Negara Gereja

Negara Gereja

Stato della Chiesa
754–1798

1811–1849

1849–1870
Bendera Negara Sri Paus
Bendera sebelum 1808 (atas), Bendera (1808-1870) (bawah)

Lambang (abad ke-15 hingga 19)
Negara Gereja (hijau) pada era 1700-an.
Negara Gereja (hijau) pada era 1700-an.
Ibu kotaRoma
Bahasa yang umum digunakanBahasa Latin (Gerejawi), Bahasa Italia (Umum)
Agama
Kristen Katolik
PemerintahanMonarki elektif, mutlak, dan teokratis
Sri Paus 
• 752
Paus Stefanus II
• 1846-1878
Paus Pius IX
Kardinal Sekretaris Negara 
• 1551–1555
Girolamo Dandini
• 1848–1870
Giacomo Antonelli
Perdana Menteri 
• 1848
Gabriele Ferretti
• 1850–1870
Giacomo Antonelli
Sejarah 
• Pendirian
752
781
15 Februari 1798
20 September 1870
11 Februari 1929
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Italia (Abad Pertengahan)
Eksarkatus Ravenna
Republik Roma (Abad ke-18)
Republik Roma (Abad ke-19)
krjKerajaan
Italia (1861–1946)
Republik Roma (Abad ke-18)
Republik Roma (Abad ke-19)
Tawanan di dalam Vatikan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Negara Gereja (bahasa Italia: Stato della Chiesa)[1] adalah sekumpulan daerah di Semenanjung Italia yang diperintah secara langsung oleh Sri Paus sejak abad ke-8 sampai tahun 1870. Negara Gereja adalah salah satu di antara negara-negara besar di Italia yang berdiri sejak sekitar abad ke-8 sampai Semenanjung Italia dipersatukan melalui perang penaklukan oleh Kerajaan Piemonte-Sardegna. Hampir semua negara di Semenanjung Italia dapat ditaklukkan pada tahun 1861, tetapi kesatuan seluruh Semenanjung Italia baru terwujud pada tahun 1870. Pada masa jayanya, Negara Gereja menguasai sebagian besar wilayah Lazio (sudah termasuk Roma), Marche, Umbria, Romagna, dan sejumlah daerah di Emilia. Kepemimpinan Sri Paus selaku Kepala Negara Gereja dipandang sebagai perwujudan dari kuasa temporalnya, bukan perwujudan dari kuasa gerejawinya selaku rohaniwan tertinggi.

Pada tahun 1861, sebagian besar wilayah Negara Gereja telah direbut oleh Kerajaan Italia, tinggal Lazio, termasuk Roma, yang masih tetap dikuasai oleh Sri Paus. Pada tahun 1870, Lazio dan Roma dianeksasi oleh Kerajaan Italia, sehingga Sri Paus tidak lagi memiliki wilayah kedaulatan selain Basilika Santo Petrus, Istana Apostolik, dan gedung-gedung lembaga kepausan di sekitar kawasan Vatikan di kota Roma, yakni tempat-tempat yang tidak diduduki oleh tentara Kerajaan Italia. Pada tahun 1929, kepala pemerintahan Kerajaan Italia, yang kala itu dijabat oleh pemimpin Fasis Italia, Benito Mussolini, mengakhiri krisis antara Kerajaan Italia dan Takhta Suci melalui perundingan yang bermuara pada penandatanganan Perjanjian Lateran oleh kedua belah pihak. Berdasarkan perjanjian ini, negara Italia mengakui kedaulatan Takhta Suci atas sebuah entitas wilayah internasional bentukan baru, yakni Negara Kota Vatikan, dengan luas yang sangat terbatas, sekadar untuk membuatnya memiliki wilayah kedaulatan.

Nama negara

Negara Gereja (bahasa Italia: Stato della Chiesa) memiliki sejumlah sebutan lain, misalnya Negara Gerejawi (bahasa Italia: Stato Ecclesiastico, bahasa Latin: Status Ecclesiasticus), Negara Kepausan (bahasa Italia: Stato Pontificio, bahasa Latin: Status Pontificius), dan Daulat Kepausan (bahasa Latin: Dicio Pontificia).[2]

Sejarah

Asal mula

Sepanjang 300 tahun pertama keberadaannya, Gereja Katolik tertindas dan tersisih, tidak berhak memiliki maupun memindahtangankan properti.[3] Ibadat berjemaah diselenggarakan di dalam bilik khusus di rumah-rumah tinggal anggota jemaat yang berpunya, dan di dalam rumah-rumah ibadat perdana di pinggiran kota Roma, yang tercatat sebagai bangunan milik pribadi anggota jemaat, bukan milik Gereja. Kendati demikian, bangunan-bangunan tempat beribadat yang tercatat sebagai properti anggota jemaat, baik yang benar-benar merupakan milik pribadi maupun yang sekadar mengatasnamakan anggota jemaat tertentu, biasanya dianggap sebagai harta pusaka milik seluruh jemaat pengguna, dan diwariskan kepada seorang "ahli waris" yang sah. Seringkali orang yang ditetapkan menjadi ahli waris adalah diakon senior dari jemaat yang bersangkutan, yakni asisten uskup. Harta-harta pusaka semacam ini adalah properti yang dikuasai bersama oleh seluruh jemaat di Roma, dan oleh karena itu menjadi properti yang dikuasai oleh Uskup Roma, pemimpin tertinggi umat Kristen Roma. Jumlahnya kian lama kian bertambah, dan tidak hanya berupa rumah tinggal melainkan juga berupa lahan-lahan yasan, baik sebagian maupun keseluruhan, yang tersebar di seantero Semenanjung Italia maupun di tempat-tempat lain.[4]

Sistem penguasaan dan pewarisan properti semacam ini mulai berubah pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung, kaisar yang melegalkan keberadaan agama Kristen di wilayah Kekaisaran Romawi, dan mengembalikan semua properti Gereja yang pernah disita negara. Di kota-kota besar, properti-properti ini cukup tinggi nilainya, dan properti-properti pusaka warisan di kota Roma sendiri tidak kurang tinggi nilainya.[3] Istana Lateran adalah properti bernilai besar pertama yang dihibahkan kepada Gereja, mungkin sekali oleh Kaisar Konstantinus sendiri.[3]

Gereja selanjutnya dihibahi pula properti-properti lain, terutama properti yang berlokasi di daratan Semenanjung Italia, tetapi ada pula yang berlokasi di provinsi-provinsi Kekaisaran Romawi. Seluruh tanah dan bangunan hibah ini dikuasai Gereja selaku lembaga swasta, bukan selaku entitas berdaulat. Pada abad ke-5, manakala Semenanjung Italia dikuasai oleh Odoaker, dan kemudian oleh orang Ostrogoth, organisasi Gereja di Italia, yang dikepalai oleh Sri Paus, terpaksa tunduk di bawah daulat penguasa baru, kendati tetap mengaku sebagai tampuk kepemimpinan Gereja sejagat.

Benih-benih Negara Gereja sebagai sebuah entitas politik berdaulat mulai disemai pada abad ke-6. Semenjak tahun 535, Pemerintah Kekaisaran Romawi Timur, di bawah pimpinan Kaisar Yustinianus I, melancarkan perang perebutan kembali Semenanjung Italia yang berlangsung selama berpuluh-puluh tahun dan memorak-porandakan tatanan politik dan perekonomian Italia. Perang baru saja mereda tatkala orang Lombardi memasuki daratan semenanjung dari arah utara, dan merebut sebagian besar daerah pedesaan. Pada abad ke-7, wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Timur di Semenanjung Italia hanya tinggal "koridor Roma-Ravenna", yakni wilayah yang membentang serong ke arah selatan dari Ravenna (lokasi penempatan eksarkus atau Wakil Kaisar Romawi Timur) sampai ke Roma dan Napoli,[5][6][7] ditambah sejumlah daerah kantong di kawasan pesisir.[8]

Karena Kekaisaran Romawi Timur lebih mementingkan penyelenggaraan pemerintahan di kawasan timur laut wilayah ini, banyak kewenangan pemerintah yang tidak dapat dijalankan oleh Kekaisaran Romawi Timur di daerah sekitar kota Roma dengan sendirinya jatuh ke pundak Sri Paus selaku pemilik tanah terluas sekaligus tokoh yang paling disegani di Italia. Kendati para paus masih tetap berstatus kawula Kekaisaran Romawi Timur, praja Kadipaten Roma, yang luasnya kurang lebih sama dengan luas daerah Lazio sekarang ini, pada praktiknya menjadi sebuah negara merdeka dengan Sri Paus sebagai kepala negaranya.[9]

Kemerdekaan Gereja serta dukungan rakyat terhadap lembaga kepausan di Italia memungkinkan para paus untuk membangkang perintah Kaisar Romawi Timur. Paus Gregorius II bahkan berani mengekskomunikasi Kaisar Leo III ketika timbul kontroversi pelarangan ikon. Kendati demikian, Sri Paus dan eksarkus tetap bekerja sama membendung sepak terjang orang Lombardi yang kian merajalela di Italia. Seiring melemahnya Kekaisaran Romawi Timur, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul Sri Paus dalam mempertahankan Roma dari serangan orang Lombardi, yang biasanya ia lakukan lewat jalan diplomasi. Pada praktiknya, usaha diplomasi Sri Paus hanya mengalihkan sasaran orang Lombardi dari Roma ke eksarkus dan Ravenna. Salah satu peristiwa penting dalam proses berdirinya Negara Gereja adalah peristiwa donasi di Sutri pada tahun 728, yakni pencapaian kesepakatan mengenai tapal batas wilayah antara Paus Gregorius II dan Liutprandus, Raja Orang Lombardi.[10]

Donasi Pipin

Setelah Eksarkatus Ravenna jatuh ke tangan orang Lombardi pada tahun 751,[11] perhubungan antara Kadipaten Roma dan Kekaisaran Romawi Timur sepenuhnya terputus, meskipun kadipaten ini masih terhitung bagian dari Kekaisaran Romawi Timur. Para paus kembali berusaha mencari dukungan dari orang Franka. Pada tahun 751, atas restu Paus Zakarias, Pipin Muda dinobatkan menjadi raja orang Franka menggantikan Kilderik III, raja boneka dari wangsa Meroving. Pipin kemudian dianugerahi gelar Patrisius Romawi oleh Paus Stefanus II, pengganti Paus Zakarias. Setelah berhasil menundukkan orang Lombardi dan merebut kawasan utara Italia dengan kekuatan bala tentara Franka yang ia kerahkan ke Italia pada tahun 754 dan 756, Pipin menghibahkan bekas wilayah Eksarkatus Ravenna kepada Sri Paus.

Pada tahun 781, Karel Agung menetapkan daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kedaulatan temporal Sri Paus. Di luar Kadipaten Roma, Sri Paus diserahi kedaulatan atas Ravenna, Kadipaten Pentapolis, sejumlah daerah di wilayah Kadipaten Benevento, Toskana, Korsika, Lombardia dan sejumlah kota di Italia. Kerja sama antara lembaga kepausan dan daulat wangsa Karoling mencapai puncaknya pada tahun 800, ditandai dengan upacara penobatan Karel Agung menjadi Kaisar Orang Romawi oleh Paus Leo III.

Keterkaitan dengan Kekaisaran Romawi Suci

Hakikat hubungan antara para paus dan para Kaisar Romawi Suci serta hubungan antara Negara Gereja dan Kekaisaran Romawi Suci tidak diketahui secara pasti. Tidak jelas apakah Negara Gereja adalah negara yang merdeka dan berdaulat dengan Sri Paus selaku kepala negaranya, atau hanya salah satu di antara swapraja-swapraja kekaisaran bangsa Franka dengan Sri Paus sebagai kepala kepamongprajaannya sebagaimana tersirat dalam Libellus de imperatoria potestate in urbe Roma (Risalah Perihal Kewenangan Kaisar di Kota Roma) dari akhir abad ke-9, ataukah para Kaisar Romawi Suci memerintah Dunia Kristen mewakili Sri Paus (selaku kaisar utama) dan Sri Paus hanya turun tangan langsung dalam urusan-urusan kerohanian serta urusan-urusan pemerintahan kota Roma dan sekitarnya.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad ke-9 menghalangi timbulnya konflik. Kekaisaran Romawi Suci bangsa Franka runtuh akibat pembagi-bagian jatah wilayah oleh cucu-cucu Karel Agung. Wibawa kekaisaran memudar di Italia, demikian pula wibawa lembaga kepausan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh kaum ningrat Romawi setempat untuk berkuasa, sehingga pada permulaan abad ke-10, pemerintahan Negara Gereja dikuasai oleh keluarga Teofilaktus, keluarga ningrat yang kuat namun korup. Kurun waktu ini kelak dijuluki saeculum obscurum (zaman kegelapan), dan kadang-kadang juga dijuluki "masa pemerintahan para pelacur".[12]

Pada praktiknya, para paus tidak sanggup menjalankan kedaulatannya atas wilayah Negara Gereja yang meliputi kawasan luas bergunung-gunung. Selain itu, tata kelola pemerintahan gaya lama yang bersifat kedaerahan masih cukup kuat mengakar di berbagai daerah dalam wilayah Negara Gereja, yakni pemerintahan swapraja-swapraja kecil di bawah pimpinan seorang bupati (conte) atau bupati mancanegara (marchese) yang berkedudukan di sebuah benteng (rocca).

Melalui beberapa kali perang pada pertengahan abad ke-10, pemimpin Jerman, Otto, berhasil menaklukkan kawasan utara Italia, dan dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII. Sri Paus dan Kaisar Otto meratifikasi Diploma Ottonianum (Surat Pernyataan Otto), yang menjadikan kaisar sebagai penjamin kemerdekaan Negara Gereja.[13] Kendati demikian, selama dua abad berikutnya, para paus sering kali bersengketa dengan para kaisar terkait berbagai macam perkara, dan para penguasa Jerman secara rutin memperlakukan Negara Gereja sebagai bagian dari wilayah kedaulatan mereka setiap kali bala tentara Jerman dikerahkan ke Italia. Berkat usaha reformasi Paus Gregorius, tata kelola Gereja perlahan-lahan lepas dari campur tangan kaisar, dan kemerdekaan Negara Gereja juga semakin nyata dirasakan. Setelah garis nasab wangsa Hohenstaufen terputus, para kaisar bangsa Jerman jarang sekali mencampuri urusan-urusan di Italia. Perjanjian Damai Venesia ditandatangani pada tahun 1177 guna meredakan pertikaian antara kubu Guelfi dan kubu Ghibellini. Dalam dokumen ini, Negara Gereja secara resmi dinyatakan merdeka dari Kekaisaran Romawi Suci. Pada tahun 1300, Negara Gereja dan seluruh wilayah kerajaan di Italia, secara efektif merdeka.

Masa Kepausan Avignon

Wilayah kedaulatan Negara Gereja pada sekitar tahun 1430

Dari tahun 1305 sampai tahun 1378, para paus bermastautin di Avignon, daerah kantong Negara Gereja yang dikelilingi wilayah Provence, dan menjadi boneka raja-raja Prancis. Kurun waktu ini dijuluki "Zaman Avignonese" atau "Zaman Pembuangan Babel".[14][15][16][17][18][19] Pada waktu ini pula kota Avignon dijadikan bagian dari wilayah kedaulatan Negara Gereja, dan tetap demikian selama kurang lebih 400 tahun, sekalipun para paus sudah kembali bermastautin di Roma, sampai akhirnya direbut dan dijadikan bagian dari wilayah negara Prancis pada masa pergolakan Revolusi Prancis.

Pada masa Kepausan Avignon, para despot memanfaatkan ketidakhadiran Sri Paus di Italia untuk tampil sebagai penguasa di kota-kota Negara Gereja. Keluarga Pepoli di Bologna, keluarga Ordelaffi di Forlì, keluarga Manfredi di Faenza, serta keluarga Malatesta di Rimini secara nominal mengakui Sri Paus sebagai penguasa tertinggi, dan sebaliknya dinyatakan sebagai vikaris Gereja oleh Sri Paus.

Kematian penguasa Ferrara, Azzo VIII d'Este, tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 1308,[20] dimanfaatkan oleh Paus Klemens V untuk mengambil alih pemerintahan Ferrara. Ia mengangkat Robert d'Anjou, Raja Napoli, menjadi vikaris yang mewakilinya memerintah negeri Ferrara. Robert d'Anjou hanya memerintah selama sembilan tahun sebelum warga Ferrara menjemput ahli waris wangsa Este dari pembuangan pada tahun 1317. Larangan maupun ekskomunikasi tidak mempan menyingkirkan wangsa Este, sehingga pada tahun 1332, Paus Yohanes XXII terpaksa harus mengangkat tiga bersaudara dari wangsa Este menjadi vikaris Paus atas Ferrara.[21]

Di kota Roma, keluarga Orsini dan keluarga Colonna bersaing memperebutkan tampuk pemerintahan.[22] Sejumlah rione (kelurahan) di kota itu dikuasai keluarga Orsini, dan rione selebihnya dikuasai keluarga Colonna. Anarki yang timbul di kota Roma akibat perseteruan kaum ningrat melatarbelakangi impian-impian fantastis Cola di Rienzo tentang demokrasi sejagat. Ia didapuk menjadi Tribun Rakyat pada tahun 1347,[23] tetapi tewas mengenaskan pada awal bulan Oktober 1354, dibunuh para pendukung keluarga Colonna.[24] Bagi banyak orang, alih-alih memulihkan kembali jabatan tribun Romawi, ia hanya menjadi seorang tiran baru di antara tiran-tiran yang sudah ada dengan memanfaatkan pidato muluk tentang pemulihan bangsa Romawi sebagai kedok bagi aksi perampasan kekuasaan yang ia lakukan.[24] Sebagaimana yang dikemukakan oleh Profesor Guido Ruggiero, "sekalipun didukung Petrarca, tindakan kembali ke masa-masa awal keberadaan bangsa Romawi dan menghidupkan kembali Roma Kuno yang ia lakukan merupakan suatu tindakan yang tidak akan mungkin berhasil."[24]

Palazzo del Quirinale, kediaman Sri Paus sekaligus gedung kantor jawatan-jawatan sipil Negara Gereja sejak Renaisans sampai dianeksasi Italia

Kendati berakhir dengan kegagalan, sepak terjang Cola di Rienzo telah menggugah pihak-pihak tertentu untuk menegakkan kembali keamanan dan ketertiban di wilayah Negara Gereja yang kian tercerai berai akibat ketidakhadiran lembaga kepausan. Kardinal Egidius Albornoz, yang telah ditunjuk menjadi legatus Sri Paus, bersama para condottieri (perwira) bawahannya, dengan sebala kecil tentara bayaran serta dukungan dari Uskup Agung Milan dan Giovanni Visconti, berhasil mengalahkan Giovanni di Vico di Viterbo, Galeotto Malatesta di Rimini, keluarga Ordelaffi di Forlì, keluarga Montefeltro di Urbino, dan keluarga da Polenta di Ravenna, serta menggempur kota Senigallia dan kota Ancona. Penguasa-penguasa daerah terakhir yang masih enggan tunduk sepenuhnya di bawah kekuasaan Sri Paus adalah Giovanni Manfredi di Faenza, dan Francesco II Ordelaffi di Forlì. Saat dibebastugaskan, Kardinal Egiodius Albornoz mengesahkan Constitutiones Sanctæ Matris Ecclesiæ (Undang-Undang Dasar Bunda Gereja Yang Kudus) alias Undang-Undang Egiodius dalam sebuah pertemuan bersama seluruh vikaris Sri Paus pada tanggal 29 April 1357 guna mengganti beragam peraturan daerah dan berbagai hak kebebasan istimewa yang diwarisi secara turun-temurun dengan undang-undang hukum sipil yang seragam. Undang-Undang Egiodius merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah perundang-undangan Negara Gereja, dan digunakan sampai tahun 1816. Paus Urbanus V coba-coba pulang ke Italia pada tahun 1367, tetapi kepulangannya tidak mampu mendongkrak kewenangan dan kewibawaan lembaga kepausan yang telah terpuruk di Italia, sehingga ia kembali ke Avignon pada tahun 1370, tak lama sebelum menghembuskan nafas terakhir.[25]

Renaisans

Pada kurun waktu Renaisans, wilayah kedaulatan Sri Paus kian bertambah luas, teristimewa pada masa jabatan Paus Aleksander VI dan Paus Yulius II. Sri Paus menjadi salah seorang penguasa duniawi terpenting di Italia sekaligus kepala Gereja Katolik. Ia menandatangani berbagai perjanjian dengan kepala-kepala negara lain, bahkan maju berperang. Kendati demikian, sebagian besar daerah di dalam wilayah Negara Gereja pada praktiknya dikuasai Sri Paus secara nominal saja, karena masing-masing diperintah oleh raja-raja kecil. Kedaulatan atas daerah-daerah Negara Gereja senantiasa diganggu-gugat, dan Sri Paus baru benar-benar menguasai seluruh wilayah Negara Gereja pada abad ke-16.

Tanggung jawab rohani Sri Paus sering kali bertentangan dengan tanggung jawab duniawinya, sebagaimana yang terjadi pada permulaan abad ke-16. Negara Gereja terlibat dalam sekurang-kurangnya tiga peperangan pada dua dasawarsa pertama.[26] Paus Yulius II, "Sri Paus Pejuang", maju berperang membela Negara Gereja.

Reformasi Protestan

Antikristus (1521) karya Lucas Cranach Tua.

Reformasi Protestan bermula pada tahun 1517. Sebelum memerangi kaum Protestan, para prajurit Kekaisaran Romawi Suci (termasuk banyak personel pengikut mazhab Protestan) menjarah-rayah kota Roma pada tahun 1527. Serangan atas kota Roma ini adalah efek samping dari pertempuran-pertempuran memperebutkan wilayah Negara Gereja.[27] Satu generasi kemudian, bala tentara Raja Spanyol, Felipe II, maju menggempur dan mengalahkan bala tentara Paus Paulus IV untuk alasan yang sama.[28]

Pada kurun waktu ini, kuasa temporal Sri Paus atas Negara Gereja perlahan-lahan pulih seperti sediakala. Sepanjang abad ke-16, daerah-daerah swapraja yang boleh dikata hampir sepenuhnya merdeka semisal Rimini (daerah swapraja yang dikuasai keluarga Malatesta) ditundukkan kembali di bawah kekuasaan Sri Paus. Pada tahun 1512, Negara Gereja menganeksasi Parma dan Piacenza. Pada tahun 1545, kedua daerah ini dijadikan kadipaten-kadipaten merdeka yang diperintah oleh salah seorang anak haram Paus Paulus III. Pemberian kemerdekaan kepada Parma dan Piacenza mendorong Kadipaten Ferrara mempermaklumkan kemerdekaannya pada tahun 1598,[29][30] dan Kadipaten Urbino mempermaklumkan kemerdekaannya pada tahun 1631.[31]

Luas wilayah kekuasaan Negara Gereja, yang mencapai puncaknya pada abad ke-18, meliputi sebagian besar kawasan tengah Italia, yakni daerah Latium, Umbria, dan Marche, serta Legasi Kepausan Ravenna, Ferrara, dan Bologna, membentang ke utara sampai ke daerah Romagna. Negara Gereja juga menguasai daerah kantong Benevento dan daerah kantong Pontecorvo yang tidak seberapa luas di kawasan selatan Italia, serta daerah kantong Comtat Venaissin dan Avignon yang cukup luas di kawasan selatan Prancis.

Zaman Napoleon

Wilayah Negara Gereja dalam peta Semenanjung Italia pada tahun 1796, sebelum kawasan itu porak-poranda akibat Perang Napoleon.

Revolusi Prancis berdampak besar terhadap luas wilayah kekuasaan temporal Sri Paus pada khususnya dan luas wilayah kewenangan Gereja Roma pada umumnya. pada tahun 1791, negara Prancis di bawah pemerintahan kaum revolusioner menganeksasi Comtat Venaissin dan Avignon.[32] Ketika Prancis menginvasi Italia pada tahun 1796, legasi-legasi kepausan (daerah-daerah di kawasan utara Negara Gereja[32]) direbut dan dijadikan bagian dari Republik Cisalpina.[32]

Dua tahun kemudian, angkatan bersenjata Prancis menginvasi daerah-daerah Negara Gereja yang tersisa, dan Jenderal Louis-Alexandre Berthier mempermaklumkan berdirinya Negara Republik Romawi[32] pada bulan Februari 1798. Paus Pius VI mengungsi ke Siena, dan wafat dalam pembuangan di Valence, Prancis, pada tahun 1799.[32] Pemerintah Konsulat Prancis memulihkan keberadaan Negara Gereja pada bulan Juni 1800, dan Sri Paus yang baru terpilih, Paus Pius VII, bermastautin di Roma, tetapi Kekaisaran Prancis di bawah pemerintahan Napoleon menginvasi pada tahun 1808, dan kali ini, yakni pada tanggal 17 May 1809, daerah-daerah Negara Gereja yang tersisa dianeksasi ke dalam wilayah Prancis[32] menjadi Département Tibre dan Département Trasimène.

Sesudah rezim Napoleon tumbang pada tahun 1814, Kongres Wina secara resmi mengembalikan daerah-daerah di Italia yang pernah dikuasai Negara Gereja kepada Vatikan, tetapi Comtat Venaissin maupun Avignon tidak ikut dipulangkan.[32]

Sejak tahun 1814 sampai dengan wafatnya Paus Gregorius XVI pada tahun 1846, para paus menerapkan kebijakan reaksioner di Negara Gereja. Sebagai contoh, kampung Yahudi terakhir di Eropa Barat adalah kampung Yahudi di kota Roma. Pada tahun 1870, Negara Gereja menjadi negara terakhir yang menghapuskan praktik pengebirian anak-anak lelaki bersuara merdu untuk dijadikan castrato, yang kala itu sangat dibutuhkan di bidang seni musik. Muncul harapan bahwa keadaan ini akan berubah manakala Paus Pius IX (menjabat 1846-1878) terpilih menggantikan Paus Gregorius XVI dan mulai melakukan perombakan-perombakan liberal.

Penyatuan Italia

Surat Utang Negara Gereja, terbitan 9 Desember 1818.[33]

Semangat kebangsaan Italia sudah mulai berkobar pada zaman Napoleon, tetapi dipadamkan oleh keputusan Kongres Wina (1814–1815), yang hendak memulihkan kembali keadaan sebelum zaman Napoleon, manakala sebagian besar kawasan utara semenanjung masih dikuasai oleh salah satu cabang nasab wangsa Habsburg dan wangsa Bourbon, serta daulat wangsa Savoia di Kerajaan Sardegna-Piemonte merupakan satu-satunya negara Italia yang merdeka. Negara Gereja di kawasan tengah semenanjung maupun Kerajaan Dua Sisilia yang diperintah oleh wangsa Bourbon di kawasan selatan semenanjung dipulihkan keberadaannya seperti sediakala. Ketidaksukaan rakyat pada pemerintahan kaum rohaniwan yang korup menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Pemberontakan-pemberontakan ini dapat dipadamkan melalui campur tangan angkatan bersenjata Kekaisaran Austria.

Revolusi kebangsaan dan liberal tahun 848 berkobar di banyak negara Eropa, dan Negara Republik Romawi diproklamasikan pada bulan Februari 1849,[34] sehingga Paus Pius IX yang kala itu masih berhaluan liberal terpaksa mengungsi dari Roma. Revolusi dapat dipadamkan berkat bantuan Prancis pada tahun 1850, dan Paus Pius IX pun beralih ke sistem pemerintahan yang berhaluan konservatif.

Akibat meletusnya Perang Austria-Sardegna tahun 1859, Kerajaan Sardegna-Piemonte menganeksasi Lombardia, sementara Giuseppe Garibaldi menumbangkan monarki wangsa Bourbon di kawasan selatan semenanjung.[35][36] Karena khawatir Garibaldi akan membentuk pemerintahan republik, pemerintah Piemonte minta izin dari Kaisar Prancis, Napoleon III, untuk mengerahkan bala tentara melintasi wilayah Negara Gereja guna merebut kendali atas kawasan selatan semenanjung. Kaisar Prancis memberi izin dengan syarat kota Roma tidak diusik. Pada tahun 1860, dengan maraknya pemberontakan melawan pemerintahan Sri Paus di banyak daerah, Kerajaan Sardegna-Piemonte merebut dua pertiga wilayah Negara Gereja yang terletak di sebelah timur dan mengekalkan cengkeramannya di kawasan selatan semenanjung. Bologna, Ferrara, Umbria, Marche, Benevento, dan Pontecorvo secara resmi dianeksasi pada bulan November tahun yang sama. Meskipun wilayahnya sudah sangat menyusut, Negara Gereja masih menguasai Latium dan daerah-daerah luas di sebelah barat laut kota Roma.

Pembobolan Porta Pia tahun 1870.

Negara Kesatuan Kerajaan Italia dinyatakan berdiri, dan pada bulan Maret 1861, Parlemen Italia yang pertama, dalam sidangnya di Turin, ibu kota lama Piemonte, menetapkan Roma sebagai ibu kota Kerajaan Italia. Kendati demikian, pemerintah Kerajaan Italia tidak dapat mengambil alih Roma, karena Paus Pius IX dilindungi oleh sepasukan tentara Prancis yang ditempatkan di kota itu. Peluang bagi Kerajaan Italia untuk mengakhiri keberadaan Negara Gereja muncul pada tahun 1870; Perang Prancis-Prusia yang meletus pada bulan Juli memaksa Napoleon III untuk menarik bala tentaranya dari Roma, dan kekalahan Kekaisaran Prancis Kedua dalam Pertempuran Sedan menjadikan Roma kehilangan perlindungan Prancis. Raja Victor Emmanuel II mula-mula berusaha menaklukkan Roma lewat jalan damai, dan berpura-pura menawarkan perlindungan kepada Sri Paus dengan maksud meloloskan bala tentaranya ke dalam kota Roma. Sri Paus menolak perlindungan yang ditawarkan sang raja, dan akibatnya Italia menyatakan perang pada tanggal 10 September 1870. Angkatan Bersenjata Italia, di bawah komando Jenderal Raffaele Cadorna, menerobos tapal batas Negara Gereja pada tanggal 11 September lalu beringsut ke Roma. Angkatan bersenjata Kerajaan Italia sampai ke Tembok Aurelius pada tanggal 19 September, dan langsung mengepung kota Roma. Sekalipun tidak berdaya mempertahankan kota Roma, angkatan bersenjata Negara Gereja yang tidak seberapa besar itu diperintahkan Paus Pius IX untuk menunjukkan usaha perlawanan sebagai bukti bahwa Roma dikusai Italia secara paksa, bukan atas kerelaan warganya. Lagak perlawanan ini justru bermanfaat bagi pihak Italia dan memunculkan mitos Pembobolan Porta Pia, yang sesungguhnya bukan sebuah aksi laga yang seru melainkan cuma tindakan membobol sebidang tembok ringkih setua 1600 tahun dengan tembakan meriam jarak dekat. Paus Pius IX memerintahkan panglima angkatan bersenjatanya untuk membatasi pertahanan kota demi menghindari pertumpahan darah.[37] Angkatan bersenjata Kerajaan Italia akhirnya berhasil menguasai kota pada tanggal 20 September 1870. Roma beserta daerah-daerah Negara Gereja yang tersisa dianeksasi Kerajaan Italia sebagai hasil dari sebuah jajak pendapat yang digelar pada bulan Oktober tahun yang sama. Peristiwa ini menandai akhir riwayat keberadaan Negara Gereja.[32]

Sekalipun tidak mendapatkan bantuan dari negara-negara Katolik, lembaga kepausan menampik segala macam tawaran perlindungan yang diajukan Kerajaan Italia, terutama tawaran perlindungan dengan syarat Sri Paus menjadi kawula Kerajaan Italia. Lembaga kepausan justru mengurung diri (baca tawanan di dalam Vatikan) di dalam Istana Apostolik dan gugus bangunan dalam lingkungan tembok kuno yang disebut Kota Leo di Bukit Vatikan. Dari Kota Leo, lembaga kepausan memastikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kedaulatannya tetap berlanjut, misalnya hubungan diplomatik, karena pelaksanaan kegiatan-kegiatan semacam ini sudah menjadi fitrah lembaga kepausan berdasarkan hukum kanon. Pada kurun waktu 1920-an, lembaga kepausan, yang kala itu dipimpin oleh Paus Pius XI, akhirnya merelakan kedaulatannya atas seluruh wilayah Negara Gereja, dan menandatangani Perjanjian Lateran dengan pemerintah Kerajaan Italia (kala itu dikuasai Partai Fasis Nasional pimpinan Benito Mussolini[38]) pada tanggal 11 Februari 1929,[38] yang mengakui keberadaan Negara Kota Vatikan sebagai wilayah kedaulatan Takhta Suci sekaligus sebagai semacam ganti rugi atas hilangnya wilayah Negara Gereja.

Kepala daerah

Foto beberapa personel korps Zuavi Kepausan dari tahun 1869

Negara Gereja terdiri atas sejumlah daerah yang masing-masing diperintah oleh seorang kepala daerah selaku wakil Sri Paus. Kepala-kepala daerah ini menyandang sebutan yang berbeda-beda, misalnya sebutan Legatus Sri Paus bagi kepala daerah di bekas Kepangeranan Benevento, Bologna, Romagna, dan Mancanegara Ancona, serta sebutan Delegatus Sri Paus bagi kepala daerah di bekas Kadipaten Pontecorvo dan Provinsi Campagna e Marittima. Ada pula kepala-kepala daerah yang menggunakan sebutan Vikaris Sri Paus, Vikaris Jenderal, serta gelar-gelar ningrat semisal conte (bupati) dan bahkan principe (pangeran). Kendati demikian, sepanjang sejarah Negara Gereja, ada banyak pemimpin laskar dan bahkan pemimpin gerombolan bandit yang menjadi penguasa kota atau kadipaten kecil di dalam wilayahnya tanpa gelar apa-apa dari Sri Paus.

Kemiliteran

Kekuatan militer Negara Gereja terdiri atas pasukan-pasukan sukarelawan dan tentara bayaran. Antara tahun 1860 dan tahun 1870, Angkatan Bersenjata Kepausan (bahasa Italia: Esercito Pontificio) terdiri atas dua resimen infanteri berkebangsaan Italia, dua resimen infanteri berkebangsaan Swiss, satu batalion sukarelawan infanteri berkebangsaan Irlandia, ditambah pasukan-pasukan artileri dan dragonder.[39] Pada tahun 1861, Negara Gereja membentuk korps sukarelawan Katolik internasional, yang dinamakan korps Zuavi Kepausan (bahasa Italia: Zuavi Pontifici), meniru nama kesatuan infanteri kolonial Prancis yang beranggotakan bumiputra Aljazair, bahkan meniru model pakaian seragamnya. Korps sukarelawan yang sebagian besar personelnya berkebangsaan Belanda, Prancis, dan Belgia ini pernah bertempur melawan Laskar Baju Merah pimpinan Giuseppe Garibaldi, laskar-laskar pejuang Italia, dan pasukan-pasukan tentara Italia ketika Negara Kesatuan Italia baru terbentuk.[40]

Angkatan Bersenjata Kepausan dibubarkan pada tahun 1870, menyisakan kesatuan Garda Kehormatan Istana (bahasa Italia: Guardia Palatina d'Onore) yang akhirnya dibubarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 14 September 1970,[41] kesatuan Garda Mulia (bahasa Italia: Guardia Nobile) yang juga dibubarkan pada tahun 1970, dan kesatuan Garda Swiss (bahasa Italia: Guardia Svizzera) yang masih dipertahankan sampai sekarang sebagai pasukan seremonial di Vatikan sekaligus sebagai pasukan pengamanan Sri Paus.

Angkatan Bersenjata Kepausan juga mencakup Angkatan Laut Kepausan (bahasa Italia: Marina Pontificia), yang ditempatkan di dua pangkalan laut, Civitavecchia di pantai barat dan Ancona di pantai timur semenanjung. Ketika Negara Gereja runtuh pada tahun 1870, kapal-kapal yang tersisa dari armada kecil Negara Gereja bertolak menuju Prancis, tempat kapal-kapal itu dijual sepeninggal Paus Pius IX.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Frederik de Wit, "Status Ecclesiasticus et Magnus Ducatus Thoscanae" (1700)
  2. ^ Mitchell, S.A. (1840). Mitchell's geographical reader. Thomas, Cowperthwait & Co. hlm. 368. 
  3. ^ a b c Schnürer, Gustav. "States of the Church." Catholic Encyclopedia. Jld. 14. New York: Robert Appleton Company, 1912. 16 Juli 2014
  4. ^ Brent, Allen (2009-09-01). A Political History of Early Christianity (dalam bahasa Inggris). A&C Black. hlm. 243. ISBN 9780567606051. 
  5. ^ McEvedy, Colin (1961). The Penguin atlas of medieval history. Penguin Books. hlm. 32. ... di luar dari ketuanan teoritis mereka atas Pavia, dengan melanggengkan kedaulatan kekaisaran atas koridor Roma-Ravenna. 
  6. ^ Freeman, Charles (2014). Egypt, Greece, and Rome: Civilizations of the Ancient Mediterranean. OUP Oxford. hlm. 661. ISBN 978-0199651924. Kekaisaran hanya mempertahankan kedaulatannya atas Roma, Ravenna, dan sejalur wilayah yang membentang di antara keduanya, ... 
  7. ^ Richards, Jeffrey (2014). The Popes and the Papacy in the Early Middle Ages: 476-752. Routledge. hlm. 230. ISBN 978-1317678175. Pada tahun 749, Ratchis berusaha merebut Perusia, kota yang perlu dikuasai paling awal jika hendak menguasai seluruh wilayah koridor Roma-Ravenna 
  8. ^ Treadgold 1997, hlm. 378.
  9. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 1060.
  10. ^ "Sutri". From Civitavecchia to Civita Castellana. Diakses tanggal 27 Agustus 2012. 
  11. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 324.
  12. ^ Émile Amann dan Auguste Dumas, L'église au pouvoir des laïques, dalam Auguste Fliche dan Victor Martin, (penyunting) Histoire de l'Église depuis l'origine jusqu'au nos jours, jld. 7 (Paris 1940, 1948)
  13. ^ Tucker 2009, hlm. 332.
  14. ^ Spielvogel 2013, hlm. 245-246.
  15. ^ Elm & Mixson 2015, hlm. 154.
  16. ^ Watanabe 2013, hlm. 241.
  17. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 220, 982.
  18. ^ Noble; et al. (2013). Cengage Advantage Books: Western Civilization: Beyond Boundaries (edisi ke-7). Cengage Learning. hlm. 304. ISBN 978-1285661537. The Babylonian Captivity, 1309–1377 
  19. ^ Butt, John J. (2006). The Greenwood Dictionary of World History. Greenwood Publishing Group. hlm. 36. ISBN 978-0313327650. Istilah ini (diciptakan oleh Petrarka) digunakan untuk menyebut kurun waktu ketika para paus bermastautin di Avignon (1309–1377), merujuk pada masa Pembuangan Babel (...) 
  20. ^ Menache 2003, hlm. 142.
  21. ^ Waley 1966, hlm. 62.
  22. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 802.
  23. ^ Ruggiero 2014, hlm. 225.
  24. ^ a b c Ruggiero 2014, hlm. 227.
  25. ^ Watanabe 2013, hlm. 19.
  26. ^ Ganse, Alexander. "History of the Papal States". World History at KDMLA. Korean Minjok Leadership Academy. Diakses tanggal 7 Maret 2013. 
  27. ^ Durant, Will (1953). The Renaissance. Chapter XXI: The Political Collapse: 1494–1534. 
  28. ^ Durant, Will (1953). The Renaissance. Chapter XXXIX: The popes and the Council: 1517–1565. 
  29. ^ Hanlon 2008, hlm. 134.
  30. ^ Domenico 2002, hlm. 85.
  31. ^ Gross 2004, hlm. 40.
  32. ^ a b c d e f g h Hanson 2015, hlm. 252.
  33. ^ Alex Witula: TITOLI di STATO, hlm. 245, ISBN 978-88-95848-12-9
  34. ^ Roessler & Miklos 2003, hlm. 149.
  35. ^ Fischer 2011, hlm. 136.
  36. ^ Abulafia, David (2003). "The Mediterranean as a battleground". The Mediterranean in History. Getty Publication. hlm. 268. ISBN 978-0892367252. (...) di bawah pimpinan Giuseppe Garibaldi untuk menumbangkan kekuasaan wangsa Bourbon di Napoli. Setelah mengalahkan bala tentara Napoli di Calatafirmi, Caribaldi merebut Palermo selepas tiga hari bertempur. 
  37. ^ "History of the Pontifical Swiss Guard". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-03. Diakses tanggal 30 Agustus 2016. 
  38. ^ a b De Grand 2004, hlm. 89.
  39. ^ Brandani, Massimo (1976). L'Esercito Pontificio da Castelfidardo a Porta Pia. Milan: Intergest. hlm. 6. 
  40. ^ Charles A. Coulombe, The Pope's Legion: The Multinational Fighting Force that Defended the Vatican, Palgrave Macmillan, New York, 2008
  41. ^ Levillain 2002, hlm. 1095.

Pranala luar

42°49′16″N 12°36′10″E / 42.82111°N 12.60278°E / 42.82111; 12.60278