Sola scriptura
Sola scriptura (hanya oleh Kitab Suci) adalah doktrin bahwa Alkitab merupakan satu-satunya sumber otoritas yang mustahil-keliru dalam urusan iman dan amalan Kristen. Doktrin ini dianut sejumlah denominasi Kristen Protestan. Jika di satu pihak makna ayat-ayat Alkitab disampaikan lewat perantaraan berbagai macam otoritas yang lebih rendah, misalnya jawatan-jawatan pengajaran Gereja, pengakuan-pengakuan iman ekumenis, konsili-konsili Gereja Katolik, dan seterusnya, maka di lain pihak sola scriptura menolak segala macam otoritas-asal yang mustahil-keliru selain Alkitab itu sendiri. Menurut doktrin ini, semua otoritas yang lebih rendah bersumber dari otoritas Alkitab, sehingga harus direformasi jika tidak selaras dengan ajaran Alkitab. Konsili Gereja, pengkhotbah, mufasir Alkitab, wahyu yang diterima orang pribadi, bahkan warta malaikat maupun wasiat rasul bukanlah otoritas-asal yang sejajar dengan Alkitab dalam pendekatan sola scriptura. Banyak denominasi dalam rumpun besar Kristen Protestan memandang Sola scriptura sebagai prinsip formal, dan salah satu dari Panca Sola. Sola scriptura merupakan prinsip doktrinal asasi Reformasi Protestan, dan dianut tokoh-tokoh Reformasi Protestan yang mengajarkan bahwa pembuktian kebenaran Alkitab ditentukan oleh kegamblangan ayat-ayatnya maupun oleh kesaksian Roh Kudus secara pribadi kepada hati tiap-tiap orang. Sejumlah denominasi Injili dan Baptis membahasakan doktrin sola scriptura secara lebih tegas, yakni bahwasanya Alkitab mampu membuktikan sendiri kebenarannya, jelas (gamblang) bagi pembaca yang berakal budi, mampu menjelaskan sendiri isinya (Alkitab menjelaskan Alkitab), dan mampu berdiri sendiri selaku otoritas pamungkas doktrin Kristen.[1] Gereja Anglikan dan gereja Metodis, yang dianggap masih tergolong dalam rumpun besar Kristen Protestan, justu menganut doktrin prima scriptura (terutama oleh Kitab Suci).[2][3] Menurut doktrin prima scriptura, Alkitab harus dipahami dalam terang Tradisi Suci, akal budi, dan pengalaman, yakni ketiga unsur yang bersama-sama dengan Alkitab merupakan sisi-sisi Segi Empat Wesley dalam ajaran gereja Metodis.[4] Gereja Ortodoks Timur berpandangan bahwa "menerima kitab-kitab yang terdaftar dalam kanon Alkitab berarti menerima pula otoritas berkesinambungan dan bertuntunan Roh Kudus dari Tradisi Gereja, yang mengenali, menjelaskan, memuliakan, dan memperbaiki dirinya sendiri dengan kesaksian Alkitab".[5] Gereja Katolik Roma secara resmi berpandangan bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci setara kedudukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh magisterium Gereja Roma.[6] Gereja Katolik membahasakannya sebagai "satu sumber bersama ... dengan dua moda transmisi yang berbeda",[7] sementara sejumlah penulis Protestan menyebutnya "sumber ganda pewahyuan".[8] IkhtisarSola scriptura adalah salah satu dari Panca Sola, lima prinsip yang dipandang sebagai saka guru reformasi oleh beberapa golongan Kristen Protestan.[9] Implikasi utama dari prinsip sola scriptura adalah penjelasan-penjelasan dan penerapan-penerapan ayat-ayat Alkitab tidak memiliki otoritas yang sama dengan Alkitab itu sendiri, dan oleh karena itu otoritas gerejawi dianggap sah-sah saja dikoreksi Alkitab, bahkan sah-sah saja dikoreksi warga gereja perorangan. Martin Luther berkata, "orang awam biasa yang dipersenjatai dengan Alkitab sesungguhnya lebih hebat daripada paus yang paling perkasa tanpa Alkitab". Reformasi Protestan dicetuskan dengan maksud untuk mengoreksi apa yang ia sebut sebagai kekeliruan-kekeliruan Gereja Katolik dengan berpegang kepada ketiadataraan otoritas ayat-ayat Alkitab. Doktrin Katolik didasarkan atas Tradisi Suci maupun Kitab Suci. Sola scriptura menolak pandangan yang mengatakan bahwa otoritas yang mustahil-keliru telah diberikan kepada magisterium untuk menafsirkan Kitab Suci maupun Tradisi Suci.[6] Meskipun demikian, sola scriptura tidak menafikan peran sejarah Kekristenan, Tradisi Suci, dan Gereja dalam usaha memahami Alkitab. Gereja justru dipandang sebagai penafsir Alkitab, Regula Fidei (yang terejawantahkan dalam pengakuan-pengakuan iman ekumenis) dipandang sebagai konteks interpretif, dan Alkitab dipandang sebagai satu-satunya otoritas pamungkas dalam urusan iman dan amalan.[10] Martin Luther berkata, "inilah pedoman yang benar, yaitu Firman Allah yang merumuskan pokok-pokok iman, bukan yang lain, bahkan bukan pula seorang malaikat."[11] Karakteristik Alkitab menurut gereja LutheranGereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah satu-satunya kumpulan kitab yang diilhamkan Allah, dan satu-satunya sumber pengetahuan yang diwahyukan Allah.[a] Dalam gereja Lutheran, Alkitab adalah satu-satunya prinsip formal iman, dan otoritas pamungkas dalam segala urusan iman maupun moral karena merupakan ilham ilahi, mengemban otoritas ilahi, jelas, mangkus, dan kafi.[14] Ilham ilahiGereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab tidak semata-mata berisi Firman Allah, tetapi tiap-tiap perkataan di dalamnya adalah perkataan Allah karena diilhamkan dalam bentuk perkataan (inspirasi verbal).[15][16] Sebagian besar gereja rumpun Lutheran mengakui bahwa memahami Alkitab bukanlah perkara yang sederhana, mengingat Alkitab memuat sehimpun naskah dan sisa-sisa naskah yang ditulis dan dikumpulkan selama beribu-ribu tahun. Sebagai contoh, Gereja Lutheran Injili di Amerika mengajarkan bahwa "umat Kristen Lutheran yakin bahwa kisah cinta kasih dan belas kasih Allah yang teguh dalam Yesus adalah jantung dan pusat dari penyampaian Alkitab."[17] Umat Lutheran percaya bahwa Roh Kudus "berfirman dengan perantaraan para nabi", sebagaimana yang tercantum dalam pengakuan iman Nicea. Apologia Pengakuan Iman Augsburg mengidentikkan "Kitab Suci" dengan Firman Allah,[18] dan menyebut Roh Kudus sebagai penulis Alkitab.[19] Karena itulah umat Lutheran, dalam Rumusan Concordia, mengaku, "kami terima dan rengkuh dengan segenap hati kami, kitab-kitab para nabi dan para rasul dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebagai pancuran Israel yang murni lagi jernih".[20] Kitab-kitab apokrif bukanlah tulisan para nabi, tidak ditulis berdasarkan ilham ilahi, mengandung kekeliruan,[21] tidak pernah tercantum dalam Kanon Palestina yang dipakai Yesus,[22] dan oleh karena itu bukan bagian dari Alkitab.[23] Gereja Lutheran berpandandangan bahwa kitab-kitab para nabi dan para rasul benar-benar ditulis oleh para nabi dan para rasul, dan terjemahan yang tepat dari tulisan-tulisan mereka adalah Firman Allah, karena searti dengan bentuk aslinya dalam bahasa Ibrani Alkitabiah dan bahasa Yunani Koine.[23] Terjemahan-yang-keliru bukanlah Firman Allah, dan tidak ada otoritas insani yang sanggup membuat terjemahan-yang-keliru memiliki otoritas ilahi.[23] Otoritas ilahiGereja Lutheran mengajarkan bahwa karena merupakan Firman Allah, Alkitab mengemban otoritas Allah yang seutuhnya. Tiap-tiap pernyataan dalam Alkitab wajib diterima serta-merta, tanpa syarat, dan tanpa batas.[24][25] Setiap doktrin Alkitab adalah ajaran Allah dan oleh karena itu wajib dipatuhi.[26][27] Setiap janji Alkitab wajib sungguh-sungguh diyakini akan tergenapi.[28][29] Setiap perintah Alkitab adalah petunjuk Allah sendiri, dan oleh karena itu wajib dilaksanakan.[30] Pernyataan di atas tidak mencerminkan iman seluruh umat Lutheran. Hasil sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 72 persen umat Gereja Lutheran Injili di Amerika tidak menganggap semua pernyataan dalam Alkitab itu benar secara harfiah, dan mungkin saja mengandung kekeliruan ilmiah atau kekeliruan sejarah, atau menguraikan suatu peristiwa secara kias.[31] JelasGereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab menyajikan seluruh doktrin dan perintah iman Kristen secara terang-benderang,[32][33] dan bahwasanya Firman Allah bebas dibaca atau didengar siapa saja yang memiliki kecerdasan normal, tanpa perlu pendidikan khusus.[34] Gereja Lutheran juga mengajarkan bahwa pembaca Alkitab harus memahami bahasa yang digunakan untuk menyajikan Firman Allah, dan tidak berkutat dengan pemikiran-pemikiran berlawanan yang menghambat pemahaman,[34] dan dengan demikian, orang tidak perlu menunggu rohaniwan, paus, ilmuwan, maupun konsili ekumenis untuk menjelaskan makna yang sesungguhnya dari tiap-tiap ayat Alkitab.[35] MangkusGereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab menyatu dengan kuasa Roh Kudus. Dengan penyertaan Roh Kudus, Alkitab tidak sekadar bisa menuntut tetapi juga mampu menumbuhkan kerelaan untuk menerima ajarannya.[34] Ajaran Alkitab menumbuhkan iman dan ketaatan. Alkitab bukanlah huruf-huruf yang mati melainkan huruf-huruf yang mengandung kuasa Roh Kudus.[36] Alkitab tidak memaksakan doktrinnya untuk sekadar diterima dengan akal budi, berlandaskan argumentasi logis, tetapi menumbuhkan persetujuan iman yang hidup.[37] Dalil-dalil Schmalkalden menegaskan bahwa "sehubungan dengan Firman yang nuzul dan dilisankan, kita harus berpendirian teguh bahwa Allah sekali-kali tidak mengaruniakan Roh-Nya atau kasih karunia-Nya kepada manusia kecuali melalui atau dengan Firman yang nuzul".[38] KafiGereja Lutheran mengajarkan bahwa Alkitab mengandung segala sesuatu yang perlu diketahui seseorang untuk mencapai keselamatan dan untuk hidup selaku orang Kristen.[35][39] Alkitab tidak memiliki kekurangan sehingga tidak perlu dilengkapi dengan Tradisi Suci, maklumat paus, wahyu-wahyu baru, maupun perkembangan doktrin dewasa ini.[40] Karakteristik Alkitab menurut gereja KalvinisPengakuan Iman Westminster menyebut tentang "cara-cara biasa" yang dapat ditempuh (misalnya berpedoman kepada gembala dan pengajar) untuk dapat memahami perkara-perkara yang terkandung dalam Alkitab dan perkara-perkara yang perlu diketahui:
Prima scripturaSola scriptura dapat diperbandingkan dengan prima scriptura, yakni keyakinan bahwa selain Kitab Suci yang kanonik, ada tuntunan-tuntunan lain yang patut dipercaya dan diamalkan umat beriman, antara lain wahyu umum yang tersirat pada alam ciptaan, Tradisi Suci, karunia-karunia Roh Kudus, pendalaman mistik, warta malaikat, hati nurani, akal sehat, pandangan-pandangan para ahli, semangat zaman, dll. Prima scriptura menyiratkan bahwa cara-cara untuk mengenal dan memahami pribadi dan kehendak Allah, yang bukan berasal dari Kitab Suci yang kanonik, berada pada peringkat kedua, yang berarti bisa saja berguna dalam usaha menafsirkan Kitab Suci, tetapi boleh diuji dan dikoreksi dengan Kitab Suci jika dirasa bertentangan dengan Kitab Suci. Dua denominasi yang mengusung prinsip prima scriptura adalah gereja Anglikan dan gereja Metodis.[b][2][41] Dalam gereja Anglikan, Kitab Suci, Tradisi Suci, dan akal budi merupakan "tiga serangkai Anglikan" atau "bangku berkaki tiga", yang dirumuskan oleh teolog Anglikan, Richard Hooker.[42] Dalam gereja Metodis, A Dictionary for United Methodists menegaskan sebagai berikut:
Sola scriptura menolak segala macam otoritas-asal yang mustahil-keliru selain Alkitab. Dilihat dari sudut pandang sola scriptura, semua otoritas sekunder berasal dari otoritas Kitab Suci, dan oleh karena itu harus direformasi jika tidak selaras dengan ajaran Alkitab. Konsili Gereja, pengkhotbah, mufasir Alkitab, wahyu yang diterima orang pribadi, bahkan warta malaikat maupun wasiat rasul bukanlah otoritas-asal yang sejajar dengan Alkitab dalam pendekatan sola scriptura. Otoritas tunggal Kitab SuciGagasan tentang otoritas tunggal Kitab Suci adalah motivasi yang melatari banyak usaha umat Kristen Protestan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa rakyat dan menyebarluaskannya. Umat Kristen Protestan pada umumnya percaya bahwa tiap-tiap orang Kristen harus membaca sendiri Alkitab dan menguji kesesuaian ajaran-ajaran yang mereka terima dengan Alkitab. Baik Gereja Katolik Roma maupun Gereja Ortodoks Timur, yang sama-sama mengajarkan bahwa doktrin yang berwibawa juga berasal dari Tradisi Suci, sudah lebih aktif pula menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa rakyat sehari-hari. Berlawanan dengan salah satu polemik umum Reformasi Protestan, sesungguhnya sudah ada banyak terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sebelum Martin Luther lahir.[44] Pihak-pihak yang menerjemahkannya sudah tentu bukan gereja-gereja Protestan, dan yang diterjemahkan bukan hanya Alkitab melainkan juga karya-karya tulis bapa-bapa Gereja, ketetapan-ketetapan konsili, dan teks-teks liturgi. Sebelum gerakan Protestan muncul, sudah ada ratusan terjemahan Alkitab dan teks-teks liturgi ke dalam bahasa rakyat sehari-hari yang dikerjakan pada abad ke-16. Beberapa terjemahan Alkitab, misalnya Alkitab Jenewa, memuat anotasi dan ulasan yang bernada anti-Katolik Roma. Sebelum Reformasi Protestan, nyaris hanya bahasa Latin yang dipakai di gereja-gereja Katolik Ritus Latin, sayangnya bahasa ini hanya dipahami kalangan terpelajar. Menurut sola scriptura, Gereja tidak mustahil-keliru dalam hal tradisi-tradisinya, dan hanya mustahil-keliru dalam hal Kitab Suci. Pada abad ke-18, John Wesley menegaskan bahwa "dalam segala hal, Gereja semestinya dihakimi oleh Kitab Suci, bukan Kitab Suci yang dihakimi oleh Gereja."[45] Karena alasan inilah sola scriptura disebut pangkal atau prinsip formal Reformasi Protestan. Tokoh-tokoh Protestan berpandangan bahwa Kitab Suci terjamin tetap selaras dengan sumber ilahinya, dan oleh karena itu Gereja juga terjamin tetap berkenan kepada Allah sepanjang berpegang kepada iman yang diajarkan Kitab Suci. Mereka kemudian mengemukakan bahwa jika Gereja berpaling dari iman yang diajarkan Kitab Suci (kemungkinan yang dinafikan pihak Katolik tetapi dibenarkan pihak Protestan), maka otoritasnya menjadi batal. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Protestan terdahulu menghendaki penghapusan tradisi-tradisi dan doktrin-doktrin yang mereka yakini didasarkan atas pemutarbalikan ayat-ayat Kitab Suci, atau bertentangan dengan Alkitab tetapi dianggap Gereja Katolik Roma sebagai aspek-aspek iman Kristen yang berlandaskan Kitab Suci, misalnya transubstansiasi (Yohanes 6:51), doktrin tentang purgatorium (1 Korintus 3:15, Lukas 12:59, Matius 12:32), penghormatan citra atau ikon (Bilangan 21:8), dan teristimewa doktrin supremasi Sri Paus, yakni ajaran bahwa bahwa Sri Paus di Roma adalah kepala Gereja di muka bumi (Yohanes 21:17).[46] Menurut Pengakuan Iman Westminster bab 1 ayat ke-6, sola scriptura bukanlah doktrin "nyata tertulis di dalam Kitab Suci", tetapi sola scriptura lolos uji tahap ke-2, yakni dapat dibuktikan sebagai bagian dari "seluruh maksud Allah" karena "dideduksi dari Kitab Suci dengan konsekuensi yang baik dan sewajarnya" (penalaran deduktif yang baik dan benar). Demi memperkuat pernyataan ini, dikutiplah ayat ke-20 dari bab 8 kitab Nabi Yesaya yang berbunyi, "carilah petunjuk dari Hukum Taurat dan kesaksian! Jika mereka berbicara tidak sesuai dengan perkataan ini, itu karena mereka tidak memiliki terang fajar" (Yesaya 8:20 Yesaya 8:20). Tokoh-tokoh Protestan juga lazim beranggapan bahwa Yesus secara tegas membatalkan tradisi-tradisi umat Yahudi yang tidak berlandaskan Kitab Suci, misalnya ketika bersabda sebagai berikut:
Kitab Suci dan Tradisi SuciGereja Katolik, Gereja asal tokoh-tokoh Protestan sekaligus Gereja yang mereka hujani dengan argumen-argumen tersebut, tidak memandang Kitab Suci dan Tradisi Suci Kristen sebagai dua sumber otoritas yang berbeda. Gereja Katolik justru memandang Alkitab sebagai bagian dari Tradisi Suci warisan para rasul (2 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2). Gereja Katolik meyakini bahwa Injil diteruskan para rasul melalui pewartaan lisan mereka, suri teladan mereka, maupun amalan-amalan yang mereka terima dari petunjuk lisan Kristus, dari pengalaman hidup bersama-sama Kristus, dari tindakan-tindakan Kristus, dan dari hal-hal yang mereka ketahui berkat dorongan Roh Kudus. Injil juga diteruskan oleh para rasul dan tokoh-tokoh zaman rasuli yang diilhami Roh Kudus untuk menjelmakan pesan keselamatan ke dalam karya tulis.[47] "Transmisi yang hidup dan yang terlaksana di dalam Roh Kudus ini disebut Tradisi, karena berbeda dari Kitab Suci, meskipun berkaitan erat dengan Kitab Suci.[48] Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu khazanah tunggal Firman Allah."[49] Tradisi yang dimaksud dalam pernyataan di atas adalah tradisi warisan para rasul, yakni hal-hal yang mereka dapatkan dari ajaran maupun teladan Yesus dan hal-hal yang mereka ketahui dari Roh Kudus. Gereja Katolik membedakan Tradisi Suci dari kebiasaan-kebiasaan lokal yang boleh saja dipertahankan, dimodifikasi, maupun ditinggalkan. Sebagaimana imbauan Atanasius dari Aleksandria dalam Surat Pertama kepada Serapion, "hendaklah kita mengindahkan tradisi, ajaran, dan iman sejati Gereja Katolik sedari awal, yang diberikan (bahasa Yunani: ἔδωκεν, edoken) Sang Logos, diwartakan (bahasa Yunani: ἐκήρυξαν, ekeriksan) para rasul, dan dilestarikan (bahasa Yunani: ἐφύλαξαν, efilaksan) para bapa. Di atasnyalah Gereja dibina (bahasa Yunani: τεθεμελίωται, tetemeliotai)."[50] Tradisi-tradisi yang berterima juga dianggap bersifat kohesif oleh Gereja. Tafsir yang pantas atas Kitab Suci dipandang sebagai bagian dari iman Gereja, dan memang dipandang sebagai sarana untuk menegakkan otoritas Kitab Suci (baca Kisah Para Rasul 15:28–29). Makna ayat-ayat Kitab Suci dianggap terbukti dari iman yang dianut secara universal oleh jemaat-jemaat (baca Filipi 2:1, Kisah Para Rasul 4:32), dan kebenaran dari iman universal itu dianggap terbukti dari Kitab Suci dan Tradisi Suci rasuli (baca 2 Tesalonika 2:15, 2 Tesalonika 3:6, 1 Korintus 11:2). Dengan demikian, kanon Alkitab itu sendiri dipandang Gereja sebagai bagian dari tradisi Gereja, karena disusun oleh para pemimpinnya dan diakui oleh umatnya. Umat Kristen generasi pertama belum memiliki Kitab Suci Perjanjian Baru seperti yang ada sekarang ini, dan Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri memperlihatkan proses dari Tradisi yang hidup.[51] Dokumen Dei verbum, ensiklik Providentissimus Deus dari Paus Leo XIII, dan ensiklik Divino afflante Spiritu dari Paus Pius XII merumuskan ajaran Gereja Katolik tentang Tradisi Suci versus tafsir perorangan.[52][53] Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristus mempercayakan karya pewartaan Injil kepada para rasul, yang melaksanakannya secara lisan maupun tertulis. Menurut Katekismus Gereja Katolik, "karya pewartaan para rasul, yang diejawantahkan secara khusus ke dalam bentuk kitab-kitab yang diilhami Allah, akan terlestarikan dalam suatu rentang suksesi yang berkelanjutan sampai ke akhir zaman. Tradisi Suci dan Kitab Suci merupakan satu sumber tunggal khazanah suci Firman Allah, yang padanya, laksana pada cermin, Gereja yang berziarah merenungi Allah, sumber dari segala kekayaannya."[54] Bagi Gereja Ortodoks Timur, "Kitab Suci merupakan bagian dari Tradisi Suci, dan tidak berada di luarnya. Sesatlah orang yang beranggapan bahwa Kitab Suci dan Tradisi Suci adalah dua sumber iman Kristen yang terpisah dan berbeda satu sama lain, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, karena sesungguhnya cuma ada satu sumber saja, dan Kitab Suci mewujud maupun terumuskan di dalam lingkup Tradisi Suci".[55] Pada tradisi rasuli, umat Katolik melekatkan banyak sifat istimewa yang dilekatkan umat Injili dan umat Protestan lainnya pada Kitab Suci saja. Sebagai contoh, deklarasi Kristen Injili tahun 1978, Pernyataan Chicago Tentang Ketanpasalahan Alkitab, memuat kalimat "kami menegaskan bahwa ilham adalah karya yang di dalamnya Allah, dengan Roh-Nya, melalui penulis-penulis insani, mengaruniakan Firman-Nya. Kitab Suci itu ilahi sumbernya. Moda ilham ilahi masih merupakan misteri besar bagi kami. Kami menafikan bahwa ilham tersebut dapat diturunkan tarafnya ke tingkat pandangan manusiawi maupun segala tingkat kesadaran tinggi."[56] Karena Gereja Katolik berkeyakinan bahwa tradisi rasuli maupun Kitab Suci adalah Firman Allah, umat Katolik dengan yakin dapat melekatkan sebagian besar dari isi pernyataan di atas pada Tradisi Suci, yakni "karya Roh Kudus, yang tidak dapat diturunkan tarafnya ke tingkat pandangan manusiawi maupun segala tingkat kesadaran tinggi. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan tentang apa itu tradisi rasuli. Menurut Katekismus Gereja Katolik, tradisi rasuli adalah hal-hal yang diwariskan "para rasul melalui kata-kata lisan pewartaan mereka, melalui suri teladan yang mereka tunjukkan, dan melalui lembaga-lembaga yang mereka bentuk, yakni hal-hal yang mereka sendiri terima, baik dari mulut Kristus, dari cara hidup dan karya Kristus, maupun dari yang mereka ketahui berkat dorongan Roh Kudus".[57] Meskipun demikian, tetap saja masih ada kebingungan mengenai perkara ini di kalangan umat Katolik maupun non-Katolik. Kebingungan tersebut tampak jelas pada anggapan pihak-pihak tertentu bahwa peneliti Katolik, James Keenan, mengklaim kalau doktrin-doktrin yang didapatkan dari tradisi rasuli sudah berubah. James Keenan menelaah kembali sejarah teologi moral, khususnya perubahan pendekatan yang dipakai para ahli teologi moral, teristimewa para ahli teologi moral abad ke-20. James Keenan mengemukakan bahwa menurut Mark D. Jordan, teks-teks Abad Pertengahan yang ditelaahnya tampak tidak konsisten. Teks-teks Abad Pertengahan yang tidak konsisten tersebut sesungguhnya adalah tradisi-tradisi Abad Pertengahan, bukan tradisi maupun doktrin rasuli. Meskipun demikian, menurut James Keenan, John T. Noonan Jr. menunjukkan bahwa "meskipun mengklaim sebaliknya, para manualis adalah kooperator-kooperator dalam perkembangan-tak-terhindarkan dari sejarah tradisi moral". Menurut John T. Noonan Jr., "sejarah tidak meninggalkan satu pun prinsip atau ajaran yang belum tersentuh; setiap penerapan suatu prinsip pada suatu situasi mempengaruhi pemahaman kita akan prinsip itu sendiri."[58] KritikSesudah jemaat-jemaat Protestan memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, gagasan sola scriptura, yang ketika itu masih merupakan suatu gagasan baru, digugat umat Kristen Katolik maupun Ortodoks. Dalam bukunya yang berjudul The Shape of Sola Scriptura (terbit tahun 2001), penulis Kalvinis, Keith A. Mathison, memaparkan beberapa contoh gugatan tersebut.[c] Sebagai tanggapan terhadap pandangan-pandangan mereka, Keith A. Mathison membedakan apa yang ia anggap sebagai "doktrin sola scriptura yang sejati" dari "versi yang subyektif dan individualitis dari doktrin sola scriptura" yang telanjur dianut sebagian besar umat Kristen Protestan.[60] Penulis dan pembawa acara televisi di Amerika Serikat yang beragama Katolik, Patrick Madrid, mengemukakan dalam tulisannya bahwa doktrin sola scriptura tidak selaras dengan tolok ukur sola scriptura itu sendiri, karena Alkitab tidak mengajarkan sola scriptura, dan oleh sebab itu kepercayaan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber keyakinan Kristen sesungguhnya bertentangan dengan Kitab Suci, mengingat kepercayaan tersebut tidak dapat berdiri tegak tanpa ditopang doktrin dari luar Kitab Suci.[61] Dalam buku mereka, Catholicism and Science (terbit tahun 2008), Peter M. J. Hess dan Paul Allen mengemukakan bahwa sola scriptura "pada hakikatnya menimbulkan perpecahan", dengan mengungkit hasil temu wicara Marburg, ajang perdebatan Martin Luther dan Hulderik Zwingli mengenai doktrin kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi atas dasar Kitab Suci yang tidak menghasilkan kata mufakat mengenai doktrin kemanunggalan sakramental. Hess dan Allen berpandangan bahwa bilamana Kitab Suci dipandang sebagai satu-satunya sumber ajaran yang mustahil-keliru, tafsirannya mungkin saja keliru, dan tanpa mufasir yang mustahil-keliru, keniscayaan keyakinan Kristen akan menjadi perkara yang mustahil.[62] Menurut Ensiklopedia Teologi Katolik Roma, lantaran tidak ada daftar dalam Alkitab yang memerinci 27 kitab yang menjadi bagian dari kanon Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga ada bukti autentik bahwa kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab yang diilhamkan Allah, maka keabsahannya tidak dapat dipastikan tanpa merujuk kepada sumber mustahil-keliru lainnya, misalnya magisterium Gereja Katolik, yang diklaim sebagian orang sebagai pihak yang telah bersidang dan mengesahkan daftar 27 kitab Perjanjian Baru dalam Sinode Roma tahun 382 (klaim ini cukup sengit diperdebatkan).[63] Sebelum itu, tidak ada Alkitab yang utuh seperti yang dikenal sekarang ini.[64] Penulis Katolik Roma Amerika Serikat, Dave Armstrong, mengemukakan dalam tulisannya bahwa contoh-contoh kejadian dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berikut ini menunjukkan bahwa Yesus dan murid-muridnya menerima tradisi lisan di luar Alkitab:[65]
Menurut Dave Armstrong, Yesus dan para rasul mengakui tradisi lisan Yahudi yang otoritatif, dengan demikian umat Kristen tidak boleh mempermasalahkan keabsahan dan otoritas tradisi-tradisi lisan. Meskipun demikian, menurut Kitab Suci, Yesus juga menyanggah beberapa tradisi lisan Yahudi. Atas dasar fakta ini, umat Kristen boleh mempermasalahkan otoritas dari beberapa tradisi lisan tersebut, karena umat Kristen yakin bahwa otoritas Yesus jauh lebih besar. Warisan sejarahSola scriptura dilestarikan sebagai suatu komitmen doktrinal oleh cabang-cabang dan pecahan-pecahan konservatif dari rumpun gereja Lutheran, rumpun gereja Kalvinis, dan rumpun gereja Baptis maupun gereja-gereja lain dalam rumpun besar Kristen Protestan, teristimewa gereja-gereja yang mencitrakan diri dengan slogan "percaya Alkitab". Baca juga
Keterangan
RujukanKutipan
Sumber
Pranala luar
|