Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce (1839–1914) adalah tokoh yang mempelopori pemikiran tentang pragmatisme.[1] Ia juga merupakan seorang ahli logika yang mengenalkan kembali semiotika sebagai bagian dari linguistik.[2] Selain pragmatisme dan semiotika, Peirce mempelajari banyak bidang ilmu antara lain sastra, kriminologi dan agama. Pemikiran-pemikiran Peirce mulai memberikan pengaruh kepada para pemikir lainnya pada abad ke-20, khususnya periode tahun 1930-an. Di Amerika, pemikiran Peirce disebarluaskan oleh Charles W. Morris. Pemikirannya juga disebarluaskan di Eropa oleh Max Bense.[3] Pemikiran pragmatisme Peirce juga dikembangan oleh para filsuf Amerika lainnya, yaitu William James, John Dewey, George Hobart Mead, dan Clarence Irving Lewis.[4] Riwayat hidupCharles Sanders Peirce dilahirkan di Cambridge, Massachusetts pada tahun 1839. Ayahnya bernama Benjamin Peirce yang bekerja sebagai profesor matematika dan astronomi di Universitas Harvard. Minat belajar dan cara berpikir dari Peirce dipengaruhi oleh ayahnya. Pada tahun 1885, Peirce kuliah di Universitas Harvard dan menamatkannya pada tahun 1889. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya dan memperoleh gelar magister di bidang seni pada tahun 1862. Kemudian pada tahun 1983, ia kembali memperoleh gelar sarjana di bidang kimia. Peirce memperoleh pekerjaan di United State National Geodetic Survey sejak tahun 1861 dan bekerja di tempat yang sama selama 30 tahun. Semasa hidupnya, ia banyak melakukan percobaan dan menghadiri banyak seminar.[5] Peirce hidup di masa ketika terjadinya Perang Saudara Amerika, hingga tahun pertama dimulainya Perang Dunia I. Ia wafat pada tahun 1914.[6] PemikiranMetode pengetahuanMetode pengetahuan yang dikemukakan oleh Peirce terbagi menjadi empat, yaitu metode kegigihan, metode kewenangan, metode intuisi dan metode ilmiah. Metode kegigihan merupakan cara memperoleh pengetahuan dengan mempertahankan keyakinan yang telah dimiliki sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat disalahkan. Metode kewenangan merupakan metode perolehan pengetahuan dengan menggunakan acuan berupa suatu kebenaran yang diasumsikan memiliki reputasi yang baik. Metode intuisi merupakan metode perolehan pengetahuan yang memanfaatkan fakta atau prinsip yang telah menjadi kebiasaan yang lazim sebagai penyebab terjadinya sesuatu hal. Sedangkan metode ilmiah ialah metode yang memperoleh pengetahuan dengan koreksi diri.[7] PragmatismePeirce menganggap kebenaran dalam filsafat tradisional bersifat tertutup dan murni. Kebenaran ini antara lain metafisika dan logika. Ia meyakini bahwa sistem kebenaran yang tertutup dan murni adalah suatu kebenaran mutlak sehingga tidak menghasilkan suatu pengetahuan yang baru. Kebenaran mutlak ini bersifat menghambat perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Peirce kemudian merintis pemikiran filsafat yang disebut pragmatisme. Tujuannya untuk membuat filsafat tradisional menjadi suatu metode ilmiah. Metode pragmatisme Peirce meilbatkan peran aktif dari individu dalam kegiatan berpikir untuk perolehan pengetahuan. Ia menolak kedudukan pikiran yang hanya menerima gagasan yang jelas dan terpilah.[8] Pada awal periode 1870-an, Peirce mengemukakan gagasannya mengenai pragmatisme. Ia mengungkapkannya pada pertemuan sebuah kelompok filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan nonformal yang diselenggarakan di Cambridge, Massachusetts. Peirce mencatata hasil diskusi dari pertemuan tersebut dan kemudian mengubahanya menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of Belief dan How to Make Our Ideas Clear. Kedua artikel ini kemudian dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly pada tahun yang berbeda. The Fixation of Belief dipublikasikan pada tahun 1877, sedangkan How to Make Our Ideas Clear dipublikasikan pada tahun 1878.[9] Peirce menguraikan pemikirannya tentang pragmatisme di dalam How to Make Our Ideas Clear. Ia berpendapat bahwa manusia mustahil untuk memperoleh pengetahuan teoretis yang sifatnya benar. Kebenaran dari pengetahuan itu hanya dapat diperoleh melalui penyelidikan dengan praktik langsung dalam kehidupan. Penjelasan mengenai gagasan-gagasan hanya dapat dilakukan melalui analisis fungsional.[10] Peirce membagi kebenaran menjadi dua, yaitu kebenaran transedental dan kebenaran kompleks. Kebenaran transendental merupakan kebenaran yang telah ada pada sesuatu hal secara alami. Sedangkan kebenaran kompleks merupakan kebenaran yang berada di dalam suatu pernyataan. Kebenaran kompleks terbagi lagi menjadi kebenaran etis dan kebenaran logis. Kebenaran etis merupakan merupakan pernyataan yang selaras dengan keyakinan yang dimiliki oleh pembuat pernyataan. Sedangkan kebenaran logis merupakan pernyataan yang sesuai dengan definisi dari suatu kenyataan.[11] SemiotikaDalam pandangan Peirce, semiotika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang bersifat empiris.[12] Peirce menciptakan teori umum untuk tanda-tanda khususnya yang berkaitan dengan fungsi tanda-tanda secara umum. Peirce berpendapat bahwa tanda-tanda linguistik merupakan sesuatu yang penting tetapi tidak menjadi satu-satunya jenis tanda. Sifat dari tanda-tanda umum juga berlaku bagi tanda-tanda linguistik. Tetapi hal yang berlaku bagi tanda linguistik belum tentu berlaku bagi tanda umum. Ia mengembangkan ilmu tentang tanda yang bersifat umum sehingga dapat diterapkan pada segala macam tanda. Tujuannya itu dilakukan menyusun konsep-konsep baru yang dilengkapi dengan kosakata baru yang dibuatnya sendiri. Salah satu usulannya ialah penggunaan nama "semiotika" sebagai nama bagi ilmu yang membahas mengenai tanda-tanda umum yang diciptakannya.[13] Dalam semiotika, Peirce menganggap logika dan semiotika sebagai bidang ilmu yang sama-sama penting. Baginya, kedua ilmu ini merupakan sinonim satu sama lain. Pierce meyakini bahwa manusia hanya dapat berpikir melalui tanda-tanda karena penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Ia menjadikan logika sebagai dasar semiotika. Peirce menganggap semiotika dapat diterapkan ke dalam segala macam tanda.[14] Konsep tanda yang dikembangkan diberi nama tradik yang meliputi tanda, objek acuan dan tanda baru di dalam pikiran penerima.[15] Bentuk dari tanda harus ditetapkan sesuai konvensi. Suatu simbol menandakan bahwa tanda dapat dibedakan menjadi simbol ikonik, indeksikal atau simbolis. Ketiga fungsi ini juga dapat dimiliki sekaligus oleh suatu tanda di saat yang bersamaan. Keberadaan satu aspek pada tanda tidak menghilangkan aspek lain yang memiliki kemungkinan untuk ada pada tanda tersebut.[16] Pierce mengartikan tanda sebagai segala sesuatu yang ada pada individu yang dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu yang lain pada beberapa kapasitas tertentu. Ia kemudian mengartikan makna tanda sebagai cara untuk mengemukakan sesuatu. Tanda dapat memiliki makna jika diperantarai oleh alat penafsiran yaitu tanda baru yang timbul dalam pikiran si penerima tanda. Tanda baru ini merupakan hasil pengembangan dari tanda asli. Tanda asli dan tanda baru ini dihubungkan menggunakan suatu acuan berupa hal yang ditandai. Pola hubungan antara tanda asli dan tanda baru berbentuk representasi.[17] Tokoh yang dipengaruhiCharles W. MorrisCharles W. Morris adalah tokoh pemikir yang memperkenalkan istilah pragmatik di bidang linguistik untuk mengkaji tentang asal-usul penggunaan bahasa. Morris merupakan pemikir dari Amerika Serikat yang menganut behaviorisme. Morris mengembangkan semiotika dengan membaginya menjadi tiga jenis, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Ia berpendapat bahwa pragmatik merupakan studi tentang hubungan antartanda yang memerlukan tafsiran. Sumber inspirasi bagi pemikiran-pemikirannya mengenai semiotika berasal dari John Locke dan Charles Sanders Peirce yang juga merupakan pemikir semiotika.[18] Pemikiran Peirce yang diterima dan digunakan oleh Morris adalah yang berkaitan dengan teori tanda yang melibatkan pemakai tanda secara langsung. Morris menggunakannya untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan konsep dasar behaviorisme.[19] Referensi
Lihat pula |