Hak untuk hidupHak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh oleh manusia lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan tentang isu-isu hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat dibenarkan, dan meluas hingga sarana perawatan kesehatan publik. Dalam sejarah umat manusia, dikatakan bahwa belum ada suatu penerimaan umum mengenai konsep hak untuk hidup sebagai bawaan setiap individu. Evolusi hak asasi manusia sebagai suatu konsep berlangsung perlahan dalam sejumlah bidang melalui berbagai cara. Hak untuk hidup tidak terkecuali dalam tren tersebut, dan utamanya sepanjang milenium terakhir telah dihasilkan banyak kumpulan dokumen legal skala nasional maupun internasional (contohnya Magna Carta dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang mengodifikasikan paradigma umum ini ke dalam prinsip-prinsip yang dibahasakan secara khusus. Pernyataan yuridis
Hukuman matiPara penentang hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu pelanggaran terhadap hak untuk hidup, sementara para pendukungnya berpendapat bahwa hukuman mati bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap hak untuk hidup karena mereka menganggap bahwa hak untuk hidup seharusnya diterapkan dengan penghormatan pada suatu rasa keadilan. Mereka yang menentangnya meyakini bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran terburuk hak asasi manusia, karena hak untuk hidup adalah hak yang paling penting, serta hukuman mati melanggarnya dengan tidak semestinya dan menimbulkan suatu siksaan psikologis pada terhukum. Para aktivis hak asasi manusia menentang hukuman mati, menyebutnya "hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat", sementara Amnesty International memandangnya sebagai "penyangkalan mutlak dan tidak dapat diperbaiki lagi terhadap Hak-Hak Asasi Manusia".[4] Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi, pada tahun 2007, 2008, 2010, 2012, dan 2014,[5] resolusi-resolusi yang tidak mengikat yang menyerukan suatu moratorium global mengenai eksekusi-eksekusi, dengan maksud penghapusan sepenuhnya hukuman mati.[6] EutanasiaKlaim seseorang yang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri melalui eutanasia sering disebut "hak untuk memilih",[7] sedangkan mereka yang menentang legalisasi eutanasia sering disebut sebagai "right-to-lifers" ("para pendukung/penganut hak untuk 'terhukum' seumur hidup").[8] AborsiPencatatan aborsi dalam buku panduan The Associated Press Stylebook and Briefing on Media Law (2000) menetapkan bahwa dalam publikasinya digunakan istilah "anti-aborsi", bukan "pro-kehidupan", dan "hak aborsi", bukan "pro-aborsi" atau "pro-pilihan", serta menyarankan untuk menghindari penggunaan kata "aborsionis" yang memiliki konotasi orang yang melakukan "aborsi gelap", dan lebih mendukung penggunaan istilah seperti "dokter aborsi" atau "praktisi aborsi".[9] Istilah "hak untuk hidup" digunakan dalam perdebatan tentang aborsi oleh mereka yang hendak menekan praktik aborsi,[10] dan, dalam konteks kehamilan, istilah "hak untuk hidup" dikemukakan oleh Paus Pius XII dalam ensiklik kepausan tahun 1951:
Pada tahun 1966, Konferensi Uskup Katolik Nasional (NCCB) meminta Pastor James T. McHugh untuk mulai mengamati tren dalam reformasi aborsi di wilayah Amerika Serikat.[12] Komite Nasional Hak untuk Hidup (NRLC) mendapat pendanaan pada tahun 1967 sebagai Liga Hak untuk Hidup demi koordinasi kampanye-kampanye mereka di bawah naungan NCCB.[13][14] Agar dapat menjadi suatu gerakan nonsektarian yang lebih berbasis luas, para pemimpin kunci di Minnesota mengusulkan suatu model organisasi yang memisahkan NRLC dari pengawasan langsung NCCB. Pada awal tahun 1973, Direktur NRLC Pastor James T. McHugh dan asisten eksekutifnya, Michael Taylor, mengusulkan suatu rencana berbeda, memfasilitasi independensi NRLC dari Gereja Katolik. Para pendukung gerakan antiaborsi berpendapat bahwa manusia prenatal (sebelum terlahirkan) sejak saat konsepsi (pembuahan) memiliki hak fundamental untuk hidup yang setara dengan yang dimiliki manusia setelah dilahirkan. Meskipun para pendukung pro-kehidupan mengakui bahwa kaum wanita memiliki hak kemandirian secara jasmaniah, mereka menolak hak yang dituntut kaum wanita untuk melanggar hak prenatal untuk hidup, yakni dengan membunuh embrio atau janin manusia. Secara umum, mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai pendukung "hak untuk hidup" meyakini bahwa aborsi tidak dapat diterima secara moral. Istilah "hak untuk memilih" merupakan suatu perangkat retoris yang digunakan dalam perdebatan tentang aborsi oleh para pendukung hak aborsi. Banyak pendukung hak aborsi yang berpendapat bahwa manusia prenatal adalah bukan pribadi manusia, dan tidak memiliki hak fundamental yang sama untuk hidup sebagaimana seorang manusia dewasa. Pendukung hak aborsi lainnya berpendapat bahwa entah manusia prenatal memiliki atau tidak memiliki hak fundamental untuk hidup yang setara dengan manusia dewasa adalah hal yang tidak relevan karena hak wanita atas integritas tubuh dianggap mengesampingkan hak apa saja yang dimiliki janin. Para pendukung "hak untuk memilih" mungkin berpegang pada salah satu atau kedua posisi tersebut. Secara umum, mereka yang menyebut diri sebagai "pro-pilihan" merupakan para pendukung aborsi elektif secara legal. Pada saat yang sama, beberapa pendukung legalisasi aborsi beralasan bahwa mereka tidak tahu pasti pada tahap kehamilan yang mana kehidupan dimulai; Senator Barrack Obama menggunakan pandangan ini pada waktu pemilu Amerika Serikat tahun 2008.[15] Bagaimanapun, sejumlah pakar biologi telah menyatakan bahwa karakter atau atribut kehidupan telah tampak pada tahap seluler.[16] Para pendukung lainnya menyatakan bahwa mereka memiliki pandangan pribadi menentang aborsi, tetapi tidak mau menempatkan keyakinan mereka ke dalam hukum; Senator Joe Biden mengambil posisi ini dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2008.[17] Etika dan hak untuk hidupBeberapa etikawan unitarian berpendapat bahwa "hak untuk hidup", sejauh itu ada, tergantung pada kondisi-kondisi selain afiliasi spesies manusia. Filsuf ateis Peter Singer adalah seorang pendukung utama argumen tersebut. Bagi Singer, hak untuk hidup didasarkan pada kemampuan untuk merencanakan dan mengantisipasi masa depan seseorang. Hal ini memperluas konsep tersebut hingga semua hewan non-insani seperti kera, namun karena manusia yang tidak terlahirkan, bayi, dan orang yang cacat parah tidak memiliki kemampuan itu, ia menganggap bahwa aborsi, infantisida (pembunuhan bayi) yang tidak menimbulkan rasa sakit, dan eutanasia "dapat dibenarkan" (meski tidak wajib) dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, misalnya pada kasus seorang bayi cacat yang hidupnya akan menderita atau jika orang tuanya tidak ingin membesarkannya dan tidak ada orang yang ingin mengadopsinya.[18] Para bioetikawan yang terkait dengan komunitas Hak Disabilitas dan Studi Disabilitas berpendapat bahwa epistemologi Singer berdasar pada konsepsi-konsepsi prasangka sosial dan diskriminasi mengenai disabilitas atau kecacatan.[19] Lihat pula
Referensi
Pranala luar
Templat:Artikel tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia |