Keperawanan abadi Maria (bahasa Inggris: perpetual virginity of Mary), atau Maria Tetap Perawan, merupakan dogma yang menegaskan keperawanan Maria yang nyata dan kekal bahkan dalam peristiwa melahirkan Yesus Sang Putra Allah yang menjadi manusia (inkarnasi). Menurut doktrin ini, Maria selalu atau tetap perawan (Bahasa Yunani: ἀειπάρθενος, aeiparthenos) sepanjang hidupnya, menjadikan Yesus sebagai satu-satunya putra biologisnya, dimana pembuahan dan kelahiran-Nya dianggap sebagai hal yang ajaib.[2][3]
Beberapa reformis Protestan awal seperti Martin Luther mendukung doktrin keperawanan abadi Maria, dan tokoh pendiri Anglikanisme seperti Hugh Latimer dan Thomas Cranmer turut mengikuti tradisi yang mereka warisi dengan menerima Maria sebagai "yang selalu perawan";[13] namun kebanyakan dari Calvinisme meninggalkannya.[14][15] Sampai saat ini banyak teolog Protestan, terutama dari Anglikan dan Lutheran, tetap mempertahankan doktrin keperawanan abadi Maria.[7][16][17][18] Selain itu John Wesley, pendiri Gereja Metodis, juga menegaskan keperawanan abadi Maria.[19]
Doktrin dan representasi
Doktrin keperawanan abadi Maria, yang mana merupakan de fide (dipegang oleh umat Katolik sebagai suatu bagian penting dari iman), menyatakan bahwa Maria adalah seorang perawan sebelum, saat dan setelah melahirkan sepanjang hidupnya. Oleh karena itu dalam doktrin ini juga termasuk doktrin kelahiran Yesus dari perawan.[2][3][20] Selain itu doktrin keperawanan abadi ini berbeda dengan dogmaDikandung Tanpa Noda (Imakulata) yang mengaitkan pembuahan atau dikandungnya Perawan Maria sendiri yang tanpa noda dosa asal.[21]
Bukti penggunaan istilah Yunani Aeiparthenos (Tetap Perawan Selamanya) tercatat pada awal abad ke-4, dituliskan oleh SantoEpifanius dari Salamis,[22] dan digunakan secara luas dalam liturgi Gereja Ortodoks Timur.[23] Doa liturgi Ortodoks Timur biasanya diakhiri dengan kata-kata "Dengan mengenang ibu kita yang tersuci, murni, terberkati, dan mulia, (†) Sang Theotokos, dan yang selalu perawan Maria".[24]Katekismus Gereja Katolik (KGK) § 499 juga menggunakan istilah Aeiparthenos dan merujuk pada konstitusi dogmatis Lumen Gentium (butir 57) yang menyatakan: "Kelahiran Kristus tidak mengurangi keutuhan keperawanan ibu-Nya melainkan menyucikannya."[20][25] Doktrin keperawanan abadi ini juga tetap dipertahankan sebagian, tidak semua, gereja-gereja Anglikan dan Lutheran.[7]
Keperawanan Maria saat mengandung Yesus adalah satu topik utama dalam seni rupa Maria dalam Gereja Katolik, yang biasanya direpresentasikan dengan kabar dari Malaikat AgungGabriel kepada Maria bahwa ia akan mengandung — dalam keperawanannya — seorang anak yang terlahir sebagai Anak Allah. Fresko (lukisan dinding) yang menggambarkan peristiwa ini tampak dalam banyak gereja (gedung) Katolik Roma selama berabad-abad.[26] Fresko tertua mengenai kabar gembira tersebut diketahui berupa lukisan abad ke-4 dalam Katakombe Priscilla di Roma.[27]
Keperawanan Maria setelah melahirkan Yesus juga secara berkala direpresentasikan dalam seni Kekristenan Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental (seperti dalam seni religius Barat awal) dengan memasukkan sosok Salome dalam peristiwa kelahiran Yesus, yang mana Injil Yakobus (apokrif) menyajikannya sebagai bukti bahwa Maria tetap perawan bahkan setelah melahirkan Yesus.[28][29] Dalam banyak ikonografi, keperawanan abadi Maria ditandai dengan 3 bintang di sisi kiri, kanan, dan di atasnya (atau di kepalanya) yang mana merupakan representasi keperawanannya sebelum, saat, dan sesudah melahirkan.[30][31]
Tradisi umum mengenai keperawanan abadi Maria merupakan salah satu unsur teologi yang kuat tentang Theotokos baik dalam tradisi Timur maupun Barat, dan menjadi sebuah bidang penelitian yang dikenal dengan nama Mariologi.
Perkembangan doktrin
Gereja perdana
Pada abad ke-2, ada pengembangan minat dalam Gereja perdana terkait bagaimana Yesus dikandung dan keperawanan Maria. Mayoritas penulis Kekristenan awal menerima bahwa Yesus dikandung oleh perawan dengan mengandalkan yang tertulis pada Injil Lukas dan Matius; fokus dari pembahasan-pembahasan masa awal ini adalah keperawanan sebelum kelahiran Yesus, bukan saat kelahiran atau setelahnya.[32][33]
Penafsiran atas teks Matius 1:25 bahwa "tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki" dan atas berbagai teks Perjanjian Baru yang menyebutkan saudara-saudara Yesus dibahas di bagian bawah, dalam sub-judul "Menurut Kitab Suci". Saudara-saudara Yesus yang disebutkan dalam Injil, "Yakobus, saudara Tuhan Yesus" (menurut Galatia 1:19), "saudara Yesus yang disebut Kristus, yang bernama Yakobus" (menurut Flavius Yosefus),[34] ditafsirkan oleh banyak naskah bukanlah sebagai anak-anak Maria. Penggunaan kata "saudara" dalam Alkitab tidak hanya merujuk pada saudara biologis (kandung) tetapi juga pada kerabat keluarga atau sanak saudara tidak sekandung (Kejadian 14:14, Kejadian 29:15), teman dekat (2 Samuel 1:26, 1 Raja-raja 9:13), atau bahkan sekutu (Amos 1:9).
Sebuah dokumen dari abad ke-2 yang memberi perhatian khusus pada keperawanan Maria awalnya dikenal sebagai "Kelahiran Maria", namun kemudian dikenal dengan "Protoevangelium Yakobus" (dari sumbernya: Injil apokrif Yakobus).[3][35]:35 Dokumen tersebut menceritakan mengenai keperawanan Maria sebelum ia melahirkan, keajaiban dalam bagaimana ia melahirkan, dan keperawanan fisik bahkan setelah melahirkan.[35]:40[36][37] Selain itu dokumen yang sama juga mengklaim bahwa saudara-saudara Yesus, dalam Matius 13:56 dan Markus 6:3, adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelumnya (sebelum dengan Maria).[38] Tetapi teks ini tidak menyatakan secara eksplisit perihal keperawanan abadi Maria setelah kelahiran Yesus.
Belum ada konsensus sepenuhnya mengenai doktrin keperawanan abadi dalam Gereja awal mula hingga akhir abad ke-2; Tertulian (ca160 - ca225) tidak mengajarkan doktrin tersebut (walau ia mengajarkan perihal kelahiran dari perawan), tetapi Ireneus (ca130 - ca202) — yang dipandang sebagai seorang santo dan Bapa Gereja — mengajarkan tentang keperawanan abadi dan juga tema-tema lainnya terkait Maria.[33]Origen (185-254) bersikap tegas dalam masalah mengenai saudara-saudara Yesus ini, dan ia menyatakan keyakinannya bahwa saudara-saudara Yesus tersebut merupakan anak-anak Yusuf dari suatu perkawinan sebelumnya.[39] Akan tetapi dukungan yang lebih luas terhadap doktrin tersebut mulai terlibat dalam abad berikutnya.[33]
Beberapa penulis dari abad ke-4, Helvidius (Helvetius) dan Eunomius dari Cyzicus (salah seorang pemimpin Arianisme), menafsirkan pernyataan Matius dengan arti bahwa Yusuf dan Maria melakukan hubungan suami istri yang normal setelah kelahiran Yesus, dan bahwa Yakobus, Yoses, Yudas, dan Simon merupakan anak kandung Maria dan Yusuf, adalah suatu pandangan yang dipegang oleh Helvidius dan Eunomius.[40] Helvidius, mengikuti opini Tertulian, menentang doktrin keperawanan abadi Maria, dimana Hieronimus membalasnya dalam Ecclesiae hominem dengan mengatakan bahwa Tertulian bukanlah putra Gereja.[41] Sementara Basilius dari Kaisarea menyangkal pandangan Eunomius karena Basilius melihat teks Matius 1:25 sebagai bukti yang mendukung, bukan menentang, keperawanan abadi Maria.[40]
Yohanes Krisostomus (347-407) membela keperawanan abadi Maria dengan sejumlah alasan, salah satunya adalah kata-kata Yesus kepada ibunya di Kalvari: "Ibu, inilah anakmu!" dan kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" (Yohanes 19:26-27).[50][51] Sejak abad ke-2, kedua perkataan Yesus dari salib tersebut telah menjadi dasar penalaran bahwa Maria tidak memiliki anak lain dan "sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya" (Yohanes 19:27) karena setelah kematian Yusuf dan Yesus tidak ada orang lain yang merawat Maria, sehingga Maria harus dipercayakan kepada murid tersebut (Yohanes).[52][53]
Pada masa Gregorius dari Nyssa dan Agustinus dari Hippo, seiring meningkatnya penekanan pada kesalehan Maria, pandangan atas peranan Maria yang lebih luas mulai timbul dalam konteks sejarah keselamatan.[6] Agustinus sendiri menyajikan sejumlah pendapat yang mendukung doktrin keperawanan abadi.[54][55] Di akhir abad ke-4, teks Lukas 1:34 ("Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?") mulai dibaca sebagai satu hal yang menunjukkan "sumpah keperawanan abadi" dari pihak Maria.[6] Para Bapa Gereja tersebut berpendapat bahwa kebingungan Maria timbul karena ia sudah pernah bersumpah untuk tetap perawan.[56]
Konsep mengenai sumpah (kaul) keperawanan telah ditampilkan dalam Protoevangelium (4:1) yang mana menyatakan bahwa ibu Maria, Anna, mempersembahkan Maria sebagai "perawan dari Allah" di Bait Allah, dan bahwa Yusuf, seorang duda, berperan sebagai penjaga Maria (pada saat itu perlindungan hukum bagi wanita tergantung pada pelindung laki-laki mereka: ayah, saudara, atau suami).[57] Pada awal abad ke-7 Isidorus dari Sevilla, dalam Short Book on the Perpetual Virginity of Blessed Mary, menghubungkan tema Mariologi dan Kristologi dengan mengaitkan keperawanan Maria pada keilahian Kristus.[58] Buku lainnya dari sekitar abad ke 6-7, "Sejarah dari Yosef sang Tukang Kayu", menuliskan tentang Yesus yang menyebut Maria, saat kematian Yosef (atau Yusuf), sebagai "ibu-Ku, perawan tanpa noda";[59] tulisan tersebut kemungkinan disusun dalam bahasa Yunani, namun yang bertahan sampai saat ini hanya terjemahan dalam bahasa Koptik dan Arab.[60]Konsili Lateran tahun 649, yang dihadiri Maximus Sang Pengaku Iman, kemudian secara eksplisit menegaskan ajaran keperawanan Maria sebelum, saat, dan setelah kelahiran Yesus.[33] Hal ini selanjutnya ditegaskan pada konsili ekumenis ke-6 (Konsili Konstantinopel Ketiga) pada tahun 680.[4]
Selama berabad-abad interpretasi atas Maria sebagai seorang mempelai Allah yang tetap perawan yang mengambil sumpah keperawanan selamanya telah menyebar luas dan menjadi sangat lazim dalam masa Rupertus dari Deutz pada abad ke-12.[6] Pada abad ke-13, Thomas Aquinas telah membentuk argumen teologis yang panjang dan rinci dalam membela doktrin tersebut dan menyatakan bahwa penolakan terhadap keperawanan abadi Maria adalah merendahkan kesempurnaan Kristus, penistaan terhadap Roh Kudus, dan penghinaan terhadap martabat Bunda Allah.[61][62]
Maria, Hawa Kedua
Pada abad ke-4, dalam pembahasan rencana keselamatan Allah, satu tema paralel mulai timbul di mana ketaatan Maria ("jadilah padaku menurut perkataanmu itu" sesuai Lukas 1:38) dan doktrin keperawanan abadi menempatkan kedudukan yang berlawanan dengan Adam dan Hawa, seperti juga ketaatan Yesus berlawanan dengan Adam (Roma 5:12-21).[6][33] Konsep mengenai Maria sebagai "Hawa Kedua" (atau disebut juga "Hawa Baru") pertama kali diperkenalkan oleh Yustinus Martir sekitar tahun 155.[63] Dalam sudut pandang ini, yang mana dibahas secara rinci oleh Ireneus, didukung oleh Hieronimus, dan kemudian berkembang lebih lanjut, kaul ketaatan dan keperawanan Maria memposisikannya sebagai "Hawa Kedua" sebagai bagian dari rencana keselamatan, sebagaimana juga Yesus diposisikan sebagai "Adam Kedua".[6][33]
Tema yang dikembangkan oleh para Bapa Gereja ini berjalan beriringan dengan tema yang dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:19 di mana ia membandingkan dosa Adam dengan ketaatan Yesus pada kehendak Bapa: "Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar."[64] Dengan cara yang sama, ketaatan Maria atas pernyataan dari malaikat (Gabriel), dan kesetiaannya pada sumpah keperawanan untuk selamanya dipandang sebagai obat atas kerusakan yang disebabkan oleh Hawa.[65]
Ajaran mengenai Hawa Kedua ini terus tumbuh di kalangan Katolik, dan dalam pembahasan keperawanan abadi, Katekismus Konsili Trente tahun 1566 mengajarkan secara eksplisit bahwa sementara Hawa dengan mempercayai ular membawa kutukan terhadap umat manusia, tetapi Maria dengan mempercayai malaikat membawa berkat bagi manusia.[42][66] Konsep Hawa Kedua disebut PausPius XII dalam ensiklikMystici Corporis Christi dan dibahas Paus Yohanes Paulus II dalam Audiensi Umum di Vatikan pada tahun 1980, dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep ini tetap menjadi bagian dalam ajaran Gereja Katolik hingga sekarang.[67][68]
Reformasi Protestan
Masa awal Reformasi Protestan pada permulaan abad ke-16 tidak dengan segera menimbulkan suatu penolakan akan doktrin keperawanan abadi dan beberapa pemimpin Reformasi tersebut menyediakan berbagai tingkatan dukungan akan doktrin itu, tanpa secara langsung mendukungnya.[69][70]
Para reformis awal Protestan merasa bahwa teks Alkitab secara eksplisit diperlukan untuk menerima hal-hal terkait kelahiran Yesus dari perawan, tetapi yang diterima hanyalah keperawanan abadi.[71] Seiring berjalannya waktu, beberapa gereja Protestan berhenti mengajarkan doktrin tersebut dan beberapa gereja Protestan lainnya bahkan menyangkalnya.[14][15] Namun banyak denominasi Protestan lain, seperti Lutheran dan Anglikan, tetap mempertahankan doktrin keperawanan abadi Maria hingga sekarang.[16]
Para reformator awal
Martin Luther mempercayai bahwa Maria tidak memiliki anak lain, selain Yesus, dan tidak melakukan hubungan suami istri dengan Yusuf. Naskah Latin dari Smalcald Articles, yang ditulis oleh Luther, menggunakan istilah "Tetap Perawan" (Ever Virgin) untuk merujuk Maria.[69] Keperawanan abadi Maria merupakan keyakinan Luther sepanjang hidupnya, walau ia menolak doktrin-doktrin lain mengenai Maria selain "Bunda Allah".[69][72][73][74]
Ulrich Zwingli mendukung keperawanan abadi dan menulis: "Saya sangat percaya bahwa [Maria], ... selamanya tetap seorang Perawan yang utuh, murni."[75] Para reformator dari Inggris juga mendukung konsep keperawanan abadi, tapi alasan mereka beragam atas dukungan tersebut.[70] Dukungan Luther dan Zwingli atas keperawanan abadi disahkan oleh Heinrich Bullinger dan dimasukkan dalam Helvetic Confessions.[76]
Pandangan Yohanes Calvin tidaklah sejelas Luther mengenai keperawanan abadi Maria,[70] dan ia mewaspadai apa yang ia anggap "spekulasi fasik" pada topik tersebut.[76] Dalam komentarnya atas Lukas 1:34, ia menolak dan menganggap "tidak berdasar dan sama sekali tidak masuk akal" gagasan bahwa Maria telah membuat sumpah keperawanan abadi, dengan mengatakan bahwa "Ia, dalam hal itu, tentu akan melakukan pengkhianatan dengan membiarkan dirinya dipersatukan dengan seorang suami, dan tentu akan mencurahkan penghinaan pada janji suci perkawinan; yang mana tidaklah mungkin dilakukan tanpa cemoohan Allah" dan menambahkan bahwa tidak ada bukti keberadaan sumpah tersebut pada masa itu.[77] Meski selibat atau abstinensi dalam perkawinan bukannya tidak dikenal dalam tradisi Yahudi dalam menanggapi perintah Allah dan partisipasi dalam pelayanan-Nya.[78][79] Calvin juga menolak pendapat yang mendasarkan pada teks Matius 1:25 (Helvidius menyimpulkan Maria memiliki anak lagi karena frasa firstborn son) bahwa Maria mempunyai anak yang lain.[80]
Para reformator Anglikan dari abad ke-16 dan 17, misalnya Hugh Latimer dan Thomas Cranmer,[13] mendukung keperawanan abadi "atas dasar otoritas Kekristenan zaman dulu".[69] Pada abad ke-18, John Wesley, salah satu pendiri Metodisme, juga mendukung doktrin keperawanan abadi maria dan menuliskan bahwa: "... lahir dari Perawan Maria yang terberkati, yang juga setelahnya seperti sebelum ia melahirkan-Nya, melanjutkan suatu keperawanan yang murni dan tak ternoda."[69][81][82]
Ajaran Protestan kemudian
Diarmaid MacCulloch, seorang sejarawan Reformasi Protestan, menuliskan bahwa alasan mengapa para reformis awal menjunjung keperawanan awal Maria adalah karena ia merupakan "jaminan atas Inkarnasi Kristus", suatu ajaran yang ditolak oleh kalangan radikal lainnya yang menyangkal keperawanan abadi Maria.[83][84] Namun, tidak adanya pernyataan yang meyakinkan dari Alkitab, bersama dengan prinsip sola scriptura dan kecenderungan yang mengaitkan penghormatan pada Maria dengan penyembahan berhala, membuat acuan-acuan atas doktrin tersebut tidak masuk dalam pengakuan-pengakuan iman Reformasi.[85] Semua hal tersebut, dan penolakan atas selibat kaum rohaniwan,[86] pada akhirnya menyebabkan penolakan atas doktrin ini di banyak kalangan Protestan yang memandang kata "saudara" (bahasa Yunani: ἀδελφοί) Yesus dalam Perjanjian Baru sebagai anak kandung Maria, yang mengakibatkan sulitnya menjawab pertanyaan mengapa Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada murid yang dikasihinya (Yohanes 19:26-27) dengan asumsi bahwa ibu-Nya masih memiliki anak-anak kandung lain.[87]
Namun beberapa cendekiawan Lutheran yang konservatif, seperti Franz Pieper (1852-1931), menolak untuk mengikuti kecenderungan di antara kalangan Protestan Nonconformist yang bersikeras bahwa Maria dan Yosef menjalin hubungan suami istri dan mempunyai anak-anak lain setelah melahirkan Yesus. Hal ini tersirat dalam karyanya, Christian Dogmatis, yang menyatakan bahwa kepercayaan atas keperawanan abadi Maria merupakan pandangan yang sudah lebih lama dan menjadi tradisi di kalangan Lutheran.[88] Ia mengatakan: "seharusnya cukuplah kita berpegang bahwa [Maria] tetap seorang perawan setelah kelahiran Kristus karena Alkitab tidak menyatakan atau menunjukkan bahwa ia kemudian kehilangan keperawanannya".[89][90] Ia mengajarkan bahwa "Kristus, Juruselamat kita, adalah buah nyata dan alami dari rahim suci Maria ... Ini tanpa andil seorang laki-laki, dan Perawan Maria tidak melahirkan anak-anak selain Dia ... Saya cenderung untuk setuju dengan mereka yang menyatakan bahwa 'saudara' benar-benar berarti 'sepupu' di sini, sebab Kitab Suci dan orang-orang Yahudi selalu menyebut sepupu sebagai saudara".[91] Vincent Taylor menentang pandangan ini dengan menekankan bahwa apabila mereka benar-benar sepupu, kata 'adelphoi' (saudara) tidaklah diperlukan secara linguistik dan tidak layak secara metafora, sebab ada kata 'anepsios' (sepupu, Kolose 4:10).[92] Meski kata 'anepsios' juga digunakan untuk menyebut keponakan atau kemenakan.[93][94] Namun sebagaimana dikutip oleh Eusebius dalam Historia Ecclesiastica (III.39.14), bahasa ibu dari Yesus dan Matius bukanlah bahasa Yunani, tetapi Aramaik (seperti pada Matius 27:46; Markus 5:41, 15:34) yang tidak memiliki kosakata khusus untuk "sepupu",[84] sehingga membuat penerjemahannya lebih rumit, terlebih jika hanya mengandalkan apa yang tertulis dalam Alkitab.
Banyak gereja Protestan saat ini mengajarkan kelahiran Yesus dari perawan tanpa mengajarkan bahwa Maria tetap seorang perawan selama sisa hidupnya di dunia.[14][15] Tetapi beberapa kalangan Protestan menjadi lebih terbuka bagi Mariologi, terutama sejak Konsili Vatikan II, ditandai dengan terbentuknya "Ecumenical Society of Our Lady" pada tahun 1967.[15]
Menurut Kitab Suci
Kitab-kitab Perjanjian Baru (PB) menuliskan mengenai saudara-saudara perempuan dan laki-laki dari Yesus; mereka disebutkan dalam sejumlah ayat seperti Markus 6:3, Matius 13:55, Yohanes 7:3, Kisah Para Rasul 1:14 dan 1 Korintus 9:5[95] dan termasuk juga Yakobus, Yoses (disebut demikian dalam Markus 6:3, namun disebut "Yusuf" dalam Matius 13:55), Simon, dan Yudas. Ayat-ayat tersebut terkesan membantah keperawanan abadi Maria, tetapi ada kemungkinan penjelasan-penjelasan yang mengarah pada kesimpulan bahwa "tidak dapat dikatakan kalau PB mengidentifikasi [saudara-saudara Yesus] tanpa keraguan sebagai saudara-saudara sedarah dan karenanya sebagai anak-anak Maria".[96][97]
Sepupu, saudara tiri, saudara kandung?
Sehubungan dengan Markus 6:3, Hieronimus sepertinya menyuarakan opini umum mengenai keperawanan abadi Maria untuk menentang pandangan di sekitar tahun 382 oleh Helvidius yang menyatakan bahwa mereka adalah anak-anak Yusuf dan Maria;[95] Hieronimus mengajukan kemungkinan bahwa mereka adalah sepupu Yesus, anak-anak Maria istri Kleopas. Pandangan yang didasari dari keyakinan Hieronimus ini hampir secara umum ditolak, kecuali oleh Gereja Katolik Roma.[92] Pandangan yang paling banyak didukung oleh para Bapa Gereja, dan didukung beberapa penulis modern seperti Lightfoot, adalah pandangan Epifanius: bahwa mereka adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelumnya, di mana pandangan ini umum diterima di kalangan Kekristenan Timur.[95] Sebuah hipotesis yang lebih baru mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak Kleopas, seorang saudara dari Yusuf (menurut Hegesippus), dan "Maria, ibu Yakobus dan Yoses"; sehingga merupakan saudara ipar dari Maria ibu Yesus.[95]
Leon Morris mengatakan bahwa, dalam kaitan dengan 1 Korintus 9:5, "penafsiran yang paling alamiah adalah bahwa ["saudara-saudara Tuhan"] merupakan anak-anak Yusuf dan Maria".[98] CK Barrett sependapat dengan alasan bahwa bagian ini "paling wajar diambil untuk merujuk pada anak-anak Maria dan Yusuf", namun ia menyatakan juga kemungkinan bahwa mereka "dapat dipahami ... anak-anak Yusuf dari istri yang sebelumnya".[99] Konsep tersebut, bahwa mereka adalah anak-anak Yusuf dan Maria, sangat mungkin bersumber dari pandangan Helvidius sebagaimana dituliskan oleh Vincent Taylor. Dan menurut Taylor, pandangan ini didukung oleh setidaknya beberapa Bapa Gereja[rujukan?]
dan oleh "banyak ahli modern"; Taylor juga menganggap pandangan ini sebagai "yang paling sederhana dan paling alamiah".[92]
Karl Keating menolak pandangan tersebut; dalam bukunya Catholicism and Fundamentalism ia menuliskan bahwa Helvidius adalah orang pertama selama lebih dari 380 tahun yang mengklaim secara langsung bahwa Maria mempunyai lebih dari satu anak dan Helvidius juga tidak dapat menemukan jawaban atas pembelaan dari Hieronimus. Selain itu, dua Bapa Gereja yang dikutip Helvidius untuk mendukung klaimnya adalah Tertulianus, seorang bidat, dan Viktorinus, yang mana dalam tulisan-tulisannya ternyata ada kesalahan kutipan.[100] Keating membela hipotesis Hieronimus dan menyimpulkan dari berbagai teks Alkitab dengan merujuk para perempuan yang ada di bawah Salib, seiring dengan kesaksian Hegesippus, bahwa Yakobus Muda dan Yusuf (Yoses), setidaknya tentu anak-anak dari Kleopas; sementara, menurut Keating, Maria yang disebut dalam Matius 27:56 dan Markus 15:40 tentu adalah Maria istri Klopas. Menurutnya Yakobus, yang sebelumnya disebut Yakobus Muda dan Yakobus anak Klopas, disebut juga Yakobus anak Alfeus (Matius 10:3); Klopas dan Alfeus dianggap sebagai penyebutan yang berbeda saja dari nama yang sama, seperti pada Saulus dan Paulus.[101]
"Sampai"
Matius 1:25 menyatakan bahwa Yusuf tidak melakukan hubungan suami istri dengan Maria "sampai" (bahasa Yunani: ἕως οὗ) ia melahirkan Yesus. Penulis seperti R.V. Tasker[102] dan D. Hill[103] berpendapat bahwa hal ini menyiratkan kalau Maria dan Yusuf melakukan hubungan suami istri sebagaimana lazimnya setelah kelahiran Yesus. Penulis lainnya, seperti K. Beyer, menjelaskan bahwa kata Yunani ἕως οὗ setelah suatu rangkaian kata negatif kerap kali tidak ada implikasi sama sekali mengenai apa yang terjadi setelah batas waktu yang diindikasikan, dan Raymond E. Brown juga melihat bahwa konteks tersebut cenderung pada tiadanya implikasi masa depan sebab Matius hanya menyorot dengan penekanan pada keperawanan Maria sebelum kelahiran Yesus.[104]:132 Teks lainnya seperti 2 Samuel 6:23, Kejadian 8:7, dan Ulangan 34:6 menunjukkan penggunaan yang serupa dengan kata "sampai". Karl Keating menekankan bahwa jika penggunaan modern dari kata "sampai" dipaksakan pada ayat-ayat seperti itu maka akan menghasilkan berbagai makna yang aneh.[105] Dalam peristiwa Yesus ditemukan di Bait Allah (Lukas 2:41-51), Keating menuliskan bahwa tidak ada indikasi kehadiran 'adik-adik' Yesus saat itu; sebaliknya, Maria dan Yusuf tanpa keraguan bergegas kembali ke Yerusalem, yang mana —menurutnya— mereka tentu akan berpikir dua kali untuk melakukan hal itu seandainya ada anak-anak lain yang perlu diperhatikan juga. Ia juga memperhatikan bahwa "saudara-saudara" Yesus tidak pernah disebut sebagai anak Maria bahkan pada saat Yesus disebut demikian, dan ia juga berpendapat bahwa para adik dalam budaya Yahudi tidak pernah menegur, atau bahkan memberi nasihat, kepada kakaknya, sebab hal itu dianggap sebagai sikap yang sangat tidak menghormati, sementara "saudara-saudara" Yesus tercatat melakukan hal tersebut di beberapa kesempatan (misalnya: Yohanes 7:3-4).[106]
Anunsiasi
Gregorius dari Nyssa menafsirkan tanggapan Maria kepada malaikat Gabriel saat diberitahu bahwa ia akan mengandung (Lukas 1:34, "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?") sebagai tanda bahwa Maria telah mengucapkan kaul (sumpah) keperawanan untuk seumur hidupnya, bahkan dalam perkawinan: "Seandainya Yusuf telah mengambilnya untuk menjadi istrinya dengan tujuan memiliki anak, mengapa ia bertanya-tanya saat pengumuman kehamilannya, sebab ia sendiri akan menerima untuk menjadi seorang ibu sesuai hukum kodrat?".[107] Howard Marshall terang-terangan menolaknya: "Tidaklah mungkin untuk mengetahui bagaimana teks tersebut dapat menghasilkan makna tersebut".[108] Taylor memiliki pandangan yang serupa dengan Marshall dan merujuk pada pernyataan Lightfoot bahwa ungkapan yang digunakan di sini dan Lukas 2:7 "akan dihindari oleh para penulis yang percaya pada keperawanan abadi Maria".[109]
Namun Keating membela Gregorius dari Nyssa dan mengatakan, "Tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa Maria sepenuhnya tidak mengetahui dasar-dasar ilmu biologi. Ia kiranya mengetahui cara yang normal mengenai bagaimana anak dikandung. Jika ia mengantisipasi untuk mempunyai anak dan tidak berniat untuk mempertahankan kaul keperawanan, ia hampir pasti tidak perlu bertanya 'bagaimana' ia bisa memiliki seorang anak, karena memiliki seorang anak dengan cara yang normal akan diharapkan oleh seorang pengantin baru."[110]Scott Hahn mengatakan Naskah Laut Mati memberikan bukti bahwa selibat merupakan suatu praktik umum di beberapa sekte Israel, sehingga adalah hal yang masuk akal jika Maria telah berkaul keperawanan untuk selamanya sebelum mengandung Yesus.[111]
Raymond E. Brown menggali permasalahan bagaimana seandainya peristiwa pewartaan kabar gembira oleh malaikat (Anunsiasi) tidak benar-benar terjadi sebagaimana digambarkan secara harafiah dalam Injil Lukas, dan menyimpulkan bahwa Injil tetap dapat dilihat sebagai landasan iman yang tidak mungkin salah.[104]
Ibu, inilah anakmu!
Bagian lain dari Alkitab yang digunakan untuk mendukung doktrin keperawanan abadi adalah perkataan Yesus di kayu salib, yaitu perkataan-Nya kepada ibu-Nya "Ibu, inilah anakmu!" dan kepada murid yang dikasihi-Nya: "Inilah ibumu!" dalam Injil Yohanes 19:26-27.[52][53][112]Injil Yohanes kemudian menyatakan bahwa "sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya". Sejak zaman patristik pernyataan ini telah digunakan sebagai alasan yang masuk akal bahwa sejak kematian Yesus tidak ada orang lain lagi di keluarga dekatnya yang dapat merawat Maria, dan ia perlu dipercayakan kepada sang murid mengingat bahwa ia tidak memiliki anak-anak lain.[52][53][112] Bagian ini merupakan salah satu argumen yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II untuk mendukung doktrin keperawanan abadi.[53][113] Sang Paus juga beralasan bahwa perkataan "Ibu, inilah anakmu!" bukan sekadar mempercayakan Maria kepada murid tersebut, tetapi juga mempercayakan sang murid kepada Maria demi mengisi kekosongannya sebagai seorang ibu akibat kematian putra tunggalnya di kayu salib.[114][115] Sementara Taylor mengemukakan kesulitan dalam penafsiran ini dari teks tersebut, yaitu bahwa itu mengabaikan kenyataan atas posisi kehormatan Yohanes sebagai 'murid yang dikasihi-Nya'.[92] Namun tampak aneh dan sangat di luar kebiasaan, menurut Keating, bahwa Yesus akan menempuh cara tersebut untuk mengabaikan ikatan keluarga dan meninggalkan suatu aib besar bagi "saudara-saudara"-Nya dengan mempercayakan ibu mereka kepada orang lain: "Sulit untuk dibayangkan mengapa Yesus akan mengabaikan ikatan keluarga dan membuat keputusan ini bagi ibu-Nya apabila keempatnya [Yakobus, Yoses/Yusuf, Yudas, Simon] adalah juga anak-anaknya".[106]
Sudut pandang Islam
Dalam Surah 19 (Surah Maryam),[116]Al-Qur'an menuliskan bahwa Isa (Yesus) dilahirkan secara ajaib tanpa ayah dan Maryam (Maria) belum pernah digauli oleh seorang laki-laki sehingga Isa merupakan hasil pembuahan dari seorang perawan (ayat 20-22). Tidak ada keyakinan doktrinal yang jelas atas satu atau yang lainnya, tetapi beberapa memperluas hal ini untuk mengartikan keperawanan Maryam untuk selamanya.[117][118][119][120][121]
^ abc(Inggris) James Buckley, Frederick Christian Bauerschmidt, Trent Pomplun (2010), The Blackwell Companion to Catholicism, hlm. 315, ISBN1-4443-3732-7Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ ab(Inggris) Geoffrey W. Bromiley (1995), The International Standard Bible Encyclopedia, hlm. 271, ISBN0-8028-3785-9
^ abc(Inggris)Merriam-Webster's encyclopedia of world religions, Merriam-Webster, Inc., 1999, hlm. 1134, ISBN0-87779-044-2
^(Inggris) "Paragraph 2. "Conceived by the Power of the Holy Spirit and Born of the Virgin Mary" §499", Catechism of the Catholic Church, Libreria Editrice Vaticana
^ ab(Inggris) "Paragraph 2. "Conceived by the Power of the Holy Spirit and Born of the Virgin Mary"", Catechism of the Catholic Church, § 499, Holy See
^(Inggris) F. Donald Logan (2002), A history of the church in the Middle Ages, hlm. 150, ISBN0-415-13289-4
^(Inggris) Tim S. Perry, William J. Abraham (2006), Mary for evangelicals: toward an understanding of the mother of our Lord, hlm. 153-154, ISBN0-8308-2569-X
^(Inggris) Joel C. Elowsky (2007), John 11-21, hlm. 318, ISBN0-8308-1099-4
^ abc(Inggris) Burke, Raymond L.; et al. (2008), Mariology: A Guide for Priests, Deacons, Seminarians, and Consecrated Persons, hlm. 308-309, ISBN978-1-57918-355-4Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)
^(Jerman) Zwingli, Ulrich; Egli, Emil; Finsler, Georg; Zwingli-Verein, Georg; Zürich (1905). "Eini Predigt von der ewig reinen Magd Maria.". Huldreich Zwinglis sämtliche Werke. 1. C. A. Schwetschke und Sohn. hlm. 385.
^ ab(Inggris) Beverly Roberts Gaventa, Cynthia L. Rigby (2002), Blessed one: Protestant perspectives on Mary, hlm. 119, ISBN0-664-22438-5
^Calvin. "Commentary on Luke 1:34". Harmony of Matthew, Mark, and Luke vol. 1.
^(Inggris) Br. Anthony Opisso, M.D., Perpetual Virginity of Mary, Association of Hebrew Catholics (retrieved from CIN)
^(Inggris) Harvey McArthur (Summer 1987), "Celibacy in Judaism at the Time of Christian Beginnings", Andrews University Seminary Studies(PDF), Vol. 25, No. 2, Andrews University Press, hlm. 172
^Harmony of Matthew, Mark & Luke, sec. 39 (Geneva, 1562), / From Calvin's Commentaries, tr. William Pringle, Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1949 (vol. 2, p. 215; vol. I, p. 107)
^(Inggris) Robert Jamieson, A. R. Fausset, David Brown. "Commentary on Matthew 13:56". Commentary, Critical and Explanatory, on the Whole Bible. CCEL.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^(Inggris) Francis Pieper (1950–53), Christian Dogmatics, 4 vols, 2:308-09, St. Louis: CPHPemeliharaan CS1: Format tanggal (link)
^(Inggris) Walther I. Brandt, ed. (1523), "That Jesus Christ Was Born a Jew", Luther’s Works, 1962, American Edition, St. Louis: Concordia Publishing House, hlm. 205-206, ISBN0-8006-0345-1
^Luther's Works, eds. Jaroslav Pelikan (vols. 1-30) & Helmut T. Lehmann (vols. 31-55), St. Louis: Concordia Pub. House (vols. 1-30); Philadelphia: Fortress Press (vols. 31-55), 1955, v.22:23 / Sermons on John, chaps. 1-4 (1539), quoted in Martin Luther on Mary's Perpetual VirginityDiarsipkan 2008-12-21 di Wayback Machine.[rujukan rusak]
^(Inggris) Barbara Freyer Stowasser (1994), Women in the Qur'ān, traditions, and interpretation, Oxford University Press, hlm. 78-70, 163
^(Inggris) J. I. Smith; et al., The Virgin Mary in Islamic tradition and commentary, Muslim World (Hartford, Conn.) v. 79 (July/October 1989), hlm. 161-87Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)
^(Inggris) Abraham Sarker (2004), Understand My Muslim People, hlm. 260, ISBN1-59498-002-0
St. Jerome, "The Perpetual Virginity of Blessed Mary - Against Helvidius", dalam Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 6, Translated by W.H. Fremantle, G. Lewis and W.G. Martley (edisi ke-1893), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. (retrieved from New Advent)