Hukuman mati atau pidana mati (bahasa Belanda: doodstraf) adalah yakni praktik yang dilakukan suatu Negara (pemerintahan) untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan bagaikan Hukuman mati di Indonesia. Vonis yang memerintahkan seorang tersangka didakwa dengan hukuman mati dapat dikatakan telah divonis mati, dan tindakan pelaksanaan hukuman disebut sebagai eksekusi.
Sampai dengan 2022, 55 negara masih memberlakukan hukuman mati (termasuk Indonesia), 109 negara telah meniadakan hukuman mati sepenuhnya secara de jure untuk semua jenis kejahatan, 7 telah meniadakan untuk kejahatan biasa (selagi tetap mempertahankan untuk kondisi khusus seperti kejahatan perang), dan 24 negara lainnya sebagai abolisionis dalam praktik.[2][3] Sekalipun sebagian besar negara telah meniadakan hukumman mati, lebih dari 60% populasi dunia tinggal di negara di mana hukuman mati masih berlaku, termasuk di Indonesia[4] dan negara lainnya seperti di Tiongkok, India, Amerika Serikat, Singapura, Pakistan, Mesir, Bangladesh, Nigeria, Arab Saudi, Iran, Jepang, dan Taiwan.[5][6][7][8]
Hukuman mati telah menjadi kontroversi di sejumlah negara, dan posisinya dapat berbeda dalam ideologi politik atau wilayah budaya yang sama. Amnesty International mendeklarasikan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran hak asasi manusia, dengan menyatakan "hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan, perlakuan jahat, tidak manusiawi, atau merendahkan, atau penghukuman."[9] Hak asasi tersebut dilindungi di bawah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948.[9] Di Uni Eropa, Pasal 2 dari Piagam Hak Asasi Uni Eropa melarang adanya praktik hukuman mati.[10]Majelis Eropa, yang memiliki 46 negara anggota, telah mencoba untuk meniadakan penggunaan hukuman mati secara absolut bagi para anggotanya, melalui Protokol 133 dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Namun, hal ini hanya mempengaruhi negara anggota yang telah menanda tangan dan meratifikasinya, dan tidak termasuk diantaranya Armenia dan Azerbaijan. Majelis Umum PBB telah mengadopsi, sepanjang 2007 hingga 2020[11] delapan resolusi tidak mengikat yang menuntut moratorium global terhadap eksekusi mati, dengan tujuan untuk menghapuskan hukuman mati.[12]
Batasan pelaksanaan hukuman mati
Perjanjian International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak mengharamkan penerapan hukuman mati namun memberikan serangkaian persyaratan ketat untuk negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Batasan-batasan tersebut antara lain:
Hanya untuk "kejahatan paling serius". Hukuman mati hanya berlaku pada tindak "kejahatan paling serius" yang disengaja, salah satu contohnya adalah korupsi.
Hak atas fair trial terpenuhi. Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan jika hak atas fair trial dilanggar selama proses hukum berjalan.
Perlindungan hak atas identitas. Hukuman mati tidak berlaku bagi "kejahatan" zina, hubungan sesama jenis (homoseksual), "penodaan" agama, membentuk kelompok oposisi politik, atau penghinaan kepala negara.
Menggunakan asas retroaktif. Hukuman mati tidak berlaku ketika tindak pidana tersebut belum diterapkan hukuman mati.
Terpidana di bawah umur. Vonis hukuman mati tidak dapat dilakukan jika usia terpidana berada di bawah 18 tahun.
Terpidana dengan gangguan jiwa. Penjatuhan hukuman dan eksekusi mati hanya berlaku pada terpidana yang bebas gangguan mental.[13]
Terpidana perempuan hamil. Hukuman mati hanya bisa diberikan kepada wanita jika ia tidak mengandung bayi.
Metode
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat. Jenis hukuman seperti ini paling banyak diterapkan di Indonesia
Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
Kamar gas: hukuman mati dengan cara disekap di dalam kamar yang berisi gas beracun
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 67 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 12 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktik hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.
Kesalahan vonis pengadilan
Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus pada tahun 2005 dan 1 kasus pada tahun 2006. Beberapa di antara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.
Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman di dalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat memengaruhi dalam penegakan keadilan
.
^[hhttps://caramedika.com/dampak-dari-eksekusi-mati-terhadap-peredaran-narkoba/=indonesia "Dampak Eksekusi Mati"]. Caramedika. Diakses tanggal 23 August 2010.
^"moratorium on the death penalty". United Nations. 15 November 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 January 2011. Diakses tanggal 23 August 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)