Tractatus Logico-Philosophicus
Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) adalah salah satu karya Ludwig Wittgenstein sekaligus satu-satunya karya panjang yang dimilikinya. Karya tersebut berpusat pada pembahasan mengenai teori logika dan metode filosofis Wittgenstein atas relasi bahasa dan realitas. Dengan mengidentifikasi relasi bahasa dan realitas, menurutnya, dapat disimpulkan suatu batas ilmu pengetahuan[1] dan batas-batas yang dimiliki bahasa untuk menyatakan realitas.[2] Buku ini ditulis sebagai catatan-catatan lepas dan risalah semasa ia menjadi tentara Perang Dunia I. Semasa cuti militer pada 1918, buku ini dirampungkan[3] dan dicetak pada 1921 dalam bahasa Jerman dengan judul Logisch-Philosophische Abhandlung. Dengan gaya kefilsafatan yang analitis, buku ini sangat terkenal terutama pada kalangan positivis logis di Lingkaran Wina. Buku ini ditulis dalam gaya kepenulisan yang ringkas dan ketat. Buku ini tidak ditulis dengan rajutan argumen, melainkan sebagai tatanan proposisi-proposisi deklaratif yang dimaksudkan untuk bersifat terbuktikan atas dirinya sendiri (self-evident). Proposisi-proposisi disusun secara umum dalam susunan hierarkis, dengan tujuh proposisi dasar yang diikuti proposisi penjelas. Secara keseluruhan, TLP mengandung 526 proposisi. StrukturMeski proposisi-proposisi yang dikandung buku ini disebut sebagai "traktat", akan tetapi Wittgenstein tidak berniat untuk mengutarakan doktrin atau menawarkan kebaruan pada pembaca.[4] Kualitas nirdogmatis yang Wittgenstein terapkan dalam TLP secara umum menjelaskan sifat umum keseluruhan proposisi yang terkandung di dalamnya. Tiap-tiap pernyataan diktum ditulis dengan menghindari atau tanpa kecenderungan, argumen, maupun contoh. Makna atas buku ini, menurutnya, "… dicapai hanya pada pembaca yang berpekerti",[5] sehingga diskusi yang mengitari setiap diktum dinilai bukan hal yang esensial. Sistem penomoranTLP terdiri dari tujuh proposisi dasar utama yang diurut dari proposisi umum hingga proposisi penjelas. Penomoran tiap proposisi mematuhi kaidah hierarki yang secara teknis dapat menjelaskan induk proposisi dan ranting penjelas proposisi induk. Secara umum, struktur penomoran proposisi terdiri dari dua sisi: menjelaskan tingkat seberapa primer dan umum sebuah proposisi, dan ekspresi hierarkis yang menunjukkan hubungan penjelas–yang-dijelaskan (induk–ranting).[6][7] Sehingga, proposisi x dapat diikuti penjelas x.0, x.1, x.2 … x.n₁. Proposisi ranting pun dapat memiliki subproposisi dan sub-subproposisi yang tak terhingga, sehingga x.n₁ dapat diikuti oleh x.n₁1, x.n₁2, … x.n₁n₂ dan seterusnya. Sistem penomoran tersebut secara umum mengadopsi struktur logika matematis yang mengekspresikan derajat korelatif dengan struktur numerik yang mendahuluinya.[6] Sehingga, interpretasi yang mungkin terjadi adalah, misalnya, proposisi 1.001 memiliki relasi yang lebih dekat pada proposisi 1 ketimbang proposisi 1.01—1.001 dapat dipahami sebagai penjelas konseptual atas terma yang dikandung 1, sedangkan 1.01 menerangkan implikasi langsung atas 1, pun 1.1 adalah penjelas bidang cakupan pengertian yang diterangkan 1, dan seterusnya. Struktur pembahasanTLP disusun sedemikian terstruktur sehingga dapat mewakili ide pokoknya. TLP dibangun oleh tujuh proposisi dasar sebagai berikut:
Tema bahasanMeski TLP berpusat pada pembicaraan mengenai representasi simbolis,[8] TLP diawali dengan pembahasan mengenai landasan-landasan ontologis. Hal tersebut didasari dengan pengertian bahwa representasi, dan bahasa sebagai agen pewakilnya, bersifat isomorfis dengan realitas. Realitas dan faktaGagasan mengenai fakta adalah salah satu gagasan terpenting dalam TLP dan pula melandasi keseluruhan pemahaman Wittgenstein atas realitas. Hal tersebut dinyatakan dalam
Proposisi tersebut mengilustrasikan pandangan atomistik yang kental dalam filsafat Wittgenstein. TLP menyatakan bahwa realitas tak tersusun atas objek-objek (seperti pandangan atomistik tradisional), melainkan hadir dalam relasi atas objek (Anordnung) dalam bentuk fakta. Fakta Wittgensteinian adalah keberadaannya fakta atomis yang hadir karena keberadaan kombinasi atas objek-objek. Sehingga, satu objek dapat berelasi dengan objek lain dan membentuk fakta yang berbeda. Misalnya, sebuah perhiasan dapat berada di toko perhiasan, dikenakan pada seseorang, dan sebagai objek lelang. Dari ketiga kasus tersebut, perhiasan tersebut dikenai oleh tiga kasus yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Sehingga dapat dipahami bahwa satu objek dapat membentuk fakta yang berbeda-beda. Contoh perhiasan tersebut adalah sebuah ilustrasi mengenai "objek" Wittgensteinian, hal yang tak secara eksplisit dijelaskan dalam TLP. Fakta-fakta yang berbeda tersebut tak dapat hadir bersamaan, melainkan satu persatu muncul dan menggugurkan yang lain.[9] Wittgenstein hanya memaparkan bahwa objek mestilah sederhana dan atomis (tidak tersusun dari objek dengan ordo yang lebih rendah),[10] akan tetapi objek-objek dapat bergabung dan membentuk fakta baru dengan caranya sendiri. Objek-objek bergabung berdasarkan sifat yang dikandung masing-masing objek, sehingga sifat objek menentukan semesta kombinasi yang dapat terjadi.[11] Sehingga, fakta atomis dapat berbentuk eksisten ataupun dalam bentuk kebolehjadian. Jadi, totalitas atas eksisten dan praeksistensi membentuk realitas, selayaknya Wittgenstein sebut sebagai "realitas yang tersusun atas keberadaan dan ketiadaan fakta."[12] Proposisi dan teori gambarDiawali dengan pembahasan mengenai dimensi metafisis TLP, Wittgenstein meneruskan pembahasannya mengenai ranah bahasa dan makna. Pikiran dan proposisi, menurut Wittgenstein, dapat dimengerti sebagai gambar.[13] Gambar tersebut terdiri atas elemen-elemen representasi objek, dan kombinasi elemen-elemen representasi objek dalam gambar tersebut mewakili kombinasi objek dalam fakta atomis. Dari pengertian tersebut, gambar yang dimaksud Wittgenstein menyerupai sebuah kolase atau mosaik yang membentuk suatu ide (gambar) yang lebih besar. Struktur gambar tersebut bersifat isomorfis dengan struktur fakta atomis yang mendirikannya. Wittgenstein juga menekankan bahwa melalui "proposisi" linguistik kolase tersebut dapat dipahami.[14] Dalam bentuk ujaran atau tulisan, proposisi memproyeksikan kemungkinan fakta atomis[15] dalam budi. Mengingat fakta TLP dipahami sebagai "keberadaannya jaring-jaring objek", pemikiran dalam budi dapat dimengerti sebagai gumpalan proposisi dalam bentuk proposisi linguistik. Selayaknya fakta sederhana yang didirikan oleh jaring-jaring koneksi antar objek, proposisi linguistik terdiri pula atas objek-objek yang Wittgenstein sebut sebagai "nama".[16] Proposisi linguistik (kalimat) dikonstruksi mirip seperti konfigurasi bagaimana objek-objek bertaut dalam fakta.[17] Dalam proposisi-proposisi yang diwujudkan dalam bahasa, nama dimengerti sebagai objek metafisis dengan objek dapat dimengerti sebagai "makna".[18] Bahasa sebagai gambarDi dalam TLP, bahasa ditujukan sebagai representasi atas realitas, dan dengan bahasa, potongan-potongan realitas berdiri sebagai gambar. Sehingga, terdapat batasan yang kentara antara realitas dan bahasa. Apa yang dikenai pada objek dan fakta pula mengenai pewakilnya (nama). Gambar adalah struktur atomis paling sederhana atas bahasa yang di dalamnya memuat struktur dalam bentuk sintaksis. Sehingga, beda komposisi objek yang berlaku dalam proposisi akan berbeda pula fakta yang ada, dan berbeda pula komposisi atas nama akan menghasilkan proposisi yang berbeda pula. Referensi
Bacaan lebih lanjutWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|