Ajaran-ajaran Yesus menitik-beratkan pada belas-kasih, rekonsiliasi dan penebusan dosa; tema yang berulang-ulang ini dalam pesan Injil digunakan oleh Gereja Katolik Roma untuk menentang hukuman mati. Para Bapa Gereja seperti Santo Klemens dari Roma dan Santo Yustinus Martir menegaskan bahwa mengambil nyawa manusia adalah bertentangan dengan Injil dan mendorong umat Kristiani untuk tidak ikut-serta melaksanakan hukuman mati. Santo Agustinus menilai hukuman mati seharusnya hanya sebagai sebuah jalan untuk mencegah kejahatan dan melindungi pihak-pihak yang tidak bersalah.[1] Pada Abad Pertengahan, Santo Thomas Aquinas menegaskan kembali sikap ini.
Thomas Aquinas
Berikut ini adalah rangkuman dari Summa Contra Gentiles, Buku 3, Bab 146 [1] Diarsipkan 2023-08-01 di Wayback Machine., yang ditulis oleh St Thomas Aquinas sebelum Summa Theologica. Santo Thomas adalah seorang pendukung vokal dari hukuman mati. Ini adalah berdasarkan teori (yang ada di dalam Hukum Moral Alami), bahwa negara tidak hanya berhak, tapi juga merupakan tugasnya untuk melindungi warga negaranya dari para musuh negara, baik dari dalam maupun dari luar.
Bagi mereka yang telah diangkat secara tepat, tidak ada dosa di dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut. Bagi mereka yang menolak untuk mematuhi hukum Tuhan, adalah benar bagi masyarakat untuk menghukum mereka dengan sanksi-sanksi sipil dan kriminal. Tidak ada orang yang berbuat dosa dalam bekerja demi keadilan, dalam ruang lingkup hukum. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat pada dasarnya bukanlah kejahatan. Kebaikan bersama di seluruh masyarakat adalah lebih penting dan lebih baik daripada kesejahteraan pribadi individu tertentu. "Kehidupan seorang yang berbahaya menjadi suatu hambatan untuk tercapainya kesejahteraan bersama yang adalah dasar dari kerukunan masyarakat manusiawi. Oleh karena itu, beberapa orang tertentu harus disingkirkan lewat kematian dari masyarakat manusia." Hal ini disamakan dengan tindakan dokter yang harus mengamputasi salah satu bagian tubuh yang sakit atau terkena kanker demi kebaikan diri seseorang.
Santo Thomas Aquinas mendasari pemikirannya ini pada:
- Kitab Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 5:6: "Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi merusak seluruh adonan?"
- dan 5:13: "Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.;
- Surat Paulus kepada Jemaat di Roma 13:4: "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat";
- Surat Petrus yang Pertama 2: 13-14: "Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik."
Ia percaya kalimat-kalimat ini membawahi teks dari Kitab Keluaran 20:13: "Jangan membunuh." Hal ini disebut lagi di dalam Injil Matius 5:21. Juga, bisa dihubungkan dengan kalimat di dalam Injil Matius 13:30: "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai." Waktu menuai diinterpretasikan sebagai rujukan untuk hari kiamat. Hal ini dijelaskan dalam Matius 13: 38-40.
Aquinas sadar bahwa kalimat-kalimat ini bisa juga diartikan bahwa seharusnya tidak boleh ada hukuman mati apabila terdapat kemungkinan apa pun bahwa pihak tidak bersalah menjadi terkena dampaknya. Larangan "Jangan membunuh" dibawahi oleh Kitab Keluaran 22:18: "Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup." Argumen yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seharusnya diberikan kesempatan hidup supaya mereka bisa menebus dosanya ditolak dan dianggap sebagai argumen yang tidak tepat. Apabila mereka tidak bertobat di hadapan maut, adalah tidak masuk akal untuk menganggap mereka akan bertobat sama sekali. "Berapa banyak orang yang kita perbolehkan untuk dibunuh ketika menunggu orang yang bersalah untuk bertobat?", ia bertanya secara retoris. Menggunakan hukuman mati untuk balas dendam adalah pelanggaran atas hukum moral alami.
[Banyak pihak percaya bahwa interpretasi yang tepat dari perintah Allah tersebut adalah "Jangan melakukan kejahatan pembunuhan." Interpretasi ini mendukung kepercayaan Aquinas bahwa hukuman mati adalah sebuah tindakan yang bisa diterima sebagaimana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang atas hal tersebut, seperti pemerintah, yang diangkat secara ilahi menurut kehendak Tuhan.]
Di bawah Paus Yohanes Paulus II, Gereja Katolik malah menganjurkan hukuman penjara daripada hukuman mati, walaupun hukuman mati tersebut masil diperbolehkan di beberapa kasus ekstrem.
Ajaran saat ini
Paul J. Surlis menulis bahwa ajaran Gereja atas hukuman mati sedang dalam peralihan.[2] Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya. Gereja mengajarkan bahwa hukuman mati diperbolehkan hanya apabila "identitas dan tanggung-jawab pihak yang bersalah telah dipastikan sepenuhnya" dan apabila hukuman mati tersebut adalah satu-satunya jalan untuk melindungi pihak-pihak lain dari kejahatan pihak yang bersalah ini.
Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari "penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan", cara-cara ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama.(2267)
Oleh karena masyarakat zaman sekarang memungkinkan adanya cara-cara yang efektif untuk mencegah kejahatan tanpa adanya eksekusi, Katekismus menyatakan bahwa "kasus dimana eksekusi pihak yang bersalah adalah suatu keharusan 'adalah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali.'[3]
Perlu dicatat bahwa, dalam pembentukan negara Vatikan pada tahun 1929, hukuman mati tidak pernah dilakukan dalam negara tersebut, suatu hal yang sangat berbeda dengan praktik-praktik yang dilakukan di zaman Negara Gereja pada Abad Pertengahan. Hal ini sesuai dengan posisi gereja yang lebih condong ke paham abolisionis (penghapusan hukuman mati) saat ini. Terdapat sedikit kerancuan mengenai posisi resmi pembentukan negara Vatikan ini saat beberapa catatan menyatakan bahwa negara ini mengadopsi kode hukum Italia kuno yang tidak memiliki bentuk hukuman mati dan bukannya mengadopsi kode hukum yang diseukai oleh Benito Mussolini saat hukuman mati dimulai lagi oleh sang pemimpin Fasis tersebut. Saat ini hukuman mati secara resmi dihapuskan pada tahun 1969 oleh Paus Paulus VI. Peristiwa ini yang mengindikasikan posisi resmi Gereja dari tahun 1929 hingga tahun 1969 mirip dengan apa yang terjadi di Inggris mulai dari penghapusan hukuman mati untuk kasus pembunuhan pada tahun 1965 hingga abolisi sepenuhnya pada tahun 1998.
Dalam ensiklik-nya Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati sangat jarang dapat didukung keberadaanya.[2]
Peristiwa
Mary Jane Fiesta Veloso
Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo pada tanggal 28 April 2015 menuliskan surat kepada para pastor di Keuskupan Agung Jakarta yang menegaskan pernyataan Gereja Katolik untuk menolak hukuman mati selain dalam kasus-kasus keharusan yang mutlak, yaitu pada keadaan dimana tidak ada kemungkinan untuk melaksanakan hal lain demi membela masyarakat luas, dan supaya hukuman mati dihapuskan dari sistem hukum di Indonesia. Secara khusus Mgr. Suharyo menyatakan penolakannya atas pidana hukuman mati yang diterima oleh Mary Jane Veloso karena -menurutnya- tidak ada bukti untuk menuduh bahwa Mary Jane berbohong; dimana Mary Jane menyatakan tidak tahu menahu mengenai koper yang dibawanya yang berisi sejumlah besar narkoba. Sementara Peninjauan Kembali atas kasusnya telah ditolak dan ia akan segera dieksekusi bersama para terpidana Bali Nine.[4]
Referensi