Iman dalam Kekristenan adalah suatu keyakinan sentral yang diajarkan oleh Yesus sendiri dalam kaitannya dengan injil (Kabar Baik).[1] Menurut Yesus, iman merupakan suatu tindakan percaya dan penyangkalan diri sehingga orang tidak lagi mengandalkan kebijaksanaan dan kekuatannya sendiri tetapi melekatkan diri pada kuasa dan perkataan dari Dia yang ia percayai.[2][3] Sejak Reformasi Protestan, pengertian dari istilah ini telah menjadi suatu objek dari ketidaksepakatan teologis utama dalam Kekristenan Barat. Sebagian besar dari perbedaan tersebut telah diatasi dalam Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran (1999).
Kekristenan berbeda dengan agama Abrahamik lainnya karena berfokus pada ajaran-ajaran Yesus, kedudukan-Nya sebagai Kristus yang dinubuatkan, termasuk keyakinan akan 'Perjanjian Baru'. Menurut kebanyakan tradisi Kristen, iman Kristen atau Kristiani mensyaratkan suatu keyakinan akan kebangkitan Yesus "dari antara orang mati", yang Dia nyatakan sebagai rencana dari Allah Bapa.[5][6]
Terdapat sejumlah perbedaan pemahaman yang tepat atas istilah "iman" di antara berbagai tradisi Kristen. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, semua kalangan Kristen umumnya sepakat bahwa iman akan Yesus merupakan inti dari tradisi Kristen, dan bahwa iman tersebut diperlukan untuk menjadi seorang Kristen.
Perjanjian Baru
Kata "iman" (bahasa Inggris: faith), diterjemahkan dari kata Yunani πιστις (pi'stis), utamanya digunakan dalam Perjanjian Baru dengan kala perfek Yunani dan diterjemahkan sebagai suatu campuran kata kerja-benda, yang tidak disampaikan secara memadai oleh kata benda Inggris. Bentuk kata kerja dari pi'stis yaitu pisteuo, yang sering diterjemahkan ke dalam berbagai Perjanjian Baru versi bahasa Inggris sebagai 'believe' ('percaya'). Bentuk kata sifatnya, pistos, hampir selalu diterjemahkan sebagai 'faithful' ('beriman'). Para penulis Perjanjian Baru, mengikuti para penerjemah Septuaginta (Perjanjian Lama Yunani) menerjemahkan kata-kata dalam kitab suci Ibrani yang berkenaan dengan 'faithfulness' ('kesetiaan') menggunakan kata-kata gugus-pi'stis. Kata-kata gugus-pi'stis dianggap paling tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menggunakan sejumlah kata-kata, tergantung pada konteksnya. Dalam Perjanjian Baru maupun teks-teks Yunani lainnya, pi'stis mendeskripsikan hubungan-hubungan dari 'firmness' ('keteguhan') yang dapat mengambil bentuknya di antara beragam entitas: orang, tradisi, praktik, kelompok, tujuan, fakta, atau proposisi. Terjemahan bahasa Inggris yang tepat sering kali terlihat dari hubungan antara dua entitas yang terhubung melalui pi'stis. Kata-kata gugus-pi'stis dalam Perjanjian Baru dengan demikian dapat diartikan sebagai berkaitan dengan gagasan-gagasan kesetiaan, ketaatan, loyalitas, komitmen, kepercayaan, keyakinan, dan bukti. Dikatakan bahwa terjemahan dan interpretasi yang paling tepat dari kata-kata gugus-pi'stis dalam Perjanjian Baru menjadi suatu kontroversi belakangan ini, khususnya menyangkut makna pi'stis ketika ditujukan pada Yesus.[7]
Iman akan Yesus sebagai keyakinan, kepercayaan, dan ketergantungan
Dalam tradisi Protestan, iman umumnya dipahami terkait erat dengan gagasan, keyakinan, kepercayaan, dan ketergantungan. Pemahaman ini ditemukan dalam pernyataan-pernyataan doktrinal para Reformis Protestan. Salah satu pernyataan pengakuan iman mereka menjelaskan: "perbuatan-perbuatan yang mendasar dari iman yang menyelamatkan adalah menerima, menyambut, dan bersandar pada Kristus saja untuk pembenaran, pengudusan, dan kehidupan kekal."[8] Mereka mengontraskan iman dengan usaha-usaha manusia untuk melakukan perbuatan baik sebagai suatu sarana memperoleh pembenaran atau justifikasi.[9] Pemahaman tentang iman yang menyelamatkan tetap dipegang dalam tradisi Protestan. Iman yang menyelamatkan umumnya dipahami sehubungan dengan keyakinan, kepercayaan, dan ketergantungan pada pribadi Yesus dan karya pendamaian-Nya yang terpenuhi melalui kematian-Nya di atas kayu salib.
Dalam suatu pengertian yang lebih bersifat keseharian, iman sering kali dibahas dalam hal meyakini janji-janji Allah, percaya pada kesetiaan-Nya, serta mengandalkan kesetiaan dan karakter Allah untuk bertindak. Namun demikian, banyak kalangan Protestan menekankan bahwa iman yang sejati adalah juga bertindak atau mengambil tindakan, dan karenanya menghasilkan tindakan atau perilaku yang berbeda serta bukan hanya mencakup keyakinan mental, kepercayaan diri, ataupun antinomianisme sepenuhnya. Oleh karena itu, memiliki 'iman [yang autentik] di dalam Yesus' umumnya dipahami menyebabkan perubahan-perubahan dalam cara orang hidup dan berpikir. Bagaimanapun, tradisi Protestan berpandangan bahwa perubahan-perubahan dalam karakter dan tingkah laku tersebut tidak mempunyai nilai apapun untuk mendapatkan suatu penghakiman terakhir yang positif, dan bahwa suatu penghakiman terakhir yang positif tergantung pada iman saja (sola fide).
Iman akan Yesus sebagai kesetiaan, loyalitas, dan komitmen
Dalam beberapa dekade terakhir, para akademisi meneliti apa yang dimaksud dengan pi'stis dalam konteks sosial para penulis Perjanjian Baru. Beberapa akademisi yang meneliti penggunaan pi'stis dalam manuskrip Yunani awal maupun Perjanjian Baru menyimpulkan bahwa 'faithfulness' ('kesetiaan') adalah terjemahan bahasa Inggris yang paling memuaskan dalam banyak hal.[10][11] Penelitian terbaru ini mendorong sejumlah kalangan untuk berpendapat bahwa iman Perjanjian Baru dan keyakinan pada Yesus seharusnya dipahami dalam hal kesetiaan, loyalitas, dan komitmen kepada-Nya serta ajaran-ajaran-Nya, bukan dalam hal keyakinan, kepercayaan, dan ketergantungan.[12] Pemahaman akan iman semacam ini dapat terintegrasi baik dengan teori pengaruh moral mengenai pendamaian.
Ayat-ayat spesifik
Ibrani 11:1: "Iman (pi'stis) adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Bagian yang berkenaan dengan fungsi iman dalam kaitannya dengan perjanjian Allah ini sering digunakan sebagai definisi atau pengertian iman. Υποστασις (hy-po'sta-sis), yang dalam bagian ini diterjemahkan sebagai "assurance" ("kepastian" atau "jaminan"; Alkitab TB menggunakan kata "dasar"), umumnya tedapat dalam dokumen-dokumen bisnis papirus kuno, menyampaikan gagasan bahwa suatu perjanjian adalah suatu pertukaran jaminan yang menjamin pengalihan kepemilikan di masa mendatang sesuai yang tertulis di dalam kontrak. Berdasarkan pandangan ini, James Hope Moulton dan George Milligan mengajukan terjemahan demikian: "Faith is the title deed of things hoped for" ("Iman adalah perjanjian hukum dari segala sesuatu yang kita harapkan").[13] Kata Yunani e´leg-khos, diterjemahkan sebagai "conviction" ("keyakinan"; Alkitab TB menggunakan kata "bukti") dalam Ibrani 11:1 versi ESV, menyampaikan gagasan akan penghasilan bukti yang memperlihatkan sesuatu, khususnya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang tampaknya dipersoalkan. Dengan demikian bukti tersebut memperjelas apa yang belum dipahami sebelumnya dan karenanya menyanggah apa yang semata-mata tampak sebagai persoalan. Bukti atas keyakinan ini sedemikian positif dan kuat sehingga dideskripsikan sebagai iman. Iman Kristen, yang dideskripsikan melalui istilah-istilah tersebut, tidak sama dengan mudah percaya, melainkan memiliki konotasi bertindak dalam kesetiaan dan kepercayaan.
Yohanes 3:16: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Bagian ini sering digunakan sebagai pernyataan standar dari iman Kristen.
Ibrani 11:6: Bagian ini mendeskripsikan makna dan peranan iman dalam praktiknya: "Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia."
Yohanes 6:28–29: Ketika ditanya "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?", tertulis bahwa Yesus menjawab, "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya (pi'stis) kepada Dia yang telah diutus Allah."
Galatia 5:6: "Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja [melalui] kasih."
Yakobus 2:22: "Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna."
Yakobus 2:26: "Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati."
Dalam suatu pengertian objektif, menurut teologi Katolik, iman adalah keseluruhan dari kebenaran-kebenaran yang disingkapkan oleh Allah dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci yang diberikan Gereja kepada manusia dalam suatu bentuk singkat di dalam keyakinan-keyakinannya. Secara subjektif, iman merepresentasikan kebiasaan atau keutamaan/kebajikan yang melaluinya kebenaran-kebenaran ini disetujui.
Iman adalah suatu tindakan adikodrati
Iman dinyatakan sebagai suatu tindakan adikodrati atau supranatural yang dilakukan oleh rahmat Ilahi, yang menurut St. Thomas Aquinas merupakan "tindakan dari intelek yang menerima suatu kebenaran Ilahi karena gerakan dari kehendak, yang digerakkan oleh rahmat Allah".[14] Dan seperti halnya terang iman merupakan suatu anugerah yang secara adikodrati diberikan kepada pemahaman manusia, demikian pula gerak kehendak oleh rahmat Ilahi ini—sebagaimana tercermin dari namanya—merupakan suatu anugerah yang juga adikodrati dan mutlak cuma-cuma. Anugerah tersebut bukan karena kajian yang pernah dilakukan seseorang, bukan juga diperoleh dengan usaha manusia, tetapi "Mintalah maka kamu akan menerima".
Karena kebajikan iman "ditanamkan" (infused) oleh Allah dan tidak dapat dicapai melalui upaya-upaya manusia, maka dari itu iman termasuk salah satu dari kebajikan teologal.
Iman tidak buta
Konsili Vatikan I (III, iii) menyatakan: "Kita percaya bahwa wahyu adalah benar, tentunya bukan karena kebenaran hakiki dari misteri-misteri dapat dilihat dengan jelas oleh terang akal yang kodrati, tetapi karena kekuasaan Allah Yang mengungkapkan misteri-misteri itu, sebab Ia tidak dapat memperdaya ataupun diperdaya." Dengan demikian, sehubungan dengan tindakan iman yang umat Kristen perbuat dalam Tritunggal Mahakudus, iman dapat dideskripsikan secara silogistik, sehingga:
Apapun yang Allah wahyukan adalah benar
tetapi Allah mewahyukan Tritunggal Mahakudus, yang adalah suatu misteri
karenanya misteri ini adalah benar.
Bagi Gereja Katolik, premis mayornya tidak diragukan lagi, suatu presumsi yang mendasari akal dan dengan demikian secara intrinsik menjadi nyata bagi akal; premis minornya juga dipandang benar, didasarkan pada keyakinan akan infalibilitas deklarasi-deklarasi Gereja, dan juga karena, sebagaimana disampaikan oleh Konsili Vatikan I, "di samping bantuan Roh Kudus-Nya dari dalam, Allah dengan senang hati memberikan kita pembuktian pasti wahyu-Nya dari luar, yaitu fakta-faktaIlahi, terutama mukjizat-mukjizat dan nubuat-nubuat, sebab karena hal-hal ini memanifestasikan secara jelas pengetahuan tanpa batas dan kemahakuasaan Allah, kesemuanya ini menyajikan pembuktian yang paling pasti dari wahyu-Nya dan sesuai dengan kapasitas [akal] semua orang." Oleh karena itu St. Thomas Aquinas menulis: "Seseorang tidak akan percaya kecuali ia melihat hal-hal yang harus ia percayai, baik dengan bukti adanya mukjizat-mukjizat ataupun sesuatu yang serupa" (II-II:1:4, ad 1). Di sini St. Thomas berbicara mengenai sebab-musabab kredibilitas, penyebab-penyebab yang menimbulkan kepercayaan.
Dalam Gereja Katolik, pembenaran diberikan oleh Allah pertama-tama melalui pembaptisan,[15] tidak sekadar karena iman, dan melalui Sakramen Rekonsiliasi setelah suatu dosa berat dilakukan.[16] Suatu dosa berat menjadikan hilangnya pembenaran sekalipun iman masih ada. Sebelum menerima pembaptisan, iman diperlukan bagi orang dewasa. Pembaptisan bayi memerlukan janji orang tuanya untuk mewartakan iman mereka kepada sang anak. Pembaptisan disebut Sakramen Iman.
Kekristenan Timur
Kemampuan noetik
Iman (pistis) dalam Kekristenan Timur merupakan suatu aktivitas dari nous, yang terkadang disamakan dengan roh. Iman merupakan ciri khas dari noesis atau pengalaman noetik roh. Di sini iman didefinisikan sebagai kebenaran intuitif yang adalah suatu anugerah dari Allah, iman adalah salah satu 'energi' (energeia) Allah yang tidak tercipta. Serupa dengan iman, rahmat adalah juga anugerah dan energi Allah yang lainnya.[17] Allah dalam Tritunggal tidak tercipta atau tidak terpahami dalam hal kodrat, wujud, atau esensi.[18] Oleh karena itu, dalam Kekristenan Timur, ketidakterpahaman atau esensi Allah dibedakan dengan energi-Nya yang tidak tercipta. Hal ini diperjelas dalam perbedaan esensi–energi yang dirumuskan oleh St. Gregorius Palamas.[19] Dalam pengertian ini, iman adalah lebih dari sekadar keyakinan pada sesuatu. Iman merupakan suatu aktivitas atau operasi Allah yang bekerja dalam dan melalui umat manusia. Iman merupakan suatu aspek penting dalam hubungan antara manusia dan Allah; hubungan atau proses itu disebut Theosis. Iman merupakan suatu operasi dalam permenungan suatu objek untuk dipahami. Analisis manusia atas atribut-atribut dari suatu objek memungkinkannya untuk membentuk konsep-konsep. Analisis demikian bagaimanapun tidak mampu mengeksplorasi sepenuhnya kandungan dari objek persepsi. Akan selalu tersisa suatu "residu irasional" yang luput dari analisis dan yang tidak mampu diekspresikan dalam konsep-konsep. 'Residu' tersebut dipandang sebagai kemuskilan hal-hal yang tidak dapat diketahui, yang merupakan esensi sejatinya yang tak terdefinisikan, yang juga merefleksikan asal mula segala sesuatu dalam Allah.
Kebenaran intuitif
Sebagai Allah dalam Tritunggal, terdapat hal-hal yang tampak sebagai anomali-anomali dari esensi (ousia) Allah. Dalam Kekristenan Timur, adalah karena iman atau kebenaran intuitif sehingga komponen dari eksistensi objek ini dipahami.[20] Kendati Allah melalui energi-Nya mengarahkan manusia kepada-Nya, esensi-Nya tetap tidak dapat diakses atau dipahami.[20] Operasi iman merupakan sarana dari kehendak bebas yang melaluinya umat manusia menghadapi masa depan atau ketidaktahuan. Operasi-operasi noetik tersebut terkandung dalam konsep noesis, yakni kesadaran atau pemahaman mendalam.
^(Inggris)Dictionary of Premillennial Theology by Mal Couch 1997 ISBN 0-8254-2410-0 page 127
^(Inggris) See A. J. Wallace, R. D. Rusk, Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation (New Zealand: Bridgehead, 2011), pp 120–135 for a more detailed explanation of the different meanings pi'stis can take.
^(Inggris) Westminster Confession of 1646 AD, Article XIV, section II.
^(Inggris) See, for example, Augsburg Confession of 1530 AD, Article IV.
^(Inggris) Douglas A. Campbell, The Quest for Paul's Gospel: A Suggested Strategy (London: T&T Clark, 2005), p. 186.
^(Inggris) Stanley K. Stowers, A Rereading of Romans: Justice, Jews, and Gentiles (Ann Arbor, MI: Edwards Brothers, 1994), p. 199.
^(Inggris) A. J. Wallace, R. D. Rusk, Moral Transformation: The Original Christian Paradigm of Salvation (New Zealand: Bridgehead, 2011), pp 120–135.
^(Inggris)Vocabulary of the Greek Testament, 1963, p. 660.
^(Inggris)"Paragraph 1446", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012, Christ instituted the sacrament of Penance for all sinful members of his Church: above all for those who, since Baptism, have fallen into grave sin, and have thus lost their baptismal grace and wounded ecclesial communion. It is to them that the sacrament of Penance offers a new possibility to convert and to recover the grace of justification. The Fathers of the Church present this sacrament as "the second plank [of salvation] after the shipwreck which is the loss of grace."
^(Inggris) Glossary of terms from the Philokalia pg 430 Palmer, G.E.H; Sherrard; Ware, Kallistos (Timothy). The Philokalia, Vol. 4 ISBN 0-571-19382-XFaith- not only an individual or theoretical belief in the dogmatic truths of Christianity, but an all-embracing relationship, an attitude of love and trust in God. As such it involves a transformation of man's entire life. Faith is a gift from God, the means whereby we are taken up into the whole theanthropic activity of God in Christ and of man in Christ through which man attains salvation.