Daftar permintaan maaf yang dibuat oleh Paus Yohanes Paulus II
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Daftar permintaan maaf yang dibuat oleh Paus Yohanes Paulus II di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)
Paus Yohanes Paulus II membuat banyak permintaan maaf. Pada masa jabatan panjangnya sebagai Sri Paus, ia meminta maaf kepada Yahudi, Galileo, wanita, orang yang didakwa oleh Inkuisisi, Muslim yang dibunuh oleh pasukan Salib dan nyaris setiap orang yang menderita akibat Gereja Katolik sepanjang bertahun-tahun.[1] Bahkan sebelum ia menjadi Sri Paus, ia menjadi penyunting terkenal dan pendukung inisiatif-inisiatif seperti Surat Rekonsiliasi Uskup Polandia kepada Uskup Jerman dari 1965. Sebagai Sri Paus, ia resmi membuat permintaan-permintaan maaf publik untuk lebih dari 100 kesalahan, yang meliputi:[2][3][4][5][6]
Proses hukum terhadap ilmuwan dan filsuf Italia Galileo Galilei, ia sendiri adalah penganut Katolik yang taat, sekitar tahun 1633 (31 Oktober 1992).[7]
Ketidakadilan terhadap wanita, pelanggaran hak wanita dan fitnah terhadap kaum wanita sepanjang sejarah (29 Mei 1995, dalam sebuah "surat kepada wanita").[2][3][4][5][6]
Ketidakaktifan dan keheningan beberapa orang Katolik pada masa Holocaust (16 Maret 1998).[3][4][5][8][9]
Atas eksekusi Jan Hus pada 1415 (18 Desember 1999 di Praha). Saat Yohanes Paulus II mengunjungi Praha pada 1990an, ia meminta para pakar dalam materi tersebut "untuk mendefinisikan kejelasan yang lebih besar dari posisi yang dipegang oleh Jan Hus di kalangan para reformator Gereja, dan komitmen untuk pendidikan moral negara tersebut." Ini adalah langkah lain dalam membangun sebuah jembatan antara Katolik dan Protestan.[3][4][5][6]
Atas dosa-dosa umat Katolik sepanjang sejarah karena melanggar "hak kelompok etnis dan suku bangsa, dan [karena menunjukkan] kepentingan untuk tradisi agama dan budaya mereka". (12 Maret 2000, pada Misa Pengampunan publik).[3][4][5][6]
Atas aksi serangan pasukan Salib ke Konstantinopel pada 1204. Kepada Patriark Konstantinopel, ia berkata "beberapa kenangan secara khusus menyakitkan, dan beberapa peristiwa pada masa lampaui meninggalkan luka mendalam dalam pikiran dan hati orang-orang sampai saat ini. Aku memikirkan penjarahan parah terhadap kota kekaisaran Konstantinopel, yang telah lama menjadi pangkal Kekristenan di Timur. Adalah hal tragis bahwa para pembunuh, yang dihimpun untuk mengamankan akses bebas bagi umat Kristen ke Tanah Suci, bebalik melawan saudara-saudara mereka sendiri dalam kepercayaan. Fakta bahwa mereka adalah Kristen Latin memilukan umat Katolik dengan penyesalan mendalam. Bagaimana bisa kami gagal untuk melihat mysterium iniquitatis bekerja di dalam hati manusia?".[3][4][5][6]
Pada 20 November 2001, dari sebuah laptop di Vatikan, Paus Yohanes Paulus II mengirim surat elektronik pertamanya yang memberikan permintaan maaf untuk [[kasus pelecehan seksual Katolik "Generasi yang terampas" dari anak-anak aborigin di Australia, dan kepada Tiongkok atas perilaku para misionaris Katolik pada zaman kolonial.[10]
Permintaan maaf itu lebih sulit dibanding berbohong, untuk sebuah maaf kebohongan telah dipenjarakan.
Pada Desember 1999, atas permintaan Joseph Kardinal Ratzinger, saat itu Prefek Kongregasi bagi Doktrin Kepercayaan yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI, Komisi Teologi Internasional memajukan kajiannya terhadap topik Kenangan dan Rekonsiliasi: Gereja dan Kesalahan-kesalahan Masa Lalu. Tujuan dokumen tersebut adalah "untuk tidak menguji kasus-kasus sejarah tertentu namun lebih kepada mengklarifikasi anggapan bahwa pertobatan menjadi dasar kesalahan masa lalu." Dokumen tersebut menguji pertobatan untuk kesalahan-kesalahan masa lalu dalam konteks sosiologi, eklesiologi dan teologi.[12]