Dili
Dili (bahasa Portugis: Díli), adalah ibu kota sekaligus kota terbesar di Timor Leste. Dili terletak di pesisir utara Pulau Timor. Jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 163.305 jiwa (Januari 2006) dan sebanyak 275.664 jiwa (Sensus 2015).[2] Saat Timor Timur masih merupakan bagian dari Indonesia, Dili memiliki status kota administratif dan merupakan bagian dari Kabupaten Dili. Saat ini, Dili merupakan salah satu distrik di Timor Leste. Dili mulai dihuni orang-orang Portugis pada tahun 1520. Pada tahun 1796, Dili telah ditetapkan menjadi ibu kota Timor Portugis. Pada masa Perang Dunia II, Dili diduduki pasukan Jepang. Pada tanggal 28 November 1975, Timor Timur mengumumkan kemerdekaannya dari Portugal, namun sembilan hari kemudian pasukan Indonesia merebut Dili dalam Operasi Seroja, sekaligus memulai periode pendudukan Indonesia di Timor Timur. Pada 17 Juli 1976, Timor Timur dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Indonesia dan Dili dijadikan ibu kota provinsi. Pada tahun 1991, di Dili terjadi Pembantaian Santa Cruz (disebut Insiden Dili di Indonesia) yang cukup menarik perhatian dunia. Timor Leste meraih kemerdekaan pada 20 Mei 2002, setelah melakukan referendum yang sukses pada tahun 1999. Dili ditetapkan sebagai ibu kota negara. Saat terjadi krisis politik pada Mei 2006, kota Dili menjadi sasaran konflik sehingga mengalami kerusakan yang cukup signifikan. GeografiDili terletak di pesisir utara Pulau Timor, bagian paling timur di Kepulauan Sunda Kecil. Kota ini adalah pusat administrasi dari distrik Dili, yang merupakan entitas administratif dari wilayah tersebut dan termasuk pulau Atauro serta beberapa kota yang terletak dekat dengan Dili. Kota ini terbagi dalam beberapa subdistrik, di antaranya Nain Feto, Vera Cruz, Dom Aleixo dan Cristo Rei dan dibagi menjadi beberapa suco, yang dikepalai oleh chefe de suco yang dipilih. Sebanyak 18 dari 26 suco dari empat subdistrik dikategorikan sebagai wilayah urban.[3] PemerintahanTidak ada pemerintahan kota selain pemerintahan distrik, yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Pemerintah Timor Leste memulai rencana pada tahun 2009 untuk mengubah status distrik menjadi munisipalitas. Perubahan ini akan diikuti dengan pemilihan Wali kota dan Dewan secara langsung.[4] DemografiSensus 2010 mencatat jumlah penduduk sebesar 193,563 jiwa di wilayah Distrik Dili yang diklasifikasikan sebagai wilayah urban, dengan jumlah penduduk 234,331 jiwa di keseluruhan distrik termasuk wilayah pedesaan seperti Atauro dan Metinaro. Dan tahun 2015, penduduk Kota Dili menjadi 275.664 jiwa.[2] Dili adalah pusat pertemuan dari berbagai etnis di Timor Leste, kemungkinan besar karena migrasi dari para pemuda dari seluruh wilayah negara untuk mencari pekerjaan. Ini menimbulkan ketidakseimbangan gender, dengan jumlah penduduk pria secara signifikan lebih besar dari wanita. Antara tahun 2001 dan 2004, jumlah penduduk distrik Dili tumbuh hingga mencapai 12.58%, dengan hanya 54% dari penduduk yang lahir di kota. 7% lahir di Baucau, masing-masing 5% di Viqueque dan Bobonaro, 4% di Ermera, dan sisanya berasal dari wilayah lain maupun luar negeri.[5] Berdasarkan Sensus Timor Leste 2015, mayoritas penduduk Kota Dili memeluk agama Kristen, dengan persentasi 99,00% atau sebanyak 272.915 jiwa dari 275.664 jiwa. Pemeluk agama Katolik sebanyak 264.144 jiwa (95,82%), kemudian Protestan sebanyak 8.771 jiwa (3,18%). Sebagian lagi beragama Islam yakni 1.695 jiwa (0,61%), kemudian Buddha 372 jiwa (0,13%), Hindu 173 jiwa (0,06%), dan kepercayaan tradisional serta aliran lainnya sebanyak 0,20%.[2] IklimDili memiliki iklim tropis basah dan kering (Aw) berdasarkan klasifikasi iklim Köppen.
SejarahDili mulai dihuni sekitar tahun 1520 oleh Portugis, yang menjadikan kota ini sebagai ibu kota Timor Portugis pada tahun 1769. Dili diproklamasikan sebagai kota pada bulan Januari 1864. Selama Perang Dunia II, Portugal dan koloni-koloninya tetap netral, tetapi Sekutu memandang Timor Leste sebagai target potensial untuk invasi Jepang. Pasukan Australia dan Belanda sempat menduduki pulau Timor pada tahun 1941. Pada malam hari tanggal 19 Februari 1942, Jepang menyerang dengan kekuatan pasukan 20,000 orang, dan menduduki Dili sebelum menyebar ke wilayah lain dari koloni Portugis ini. Pada tanggal 26 September 1945, kontrol atas pulau ini dikembalikan kepada Portugal oleh Jepang. Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya secara sepihak dari Portugal pada tanggal 28 November 1975. Namun, sembilan hari kemudian, pada 7 Desember, militer Indonesia menginvasi Dili. Pada tanggal 17 Juli 1976, Indonesia menganeksasi Timor Leste, dan menjadikannya provinsi ke-27 Indonesia, Timor Timur (bahasa Indonesia untuk East Timor), dengan Dili sebagai ibu kota. Perang gerilya terjadi pada tahun 1975 hingga 1999 antara Indonesia dan pasukan pro-kemerdekaan, salah satunya saat ribuan warga Timor Timur dan beberapa warga negara asing terbunuh. Liputan pers tentang Insiden Dili pada tahun 1991, menolong pemulihan dukungan internasional untuk gerakan kemerdekaan Timor Timur. Pada tahun 1999, Timor Timur ditempatkan di bawah pemerintahan sementara PBB dan pada 20 Mei 2002, Dili menjadi ibu kota dari negara yang baru terbentuk, Republik Demokratik Timor-Leste. Pda bulan Mei 2006, bentrokan dan kerusuhan yang dimulai dari konflik antara elemen dari militer mengakibatkan kerusakan yang signifikan terhadap kota dan menimbulkan campur tangan militer asing untuk memulihkan keadaan. Bangunan dan monumenBanyak bangunan yang dirusak dan dihancurkan dalam kekerasan pada tahun 1999, yang dilaksanakan oleh militer Indonesia dan milisi pro-Indonesia (lihat Operasi Pembumihangusan).[7] Namun, kota ini masih memiliki banyak bangunan dari era Portugis. Bekas Balai Pasar yang dibangun sekitar tahun 1930, sekarang ini digunakan sebagai Pusat Kongres. Bekas kantor Gubernur Portugis, sekarang adalah kantor dari Perdana Menteri. Gedung ini juga sebelumnya digunakan oleh Gubernur yang ditunjuk Indonesia, dan juga pernah digunakan Pemerintahan Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET). Bahkan di bawah kekuasaan Indonesia, saat bahasa Portugis dilarang, nama jalan berbahasa Portugis seperti Avenida Marechal Carmona tetap dipertahankan, meskipun sedikit ditambahkan awalan kata berbahasa Indonesia seperti Jalan atau 'road'. Gereja Katolik Roma di Motael dijadikan pusat perlawanan terhadap pendudukan Indonesia. Warisan dari pendudukan Jakarta adalah Gereja Dikandung Tanpa Noda, pusat Keuskupan Katolik Roma Díli, yang kemungkinan besar merupakan katedral terbesar di Asia Tenggara, dan 'Monumen Integrasi', untuk memperingati pencaplokan Indonesia di wilayah ini pada 1976. Menampilkan orang Timor Leste dalam pakaian tradisional, memecahkan borgol yang melingkari pergelangan tangannya, monumen tersebut masih belum dihancurkan. Kristus Raja Dili adalah sebuah patung Yesus setinggi 27-meter (88.6 ft) yang terletak di puncak bola dunia di ujung semenanjung di Dili. Ini adalah salah satu marka tanah di kota ini.[8] Ini adalah hadiah dari Pemerintah Indonesia selama pendudukan untuk memperingati 20 tahun integrasi Timor Leste ke Indonesia. PendidikanSekolah-sekolah di Dili termasuk St. Joseph’s High School (Colégio de São José). Terdapat empat sekolah internasional di Dili, masing-masing sekolah Portugal dengan nama Escola Portuguesa Ruy Cinatti, sekolah Australia dengan nama Dili International School, sebuah sekolah yang disponsori pemerintah Amerika Sekolah Internasional QSI Dili dan Sekolah Internasional Maharlika (sebelumnya Pusat Pendidikan & Pengembangan Dili), sebuah sekolah internasional Filipina. Institusi pendidikan tinggi terbesar di Timor Leste, Universitas Nasional Timor Lorosae (UNTL) terletak di Dili. Universitas lain yang terletak di Dili termasuk universitas privat pra-sarjana, Universidade da Paz (UNPAZ), Universidade Dili (UNDIL) dan Institut Teknologi Dili (DIT), sebuah institusi berbasis komunitas, dan pendidikan non-profit. TransportasiDili dilayani oleh Bandar Udara Internasional Presidente Nicolau Lobato, yang dinamakan sesuai nama pemimpin kemerdekaan Nicolau Lobato. Ini adalah satu-satunya bandar udara internasional yang berfungsi di Timor Leste, meskipun terdapat juga lapangan udara di Baucau, Suai dan Oecusse yang digunakan untuk penerbangan domestik. Hingga saat ini, landasan udara bandara Dili masih belum mampu untuk mengakomodasi pesawat yang berukuran lebih besar dari Boeing 737 atau C-130 Hercules, tapi pada bulan Januari 2008, maskapai charter Portugal EuroAtlantic Airways melakukan penerbangan secara langsung dari Lisboa menggunakan sebuah Boeing 757, yang mengangkut 140 anggota dari Guarda Nacional Republicana.[9] Di bawah kekuasaan Portugal, Bandar Udara Baucau, yang memiliki landasan yang lebih panjang, digunakan untuk penerbangan internasional, tapi pada saat invasi Indonesia, bandar udara ini diambil alih oleh militer Indonesia dan ditutup untuk penerbangan sipil. Pelabuhan Dili adalah satunya satunya pelabuhan air dalam yg beroperasi saat ini. Satu Dermaga 290 meter bisa menampung maximal tiga kapal motor. Pelabuhan ini bisa melakukan bongkar/muat 90 container 20 ft per hari. Apron container mempunyai 470 slot. Waktu tunggu untuk bongkar muat ini adalah 5 sampai 14 hari.[10] Sejak tahun 2018, Pemerintah Timor Leste membangun pelabuhan Tibar (10 km dari pelabuhan Dili). Pelabuhan Tibar bisa memuat 20 000 container dengan harapan bisa mengakomodasi lalu lintas sejuta container per tahun. Pelabuhan ini di rencanakan selesai pada pertengahan tahun 2022.[11] Pada tanggal 19 Desember 2021, Perdana Mentri Timor Leste Taur Matan Ruak, meluncurkan Ferry BERLIN RAMELAU yg pembuatannya di nanai oleh Pemerintah Jerman dan TImor Leste. Ferry ini berkapasitas 303 penumpang dan 30 kendaraan, mempunayi 13 kru dengan satu kapten yg berasal dari Jerman. Ferry ini melayani Dili - Atauro pp dan Dili - Oecusse PP.[12] Kota kembarDili memiliki hubungan kota kembar dengan beberapa tempat berikut ini:
Lihat juga
Catatan
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Dili (city).
|