Sola scriptura

Martin Luther, pencetus sola scriptura

Sola scriptura (hanya oleh Kitab Suci) adalah doktrin bahwa Alkitab merupakan satu-satunya sumber otoritas yang mustahil-keliru dalam urusan iman dan amalan Kristen. Doktrin ini dianut sejumlah denominasi Kristen Protestan.

Jika di satu pihak makna ayat-ayat Alkitab disampaikan lewat perantaraan berbagai macam otoritas yang lebih rendah, misalnya jawatan-jawatan pengajaran Gereja, pengakuan-pengakuan iman ekumenis, konsili-konsili Gereja Katolik, dan seterusnya, maka di lain pihak sola scriptura menolak segala macam otoritas-asal yang mustahil-keliru selain Alkitab itu sendiri. Menurut doktrin ini, semua otoritas yang lebih rendah bersumber dari otoritas Alkitab, sehingga harus direformasi jika tidak selaras dengan ajaran Alkitab. Konsili Gereja, pengkhotbah, mufasir Alkitab, wahyu yang diterima orang pribadi, bahkan warta malaikat maupun wasiat rasul bukanlah otoritas-asal yang sejajar dengan Alkitab dalam pendekatan sola scriptura.

Banyak denominasi dalam rumpun besar Kristen Protestan memandang Sola scriptura sebagai prinsip formal, dan salah satu dari Panca Sola. Sola scriptura merupakan prinsip doktrinal asasi Reformasi Protestan, dan dianut tokoh-tokoh Reformasi Protestan yang mengajarkan bahwa pembuktian kebenaran Alkitab ditentukan oleh kegamblangan ayat-ayatnya maupun oleh kesaksian Roh Kudus secara pribadi kepada hati tiap-tiap orang. Sejumlah denominasi Injili dan Baptis membahasakan doktrin sola scriptura secara lebih tegas, yakni bahwasanya Alkitab mampu membuktikan sendiri kebenarannya, jelas (gamblang) bagi pembaca yang berakal budi, mampu menjelaskan sendiri isinya (Alkitab menjelaskan Alkitab), dan mampu berdiri sendiri selaku otoritas pamungkas doktrin Kristen.[1]

Gereja Anglikan dan gereja Metodis, yang dianggap masih tergolong dalam rumpun besar Kristen Protestan, justu menganut doktrin prima scriptura (terutama oleh Kitab Suci).[2][3] Menurut doktrin prima scriptura, Alkitab harus dipahami dalam terang Tradisi Suci, akal budi, dan pengalaman, yakni ketiga unsur yang bersama-sama dengan Alkitab merupakan sisi-sisi Segi Empat Wesley dalam ajaran gereja Metodis.[4] Gereja Ortodoks Timur berpandangan bahwa "menerima kitab-kitab yang terdaftar dalam kanon Alkitab berarti menerima pula otoritas berkesinambungan dan bertuntunan Roh Kudus dari Tradisi Gereja, yang mengenali, menjelaskan, memuliakan, dan memperbaiki dirinya sendiri dengan kesaksian Alkitab".[5] Gereja Katolik Roma secara resmi berpandangan bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci setara kedudukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh magisterium Gereja Roma.[6] Gereja Katolik membahasakannya sebagai "satu sumber bersama ... dengan dua moda transmisi yang berbeda",[7] sementara sejumlah penulis Protestan menyebutnya "sumber ganda pewahyuan".[8]

Ikhtisar

Sola scriptura adalah salah satu dari Panca Sola, lima prinsip yang dipandang sebagai saka guru reformasi oleh beberapa golongan Kristen Protestan.[9] Implikasi utama dari prinsip sola scriptura adalah penjelasan-penjelasan dan penerapan-penerapan ayat-ayat Alkitab tidak memiliki otoritas yang sama dengan Alkitab itu sendiri, dan oleh karena itu otoritas gerejawi dianggap sah-sah saja dikoreksi Alkitab, bahkan sah-sah saja dikoreksi warga gereja perorangan.

Martin Luther berkata, "orang awam biasa yang dipersenjatai dengan Alkitab sesungguhnya lebih hebat daripada paus yang paling perkasa tanpa Alkitab". Reformasi Protestan dicetuskan dengan maksud untuk mengoreksi apa yang ia sebut sebagai kekeliruan-kekeliruan Gereja Katolik dengan berpegang kepada ketiadataraan otoritas ayat-ayat Alkitab. Doktrin Katolik didasarkan atas Tradisi Suci maupun Kitab Suci. Sola scriptura menolak pandangan yang mengatakan bahwa otoritas yang mustahil-keliru telah diberikan kepada magisterium untuk menafsirkan Kitab Suci maupun Tradisi Suci.[6]

Meskipun demikian, sola scriptura tidak menafikan peran sejarah Kekristenan, Tradisi Suci, dan Gereja dalam usaha memahami Alkitab. Gereja justru dipandang sebagai penafsir Alkitab, Regula Fidei (yang terejawantahkan dalam pengakuan-pengakuan iman ekumenis) dipandang sebagai konteks interpretif, dan Alkitab dipandang sebagai satu-satunya otoritas pamungkas dalam urusan iman dan amalan.[10] Martin Luther berkata, "inilah pedoman yang benar, yaitu Firman Allah yang merumuskan pokok-pokok iman, bukan yang lain, bahkan bukan pula seorang malaikat."[11]

Karakteristik Alkitab menurut gereja Lutheran

"Dan aku melihat seorang malaikat lain terbang di tengah-tengah langit, dan padanya ada Injil yang kekal untuk diberitakannya...",[12] ilustrasi pada halaman judul Alkitab Martin Luther
Alkitab hasil terjemahan Martin Luther, dari tahun 1534, lengkap dengan empat kitab yang ditambahkan sesudah dinilai Luther termasuk "kitab-kitab utama Perjanjian Baru yang benar dan tentu"[13]

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah satu-satunya kumpulan kitab yang diilhamkan Allah, dan satu-satunya sumber pengetahuan yang diwahyukan Allah.[a] Dalam gereja Lutheran, Alkitab adalah satu-satunya prinsip formal iman, dan otoritas pamungkas dalam segala urusan iman maupun moral karena merupakan ilham ilahi, mengemban otoritas ilahi, jelas, mangkus, dan kafi.[14]

Ilham ilahi

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab tidak semata-mata berisi Firman Allah, tetapi tiap-tiap perkataan di dalamnya adalah perkataan Allah karena diilhamkan dalam bentuk perkataan (inspirasi verbal).[15][16] Sebagian besar gereja rumpun Lutheran mengakui bahwa memahami Alkitab bukanlah perkara yang sederhana, mengingat Alkitab memuat sehimpun naskah dan sisa-sisa naskah yang ditulis dan dikumpulkan selama beribu-ribu tahun. Sebagai contoh, Gereja Lutheran Injili di Amerika mengajarkan bahwa "umat Kristen Lutheran yakin bahwa kisah cinta kasih dan belas kasih Allah yang teguh dalam Yesus adalah jantung dan pusat dari penyampaian Alkitab."[17]

Umat Lutheran percaya bahwa Roh Kudus "berfirman dengan perantaraan para nabi", sebagaimana yang tercantum dalam pengakuan iman Nicea. Apologia Pengakuan Iman Augsburg mengidentikkan "Kitab Suci" dengan Firman Allah,[18] dan menyebut Roh Kudus sebagai penulis Alkitab.[19] Karena itulah umat Lutheran, dalam Rumusan Concordia, mengaku, "kami terima dan rengkuh dengan segenap hati kami, kitab-kitab para nabi dan para rasul dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebagai pancuran Israel yang murni lagi jernih".[20] Kitab-kitab apokrif bukanlah tulisan para nabi, tidak ditulis berdasarkan ilham ilahi, mengandung kekeliruan,[21] tidak pernah tercantum dalam Kanon Palestina yang dipakai Yesus,[22] dan oleh karena itu bukan bagian dari Alkitab.[23] Gereja Lutheran berpandandangan bahwa kitab-kitab para nabi dan para rasul benar-benar ditulis oleh para nabi dan para rasul, dan terjemahan yang tepat dari tulisan-tulisan mereka adalah Firman Allah, karena searti dengan bentuk aslinya dalam bahasa Ibrani Alkitabiah dan bahasa Yunani Koine.[23] Terjemahan-yang-keliru bukanlah Firman Allah, dan tidak ada otoritas insani yang sanggup membuat terjemahan-yang-keliru memiliki otoritas ilahi.[23]

Otoritas ilahi

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa karena merupakan Firman Allah, Alkitab mengemban otoritas Allah yang seutuhnya. Tiap-tiap pernyataan dalam Alkitab wajib diterima serta-merta, tanpa syarat, dan tanpa batas.[24][25] Setiap doktrin Alkitab adalah ajaran Allah dan oleh karena itu wajib dipatuhi.[26][27] Setiap janji Alkitab wajib sungguh-sungguh diyakini akan tergenapi.[28][29] Setiap perintah Alkitab adalah petunjuk Allah sendiri, dan oleh karena itu wajib dilaksanakan.[30]

Pernyataan di atas tidak mencerminkan iman seluruh umat Lutheran. Hasil sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 72 persen umat Gereja Lutheran Injili di Amerika tidak menganggap semua pernyataan dalam Alkitab itu benar secara harfiah, dan mungkin saja mengandung kekeliruan ilmiah atau kekeliruan sejarah, atau menguraikan suatu peristiwa secara kias.[31]

Jelas

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab menyajikan seluruh doktrin dan perintah iman Kristen secara terang-benderang,[32][33] dan bahwasanya Firman Allah bebas dibaca atau didengar siapa saja yang memiliki kecerdasan normal, tanpa perlu pendidikan khusus.[34] Gereja Lutheran juga mengajarkan bahwa pembaca Alkitab harus memahami bahasa yang digunakan untuk menyajikan Firman Allah, dan tidak berkutat dengan pemikiran-pemikiran berlawanan yang menghambat pemahaman,[34] dan dengan demikian, orang tidak perlu menunggu rohaniwan, paus, ilmuwan, maupun konsili ekumenis untuk menjelaskan makna yang sesungguhnya dari tiap-tiap ayat Alkitab.[35]

Mangkus

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab menyatu dengan kuasa Roh Kudus. Dengan penyertaan Roh Kudus, Alkitab tidak sekadar bisa menuntut tetapi juga mampu menumbuhkan kerelaan untuk menerima ajarannya.[34] Ajaran Alkitab menumbuhkan iman dan ketaatan. Alkitab bukanlah huruf-huruf yang mati melainkan huruf-huruf yang mengandung kuasa Roh Kudus.[36] Alkitab tidak memaksakan doktrinnya untuk sekadar diterima dengan akal budi, berlandaskan argumentasi logis, tetapi menumbuhkan persetujuan iman yang hidup.[37] Dalil-dalil Schmalkalden menegaskan bahwa "sehubungan dengan Firman yang nuzul dan dilisankan, kita harus berpendirian teguh bahwa Allah sekali-kali tidak mengaruniakan Roh-Nya atau kasih karunia-Nya kepada manusia kecuali melalui atau dengan Firman yang nuzul".[38]

Kafi

Gereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab mengandung segala sesuatu yang perlu diketahui seseorang untuk mencapai keselamatan dan untuk hidup selaku orang Kristen.[35][39] Alkitab tidak memiliki kekurangan sehingga tidak perlu dilengkapi dengan Tradisi Suci, maklumat paus, wahyu-wahyu baru, maupun perkembangan doktrin dewasa ini.[40]

Karakteristik Alkitab menurut gereja Kalvinis

Pengakuan Iman Westminster menyebut tentang "cara-cara biasa" yang dapat ditempuh (misalnya berpedoman kepada gembala dan pengajar) untuk dapat memahami perkara-perkara yang terkandung dalam Alkitab dan perkara-perkara yang perlu diketahui:

Bab 1 Pasal VII - Perkara-perkara dalam Alkitab tidak sama gamblangnya, dan tidak pula sama jelasnya bagi semua orang, tetapi perkara-perkara yang perlu diketahui, diyakini, dan diamalkan demi mencapai keselamatan, sudah terpapar dan tersingkap dengan sangat jelas pada satu dan lain bagian dari Alkitab, sehingga bukan saja orang terpelajar, melainkan juga yang tidak terpelajar, lewat cara-cara biasa, dapat memahaminya secara kafah.

Prima scriptura

Tanda peringatan Lahir Baru dan karunia Jaminan Keselamatan yang dialami John Wesley. Dalam Segi Empat Wesley, pengalaman adalah salah satu sumber otoritas tambahan.

Sola scriptura dapat diperbandingkan dengan prima scriptura, yakni keyakinan bahwa selain Kitab Suci yang kanonik, ada tuntunan-tuntunan lain yang patut dipercaya dan diamalkan umat beriman, antara lain wahyu umum yang tersirat pada alam ciptaan, Tradisi Suci, karunia-karunia Roh Kudus, pendalaman mistik, warta malaikat, hati nurani, akal sehat, pandangan-pandangan para ahli, semangat zaman, dll. Prima scriptura menyiratkan bahwa cara-cara untuk mengenal dan memahami pribadi dan kehendak Allah, yang bukan berasal dari Kitab Suci yang kanonik, berada pada peringkat kedua, yang berarti bisa saja berguna dalam usaha menafsirkan Kitab Suci, tetapi boleh diuji dan dikoreksi dengan Kitab Suci jika dirasa bertentangan dengan Kitab Suci.

Dua denominasi yang mengusung prinsip prima scriptura adalah gereja Anglikan dan gereja Metodis.[b][2][41] Dalam gereja Anglikan, Kitab Suci, Tradisi Suci, dan akal budi merupakan "tiga serangkai Anglikan" atau "bangku berkaki tiga", yang dirumuskan oleh teolog Anglikan, Richard Hooker.[42] Dalam gereja Metodis, A Dictionary for United Methodists menegaskan sebagai berikut:

Berlandaskan ajaran teologi Anglikan, Wesley mencetuskan unsur penting yang keempat, yaitu pengalaman. Hasilnya adalah empat komponen atau "sisi" dari segi empat [Wesley], yakni (1) Kitab Suci, (2) Tradisi Suci, (3) Akal Budi, dan (4) Pengalaman. Bagi umat Gereja Metodis Bersatu, Kitab Suci dianggap sebagai sumber dan tolok ukur doktrin Kristen, Tradisi Suci dianggap sebagai pengalaman dan kesaksian berkenaan dengan perkembangan dan pertumbuhan iman Kristen pada abad-abad yang silam dalam berbagai bangsa dan kebudayaan, Pengalaman dianggap sebagai pemahaman dan pengamalan iman Kristen seseorang sesuai kehidupan pribadinya, dan dengan Akal Budi, seorang Kristen menerapkan pertimbangan yang matang dan kearifan bernalar pada iman Kristen. Jika dimanfaatkan bersama-sama, keempat unsur tersebut dapat mengantarkan seorang Kristen kepada pemahaman yang matang dan penuh tentang iman Kristen dan tanggapan yang sepatutnya diberikan dalam ibadat dan kebaktian.[43]

Sola scriptura menolak segala macam otoritas-asal yang mustahil-keliru selain Alkitab. Dilihat dari sudut pandang sola scriptura, semua otoritas sekunder berasal dari otoritas Kitab Suci, dan oleh karena itu harus direformasi jika tidak selaras dengan ajaran Alkitab. Konsili Gereja, pengkhotbah, mufasir Alkitab, wahyu yang diterima orang pribadi, bahkan warta malaikat maupun wasiat rasul bukanlah otoritas-asal yang sejajar dengan Alkitab dalam pendekatan sola scriptura.

Otoritas tunggal Kitab Suci

Gagasan tentang otoritas tunggal Kitab Suci adalah motivasi yang melatari banyak usaha umat Kristen Protestan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa rakyat dan menyebarluaskannya. Umat Kristen Protestan pada umumnya percaya bahwa tiap-tiap orang Kristen harus membaca sendiri Alkitab dan menguji kesesuaian ajaran-ajaran yang mereka terima dengan Alkitab. Baik Gereja Katolik Roma maupun Gereja Ortodoks Timur, yang sama-sama mengajarkan bahwa doktrin yang berwibawa juga berasal dari Tradisi Suci, sudah lebih aktif pula menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat sehari-hari. Berlawanan dengan salah satu polemik umum Reformasi Protestan, sesungguhnya sudah ada banyak terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sebelum Martin Luther lahir.[44] Pihak-pihak yang menerjemahkannya sudah tentu bukan gereja-gereja Protestan, dan yang diterjemahkan bukan hanya Alkitab melainkan juga karya-karya tulis bapa-bapa Gereja, ketetapan-ketetapan konsili, dan teks-teks liturgi. Sebelum gerakan Protestan muncul, sudah ada ratusan terjemahan Alkitab dan teks-teks liturgi ke dalam bahasa rakyat sehari-hari yang dikerjakan pada abad ke-16. Beberapa terjemahan Alkitab, misalnya Alkitab Jenewa, memuat anotasi dan ulasan yang bernada anti-Katolik Roma. Sebelum Reformasi Protestan, nyaris hanya bahasa Latin yang dipakai di gereja-gereja Katolik Ritus Latin, sayangnya bahasa ini hanya dipahami kalangan terpelajar.

Menurut sola scriptura, Gereja tidak mustahil-keliru dalam hal tradisi-tradisinya, dan hanya mustahil-keliru dalam hal Kitab Suci. Pada abad ke-18, John Wesley menegaskan bahwa "dalam segala hal, Gereja semestinya dihakimi oleh Kitab Suci, bukan Kitab Suci yang dihakimi oleh Gereja."[45] Karena alasan inilah sola scriptura disebut pangkal atau prinsip formal Reformasi Protestan.

Tokoh-tokoh Protestan berpandangan bahwa Kitab Suci terjamin tetap selaras dengan sumber ilahinya, dan oleh karena itu Gereja juga terjamin tetap berkenan kepada Allah sepanjang berpegang kepada iman yang diajarkan Kitab Suci. Mereka kemudian mengemukakan bahwa jika Gereja berpaling dari iman yang diajarkan Kitab Suci (kemungkinan yang dinafikan pihak Katolik tetapi dibenarkan pihak Protestan), maka otoritasnya menjadi batal. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Protestan terdahulu menghendaki penghapusan tradisi-tradisi dan doktrin-doktrin yang mereka yakini didasarkan atas pemutarbalikan ayat-ayat Kitab Suci, atau bertentangan dengan Alkitab tetapi dianggap Gereja Katolik Roma sebagai aspek-aspek iman Kristen yang berlandaskan Kitab Suci, misalnya transubstansiasi (Yohanes 6:51), doktrin tentang purgatorium (1 Korintus 3:15, Lukas 12:59, Matius 12:32), penghormatan citra atau ikon (Bilangan 21:8), dan teristimewa doktrin supremasi Sri Paus, yakni ajaran bahwa bahwa Sri Paus di Roma adalah kepala Gereja di muka bumi (Yohanes 21:17).[46]

Menurut Pengakuan Iman Westminster bab 1 ayat ke-6, sola scriptura bukanlah doktrin "nyata tertulis di dalam Kitab Suci", tetapi sola scriptura lolos uji tahap ke-2, yakni dapat dibuktikan sebagai bagian dari "seluruh maksud Allah" karena "dideduksi dari Kitab Suci dengan konsekuensi yang baik dan sewajarnya" (penalaran deduktif yang baik dan benar). Demi memperkuat pernyataan ini, dikutiplah ayat ke-20 dari bab 8 kitab Nabi Yesaya yang berbunyi, "carilah petunjuk dari Hukum Taurat dan kesaksian! Jika mereka berbicara tidak sesuai dengan perkataan ini, itu karena mereka tidak memiliki terang fajar" (Yesaya 8:20 Yesaya 8:20). Tokoh-tokoh Protestan juga lazim beranggapan bahwa Yesus secara tegas membatalkan tradisi-tradisi umat Yahudi yang tidak berlandaskan Kitab Suci, misalnya ketika bersabda sebagai berikut:

"Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! Dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban, yaitu persembahan kepada Allah, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan." (Markus 7:10–13)

Kitab Suci dan Tradisi Suci

Gereja Katolik, Gereja asal tokoh-tokoh Protestan sekaligus Gereja yang mereka hujani dengan argumen-argumen tersebut, tidak memandang Kitab Suci dan Tradisi Suci Kristen sebagai dua sumber otoritas yang berbeda. Gereja Katolik justru memandang Alkitab sebagai bagian dari Tradisi Suci warisan para rasul (2 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2).

Gereja Katolik meyakini bahwa Injil diteruskan para rasul melalui pewartaan lisan mereka, suri teladan mereka, maupun amalan-amalan yang mereka terima dari petunjuk lisan Kristus, dari pengalaman hidup bersama-sama Kristus, dari tindakan-tindakan Kristus, dan dari hal-hal yang mereka ketahui berkat dorongan Roh Kudus. Injil juga diteruskan oleh para rasul dan tokoh-tokoh zaman rasuli yang diilhami Roh Kudus untuk menjelmakan pesan keselamatan ke dalam karya tulis.[47] "Transmisi yang hidup dan yang terlaksana di dalam Roh Kudus ini disebut Tradisi, karena berbeda dari Kitab Suci, meskipun berkaitan erat dengan Kitab Suci.[48] Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu khazanah tunggal Firman Allah."[49]

Tradisi yang dimaksud dalam pernyataan di atas adalah tradisi warisan para rasul, yakni hal-hal yang mereka dapatkan dari ajaran maupun teladan Yesus dan hal-hal yang mereka ketahui dari Roh Kudus. Gereja Katolik membedakan Tradisi Suci dari kebiasaan-kebiasaan lokal yang boleh saja dipertahankan, dimodifikasi, maupun ditinggalkan. Sebagaimana imbauan Atanasius dari Aleksandria dalam Surat Pertama kepada Serapion, "hendaklah kita mengindahkan tradisi, ajaran, dan iman sejati Gereja Katolik sedari awal, yang diberikan (bahasa Yunani: ἔδωκεν, edoken) Sang Logos, diwartakan (bahasa Yunani: ἐκήρυξαν, ekeriksan) para rasul, dan dilestarikan (bahasa Yunani: ἐφύλαξαν, efilaksan) para bapa. Di atasnyalah Gereja dibina (bahasa Yunani: τεθεμελίωται, tetemeliotai)."[50]

Tradisi-tradisi yang berterima juga dianggap bersifat kohesif oleh Gereja. Tafsir yang pantas atas Kitab Suci dipandang sebagai bagian dari iman Gereja, dan memang dipandang sebagai sarana untuk menegakkan otoritas Kitab Suci (baca Kisah Para Rasul 15:28–29). Makna ayat-ayat Kitab Suci dianggap terbukti dari iman yang dianut secara universal oleh jemaat-jemaat (baca Filipi 2:1, Kisah Para Rasul 4:32), dan kebenaran dari iman universal itu dianggap terbukti dari Kitab Suci dan Tradisi Suci rasuli (baca 2 Tesalonika 2:15, 2 Tesalonika 3:6, 1 Korintus 11:2). Dengan demikian, kanon Alkitab itu sendiri dipandang Gereja sebagai bagian dari tradisi Gereja, karena disusun oleh para pemimpinnya dan diakui oleh umatnya. Umat Kristen generasi pertama belum memiliki Kitab Suci Perjanjian Baru seperti yang ada sekarang ini, dan Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri memperlihatkan proses dari Tradisi yang hidup.[51]

Dokumen Dei verbum, ensiklik Providentissimus Deus dari Paus Leo XIII, dan ensiklik Divino afflante Spiritu dari Paus Pius XII merumuskan ajaran Gereja Katolik tentang Tradisi Suci versus tafsir perorangan.[52][53]

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristus mempercayakan karya pewartaan Injil kepada para rasul, yang melaksanakannya secara lisan maupun tertulis. Menurut Katekismus Gereja Katolik, "karya pewartaan para rasul, yang diejawantahkan secara khusus ke dalam bentuk kitab-kitab yang diilhami Allah, akan terlestarikan dalam suatu rentang suksesi yang berkelanjutan sampai ke akhir zaman. Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu sumber tunggal khazanah suci Firman Allah, yang padanya, laksana pada cermin, Gereja yang berziarah merenungi Allah, sumber dari segala kekayaannya."[54] Bagi Gereja Ortodoks Timur, "Kitab Suci merupakan bagian dari Tradisi Suci, dan tidak berada di luarnya. Sesatlah orang yang beranggapan bahwa Kitab Suci dan Tradisi Suci adalah dua sumber iman Kristen yang terpisah dan berbeda satu sama lain, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, karena sesungguhnya cuma ada satu sumber saja, dan Kitab Suci mewujud maupun terumuskan di dalam lingkup Tradisi Suci".[55]

Pada tradisi rasuli, umat Katolik melekatkan banyak sifat istimewa yang dilekatkan umat Injili dan umat Protestan lainnya pada Kitab Suci saja. Sebagai contoh, deklarasi Kristen Injili tahun 1978, Pernyataan Chicago Tentang Ketanpasalahan Alkitab, memuat kalimat "kami menegaskan bahwa ilham adalah karya yang di dalamnya Allah, dengan Roh-Nya, melalui penulis-penulis insani, mengaruniakan Firman-Nya. Kitab Suci itu ilahi sumbernya. Moda ilham ilahi masih merupakan misteri besar bagi kami. Kami menafikan bahwa ilham tersebut dapat diturunkan tarafnya ke tingkat pandangan manusiawi maupun segala tingkat kesadaran tinggi."[56]

Karena Gereja Katolik berkeyakinan bahwa tradisi rasuli maupun Kitab Suci adalah Firman Allah, umat Katolik dengan yakin dapat melekatkan sebagian besar dari isi pernyataan di atas pada Tradisi Suci, yakni "karya Roh Kudus, yang tidak dapat diturunkan tarafnya ke tingkat pandangan manusiawi maupun segala tingkat kesadaran tinggi.

Hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang apa itu tradisi rasuli. Menurut Katekismus Gereja Katolik, tradisi rasuli adalah hal-hal yang diwariskan "para rasul melalui kata-kata lisan pewartaan mereka, melalui suri teladan yang mereka tunjukkan, dan melalui lembaga-lembaga yang mereka bentuk, yakni hal-hal yang mereka sendiri terima, baik dari mulut Kristus, dari cara hidup dan karya Kristus, maupun dari yang mereka ketahui berkat dorongan Roh Kudus".[57]

Meskipun demikian, tetap saja masih ada kebingungan mengenai perkara ini di kalangan umat Katolik maupun non-Katolik. Kebingungan tersebut tampak jelas pada anggapan pihak-pihak tertentu bahwa peneliti Katolik, James Keenan, mengklaim kalau doktrin-doktrin yang didapatkan dari tradisi rasuli sudah berubah. James Keenan menelaah kembali sejarah teologi moral, khususnya perubahan pendekatan yang dipakai para ahli teologi moral, teristimewa para ahli teologi moral abad ke-20. James Keenan mengemukakan bahwa menurut Mark D. Jordan, teks-teks Abad Pertengahan yang ditelaahnya tampak tidak konsisten. Teks-teks Abad Pertengahan yang tidak konsisten tersebut sesungguhnya adalah tradisi-tradisi Abad Pertengahan, bukan tradisi maupun doktrin rasuli. Meskipun demikian, menurut James Keenan, John T. Noonan Jr. menunjukkan bahwa "meskipun mengklaim sebaliknya, para manualis adalah kooperator-kooperator dalam perkembangan-tak-terhindarkan dari sejarah tradisi moral". Menurut John T. Noonan Jr., "sejarah tidak meninggalkan satu pun prinsip atau ajaran yang belum tersentuh; setiap penerapan suatu prinsip pada suatu situasi mempengaruhi pemahaman kita akan prinsip itu sendiri."[58]

Kritik

Sesudah jemaat-jemaat Protestan memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, gagasan sola scriptura, yang ketika itu masih merupakan suatu gagasan baru, digugat umat Kristen Katolik maupun Ortodoks. Dalam bukunya yang berjudul The Shape of Sola Scriptura (terbit tahun 2001), penulis Kalvinis, Keith A. Mathison, memaparkan beberapa contoh gugatan tersebut.[c] Sebagai tanggapan terhadap pandangan-pandangan mereka, Keith A. Mathison membedakan apa yang ia anggap sebagai "doktrin sola scriptura yang sejati" dari "versi yang subyektif dan individualitis dari doktrin sola scriptura" yang telanjur dianut sebagian besar umat Kristen Protestan.[60]

Penulis dan pembawa acara televisi di Amerika Serikat yang beragama Katolik, Patrick Madrid, mengemukakan dalam tulisannya bahwa doktrin sola scriptura tidak selaras dengan tolok ukur sola scriptura itu sendiri, karena Alkitab tidak mengajarkan sola scriptura, dan oleh sebab itu kepercayaan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber keyakinan Kristen sesungguhnya bertentangan dengan Kitab Suci, mengingat kepercayaan tersebut tidak dapat berdiri tegak tanpa ditopang doktrin dari luar Kitab Suci.[61]

Dalam buku mereka, Catholicism and Science (terbit tahun 2008), Peter M. J. Hess dan Paul Allen mengemukakan bahwa sola scriptura "pada hakikatnya menimbulkan perpecahan", dengan mengungkit hasil temu wicara Marburg, ajang perdebatan Martin Luther dan Hulderik Zwingli mengenai doktrin kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi atas dasar Kitab Suci yang tidak menghasilkan kata mufakat mengenai doktrin kemanunggalan sakramental. Hess dan Allen berpandangan bahwa bilamana Kitab Suci dipandang sebagai satu-satunya sumber ajaran yang mustahil-keliru, tafsirannya mungkin saja keliru, dan tanpa mufasir yang mustahil-keliru, keniscayaan keyakinan Kristen akan menjadi perkara yang mustahil.[62]

Menurut Ensiklopedia Teologi Katolik Roma, lantaran tidak ada daftar dalam Alkitab yang memerinci 27 kitab yang menjadi bagian dari kanon Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga ada bukti autentik bahwa kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab yang diilhamkan Allah, maka keabsahannya tidak dapat dipastikan tanpa merujuk kepada sumber mustahil-keliru lainnya, misalnya magisterium Gereja Katolik, yang diklaim sebagian orang sebagai pihak yang telah bersidang dan mengesahkan daftar 27 kitab Perjanjian Baru dalam Sinode Roma tahun 382 (klaim ini cukup sengit diperdebatkan).[63] Sebelum itu, tidak ada Alkitab yang utuh seperti yang dikenal sekarang ini.[64]

Penulis Katolik Roma Amerika Serikat, Dave Armstrong, mengemukakan dalam tulisannya bahwa contoh-contoh kejadian dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berikut ini menunjukkan bahwa Yesus dan murid-muridnya menerima tradisi lisan di luar Alkitab:[65]

  • Meskipun tidak tidak tersurat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kalimat "Ia akan disebut orang Nazaret" disebut sebagai "firman yang disampaikan oleh nabi-nabi" (Matius 2:23). Kalimat nubuat yang dianggap sebagai "Firman Allah" ini diwariskan secara lisan alih-alih dalam bentuk ayat tertulis Kitab Suci.
  • Dalam Injil Matius (Matius 23:2–3) diriwayatkan bagaimana Yesus mengajarkan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memiliki otoritas yang sah dan mengikat atas dasar "kursi Musa", tetapi frasa maupun gagasan tentang "kursi Musa" tidak tersurat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, melainkan merupakan tradisi lisan yang kemudian hari tercatat dalam Misnah, kitab yang mengajarkan semacam "sanad pengajaran" yang berawal dari Musa.
  • Dalam surat pertamanya kepada umat Kristen di Korintus (1 Korintus 10:4), Rasul Paulus menyinggung tentang batus padas yang "mengikuti" bani Israel melintasi padang gurun Sinai. Kejadian ajaib ini tidak tersurat dalam Kitab Suci Perjanjian lama, tetapi menurut Dave Armstrong termuat di dalam karya-karya tulis peninggalan para rabi.
  • Nama Yanes dan Yambres, orang-orang yang menentang Musa (2 Timotius 3:8) tidak terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun kitab-kitab lain dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
  • Yudas 9 Ayat ke-9 Surat Yudas menyinggung tentang pertengkaran Penghulu Malaikat Mikhael dengan Iblis terkait jenazah Musa. Kisah ini tidak tersurat dalam kitab-kitab lain, dan berasal dari tradisi lisan Yahudi.
  • Dalam Surat Yakobus (Yakobus 5:17) dikatakan bahwa doa Elia (diriwayatkan dalam 1 Raja–Raja 17) berkuasa mencegah turunnya hujan sampai tiga setengah tahun lamanya. Waktu tiga setengah tahun tidak tersurat dalam Kitab Raja-Raja yang pertama.

Menurut Dave Armstrong, Yesus dan para rasul mengakui tradisi lisan Yahudi yang otoritatif, dengan demikian umat Kristen tidak boleh mempermasalahkan keabsahan dan otoritas tradisi-tradisi lisan. Meskipun demikian, menurut Kitab Suci, Yesus juga menyanggah beberapa tradisi lisan Yahudi. Atas dasar fakta ini, umat Kristen boleh mempermasalahkan otoritas dari beberapa tradisi lisan tersebut, karena umat Kristen yakin bahwa otoritas Yesus jauh lebih besar.

Warisan sejarah

Sola scriptura dilestarikan sebagai suatu komitmen doktrinal oleh cabang-cabang dan pecahan-pecahan konservatif dari rumpun gereja Lutheran, rumpun gereja Kalvinis, dan rumpun gereja Baptis maupun gereja-gereja lain dalam rumpun besar Kristen Protestan, teristimewa gereja-gereja yang mencitrakan diri dengan slogan "percaya Alkitab".

Baca juga

Keterangan

  1. ^ Untuk pandangan Lutheran tradisional mengenai Alkitab, baca Graebner 1910, hlm. 3ff. Untuk ikhtisar doktrin inspirasi verbal dalam Gereja Lutheran, baca Lueker, Poellot & Jackson 2000b.
  2. ^ Sehubungan dengan pandangan Anglikan mengenai otoritas, Richard H. Schmidt mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut:

    Gambaran bangku berkaki tiga, yang hanya dapat tegak jika ketiga-tiga kakinya terpasang pada tempatnya, adalah gambaran favorit yang kerap dipakai di kalangan umat Kristen Anglikan sebagai cara visual untuk memahami pandangan Anglikan mengenai otoritas. Kami mengakui tiga sumber otoritas, dan kami dapat bertahan untuk tetap tegak jika ketiga-tiganya terpasang pada tempatnya. Sumber otoritas yang pertama dan terutama adalah Alkitab. Dalil-Dalil Agama, pernyataan pandangan-pandangan Anglikan pada era-Reformasi berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka kala itu, mengatakan bahwa Alkitab "berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai keselamatan", sehingga hal-hal yang tidak terdapat dalam Alkitab tidak boleh dijadikan dalil iman.[41]

  3. ^ Sebut saja, Mathison mengutip karya tulis Robert A. Sungenis, penulis Not by Scripture Alone: A Catholic Critique of the Protestant Doctrine of Sola Scriptura (Santa Barbara: Queenship Publishing Co., 1997); Mark Shea, penulis By What Authority? (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, 1996); Clark Carlton, penulis The Way: What Every Protestant Should Know About the Catholic Church (Salisbury, Massachusetts: Regina Orthodox Press, 1997); Patrick Madrid, penyunting Surprised by Truth (San Diego: Basilica Press, 1994); Scott Hahn dan Kimberley Hahn, penulis Rome, Sweet Home (San Francisco: Ignatius Press, 1993); David Currie, penulis Born Fundamentalist. Born Again Catholic (San Francisco: Ignatius Press, 1993); dan Peter Gilquist, penyunting Coming Home: Why Protestant Clergy Are Becoming Orthodox (Ben Lomond, California: Conciliar Press, 1992).[59]

Rujukan

Kutipan

  1. ^ What Does Sola Scriptura Mean? 2015
  2. ^ a b "Methodist Beliefs: In What Ways Are Lutherans Different from United Methodists?". Wisconsin Evangelical Lutheran Synod. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Mei 2014. Diakses tanggal 22 Mei 2014. 
  3. ^ Humphrey 2013, hlm. 16.
  4. ^ Schmidt 2002, hlm. 15; Waltz 1991.
  5. ^ Nassif 2004, hlm. 65.
  6. ^ a b Flinn 2007, hlm. 431–433.
  7. ^ CCC, 80-81.
  8. ^ Johnson & Webber 1993, hlm. 43.
  9. ^ Horton, Michael (1994). "The Crisis of Evangelical Christianity: Reformation Essentials". Modern Reformation. Vol. 3 no. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Juli 2008. Diakses tanggal 10 Juli 2008. 
  10. ^ Mathison 2001, hlm. 23.
  11. ^ Martin Luther, Dalil-Dalil Schmalkalden II, 15.
  12. ^ Wahyu 14:6
  13. ^ "Luther's Antilegomena". 
  14. ^ Engelder et al. 1934, hlm. 29; Graebner 1910, hlm. 7ff.
  15. ^ Engelder et al. 1934, hlm. 26.
  16. ^ 2 Timotius 3:16, 1 Korintus 2:13, {Alkitab|1 Tesalonika 2:13}}, Roma 3:2, 2 Petrus 1:21, 2 Samuel 23:2, Ibrani 1:1, Yohanes 10:35, Yohanes 16:13, Yohanes 17:17
  17. ^ "Scriptures, Creeds, Confessions". Evangelical Lutheran Church in America. 
  18. ^ "Firman Allah, atau Kitab Suci" dari Apologia Pengakuan Iman Augsburg, Pasal II, Perihal Dosa Asal[pranala nonaktif permanen]
  19. ^ "Kitab Suci dari Roh Kudus". Apologia Pengakuan Iman Augsburg, Prakata, 9[pranala nonaktif permanen]
  20. ^ "The Solid Declaration of the Formula of Concord". [pranala nonaktif permanen]
  21. ^ (Tobit 6, 71; 2 Makabe 12, 43 f; 2 Makabe 14, 411),
  22. ^ Lueker, Poellot & Jackson 2000a.
  23. ^ a b c Engelder et al. 1934, hlm. 27.
  24. ^ Engelder et al. 1934, hlm. 27; Graebner 1910, hlm. 8–9.
  25. ^ Matius 4:3, Lukas 4:3, Kejadian 3:1, Yohanes 10:35, Lukas 24:25, Mazmur 119:140, Mazmur 119:167
  26. ^ Graebner 1910, hlm. 8–10.
  27. ^ 2 Tesalonika 2:15, Lukas 24:25–27, Lukas 16:29–31, 2 Timotius 3:15–17, Yeremia 8:9, Yeremia 23:26, Yesaya 8:19–20, 1 Korintus 14:37, Galatia 1:8, Kisah Para Rasul 17:11, Kisah Para Rasul 15:14–15
  28. ^ Graebner 1910, hlm. 8–9.
  29. ^ 2 Tesalonika 2:13, 2 Korintus 1:20, Titus 1:2–3, 2 Tesalonika 2:15, 2 Petrus 1:19
  30. ^ Graebner 1910, hlm. 8–11.
  31. ^ "Bible: Literal or Inspired". The Lutheran. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 November 2012. Diakses tanggal 13 October 2012. 
  32. ^ Engelder et al. 1934, hlm. 29; Graebner 1910, hlm. 11–12.
  33. ^ Mazmur 19:8, Mazmur 119:105, Mazmur 119:130, 2 Timotius 3:15, Ulangan 30:11, 2 Petrus 1:19, Efesus 3:3–4, Yohanes 8:31–32, 2 Korintus 4:3–4, Yohanes 8:43–47, 2 Petrus 3:15–16
  34. ^ a b c Graebner 1910, hlm. 11.
  35. ^ a b Engelder et al. 1934, hlm. 28.
  36. ^ Graebner 1910, hlm. 11–12.
  37. ^ Graebner 1910, hlm. 12.
  38. ^ "Smalcald Articles - Book of Concord". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-31. Diakses tanggal 2020-08-12. 
  39. ^ 2 Timotius 3:15–17, Yohanes 5:39, Yohanes 17:20, Mazmur 19:7–8
  40. ^ Graebner 1910, hlm. 13.
  41. ^ a b Schmidt 2002, hlm. 15.
  42. ^ Lewis 2001, hlm. 138; Schmidt 2002, hlm. 15.
  43. ^ Waltz 1991.
  44. ^ Terjemahan-terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman#Alkitab-Alkitab bahasa Jerman pra-Luther
  45. ^ Wesley, John; Benson, Joseph (1812). "The Works of the Rev. John Wesley". 
  46. ^ CCC.
  47. ^ Dei Verbum, §7.
  48. ^ CCC, §78.
  49. ^ Dei Verbum, §10.
  50. ^ Bebis, "Tradition in the Orthodox Church", Greek Orthodox Archdiocese of America
  51. ^ CCC, §83.
  52. ^ Scott Windsor Sr (19 Januari 2010). "Qui Locutus: Sola Scriptura Self Refuting". Diakses tanggal 19 Januari 2010. 
  53. ^ http://www.catholic-legate.com/Apologetics/Scripture/Articles/SolaScripturasSelf-Refutation.aspx Diarsipkan 9 Januari 2014 di Wayback Machine.
  54. ^ CCC, 97.
  55. ^ "Orthodox Outreach, "Holy Tradition"" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2020-08-13. 
  56. ^ "Chicago Statement on Biblical Inerrancy, Article VII". Aliansi Umat Injili Pengaku Iman. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 November 2014. Diakses tanggal 1 November 2014. 
  57. ^ CCC, 76.
  58. ^ Keenan 2010, hlm. 45.
  59. ^ Mathison 2001, hlm. 13.
  60. ^ Mathison 2001, hlm. 13–14.
  61. ^ Madrid 2012, hlm. 4–6.
  62. ^ Hess & Allen 2008, hlm. 28–29.
  63. ^ Burkitt 1913.
  64. ^ Neuenzeit 1975, hlm. 172.
  65. ^ Armstrong 2004, hlm. 43–44.

Sumber

Armstrong, Dave (2004). The Catholic Verses: 95 Bible Passages That Confound Protestants. Manchester, New Hampshire: Sophia Institute Press. ISBN 978-1-928832-73-7. 
Burkitt, F. C. (1913). "Review of The Decretum Gelasianum Examined by Ernst von Dobschütz". The Journal of Theological Studies. 14 (3): 469–471. doi:10.1093/jts/os-XIV.3.469b. ISSN 0022-5185. Diakses tanggal 17 April 2018. 
Catechism of the Catholic Church (CCC). Vatikan: Libreria Editrice Vaticana. 
Engelder, Theodore; Arndt, W.; Graebner, Theodore; Mayer, F. E. (1934). Popular Symbolics: The Doctrines of the Churches of Christendom and of Other Religious Bodies Examined in the Light of Scripture. Saint Louis, Missouri: Concordia Publishing House. OCLC 42956289. Diakses tanggal 17 April 2018. 
Flinn, Frank K. (2007). Encyclopedia of CatholicismPerlu mendaftar (gratis). New York: Facts on File. ISBN 978-0-8160-7565-2. 
Graebner, A. L. (1910). Outlines of Doctrinal Theology. Saint Louis, Missouri: Concordia Publishing House. ISBN 978-0-524-04891-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Juli 2006. Diakses tanggal 17 April 2018. 
Hess, Peter P. J.; Allen, Paul (2008). Catholicism and Science. Westport, Connecticut: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-33190-9. 
Humphrey, Edith M. (2013). Scripture and Tradition: What the Bible Really Says. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic. ISBN 978-1-4412-4048-4. 
Johnson, Alan F.; Webber, Robert E. (1993) [1989]. What Christians Believe: An Overview of Theology and Its Biblical and Historical Development. Grand Rapids, Michigan: Zondervan. ISBN 978-0-310-36721-5. 
Keenan, James F. (2010). A History of Catholic Moral Theology in the Twentieth Century: From Confessing Sins to Liberating Consciences. London: Continuum. ISBN 978-0-8264-2929-2. 
Lewis, Harold T. (2001). Christian Social Witness. Cambridge, Massachusetts: Cowley Publications. ISBN 978-1-56101-188-9. 
Lueker, Erwin L.; Poellot, Luther; Jackson, Paul, ed. (2000a). "Canon, Bible". Christian Cyclopedia. St. Louis, Missouri: Concordia Publishing House. Diakses tanggal 17 April 2018. 
Lueker, Erwin L.; Poellot, Luther; Jackson, Paul, ed. (2000b). "Inspiration, Doctrine of". Christian Cyclopedia. St. Louis, Missouri: Concordia Publishing House. Diakses tanggal 17 April 2018. 
Madrid, Patrick (2012). Envoy for Christ: 25 Years as a Catholic Apologist. Cincinnati, Ohio: Servant Books. ISBN 978-1-61636-484-7. 
Mathison, Keith A. (2001). The Shape of Sola Scriptura. Moscow, Idaho: Canon Press. ISBN 978-1-885767-74-5. 
Nassif, Bradley (2004). "Are Eastern Orthodoxy and Evangelicalism Compatible? Yes: The Evangelical Theology of the Eastern Orthodox Church". Dalam Stamoolis, James J. Three Views on Eastern Orthodoxy and Evangelicalism. Grand Rapids, Michigan: Zondervan (dipublikasikan tanggal 2010). ISBN 978-0-310-86436-3. 
Neuenzeit, Paul (1975). "Canon of Scripture". Dalam Rahner, Karl. Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi. London: Burns & Oates (dipublikasikan tanggal 1999). ISBN 978-0-86012-006-3. 
Pope Paul VI (18 November 1965). Dei Verbum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Mei 2014. 
Schmidt, Richard H. (2002). Glorious Companions: Five Centuries of Anglican Spirituality. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing. ISBN 978-0-8028-2222-2. 
Waltz, Alan K. (1991). A Dictionary for United Methodists. Nashville, Tennessee: Abingdon Press. 

Pranala luar