Semiotika

Jika ingin mempelajari semiotika, peletak dasarnya adalah Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, semilogi atau semiotik merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda di dalam masyarakat. Semilogi berkaitan dengan apa yang memunculkan tanda dan hukum apa yang mengatur tanda (dalam Bernard, 2009: 115—118). Tanda terdiri atas dua bagian, penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier) adalah bagian fisik tanda yang berupa suara atau bentuk kata, sedangkan petanda (signified) adalah konsep mental yang merupakan acuan bagi penanda. Secara bersama-sama, keduanya membentuk tanda.[1]

Semiotika atau ilmu ketandaan (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika dibagi menjadi tiga cabang, yaitu:

  • Semantik: hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau makna
  • Sintaksis: hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
  • Pragmatik: hubungan antara tanda dan tanda menggunakan agen

Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi.[2] Namun, beberapa ahli semiotik fokus kepada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik).

Sintaksis adalah cabang dari semiotika yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan simbol.[3] Lebih tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan yang mengatur bagaimana kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat".[4]

Charles Morris menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan; dan, penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi tanda-tanda.

Asal Semiotika

Semiotika berasal dari kata Yunani 'simeon' yang berarti 'tanda', merujuk pada studi tentang sistem komunikasi yang mencakup bahasa, kode, dan berbagai bentuk ekspresi manusia. Istilah ini memiliki akar dalam bahasa Inggris 'semiotics' dan memiliki sinonim 'semiology', yang keduanya mengacu pada pengkajian tanda dan proses penandaan.

-Menurut Tinarbuko (2008), semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda supaya dapat mengetahui bagaimana tanda tersebut berfungsi dan menghasilkan suatu makna.

-Menurut Christomy dan Yuwono (2004), berpendapat bahwa semiotika adalah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi tanda.

Contohnya: dalam sebuah kemasan atau di gedung perusahaan, terdapat tanda berupa gambar asap. Dari tanda tersebut, kebanyakan orang menginterpretasikannya sebagai api.[5]

Terminologi

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani σημειωτικός sēmeiōtikos, "tanda-tanda jeli"[6] (dari σημεῖον sēmeion, "tanda, cap"[7]) dan pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris oleh Henry Stubbes[8] dalam arti yang sangat tepat untuk menunjukkan cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan interpretasi dari tanda-tanda.[9] John Locke menggunakan istilah sem(e)iotike dalam Buku 4, Bab 21 dari An Essay Concerning Human Understanding (1690).[10][11]

Semiotika kerap didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda. Segala hal di dunia dapat dibaca sebagai tanda. Perihal tanda, sudah ada sejak zaman prasejarah. Ada dua tokoh yang perlu dikenal ketika membicarakan mengenai tanda dalam perspektif semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Keduanya meletakkan dasar pemikiran yang menjadi landasan pengembangan semiotika.

Bagi Saussure, semiotika (semiologi) merupakan ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam suatu masyarakat. Pierce sendiri berpendapat bahwa semiotika merupakan bentuk lain dari logika, yaitu doktrin formal bagi tanda-tanda. Dengan demikian, semiotika bagi Saussure adalah bagian dari disiplin psikologi sosial, sedangkan semiotika bagi Pierce adalah suatu cabang dari filsafat. Pada perkembangan selanjutnya, semiotika dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme dan pascastrukturalisme melalui tokoh-tokoh seperti Claude Lévi-Strauss, Louis Althusser, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Félix Guattari, Umberto Eco, dan Zlavoj Zizek.

Semiotika merupakan objek studi yang berkembang pesat. Ketika sedang mempelajari salah satu bentuk semiotika, sudah muncul bentuk semiotika yang baru. Hal ini mengakibatkan pendefinisiannya secara tepat menjadi sulit. Berikut tiga definisi umum yang berhasil didefinisikan oleh Eugene Gorny untuk menjelaskannya.

Definisi pertama

Definisi pertama yang sering digunakan, yaitu ilmu mengenai tanda atau sistem tanda. Definisi ini kemudian memunculkan pertanyaan "siapa yang dapat memastikan perbedaan antara tanda dan bukan tanda?" Sebelum semiotika muncul, Agustinus dari Hippo telah menyadari kesulitan membedakan "sesuatu" dari tanda. Seseorang mampu mengetahui sesuatu dan berbicara tentang "sesuatu" dengan pertolongan tanda.

Manusia mengganti "sesuatu" dengan tanda yang disesuaikan dengan "sesuatu". Hal ini yang menjadi ide pemikiran bapak semiotika modern Charles Sanders Pierce yang mencoba mengembalikan segala "sesuatu" ke dalam "sesuatu dalam sesuatu itu sendiri", serta langkah melakukan studi tanda ke dalam upaya pemahaman pikiran manusia dan dunianya.

Namun, di luar itu, sesuatu yang telah diterima sebagai sebuah tanda dapat diterima tanpa harus melalui sebuah perenungan, misalnya seseorang dapat menginterpretasikan Injil atau Al-Qur'an dan meyakini sebuah kesucian serta objek simbolis. Sebaliknya, seseorang juga dapat membunuh dengan menggunakan pembenaran dari kedua kitab tersebut.

Singkatnya, ada sejumlah kondisi yang eksis secara bersamaan untuk mendeterminasi yakin atau tidak yakin meyakini "sesuatu" sebagai tanda. Bagi semiotika, tidak ada masalah aktual dari segala "sesuatu", serta hubungan antara sesuatu atau tanda. Semiotika tidak bersepakat dengan realitas nirtanda karena tidak mampu memberikan pemecahan kepada isu eksis atau tidak eksisnya segala sesuatu di bawah tanda. Secara semiotis, nirtanda akan dibaca sebagai pikiran tanda dengan isi yang sepenuhnya negatif (atau kosong). Lebih lanjut, semiotika adalah sesuatu yang bertujuan meyakini segalanya sebagai tanda dan sistem tanda. Dalam semiotika, segala objek juga bermakna segalanya bukan lagi objek atau tidak ada objek yang sepesifik dalam objek itu sendiri.

Definisi kedua

Definisi kedua diambil berdasarkan metode, yaitu aplikasi metode linguistik terhadap objek di luar bahasa yang biasa digunakan. Maksudnya adalah bahwa semiotika merupakan cara melihat segala "sesuatu" sebagai yang dikonstruksi dan difungsikan secara serupa dalam bahasa (esensi dari metode). Apa pun dapat dijabarkan sebagai bahasa (segalanya memiliki pembahasan): sistem kekerabatan, permainan kartu, gestur, ekspresi wajah, seni kuliner, ritual religius, dan perilaku serangga. Semiotika adalah suatu transfer bahasa metafora ke dalam segala fenomena non-linguistik. Prinsip pendekatan semiotika adalah perluasan jangkauan (ekstensi) dari term linguistik, sedangkan metode semiotika adalah suatu konsiderasi segala sesuatu sebagai metafora bahasa.

Definisi ketiga

Beberapa teori seperti yang dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer mendasarkan signifikasi sebagai bahasa dimensi esensial dunia manusia, misalnya hermeneutika yang meletakkan bahasa sebagai "media universal pengalaman manusia". Rekognisi terhadap peran aparatus simbolis dalam segala aktivitas manusia juga menjadi landasan kerja di banyak cabang ilmu seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak seorang pun menyebut ilmu semiotika sebagai ilmu yang mengkhususkan diri secara absolut.

Mayoritas orang-orang awam tidak memahami yang telah disepakati dalam semiotika. Ketika seseorang berkata "saya belajar semiotika", orang awam akan bertanya "apa itu?" Demikian halnya dengan mahasiswa yang mempelajari semiotika, meskipun mereka dapat menjelaskan dengan lengkap, bahkan memuat term, skema, dan formula, mereka dalam praktiknya tidak dapat menjelaskan alasan untuk mempelajarinya. Ketika seseorang ditanya "apa itu semiotika?", dia akan menjawab "ini berhubungan dengan tanda dan sistem tanda". Jawaban ini kemungkinan tidak memuaskan, bahkan untuk si pemberi jawaban.

Audifax, penulis buku Semiotika Tuhan, di sinilah kemudian memberikan definisi lain dari semiotika, yaitu a definition by subject (sebuah pendefinisian oleh subjek). Semiotika adalah ilmu yang diinstitusionalkan oleh semiotisiannya. Pernik orientasi semiotika dalam sebuah kerja tertentu adalah menggunakan terminologi semiotika konvensional (tanda, kode, signifikasi, semiosis, dan sebagainya), yang hadir bersama dengan referensi dalam kerja semiotika yang lain. Selanjutnya, definisi semiotika oleh subjek dapat mengikuti pemahaman "semiotika adalah sesuatu yang disebut semiotika oleh orang yang menyebut diri mereka semiotisian".

Filosofi dasar

Sudut pandang filosofis yang menjadi fundamen bagi semiotika adalah bahwa bahasa dan sejarah mendahului diri manusia. Manusia lahir ke dunia ketika sejarah dan bahasa yang telah ada sebelumnya telah memutuskan penggunaannya. Lalu, manusia hanya dapat hidup, menghidupi, dan dihidupi oleh keberadaannya dalam bahasa. Pada titik inilah, juga serta merta peranan etika dan estetika, nilai didasarkan pada norma-norma yang akan disadari pentingnya memahami semiotika yang juga merupakan sebuah studi tentang bahasa.

Saussure mengemukakan bahwa melakukan studi bahasa melalui semiotika harus mempertimbangkan sisi diakronis (sejarah) dan sinkronis (sistem yang berlaku ketika studi itu dilakukan). Dia lalu membagi bahasa kedalam tiga level, yaitu langage (kapasitas manusia untuk terlibat kepada sistem tanda), langue (sesuatu yang dipahami sebagai bahasa), dan parole (segala tuturan yang menggunakan bahasa).

Sebuah tanda adalah sesuatu yang hadir untuk (menggantikan) sesuatu yang lain. Tanda yang paling umum adalah bahasa, tetapi harus dipahami bahwa lampu lalu lintas, tanda baca, dan bagian-bagian dalam buku yang distabilo adalah juga tanda. Perlunya perkembangan pada lingkup benda yang telah di buat yg merupakan simbol atau tanda baik umum dan khusus. Pada lingkup yang lebih luas, baju, mimik, dan teks adalah tanda dalam sebuah sistem yang lebih besar.

Formulasi

Kode warna air panas dan dingin dari air kran adalah umum di banyak budaya, tetapi, pada contoh ini menunjukkan, kode diberikan karena ada konteks. Dua kran air mungkin dijual dalam satu set kode, tetapi kode ini tidak dapat digunakan (dan diabaikan), karena ada pasokan air tunggal.

Ahli semiotik mengklasifikasikan tanda-tanda atau sistem-sistem tanda dalam kaitannya dengan cara mereka ditransmisikan (lihat modalitas). Proses membawa makna tergantung pada penggunaan kode yang mungkin berupa suara individu atau surat-surat yang manusia gunakan untuk membentuk kata-kata, gerakan tubuh mereka yang dilakukan untuk menunjukkan sikap atau emosi, atau bahkan sesuatu yang umum berupa pakaian yang mereka kenakan. Untuk koin kata yang menyebut sesuatu (lihat kata-kata leksikal), suatu komunitas/masyarakat harus menyepakati arti sederhana (makna denotatif) dalam bahasa mereka, tetapi kata yang dapat mengirimkan arti bahwa hanya dalam struktur gramatikal bahasa dan kode (lihat sintaks dan semantik). Kode juga mewakili nilai-nilai budaya, dan dapat menambah nuansa baru terhadap konotasi bagi setiap aspek kehidupan.

Untuk menjelaskan hubungan antara semiotika dan studi komunikasi, komunikasi didefinisikan sebagai proses mentransfer data dan-atau pemaknaan dari sumber ke penerima. Oleh karena itu, teori komunikasi membangun model berdasarkan kode, media, dan konteks untuk menjelaskan aspek biologi, psikologi, dan mekanik yang terlibat. Kedua disiplin ilmu ini juga mengakui bahwa proses teknis tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa penerima harus membaca makna data, yaitu, dapat membedakan data sebagai bentuk yang penting, dan membuat makna dari itu sendiri. Ini berarti bahwa ada tumpang tindih yang saling diperlukan antara semiotika dan komunikasi. Memang, banyak konsep bersama, meskipun dalam setiap bidang penekanannya berbeda. Dalam Messages and Meanings: An Introduction to Semiotics, Marcel Danesi (1994) menyarankan bahwa prioritas ahli semiotik 'yang pertama untuk mempelajari makna, dan komunikasi yang kedua. Sebuah pandangan yang lebih ekstrem yang ditawarkan oleh Jean-Jacques Nattiez (1987; diterjemahkan 1990: 16.), sebagai seorang musikolog, yang dianggap sebagai studi teoretis komunikasi yang tidak relevan dengan aplikasinya semiotika.

Semiotika berbeda dari linguistik, dalam hal ini, generalisasi definisi tanda untuk mencakup tanda-tanda di media atau modalitas sensorik. Oleh karena itu, memperluas berbagai sistem tanda dan hubungan tanda, dan memperluas definisi bahasa berapa kuantitas untuk luasnya analogis atau rasa metafora.

Definisi Peirce dari istilah "semiotik" sebagai studi tentang kegunaan yang diperlukan dari tanda-tanda juga memiliki efek pembeda disiplin ilmu dari linguistik sebagai studi fitur kontingen tentang bahasa dunia yang terjadi dan diperoleh dalam perjalanan evolusi mereka.

Dari sudut pandang subjektif, mungkin yang lebih sulit adalah perbedaan antara semiotika dan filsafat bahasa. Dalam arti, perbedaannya terletak antara tradisi-tradisi yang terpisah dan bukan subyek-subyeknya. Penulis yang berbeda telah menyebut diri mereka sebagai "filsuf bahasa" atau "semiotika". Perbedaan ini tidak sesuai dengan pemisahan antara filsafat analitik dan kontinental.

Dilihat lebih dekat, mungkin ditemukan ada beberapa perbedaan mengenai subjek. Filsafat bahasa membayarnya dengan lebih memperhatikan bahasa alami atau bahasa pada umumnya, sedangkan semiotika sangat berkonsentrasi dengan signifikansi non-linguistik. Filsafat bahasa juga dikenakan koneksinya untuk linguistik, sedangkan semiotika mungkin tampak lebih dekat ke beberapa humaniora (termasuk teori sastra) dan antropologi budaya.

Semiosis atau semeiosis adalah proses yang membentuk makna dari ketakutan setiap organisme dunia melalui tanda-tanda. Para ahli yang telah berbicara tentang semiosis dalam sub-teori semiotika mereka termasuk CS Peirce, John Deely, dan Umberto Eco. Semiotika kognitif menggabungkan metode dan teori-teori yang dikembangkan dalam disiplin metode kognitif dan teori-teori yang dikembangkan dalam semiotika dan humaniora, dengan memberikan informasi baru ke dalam arti yang dimengerti manusia dan manifestasinya dalam praktik-praktik budaya. Penelitian tentang semiotika kognitif menyatukan semiotika dari linguistik, ilmu kognitif, dan disiplin terkait pada konsep platform meta-teoretis umum, metode, dan data bersama.

Semiotika kognitif juga dapat dilihat sebagai studi tentang makna keputusan dengan menggunakan dan mengintegrasikan metode dan teori-teori yang dikembangkan dalam ilmu kognitif. Hal ini melibatkan analisis konseptual dan tekstual serta penyelidikan eksperimental. Semiotika kognitif awalnya dikembangkan di Pusat Semiotika di Aarhus University (Denmark), dengan hubungan penting bersama Pusat Fungsional Terpadu Neuroscience (CFIN) di Rumah Sakit Aarhus. Di antara ahli semiotik kognitif menonjol antara lain Per Aage Brandt, Svend Østergaard, Peer Bundgård, Frederik Stjernfelt, Mikkel Wallentin, Kristian Tylén, Riccardo Fusaroli, dan Jordan Zlatev. Zlatev kemudian dalam kerjasama dengan Göran Sonesson didirikan CCS (Pusat Cognitive Semiotika) di Universitas Lund, Swedia.

Semiotika sebagai Teori Membaca

Riffaterre menyatakan bahwa ciri puisi yang utama adalah ketidakiangsungan (indirection).Yang dimaksud ketidaklangsungan (indirection) pads puisi dijelaskan dengan definisi bahwa a poem says onething and means another (Riffaterre, 1984:1) 4.Ketika membicarakan bentuk-bentuk ketidaklang-sungan tersebut, is menunjuk pada tigasumber produksinya yang meliputi displacing, distorting, and creating meaning (Riffa-terre, 1984: 2). Yang pertama terjadi ketika the signshiftsfrom one meaning to another, when one word "stands for" another, as happens with metaphor and metony my. Yang kedua terjadi ketika terdapatambiguity, contradiction, or nonsense, dan yang terakhir adalah ketika textual space serves as a principle of organization for making signs out of linguistic items that may not be meaningful otherwise (for instance, symmetry, rhyme, or semantic equivalences between positional homologues in a stanza (Riffaterre, 1984 : 2). Lebih lanjut, Riffaterre menunjukkan perbenturan antara sifat dasar dari tiga ciri ketidak langsungan di atas yang disebutnya threaten the literary representationsof reality, or mimesis dan sifat dasar puisi yang merupakan suatu unity both formal and semantic. Mimesis dipahaminya bersifat variatif dan plural, sedangkan puisi menunjuk pada sifat tunggal. Namun demikian, sifat variatif dan plural dalam mimesis tersebut menunjuk pada something else yang dianggapnya konstan dan, karenanya, dapat dibedakan dari mimesis tersebut.[2]

Referensi

  1. ^ Asih, Irsanti Widuri (28 Juni 2010). "Fashion sebagai Komunikasi: Analisis Semiotik Desain Kaus Dagadu sebagai Kontrahegemoni terhadap Budaya Amerika" (PDF). Diakses tanggal 2023-12-11. 
  2. ^ Caesar, Michael (1999). Umberto Eco: Philosophy, Semiotics, and the Work of Fiction. Wiley-Blackwell. hlm. 55. ISBN 978-0-7456-0850-1. 
  3. ^ The American Heritage Dictionary of the English Language: Syntactics
  4. ^ Wiktionary.org
  5. ^ Fiska, Rahma (2022-05-19). "Pengertian Semiotika: Konsep Dasar, Macam, dan Tokoh Pencetusnya". Gramedia Literasi. Diakses tanggal 2023-10-02. 
  6. ^ σημειωτικός, Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, on Perseus
  7. ^ σημεῖον, Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon, on Perseus
  8. ^ Stubbe, H.,The Plus Ultra reduced to a Non Plus ... (London, England, 1670), page 75: "... nor is there any thing to be relied upon in Physick, but an exact knowledge of medicinal phisiology (founded on observation, not principles), semeiotics, method of curing, and tried (not excogitated, not commanding) medicines ...."
  9. ^ For the Greeks, "signs" occurred in the world of nature, “symbols” in the world of culture. Not until Augustine of Hippo would a thematic proposal for uniting the two under the notion of "sign" (signum) as transcending the nature/culture divide and identifying symbols as no more than a species (or sub-species) of signum be formally proposed. See the monograph study on this question Le teorie del segno nell’antichità classica by Giovanni Manetti (Milan: Bompiani, 1987); trans. by Christine Richardson as Theories of the Sign in Classical Antiquity (Bloomington, IN: Indiana University Press, 1993). Classic also is the article by Luigi Romeo, “The Derivation of ‘Semiotics’ through the History of the Discipline”, in Semiosis 6, Heft 2 (1977), 37–49. See also Andrew LaVelle’s discussion of Romeo on Peirce-l at [1] Diarsipkan 2018-10-01 di Wayback Machine..
  10. ^ Locke used the Greek word σημιωτική [sic] in the 4th ed. of 1700 of his Essay concerning Human Understanding. He notably writes both (a) σημιωτικὴ and (b) Σημιωτική—when term (a) is followed by any kind of punctuation mark, it takes the form (b); see Ancient Greek accent. The 1689/1690 first edition of Locke’s Essay concerning Human Understanding, in the concluding “Division of the Sciences” chapter, Locke introduces, in §4, "σημιωτική" as his proposed name synonymous with “the Doctrine of Signs” for the development of the future study of the ubiquitous role of signs within human awareness. In the 1689/1690 original edition, the “Division of the Sciences” chapter was Chapter XX. In the 4th ed. of 1700, a new Chapter XIX “Of Enthusiasm” is inserted into Book IV, after which the Chapter XX of the 1st ed. becomes Chapter XXI for all subsequent editions. — see in John Deely, Why Semiotics? (Ottawa: Legas, 2004), 71–88, esp. 77–80 for the editions of Locke’s Essay from 1689 through 1716. It is an important fact that Locke’s proposal for the development of semiotics, with three passing exceptions as “asides” in the writings of Berkeley, Leibniz, and Condillac, “is met with a resounding silence that lasts as long as modernity itself. Even Locke’s devoted late modern editor, Alexander Campbell Fraser, dismisses out of hand ‘this crude and superficial scheme of Locke’” (see “Locke’s modest proposal subversive of the way of ideas, its reception, and its bearing on the resolution of an ancient and a modern controversy in logic” in Chap. 14 of Deely’s Four Ages of Understanding, pp. 591–606). In the 1975 Oxford University Press critical edition prepared and introduced by Peter Harold Nidditch, Nidditch tells us, in his “Foreword”, p. vii, that he presents us with “a complete, critically established, and unmodernized text that aims at being historically faithful to Locke’s final intentions”; p. xxv tells us further that “the present text is based on the original fourth edition of the Essay”, and that “readings in the other early authorized editions are adopted, in appropriate form, where necessary, and recorded otherwise in the textual notes”. The term "σημιωτική" appears in that 1700 4th edition, the last published (but not the last prepared) within Locke’s lifetime, with exactly the spelling and final accent found in the 1689/1690 1st edition. Yet if we turn to the final Chapter XXI of the 1975 Oxford edition, we find on p. 720 not "σημιωτικὴ" but rather do we find substituted the "σημειωτικὴ" spelling (and with final accent reversed). (Note that in Modern Greek and in some systems for pronouncing classical Greek, "Σημιωτικὴ" and "Σημειωτική" are pronounced the same.)
  11. ^ Prior to Locke, the notion of "sign" as transcending the nature/culture divide was introduced by Augustine of Hippo—see John Deely, Augustine & Poinsot: The Protosemiotic Development (Scranton: University of Scranton Press, 2009) for full details of Augustine’s originality on this point—a specialized study was firmly established. Himself a man of medicine, Locke was familiar with this "semeiotics" as naming a specialized branch within medical science. In his personal library were two editions of Scapula’s 1579 abridgement of Henricus Stephanus’ Thesaurus Graecae Linguae, which listed σημειωτική as the name for “diagnostics”, the branch of medicine concerned with interpreting symptoms of disease (“symptomatology”). Indeed the English physician and scholar Henry Stubbes had transliterated this term of specialized science into English precisely as “semeiotic” in his 1670 work, The Plus Ultra Reduced to a Non Plus (p. 75).

Pranala luar

Bacaan terkait