursila" yang termaktub di dalam surat-surat Paulfhaafus, yang mewanti-wanti supaya menjauhi perilaku-perilaku tertentu kalau ingin masuk ke Kerajaan Allah. Perbandingan pesan Paulus di dalam 1 Korintus 6:9–10, Galatia 5:19–21, dan nas 1 Timotius 1:9–11[i] dengan Didakhe 2 menunjukkan kesamaan tertentu satu sama lain, dengan peringatan dan kata-kata yang nyaris sama, kecuali pada kalimat "jangan merusak bocah". Jika Paulus menggunakan kata paduan arsenokoitai (ἀρσενοκοῖται), sebuah hapax legomenon yang secara harfiah berarti 'orang yang meniduri laki-laki', paduan kata Yunani untuk 'laki-laki' dan 'tidur dengan' yang terdapat di dalam terjemahan Septuaginta untuk Imamat 18:22,[36] maka Didakhe menggunakan kata yang diterjemahkan menjadi 'orang yang merusak bocah' (bahasa Yunani: παιδοφθορήσεις, paidoftorēseis) yang juga digunakan di dalam Surat Barnabas. UpacaraBaptisBab kedua (pasal 7 sampai 10) dibuka dengan petunjuk membaptis, yakni upacara sakramental yang memasukkan seseorang ke dalam Gereja.[37] Pembaptisan harus dilakukan "dalam Nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus"[27] sembari membenamkan calon baptis sebanyak tiga kali ke "air hidup" (maksudnya air mengalir, kemungkinan besar di sungai).[38] Jika cara ini muskil dilakukan, maka membenamkan calon baptis ke dalam genangan air dingin atau bahkan air hangat dapat dibenarkan. Jika airnya tidak cukup untuk dipakai membenamkan tubuh calon baptis, maka air itu boleh dituangkan (didiruskan) sebanyak tiga kali ke atas kepala calon baptis. Calon baptis maupun pembaptis, dan kalau memungkinkan juga semua orang yang menghadiri upacara tersebut, harus berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Perjanjian Baru kaya akan metafora pembaptisan tetapi sedikit sekali menjelaskan tata caranya, bahkan tidak menjelaskan apakah si calon baptis menyatakan keimanannya dengan suatu rumusan kalimat.[39] Didakhe adalah sumber ekstrabiblikal untuk informasi mengenai pembaptisan, tetapi Didakhe juga kekurangan rincian tata cara pelaksanaannya.[39] Bab Dua Jalan Didakhe diduga merupakan semacam arahan budi pekerti yang diterima para katekumen (pelajar) dalam persiapan untuk dibaptis.[39] PuasaPasal 8 menganjurkan supaya orang Kristen tidak berpuasa setiap hari kedua dan hari kelima "bersama orang-orang munafik", tetapi setiap hari keempat dan hari persiapan Sabat. Berpuasa pada hari Rabu dan hari Jumat ditambah dengan beribadat pada hari Tuhan merupakan rangkaian kegiatan Kristen dalam sepekan.[40] Orang Kristen juga dianjurkan supaya tidak bersembahyang bersama-sama dengan saudara-saudari Yahudi mereka, tetapi harus melafazkan doa Bapa Kami tiga kali sehari. Kata-kata doa Bapa Kami di dalam Didakhe tidak sama persis dengan doa Bapa Kami di dalam Injil Matius, dan disajikan bersama-sama dengan doksologi "sebab Engkaulah yang empunya kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya." Doksologi ini disadur dari nas 1 Tawarikh 29:11–13. Bruce M. Metzger berpendapat bahwa Gereja Purba menambahkannya pada doa Bapa Kami sehingga melahirkan bacaan doa Bapa Kami seperti yang termaktub di dalam Injil Matius sekarang ini.[41] Sembahyang sehari-hariDidakhe menyajikan satu dari segelintir bukti yang dimiliki para sejarawan dalam merekonstruksi amalan sembahyang sehari-hari di kalangan umat Kristen sebelum dasawarsa 300-an.[42] Didakhe mengarahkan umat Kristen supaya melafazkan "Bapa Kami" tiga kali sehari, tetapi tidak menyebutkan waktu pelafazannya.[42] Penegasan "janganlah engkau berdoa seperti orang-orang munafik, tetapi beginilah engkau harus berdoa" di dalam Didakhe mengingatkan orang kepada nas Matius 6:9–13.[43][44] Sumber-sumber awal lainnya berbicara tentang sembahyang sehari-hari sebanyak dua kali, tiga kali, dan lima kali.[42] EkaristiDidakhe memuat dua ragam primitif dan tak lazim dari doa Ekaristi ("pengucapan syukur"),[2] yang merupakan bagian inti ibadat Kristen.[45] Didakhe merupakan karya tulis tertua yang menyifatkan upacara ini sebagai Ekaristi.[45] Pasal 9 dibuka dengan kalimat:
Dan berkenaan dengan roti yang dipecah-pecah:
Pada hakikatnya Didakhe menjabarkan upacara yang sama dengan yang dilaksanakan di Korintus.[46] Sebagaimana Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus, Didache mengukuhkan bahwa perjamuan Tuhan adalah acara bersantap dalam arti harfiah, kemungkinan besar dilangsungkan di sebuah "gereja rumah".[47] Urutan ucapan syukur atas cawan dan roti di dalam Didakhe maupun di Korintus berbeda dari amalan Kristen saat ini maupun dari riwayat Perjamuan Terakhir di dalam Perjanjian Baru,[48] yang sekali lagi, berbeda dari hampir semua perayaan Ekaristi dewasa ini, sama sekali tidak disinggung di dalam Didakhe.[47] Pasal 10 menjabarkan ucapan syukur sesudah bersantap. Tidak ada penjabaran tentang apa saja yang dihidangkan. Pasal 9 pun tidak menjabarkan hidangan selain cawan anggur dan roti, dan pasal 10, baik jika dipandang sebagai sebuah pasal yang berdiri sendiri maupun sebagai lanjutan dari uraian pasal 9, tidak menyebutkan unsur apapun, termasuk anggur dan roti. Pasal 10 malah menyinggung soal "makanan dan minuman rohani serta hidup kekal melalui Hamba-Mu" yang dibedakannya dari "makanan dan minuman (yang diberikan) kepada manusia untuk dinikmati supaya mereka bersyukur kepada (Allah)". Sesudah sebuah doksologi, sama seperti yang sebelumnya, menyusul seruan apokaliptis "hendaklah rahmat datang, dan hendaklah dunia ini berlalu. Hosana bagi Allah (Putra) Daud! Barang siapa kudus, hendaklah ia datang; jika ada yang tidak demikian, hendaklah ia bertobat. Maranata. Amin".[49] Doa ini mengingatkan orang kepada nas Wahyu 22:17–20[50] dan nas 1 Korintus 16:22. Organisasi GerejaOrganisasi Gereja yang digambarkan Didakhe tampaknya belum berkembang sempurna.[2] Para rasul dan nabi yang hidup berkelana sangat dimuliakan karena merekalah yang melayani umat selaku "imam-imam kepala" dan kemungkinan besar merayakan Ekaristi. Perkembangan dari abad ke abad mengindikasikan bahwa gelar-gelar berubah tanpa diikuti pemahaman akan cara kerja berbagai peran yang ada oleh para penyunting terkemudian dengan keyakinan bahwa peran-peran tersebut dapat saling mengggantikan – indikasi bahwa pengetahuan nabawi tidak lagi aktif beroperasi pada suatu kurun waktu "ketiadaan penglihatan" (seperti pada zaman Samuel), gelar-gelar yang termodernisasi tidak mengindikasikan pengetahuan nabawi.[2] Didakhe memberi petunjuk mengenai cara membedakan nabi tulen yang patut disantuni dari nabi gadungan yang hanya ingin memanfaatkan kedermawanan warga paguyuban. Sebagai contoh, nabi yang hidup tidak selaras dengan ajarannya adalah nabi gadungan (11:10). Kepemimpinan lokal terdiri atas uskup dan diakon, dan tampaknya mereka mengisi tempat para pelayan umat yang hidup berkelana.[2] Umat Kristen diimbau untuk berhimpun setiap hari Minggu untuk memecah-mecahkan roti, tetapi terlebih dahulu mengakui dosa-dosanya serta berdamai dengan sesama kalau ada masalah yang mengganjal di hati (pasal 14). Penemuan Naskah yang Memuat DidakhePada tahun 1873, Filoteos Brienios, Direktur Sekolah Tinggi Teologi Yunani di Konstantinopel, yang kemudian menjadi uskup metropolitan kota Nikomedia, menemukan sebuah naskah di perpustakaan Diyor Al-Qabr Al-Muqaddas (Monastery of the Most Holy Sepulchre) di Konstantinopel (Istanbul), yang berada dalam pengawasan Patriarkhal Bizantium Ortodoks Yerusalem, yang berisi beberapa naskah klasik yang sangat penting. Naskah itu lalu dipindahkan dari Yerusalem ke Istanbul pada tahun 1680, lalu dipindahkan lagi ke Perpustakaan Patriarkhal Romawi Ortodoks, dan diberi nomor 54. Karena itu, di kalangan ilmiah, naskah tersebut populer dengan nama "Naskah Yerusalem" (Jerusalem Codex) dan dalam bahasa Latin disebut Hierosolymitanus: 54 (sehingga kemudian lebih dikenal sebagai Codex Hierosolymitanus). Naskah yang baru ditemukan itu mendapatkan perhatian yang luar biasa dari kalangan ilmiah. Ia menjelaskan banyak segi yang samar samar tentang sejarah awal kehidupan gereja, sehingga ia pantas di perhatikan sedemikian rupa oleh para ahli liturgis dan para bapa naskah ini disalin satu orang penyalin saja, yang bernama Leon An-Nasikh Al-Khati' (the notary and sinner: si penyalin yang banyak dosa), bertarikh dengan kalender Yunani tahun 6564, sama dengan tahun 1056 Masehi, atau kurang lebih pertengahan abad ke-11. Naskah ini terdiri dari 120 lembar (240 halaman) dan lembar 76b sampai 80 berisi "Didakhe" atau "Ajaran 12 Rasul" (The Teaching of the Twelve Apostles). Pada tahun 1876, atau dua tahun setelah ditemukannya Naskah Yerusalem, yang disebut oleh Brienios dengan "Jerusalem Codex", Metropolit Filoteos Brienios mempublikasikan Dua Surat Klemens dengan disertai pengantar dan catatan-catatan, di Jerman, ketika ia berada di Institut Katolik yang lama di kota Bonn. Para sarjana patristik menyambut baik karya tersebut, yang menunjukkan ketelitian dan keahliannya yang tinggi dalam penyuntingan teks, berkat studinya pada para tetua ahli di Madrasah Jerman. Metropolit Brienios menyebutkan bagian-bagian lain dari naskah itu di dalam karyanya tersebut, dan apa yang disinggungnya tentang Ajaran Dua Belas Rasul segera memicu perhatian para peneliti, di antaranya Lightfoot dan lain-lain. Brienios juga menerbitkan bagian-bagian lain dari naskah yang ditemukan itu bagi para peneliti Jerman. Pada akhir tahun 1883, para archbishop (uskup besar) telah mempublikasikan di Konstantinopel leks "Ajaran Dua Belas Rasul" (Didakhe), disertai dengan pendahuluan dan catatan-catatan kaki. Pada pendahuluan buku baru itu Brienios menyebutkan bahwa Ajaran Dua Belas Rasul itu baru pertama kalinya diterbitkan, bersama dengan beberapa pendahuluan dan analisis terhadap Ringkasan Perjanjian Lama karya St. Yohanes Si Mulut Emas, di samping bagian lain naskah itu yang belum pemah diterbitkan. Tak lama setelah publikasi naskah tersebut, pada bulan Januari 1884, sebuah naskah Didakhe yang dipublikasikan oleh Brienios sampai ke Jerman, lalu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan dipublikasikan pada tanggal 3 Februari pada tahun yang sama. Setelah itu, naskah itu segera diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris, dan dipublikasikan di Amerika pada tanggal 28 Februari 1884, atau pada bulan dan tahun yang sama dengan munculnya terjemahan dalam bahasaJerman. Pada bulan Mei 1884, sebelum berakhinya tahun tersebut, dipublikasikan teks Didakhe dalam bahasa [nggris terjemahan langsung dari bahasa Yunani oleh pimpinan para diakon (archdiacon) yang bernama Farrar. Sepanjang tahun itu, Didakhe telah menjadi buah bibir dan dibahas dalam berbagai artikel. Tak kurang dari lima puluh judul di dalam berbagai koran dan majalah di Eropa Barat dan Amerika membahas kejadian terpenting tahun itu, yaitu ditemukannya "Ajaran Dua Belas Rasul". Shaff menyebutkan judul-judul artikel tersebut dalam karyanya Tarikh AI-Kanisah AI-Mosihiyyah (Sejarah Gereja Masehi). JudulDalam Naskah Yerusalem terdapat beberapa judul untuk Didakhe. Judul pertama ringkas, dan judul kedua lebih panjang. Judul pertama adalah "Ajaran Dua Belas Rasul", sedangkan judul yang lebih panjang yang terletak segera setelahnya adalah "Ajaran Tuhan Kepada Bangsa-bangsa melalui Dua Belas Rasul." Brienios dan Harnak, dua orang yang pertama kali mempublikasikan teks Didakhe, berpendapat bahwa judul pertama yang ringkas tak lain dari ringkasan judul kedua yang panjang. Tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah substansi judul yang panjang. Brienios, diikuti oleh Schaff, berpendapat bahwa judul itu hanya berlaku pada lima bagian pertama Didakhe, yaitu bagian-bagian yang dikirimkan kepada bangsa-bangsa yang menerima Risalah Injil. Sedangkan Hamack berpendapat, judul yang panjang adalah judul yang berlaku pada seluruh kitab Didakhe, karena seluruh teks buku ini merupakan ajaran bagi orang-orang yang menerima Tuhan. Meskipun mereka tidak sepakat tentang kandungan makna judul yang panjang tersebut, tetapi Jean-Paul Audet berpendapat bahwa judul "Ajaran-ajaran Para Rasul" adalah judul asli teks Didakhe, yaitu teks yang sampai kepada kita dari Naskah Yerusalem. Dalam hal ini, mungkin Audet bersandar kepada judul yang sama yang disebutkan oleh Eusebius dari Caesarea dalam karyanya TorikhAl-Konisah. Namun, kita tidak boleh mengabaikan analisis lain, bahwa judul ringkas Didakhe muncul dalam terjemahan Latin dalam bentuk tunggal, yaitu "Ajaran Para Rasul" (Doctrina Apostolorum), bukan dalam bentuk jamak, sebagaimana yang dikatakan oleh Audet. Judul yang panjang itu tampaknya muncul sebagai pengagungan dan penjelasan tambahan bagi judul yang ringkas. Tapi perlu diperhatikan bahwa keberadaan kata "Tuhan" di dalam judul yang panjang itu membuktikan bahwa ia merupakan penambahan terhadap judul tersebut yang masuk belakangan, dan pada waktu yang sama sesuai dengan bagian Evangelis yang terdapat dalam bagian pertama teks Didakhe, yaitu bagian yang menjelaskan tentang "DuaJalan", (1:3-2:1) di samping isyarat tentang "Injil Tuhan" (lihat 8:2,15:4, 9:3,11:3,15:3), yaitu pada bagian liturgis dan pengajaran di dalam Didakhe. tampaknya tambahan itu muncul pada periode belakangan dalam penulisan karya sastra tersebut, sehingga jelaslah bahwa judul yang panjang mengiringi penambahan-penambahan terhadap teks asli yang terjadi belakangan. Dari sisi yang lain, judul yang penjang tak ubahnya resonerui dari ajaran AI-Masih kepada para Rasul yang kudus pada akhir Injil St. Matius (28: 19), "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid saya." Analisis ini menjelaskan mengapa judul tersebut muncul belakangan daripada teks Didakhe dalam bentuk asli, yang boleh jadi belum mengetahui keberadaan St. Matius. Sementara itu, Riddle berpendapat bahwa judul yang panjang adalah judul asli Didakhe, sedangkan judul yang pendek merupakan ringkasan yang sering digunakan untuk menyebut Didakhe, dan tidak memiliki kaitan dengan apa yang ada dalam Kisah Para Rasul (2:42) dalam istilah "Pengajaran para rasul", yaitu, "Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa." Sedangkan kata "bangsa-bangsa" yang terdapat di dalam judul yang panjang, menurut banyak peneliti, seperti Brienios, menunjukkan bahwa pengarang Didakhe adalah seorang Masehi keturunan Yahudi. Akan tetapl, penelifi-peneliti lain, seperti Brown, menolak hal itu. Karakter Bahasa DidakheBahasa Didakhe menunjukkan pada periode peralihan dari kitab-kitab Perjanjian Baru kepada bahasa gereja Yunani yang langsung mengikuti safar-safar kanonik. Kutipan-kutipan dari safar-safar tersebut menyerupai kutipan-kutipan yang ada di dalam surat-surat para rasul, Didakhe mengutip kebanyakan materinya dari Injil St. Matius daripada Injil lain, khususnya pada pasal-pasal 5-8, yaitu Kotbah Yesus di atas bukit. Meskipun demikian, materi kotbah Yesus di bukit yang terdapat dl dalam Injil tetap lebih banyak daripada yang terdapat di dalam Didakhe. Beberapa bagian Didakhe menunjukkan bahwa pengarang cukup mengetahui Injil Lukas. Selain itu, di dalam Didakhe terdapat beberapa istilah dan konsep yang memiliki bandingannya di dalam Injil Yohanes. Bahkan, di dalam Didakhe terdapat beberapa hal yang mendorong kami unluk menylmpulkan bahwa pengarangnya mengetahui sejumlah surat Rasul Paulus, terutama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan kepada Jemaat di Korintus, juga Dua Surat St. Petrus. 103] Kecuali pada bagian tersebut, pengarang Didakhe jarang mengisyaratkan kepada safar-safar yang lain di dalam Perjanjian Baru. Dan jelas sekali, pengarang Didakhe tidak mengetahui kitab-kitab hukum. Keaslian Teks DidakheYang dimaksud dengan keaslian adalah kajian tentang kesesuaian substansial (substantial identity) antara Naskah Yerusalem dengan karya yang dikenal dan disebut oleh para penulis Kristen awal sebagai "Ajaran Rasul-rasul" ("De Doctrino Apostolorum"; "Teachings of the Apostles"), atau judul lain yang serupa. Tak dapat diragukan, teks itu berasal dari zaman Apostolik. Bukti-bukti internal teks tersebut menegaskan hal itu. Pada sisi lain, tidak ada alasan untuk meragukan umur naskah itu, atau kesesuaiannya dengan edisi yang diterbitkan oleh Brienios. Klemens dari Aleksandaria (M. 216 M) menegaskan keberadaan naskah tersebut, bukan saja karena dia banyak mengutipnya, tetapi juga karena dia menyebutkan di dalam bukunya Stromata teks yang terdapat di dalam Didakhe, 3: 5 secara harfiah, yaitu, "Anakku, janganlah kamu berdusta, karena dusta membawa kepada pencurian," dan menisbahkan teks tersebut kepada Al-Kitab Al-Muqaddas. Eusebius dari Kaisarea (M. 340 M), pada paragrafnya yang terkenal di dalam bukunya Tarikh Al-Kanisah, yang mengkaji kitab-kitab Perjanjian Baru yang kanonik, menyebut "Ajaran-ajaran Rasul-rasul" sebagai salah satu karya yang tidak legal (spurious works). Bentuk jamak ("ajaran-ajaran") yang dipakai oleh Eusebius dalam menyebut judul karya ini, tidak mengalihkan perujukannya dari naskah yang sedang kita bicarakan, karena Athanasius (M. 373 M) dengan jelas mengisyaratkan kepada naskah ini dengan menggunakan bentuk tunggal ("Ajaran"), dalam perkataannya, "Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul." Setelah menyebutkan kitab-kltab suci yang diakui oleh gereja sebagai kitab-kitab kanonik, Athanasius mengatakan, "Selain kitab-kitab tersebut, ada kitab-kitab lain yang tidak diakui sebagai kitab kanonik (tidak diakui sebagai kitab-kitab suci). Para bapa berpendapat bahwa kitab-kitab itu dapat dibaca oleh orang-orang yang ingin mencari pengetahuan dan ketakwaan. Kitab-kitab itu adalah, Hikmah Sulaiman, Hikmah Ibn Sirach, Ester, Yehodit, Thopia, dan Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul dan Gembala." Sebab, hingga zaman Paus Athanasius Apostolis, gereja belum mengakui kekanonan kitab-kitab tersebut, dan baru diakui belakangan, serta disebut sebagai kitab-kitab kanonik kedua. Rufinus (M. 410 M), di dalam karyanya, Tarikh Al-Kanisah, mengulas sebuah karya yang ringkas, yang disebut `Dua Jalan'. Uraiannya memberikan kita data yang sangat penting untuk kajian kritis terhadap Didakhe. Peneliti lain yang telah mengulas Didakhe adalah Nicephorus (M. 828 M), atau dua ratus tahun setelah Leon the Notary and Sinner menulis naskah yang diketemukan itu. St. Irenaeus (M. 202 M.) dan St. Klemens dari Aleksandria (M. 216 M.) melontarkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan mereka berdua mengetahui Didakhe. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah yang ditemukan ini sebenarnya merupakan karya yang diulas baik oleh Eusebius dari Caesarea maupun Athanasius Apostolis. Waktu PenulisanMelalui kajian yang mendalam terhadap teks-teks Didakhe untuk mengetahui waktu penulisannya, peneliti-peneliti modern memastikan bahwa Didakhe ditulis pada abad pertama Masehi. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bagian otentisitas teks Didakhe, waktu penulisannya tidak mungkin melewati seperempat pertama abad kedua Masehi, dan apabila telah terbukti bahwa Didakhe lebih tua daripada Surat Barnabas, maka ia tidak mungkin ditulis setelah tahun 120 M. Teks-teks Didakhe secara internal menunjukkan waktu penulisannya
Dengan demikian jelas bahwa sejarah Didakhe lebih tua daripada sejarah Surat-surat Ignatius.f Didakhe ditulis untuk jemaat Kristen yang tumbuh di beberapa perkumpulan lokal yang sekarang tidak dapat diketahui lagi. Belum berkembangnya format ajaran-ajaran yang ada di dalam naskah ini meyakinkan bahwa karya sastra ini, dalam bentuknya yang terakhir, telah ditulis pada akhir abad pertama Masehi. Naskah ini tidak mungkin ditulis pada masa hidup Rasul-rasul yang kudus. Selain itu, di dalam pasal 16 naskah ini tidak ada petunjuk apa pun tentang peristiwa hancurnya Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Karena itu, jika ia ditulis seorang Kristen Yahudi, seperti dikatakan FX. Funk, sebagai kemungkinan yang paling mendekati kenyataan, maka tidak disebutkannya peristiwa tersebut berimplikasi adanya interval satu generasi, sehingga orang dapat membatasi periode penulisannya antara tahun 80-100 Masehi. Posisi naskah ini di dalam Naskah Yerusalem adalah setelah Surat-surat Klemens kepada jemaat di Korintus ("The two Epistles of Clement to the Corinthians") dan sebelum Surat-surat Ignatius ("Twelve Epistles of Ignatius"). Itu boleh jadi menandai urutan kronologis karya-karya tersebut. Selain itu, gaya bahasanya yang sangat sederhana nyaris memastikan pendapat bahwa masa hidup penulisnya sangat berdekatan dengan masa hidup Rasul-rasul. Brienios dan Harnack menentukan waktu penulisan Didakhe antara tahun 120 sampai 160 Masehi. Mereka mengatakan bahwa Surat Barnabas dan "Kitab Ar-Ra'i" karya Hermas ( "Gembala Hermas" ) lebih dulu ditulis daripada Didakhe. Tetapi Funk, Schaff, Light foot, dan Don Capoli menyatakan bahwa yang ditulis lebih dahulu adalah Didakhe, yaitu pada akhir abad pertama Masehi, atau antara tahun 70-90 Masehi. Mereka membuktikan pendapat itu dengan kandungan pasal 7, 8, 10:1, dan 11: 3. Sedangkan Hilgenfeld menyatakan, waktu penulisan Didakhe adalah antara tahun 160-190 Masehi. Para peneliti Inggris dan Amerika pada umumnya menyatakan waktu penulisan Didakhe antara tahun 80-120 Masehi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa Didakhe ditulis pada akhir abad pertama Masehi atau awal abad kedua Masehi. Tempat PenulisanPara peneliti berbeda pendapat tentang tempat penulisan Didakhe. Kecenderungan untuk menyatakan bahwa penulisnya adalah seorang Kristen Yahudi tidak cukup untuk menunjukkan tempat penulisannya, apakah di Aleksandria, Antiokhia, Yerusalem, atau tempat-tempat lain. Kesesuaiannya dengan Surat Barnabas menguatkan pendapat bahwa ia ditulis di Mesir. Sebab doa penutup jamuan Ekaristi yang disebut Didakhe, "Karena engkaulah yang memiliki kekuatan dan kemuliaan sampai selama-lamanya," hanya menyebut kata 'kekuatan' dan 'kemuliaan', dan doa yang seperti itu lebih populer di Mesir daripada di tempat-tempat lain. Harnack, R. Glover, R.A. Kraft, dan Voobus dengan jelas menyatakan bahwa Didakhe ditulis di Mesir. Kajian-kajian mereka menyatakan, berbeda dengan teks-teks Didakhe yang berbahasa Latin ("Doctrina Apostolorum"), Jerussalem Codex, Apostolic Constitutions, banyak buktibukti klasik di dalam kitab Didakhe memiliki akar Koptik atau Ethiopia. Tentang hal tersebut, dapat ditambahkan, doa penutup jamuan (Didakhe, 8: 2) sesuai dengan doa penutup jamuan yang terdapat di dalam terjemahan-terjemahan Koptik yang sangat klasik terhadap Injil Matius. Dari sisi lain, St. Clement dari Aleksandria menganggap Didakhe sebagai salah satu teks kanon. Hal ini menunjukkan bahwa karya ini telah beredar di Mesir di gereja-gereja klasiknya (Lihat juga Ar-Risalah AI-Fashihah: 29 karya Paus Athanasius Apostolis), selain Eusebius dari Caesarea menukil berita-berita Didakhe dengan bersandar kepada ajaran bapa-bapa gereja Aleksandria. Akan tetapi, dari sisi lain, para peneliti seperti Adam, J.P Audet, Diet, Knopf, daa lain-lain menyatakan bahwa tempat penulisan Didakhe adalah Siria, dengan alasan kesesuaiannya dengan "Apostolic Constitutions". Selain itu, kata `masehi' yang terdapat pada pasal 4: 2 digunakan pertama kali di Antiokhia. Mereka mengatakan, pasal 11-13 juga menegaskan bahwa Didakhe ditulis di Siria, lebih khusus lagi di Siria Barat, di mana bahasa Yunani, yaitu bahasa yang digunakan untuk menulis Didakhe, dominan. Alasannya, perbuatan-perbuatan buruk yang disebutkan dalam bagian `dua jalan' (Didakhe, 2: 2 dan 3: 4) dengan jelas menunjuk kepada masyarakat yang bercorak Helenistik atau Yunani (Didakhe, 4:1). Dengan demikian, pertama-tama, Didakhe ditujukan kepada masyarakat pedesaan dari kalangan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan yang masuk ke dalam ajaran Kristen. Pasal 13 Didakhe juga menegaskan hal ini. Tetapi, tidak dapat dipastikan bahwa Didakhe berasal dari Antiokhia, atau ditulis di kota Antiokhia. Sebab, adat istiadat yang berasal dari Paulus dan Lukas - yang populer di Antiokhia - adalah adat istiadat yang berbeda dengan Didakhe. Hal ini menegaskan bahwa ia tidak berasal dari Antiokhia. Selain itu, St. lgnatius dari Antiokhia tidak mengenal Didakhe, karena ia tidak mengutip Didakhe sedikit pun di dalam surat-suratnya, yaitu surat-surat yang memperlihatkan aturan-aturan yang sangat berbeda dengan Didakhe. Adam, pada saat membuktikan bahwa Didakhe berasal dari Suriah, mengatakan bahwa terjemahan Didakhe yang berbahasa Koptik berasal dari naskah berbahasa Suryani yang sudah hilang. Dia menambahkan, Didakhe beredar dan populer dengan cepat di Mesir seperti halnya banyak karya sastra lain di gereja Kristen pertama, seperti Injil Lukas, setelah teks Didakhe dalam bentuknya yang terakhir diubah agar sesuai dengan terjemahan Koptik dan Ethiopia. Pengubahan itu dapat kita lihat dengan jelas pada pasal 9:4, "Sebagaimana roti yang dipecah-pecah disebarkan di atas gunung, kemudian dikumpulkan sehingga menjadi satu, demikianlah disatukan gereja-Mu dari ujung bumi hingga Kerajaan-Mu." Lafal 'di atas gunung' adalah pengubahan dan penambahan terhadap teks asli Didakhe. Demikianlah, Didakhe menjadi objek pertentangan para peneliti, sebagian menyatakan ia ditulis di Mesir, sebagian lain menyatakan ia ditulis di Siria. Di atas tumpukan kajian yang sangat banyak tersebut, yang dapat kita lakukan hanyalah membaca teks Didakhe secara cermat, untuk menangkap keindahan gereja pertama sebagai kelompok yang sederhana yang diikat oleh rasa kasih, sayang, dan harmoni, baik di Mesir maupun di Siria. Sedangkan pendapat bahwa Didakhe ditulis di Palestina, ditolak oleh orang-orang menggarisbawahi tiadanya ajaran-ajaran Paulus di dalam Didakhe. Namun, jika benar Didakhe merupakan karya yang ditujukan kepada orang-orang yang belum dibaptis, maka itu cukup untuk menjelaskan tiadanya ajaran-ajaran Paulus di dalamnya. Identitas PenulisSemua usaha untuk menemukan identitas penulis Didakhe tidak berhasil, terutama karena kurangnya data tentang hal ini yang kita milikl sekarang. Asumsi yang paling mendekati kenyataan adalah ia ditulis oleh seorang Kristen Yahudi (Jewish Christian), atau paling tidak oleh orang Kristen yang berasal dari penganut agama Yahudi, karena ia menyebutkan makanan yang diharamkan Perjanjian Lama, yang tidak berubah sampai sekarang kecuali tentang keharaman makanan persembahan bagi berhala; Dan, karena ia mencela kemunafikan orang-orang Farisi, seolah-olah ia bergaul dan mengenal mereka. Penulis mengarahkan bukunya kepada orang yang dia sebut anaknya, karena ia sering mengulang kata 'Wahai anakku.' Dia juga menerangkan beberapa aktivitas gereja pertama yang didirikan orangorang Kristen yang hidup pada awal abad kedua Masehi, terutama tata cara ibadah mereka. Karena itu, kita tidak dapat memandang naskah ini sebagai bukti yang pasti tentang iman gereja secara umum pada masa itu, apalagi Didakhe segera menghilang dari peredaran. J.P Audet berpendapat bahwa penulis ini mungkin sama dengan penulis L.e Vademacum bagi salah seorang Rasul yang berkeliling di gereja pertama.108] Bagaimanapun keadaannya, Rasul yang berkeliling ini telah melakukan dengan cermat ajaran tentang Rasul-rasul yang berkeliling yang terdapat di dalam Didakhe pasal 11: 3-6. Akan tetapi, kajian-kajian modem tidak menyetujui pendapat Audet. Bahwa penulis Didakhe adalah lebih dari satu orang, atau lebih dari satu penulis yang menulis buku itu dalam dua periode: Pertama, menulis pasal 1: 1 sampai pasal 11: 2; Kedua, menulis pasal 11: 3 sampai 16: 8. Alasannya, Didakhe pasal 11-13 tidak mungkin ditulis orang yang menulis pasal 14-15. Dengan demikian, tidak dapat menisbahkan semua pasal Didakhe pada satu orang penulis. Penerima DidakheBagian pertama teks Didakhe - yaitu bagian tentang akhlak - mengisyaratkan pada seorang guru yang memberikan nasihat kepada anak atau muridnya. Sementara bab 4: 2 yang menyatakan, "Berusahalah setiap hari untuk bertemu dengan orang-orang kudus supaya kamu terhibur oleh kata-kata mereka," menunjukkan adanya jemaat Kristen yang di dalamnya terdapat orang-orang kudus yang ketakwaannya populer di kalangan mereka. Selain membedakan antara guru yang memberi nasihat dengan murid yang mendengarkannya, bagian ini juga menunjukkan adanya jemaat Kristen yang berdomisili pada satu tempat dalam waktu yang cukup lama yang memungkinkan munculnya generasi orang tua dan generasi anak-anak. Namun, awal pasal 7 memperlihatkan bahwa kitab Didakhe adalah surat yang ditujukan kepada sekelompok jemaat yang pada awalnya belum memiliki aturan gereja tertentu. Fungsi-fungsi liturgis jemaat itu belum dilakukan oleh abdi-abdi gereja yang tetap. Itulah yang kita lihat pada pasal 15, di mana untuk pertama kali muncul tingkatan uskup dan diakon, yang secara perlahan-lahan menempati posisi Rasul-rasul, pengabar-pengabar gembira, dan Nabi-nabi yang berpindah-pindah dan tidak menetap di satu tempat; untuk memikui tugas-tugas tersebut pada periode awal sejarah gereja. Jika bagian pertama Didakhe sangat terpengaruh oleh ajaran Yahudi, maka istilah 'uskup' dan 'diakon' (pasal 15:1) menegaskan bahwa jemaat yang dikirimi karya sastra ini adalah orang-orang mukmin yang sebelumnya tidak mengenal Tuhan, sebab jika kita menemukan istilah uskup dan diakon pada masa apostolis - tanpa menyebut istilah tetua - maka itu menunjukkan kita sedang berhadapan dengan jemaat Masehi yang terbentuk dari bangsa-bangsa non-Yahudi atau bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Dengan demikian, jelas bahwa Didakhe dikirimkan kepada jemaat Kristen yang berasal dari bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Hal ini tidak menghalangi kemungkinan pasal 7-16 mengisyaratkan kepada penulis Kristen Yahudi, sebab terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa awal pasal 8:1 dan 2 memperlihatkan karakter yang tidak dimiliki oleh penulis Kristen Yahudi. Selain itu, dinyatakan di sini bahwa pasal 16 yang menjelaskan penantian terhadap kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya di kalangan jemaat yang dikirimi Didakhe itu, mengungkapkan adat istiadat Yahudi yang telah baku dan tertanam di dalam gereja Kristen pertama. Ringkasnya, Didakhe adalah teks yang menghimpun adat istiadat yang saling bertentangan yang diberikan formula baru pada masa tertentu oleh penulis yang tidak kita ketahui yang sulit kita tentukan, tetapi memiliki kekuasaan yang kuat terhadap sekelompok jemaat Kristen yang mungkin berasal dari kalangan bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Karena itu, judul panjang Didakhe, yaitu "Ajaran Tuhan kepada Bangsabangsa.", dengan tegas menjelaskan asumsi tersebut. Andresen, seorang sarjana Jerman, membandingkan teks Didakhe 14: 3, "Karena Aku adalah raja yang agung, kata Tuhan, dan nama-Ku dihormati semua manusia," dengan nubuat Malakhi 1: 11, "Sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman Tuhan semesta alam," untuk menjelaskan judul panjang Didakhe seperti ini, "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul kepada Gereja Bangsa-bangsa." Tema-tema Utama Teks DidakheDidakhe tetap bukan merupakan teks karya sastra yang utuh dan lengkap sampai munculnya di dalam Naskah Yerusalem. Sebagaimana telah disebutkan, teks ini memiliki beberapa bagian yang tidak sama panjangnya.
Didakhe 16: 2 menyatakan, "Sering-seringlah kamu berkumpul untuk mempelajari hal-hal yang pantas bagi jiwa-jiwa kamu, karena iman kamu pada setiap zaman tidak akan berguna, jika pada saat yang terakhir kamu tidak menjadi orang-orang yang sempuma." sesuai dengan Surat Barnabas 4: 9 dan 10, yaitu, "Waspadalah kamu pada hari-hari terakhir. Semua hari hidup kita dan iman kita tidak berguna sedikit pun, jika kita tidak melawan sebagai anak-anakTuhan, dengan perlawanan yang aktif, melawan zaman dosa dan rintangan yang menghadang ini, karena takut kegelapan merasuk ke dalam diri kita. Hendaknya kita menjauhi kebatilan-kebatilan, dan membenci secara total perbuatan-perbuatan jalan yang jahat. Janganlah kamu memakai pakaian kesatuan, dan janganlah kamu menganggap diridirimu terbebas, tetapi berkumpullah bersama-sama untuk mempelajari yang berguna bagi orang banyak." St. Ignatius dari Antiokhia berkata, "Jika kamu memiliki iman yang sempuma dan kasih yang sempuma, maka kamu tidak akan tertipu oleh siapapun. Kedua kebajikan itu adalah awal dan akhir kehidupan. Iman adalah awal, dan kasih adalah akhir. Kesatuan dari keduanya adalah Tuhan. Semua kebajikan lain mengiringi manusia untuk mengantarkannya kepada Tuhan." (Suratnya kepada jemaat di Efesus 14: 1) Gambaran eskatologis tentang akhir dunia seperti terdapat dalam Didakhe 16: 3-8 pada umumnya memiliki corak materi tersendiri, yang lebih dalam daripada ajaran-ajaran terdahulu. Ajaran tentang akhir dunia, yang muncul sebagai pasal terakhir dalam Didakhe itu, sebagaimana di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru, sangat menarik perhatian kita, kaitannya dengan penulis Didakhe yang ingin menutup bukunya dengan bagian eskatologis yang dasar-dasamya berasal dari unsur-unsur yang bercorak Perjanjian baru. Prigent, B.C. Butler, dan Giet menetapkan bahwa pasal 16 Didakhe ini secara langsung bersandar kepada pasal 24 Injil Matius. Sebaliknya, setelah kajian yang luas yang tidak meyakinkan kami, Willy Rordrop dan Andre Tuilier—penulis kajian tentang Didakhe di dalam Sources Chretiennes, 248 mengatakan, "Kami sepakat dengan G. Glover bahwa Didakhe tidak mengambil teks apa pun dari Perjanjian Baru. Demikian juga halnya teks doa (resension) yang terdapat di dalam Didakhe 8: 2, yang oleh kedua sarjana tersebut dikatakan sangat mirip dengan teks Injil Matius pasal 6: 9-13. Teks doa di dalam Didakhe berbeda dengan teks doa yang terdapat di dalam Injil. Baca juga
Keterangan
RujukanKutipan
Sumber
Pranala luar
|